Klaster 8: Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga Desa Adat dan Ketentuan Kekhususan Desa Adat
Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk masyarakat dengan prinsip-prinsip kesukarelaan, kemandirian dan keragaman. Karakteristiknya terdiri dari lembaga kemasyarakatan yang berbasis: kewilayahan, keagamaan, profesi, kebudayaan (termasuk adat istiadat), kepemudaan, gender, dan interest group/kepentingan[1]. Sementara Lembaga adat menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa[2]. Lembaga kemasyarakatan dan Lembaga Adat erat kaitannya dengan modal sosial, untuk terciptanya tata kelola desa demokratis, transparan, partisipatif dan efektif. Modal sosial yang kuat juga menjadi prasyarat bagi tercapainya Desa mandiri.
Modal sosial diartikan sebagai norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada di dalam, dan mengatur pola perilaku warganya, juga unsur kepercayaan (trust) dan jaingan (networking) antara warga masyarakat ataupun kelompok masyarakat. Norma dan aturan yang ada juga mengatur perilaku individu baik dalam perilaku ke dalam (internal kelompok) maupun perilaku keluar (ekseternal, hubungan dengan kelompok masyarakat yang lain).[3]
Pada bagian ini ingin akan dibahas lembaga kemasyarakatan, lembaga desa adat dan kekhususan desa adat, dengan menjawab permasalahan berikut ini:[4]
- Secara fundamental, bagaimana mensinergikan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa sebagai suatu kesatuan utuh untuk mempercepat pembangunan Desa?
- Secara institusional, bagaimana memperkuat peran lembaga-lembaga yang ada di Desa (institutional building) dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat? Bagaimana mensinergikan peran lembaga-lembaga bentukan dan lembaga-lembaga asli yang ada di Desa?
- Bagaimana posisi dan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan Desa?
- Bagaimana pula memperkuat partisipasi (kebebasan bersuara/voice, akses dan kontrol) kelompok-kelompok marginal (perempuan, kaum miskin, petani, dan lain-lain) dalam proses politik dan perencanaan pembangunan desa?
Daftar Isi :
1. Lingkup Lembaga Kemasyarakatan Desa
Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang modern diperkenalkan kepada masyarakat Desa sejak UU No. 5/1979 dengan nama yang seragam dan korporatis di seluruh Desa seperti: Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Dasawisma, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Padahal jauh sebelumnya, setiap desa memiliki lembaga-lembaga lokal yang tumbuh dari masyarakat. Di era reformasi, pengaturan kelembagaan masyarakat tidak lagi bersifat seragam, meski tetap membuat standar seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) dan PKK.
Berbagai lembaga kemasyarakatan di desa berfungsi sebagai wadah organisasi kepentingan masyarakat setempat, termasuk untuk kepentingan ketahanan sosial (social security) masyarakat, dan menyokong daya tahan ekonomi warga (economic survival). Di luar Jawa, umumnya RT dan RW sudah dihilangkan, namun di Jawa, RT tetap menjadi lembaga kemasyarakatan yang menonjol, dengan tetap menjalankan fungsi kemasyarakatan dan juga fungsi administrasi pemerintahan. Rukun Tetangga (RT) juga menjadi benteng keamanan dan ketertiban maupun tradisi sistem keamanan lingkungan, untuk menghimpun berbagai bentuk dana dari masyarakat dalam rangka kepentingan simpanan dana sosial maupun untuk gotong-royong.[5]
Rumusan pengaturan sebagaimana dimaksud oleh UU Desa tertuang pada Bab XII: Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa.
Pasal 94 |
(1) Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. (2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa. (3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa. (4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa. |
Penjelasan |
Cukup Jelas |
Pembahasan di DPR
Dalam pembahasan Pasal 94 di DPR memang tidak ditemui polemik berkepanjangan. Lembaga Kemasyarakat Desa sebagai usulan pemerintah sudah tertuang dalam Naskah Akademik. Namun sejumlah pakar memberikan catatan khusus pada bagian ini, baik dalam rangka menjaga ketenteraman, perdamaian, maupun menggerakkan dan mengembangkan kemandirian ekonomi desa dalam penanggulangan dan pengentasan kemiskinan.
- Urgensi Lembaga Kemasyarakatan
Pentingnya lembaga kemasyarakatan disampaikan oleh Mendagri, Gamawan Fauzi dalam Keterangan Pemerintahan Atas RUU Desa pada 4 April 2012. Urgensi Lembaga Kemasyarakatan ini melekat pada argumen pengusulan UU Desa itu sendiri.
“ ..... Dalam proses penyusunan rancangan Undang-Undang tentang Desa, kami telah berusaha mengakomodasi masukan-masukan yang disampaikan berbagai pihak berdasarkan permasalahan dan kebutuhan yang berkembang di desa, ... diharapkan Undang Undang ini mampu mewadahi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan pemerintahan sesuai dengan perkembangan dan dapat menguatkan identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dengan semangat modernisasi, globalisasi dan demokratisasi yang terus berkembang....”
Mendagri juga menjelaskan argumen historis bahwa sejak dahulu desa-desa yang beragam di seluruh Indonesia merupakan pusat penghidupan masyarakat setempat yang memiliki otonomi dalam mengelola tata kuasa dan tata kelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi. Selain itu masyarakat lokal atau desa memiliki kearifan lokal yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk. Sebagian dari kearifan lokal tersebut ada yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya alam dan hubungan sosial. Pada prinsipnya aturan lokal tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan hubungan antar manusia, dan antara manusia dengan alam dan Tuhan.
Alasan filosofis-konseptual juga disampaikan Mendagri adalah kebutuhan ke depan atas desa sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Menteri Dalam Negeri menyampaikan argumentasi secara sosiologis, dengan menyatakan :
“.... Pengaturan tentang desa ke depan dimaksudkan untuk menjawab permasalahan sosial, budaya, ekonomi dan politik desa, memulihkan basis penghidupan masyarakat desa dan memperkuat desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang kuat dan mandiri. Selain itu pengaturan tentang desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan desa merespon proses modernisasi, globalisasi dan demokratisasi yang terus berkembang.”
Pada Raker tanggal 15 Mei 2012, Gamawan Fauzi selaku Mendagri menegaskan kembali bahwa “Demokratisasi memiliki makna bahwa kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Permusyawaratan Desa dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah desa”.
Pada Dalam Raker sebelumnya tangal 4 April 2012 DPD melalui juru bicara Anang Prihantoro menyatakan:
“Desa tidak hanya memiliki lembaga kemasyarakatan korporatis (bentukan negara), tetapi juga memiliki organisasi masyarakat sipil.”
Danang juga mengkritik tentang asas keragaman:
“Keragaman desa tentu bukan hanya sekadar keragaman istilah (nomenklatur), melainkan keragaman dalam hal bentuk desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa. DPD berpandangan bahwa cara pandang itu sebagai pendekatan pengecualian (eksepsional) untuk memaknai dan mengatur keragaman. RUU Desa ini sebenarnya mengatur desa secara generik atau default village, sementara yang berbeda sebagai wujud keragaman tidak diatur secara optional melainkan dengan cara eksepsional. Ini pun masih diamanatkan dengan pola blank check ke dalam peraturan pemerintah.”
Terhadap hal ini Menteri memberikan tanggpan yang disampikan pada Raker 15 Mei 2015, bahwa demokratisasi memiliki makna bahwa kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui BPD dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah desa.
Perihal lembaga kemasyarakatan desa, juru bica Fraksi P GERINDRA, Hj. Mestariyani Habie, S.H, pada Raker 4 April 2012 menyatakan:
“... Dengan logika fakta sejarah, sejatinya desa harus menjadi landasan bagian penting dari tata pengaturan pemerintahan di atasnya. Desa yang memiliki tata pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat seharusnya juga menjadi ujung tombak dalam setiap penyelenggaran urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Premis dasar yang seharusnya dikembangkan dalam tata pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan adalah desa maju dan sejahtera, otomatis negara juga maju dan sejahtera. Titik pangkal dari maju dan sejahteranya suatu bangsa adalah desa. Dengan premis dasar ini, maka desa merupakan subjek utama dalam tata pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan rakyat dan premis dasar inilah dalam pandangan Fraksi Partai Gerindra sejatinya harus menjadi roh dan landasan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan termasuk dalam menyusun peraturan perundangan dalam desa.
Selanjutnya regulasi tentang desa dalam sebuah perundangan juga tidak sekedar regulasi yang hanya mengatur tata kelola pemerintahan desa semata. Regulasi tentang desa harus menjadi landasan dan instrumen penguatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Kesejahteraan masyarakat desa harus menjadi gool utama dari regulasi ini yang dicapai melalui tata kelola pemerintahan desa. Menjadi tidak berarti dan tidak urgen bila regulasi tentang desa hanya mengatur soal pemerintahan desa, apalagi hanya mengatur soal elit desa saja. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya dengan menempatkan desa sebagai entitas subjek dari tata pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan, maka konsekuensi logis regulasi tentang desa juga harus memposisikan masyarakat desa sebagai subjek dalam konteks ini pandangan Fraksi Gerindra regulasi tentang desa harus mendorong partisipasi masyarakat desa dalam tata kelola pemerintahan desa dan pembangunan kesejahteraan dengan membuka ruang prakarsa yang berpijak pada lokal aset yakni kelembagaan sosial yang sudah ada di desa.”
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, merespon pandangan Fraksi Gerindra pada Raker 15 Mei 2013, bahwa regulasi tentang desa harus mendorong partisipasi masyarakat desa dalam tata kelola Pemerintahan desa dan pembangunan kesejahteraannya dengan membuka ruang prakarsa yang berpijak pada lokal aset. Lokal aset yang dimaksud adalah kelembagaan sosial yang sudah ada di desa-desa. Di lain sisi DPD melihatnya dari tinjauan demokratisasi.
Urgensi lain disampaikan Sutoro Eko dalam RDPU 20 Juni 2012, bahwa penting untuk memperkuat kewargaan atau citizenship dalam kerangka republik dengan tetap memperhatikan keragaman dan kearifan komunitas lokal. Selama ini perubahan dari desa dilakukan dengan pendekatan korporatis. Desa hanya menjalankan urusan-urusan dari Negara, dan administrasi dari Negara. Kepala desa hanya jadi mandor atau jadi pesuruh pemerintah. Sutoro mencoba menawarkan model supaya desa itu menjadi semacam civil village atau desa sipil atau sebuah institusi publik yang lebih berorientasi pada kepentingan warga. Levelnya tidak cukup hanya lembaga kemasyarakatan, tetapi juga memberikan ruang bagi tumbuhnya organisasi-organisasi warga atau yang kita sebut dengan organisasi masyarakat sipil di ranah desa.
- Jenis Lembaga Kemasyarakatan
Harry Soeria selaku perwakilan dari Karang Taruna Nasional dalam RDPU 10 Oktober 2012 memaparkan bahwa Karang Taruna adalah satu-satunya organisasi yang jelas-jelas menyatakan berkedudukan di desa. Di dalam pedoman dasarnya secara ekplisit dinyatakan bahwa karang taruna adalah organisasi sosial kemasyarakat yang berkedudukan di desa. Dia juga menjelaskan tugas pokok karang taruna:
“....... Tugas pokok karang taruna yaitu secara bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota dan bersama-sama masyarakat lainnya menyelenggarakan pembinaan generasi muda dan kesejahteraan sosial. Fungsi karang taruna mencegah timbulnya masalah kesejahteraan sosial khususnya bagi generasi muda, menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi perlindungan sosial jaminan sosial pemberdayaan sosial dan pendidikan dan pelatihan setiap anggota masyarakat terutama generasi muda. Meningkatkan usaha ekonomi produktif, menumbuhkan memperkuat, dan memerlihara kesadaran dan tanggungjawab sosial generasi muda untuk berperan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial menumbuhkan memperkuat dan memelihara kearifan lokal dan tegaknya Negara Republik Indonesia.”
Dalam kesempatan yang sama, Abdul Azis Suseno (F-PKS) mengatakan:
“...Yang saya tegaskan adalah dari karang taruna tadi perlunya koordinasi antar lembaga yang ada di desa, antara lain mungkin antara kepala desa sebagai leader-nya, BPD sebagai fungsi kontrolnya, karang taruna juga harus dilibatkan di sana, lalu unsur-unsur tokoh masyarakat desa, sehingga nantinya di desa itu betul-betul secara demokratis dan bisa mempertanggungjawabkan semua program di desa yang ada.”
Sutoro Eko dalam forum yang sama pula menyatakan bahwa lembaga kemasyarakatan tidak cukup dengan karang taruna, dan PKK, sehingga perlu ada ruang bagi organisasi yang dibentuk sendiri oleh warga.
“ .... Lembaga kemasyarakatan, seperti karang taruna, PKK dan sebagainya, ini penting tapi tidak cukup, ini perlu ada ruang itu organisasi-organisasi yang dibentuk sendiri oleh warga atau oleh rakyat, itu kita harus ada di ruang RUU itu, misalnya, ada organisasi Petani, Difabel, Nelayan, Pedagang Kaki Lima, atau apapun yang mereka bisa representasi terlibat dalam pengambilan keputusan begitu ya, selama ini desa itu kan mengabaikan kelompok-kelompok ini, kalau musrenbang ya meskipun hanya pantes-pantesan tapi juga ada proses marginalisasi, organisasi perempuan juga perlu diwadahi begitu”, saya kira beberapa hal ini perlu untuk memperkuat kuasa rakyat dan kuasa desa pak, terimakasih pak”.
- Lembaga Kemasyarakatan untuk Ketahanan Sosial
Hermanto, SE, MM (Fraksi PKS) pada Rapat Audiensi 16 Mei 2012, di hadapan rombongan utusan pemerintah daerah dan pemerintahan desa dari Kabupaten Lombok Tengah, menyampaikan bahwa:
”DPR juga melihat seberapa jauh nilai-nilai kedesaan yang tumbuh berkembang yang dihormati oleh warga desa sebagai suatu capital untuk membangun desa itu. Kita memiliki modal sosial yang bagus, maka Insya Allah permasalahan uang akan datang sendiri itu, misalnya dengan pengembangan desa wisata yang bagus yang akan mendatangkan uang”.
Prof. Dr. Sediono MP. Tjondronegoro (pakar dari IPB), dalam RDPU 13 Juni 2012, menyampaikan konsep “sodalis” yang dapat disamakan dengan modal sosial. Inti dari “sodalis” adalah ketetanggaan yaitu inti dari adat yang paling demokratis:
“....Tadi kebetulan juga bagaimana desa itu terdiri atas lingkungan-lingkungan yang kecil-kecil. Dan ini penemuan desa di Jepang, mereka sebut waktu itu, Tonarigomi. Itu yang melahirkan sebenarnya, RT dan RW. Dan kita juga terus-terang, kebetulan kami tesisnya di FISIP UI itu, mempelajari lingkungan mana yang paling kecil. Dan seorang antropolog barat dulu pernah menciptakan atau menemukan nama Sodalis. Sodalis itu kami teliti di Banyutowo dekat Kendal dan di Sukabumi, sekarang disebut social capital (modal sosial), dalam Bahasa Inggrisnya. Jadi itu sebenarnya kalau dilihat, apa itu Sodalis? Adalah ketetanggaan, berdekatan, kekeluargaan juga ada, usaha bersama juga ada, dan punya mushola bersama, dan sebagainya dan sebagainya. Jadi ketetanggaan itu adalah inti dari adat yang menurut kami itu paling demokratis. Karena diskusinya bebas, dan rembukan dan kompromi yang tercapai itu berdasarkan pertemuan dari segi Sodalis dalam satu desa. Inilah yang boleh dikatakan masih berlangsung. Kebetulan kami dengan Yayasan AKATIGA di Bandung turut meneliti bagaimana modal bisa diberikan kepada desa. Sekarang program itu namanya PNPM, pemberdayaan masyarakat. Dan itu yang aktif adalah lingkungan-lingkungan yang kecil itu yang saya sebut Sodalis. Dan lingkungan itulah yang tadi juga Pak Nurcholis sudah menyebut, yang menjadi dasar, boleh dikatakan, dari demokrasi desa”.
“...... Yang penting adalah membangun demokrasi berdasarkan adat yang ada di pedesaan. Dan tanah jangan dilupakan, berbanding dengan jumlah penduduk, kalau kita masih mau swasembada pangan di masa depan”.
- Lembaga Kemasyarakatan Untuk Partisipasi
Nursuhud, anggota DPR dari Fraksi PDIP pada Audiensi 16 Mei 2012 menyampaikan kepada peserta rapat, bahwa dirinya pernah menyampaikan kepada Mendagri ketika menanggapi pandangan fraksi-fraksi terhadap RUU Desa.
“... Kami sampaikan begini, hal-hal yang lain itu tidak terlalu rumit, tetapi yang rumit nyaris tidak pernah kita kerjakan adalah bagaimana merumuskan partisipasi masyarakat”.
“... Karena itu, partisipasi pemberdayaan rakyat bukan kesejahteraan rakyat karena kalau kesejahteraan itu aspeknya hanya ekonomis, kalau pemberdayaan itu aspeknya kultural, juga aspek politis. Itu artinya pemberdayaan harus mencakup banyak hal”.
- Lembaga Kemasyarakatan Desa untuk Menggerakkan Ekonomi Bersama
Dr. Dina Ariyanti (Pakar dari LIPI) dalam RDPU 13 Juni 2012 menyampaikan pengorganisasian warga (terutama petani) untuk menyelesaikan permasalahannya mencapai kesejahteraan, melalui organisasi Kibbutz. Kibbutz adalah komunitas demokratis yang bersifat sukarela.[6]
“.... Dan yang juga penting adalah bagaimana proses mereka mengintegrasi antara berbagai macam latar belakang ras yang ada. Jadi disetiap keyboots [kibbutz, ed] ini ada Arab, ada Jerman dan sebagainya. Jadi mereka ada proses yang secara continue untuk melakukan integrasi. Ini yang menjadi satu keseluruhan sistem di keyboots [kibbutz, ed], untuk menjadikan komunitas itu bisa mencapai kesejahteraan. Jadi tidak hanya berbicara soal pendapatan yang naik, bagaimana meningkatkan pendapatan, tapi juga bagaimana aspek pendidikan dasar, kesehatan, juga diurus oleh komunitas ini. Ini yang terjadi di Israel.
Di Brazil, lebih banyak intervensi pemerintah. Karena di Brazil tidak ada bentuk komunitas seperti di Israel, tapi mereka hanya ada istilah rural, daerah pedesaan, pertanian. Tapi tidak ada organisasi-organisasi yang namanya desa di Brazil. Tapi yang membuat mereka bisa menyelesaikan permasalahannya adalah sekali lagi, pengorganisasian. Pengorganisasian dari petani itu. Bagaimana mengorganisasi dari tingkatan produksi kemudian memasarkan bersama, adanya badan usaha-badan usaha yang dilakukan untuk menjawab permasalahan dari para petani. Dan ada kelompok lain yang kalau kita bicara soal desa, kita permasalahan desa, kesejahteraan, kita juga tidak lepas dari permasalahan tanah. Di Brazil, juga ada Gerakan MST, kelompok petani yang tidak punya tanah. Nah ini permasalahan lain. Tetapi satu yang menyamakan mereka adalah, pengorganisasian. Bagaimana memanage komunitas bersama, karena untuk kepentingan bersama. Ini yang sama diantara keduanya. Bagaimana mengelola, menduduki tanah yang tidak tergarap, dan kemudian mengelolanya secara bersama dan memasarkannya secara bersama”.
Sebelum disepakati menjadi rumusan pasal 94 seperti di atas, sempat terjadi perubahan redaksi hasil tim perumus, seperti dalam tabel berikut.
RUU Inisiatif Pemerintah | RUU Tim Perumus (3 Oktober 2013) |
Pasal 77 | Pasal 101 |
(1) Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan dengan peraturan desa. | (1) Desa dan Desa Adat mendayagunakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam rangka membantu menjalankan fungsi-fungsi pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. |
(2) Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat sebagai mitra pemerintah desa dalam rangka pelayanan masyarakat, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. | (2) Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat dan sebagai mitra pemerintah Desa/Desa Adat. |
(3) Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan pemerintah desa bersifat konsultatif. | |
(4) Anggaran untuk kegiatan lembaga kemasyarakatan bersumber dari iuran swadaya masyarakat, APB Desa, APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. | |
(5) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga non pemerintah wajib memberdayakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di desa. | (3) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga non pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa/Desa Adat. |
Pasal 78 | Pasal 102 |
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 diatur dengan peraturan pemerintah. | (1) Lembaga Kemasyarakatan mempunyai tugas melakukan upaya pemberdayaan masyarakat, ikut serta dalam perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan, dan peningkatan pelayanan masyarakat. (2) Lembaga Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti, RT, RW, PKK, LPM atau sebutan lain Karang Taruna, dan sebagainya. |
Tanggapan
Pentingnya pengelolaan kembali modal sosial, karena secara historis masyarakat lokal di Indonesia telah memiliki kearifan lokal yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan, terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk. Bentuknya antara lain berupa: beberapa aturan hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya. Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan alam dan Tuhan.[7]
- Bias Pemerintahan Desa Dalam Pembentukan (Pengakuan) Lembaga Kemasyarakatan.
Sebagai mana disebutkan dalam ayat (3) pasal 94 “Lembaga Kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.” Mengikuti pembahasan DPR, terutama tentang Jenis Lembaga Kemasyarakatan di atas bahwa di desa tidak hanya ada Karang Taruna, PKK, Posyandu, namun juga organisasi-organisasi yang dibentuk sendiri oleh warga atau oleh rakyat seperti organisasi petani, difabel, nelayan, pedagang kaki lima, yang bisa terlibat dalam pengambilan keputusan.
Faktanya sudah ada 10.958 BKM/LKM[8] (Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat) yang merupakan bentukan PNPM. Ada pula organisasi rakyat, gerakan perempuan peduli desa, kader penggerak masyarakat desa, forum kawasan, yang merupakan hasil program ACCES terutama di wilayah Indonesia Timur.[9] Tahun 2000-an Ford Foundation mengenalkan istilah forum warga. Demikian pula community center (CC) yang mulai diperkenalkan PATTIRO sejak 2007. Sejumlah kalangan seperti YAPPIKA[10] menyebut dengan istilah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Kalangan lain menyebut dengan Organisasi Berbasis Masyarakat (Community Based Organization), Kelompok Swasdaya Masyarakat (KSM), dan lain lain. Berbagai jenis lembaga kemasyarakatan tersebut tidak selalu melaksanakan pembangunan dan meningkatkan pelayanan masyarakat Desa yang diprogramkan oleh pemerintah desa.
- Kebiasaan Menerbitkan Kebijakan Yang Membatasi Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan.
Undang-Undang Desa ini tidak secara eksplisit mengatur tata cara pembentukan dan pengakuan lembaga kemasyarakatan desa. Pengalaman sebelumnya, pada pelaksananaan UU No. 32 tahun 2004, pengaturan Lembaga Kemasyarakatan diatur melalui rute penyusunan peraturan menteri, peraturan daerah, dan baru penerbitan peraturan desa untuk pembentukan lembaga kemasyarakatan. Perlu identifikasi kebiasaan dan kebijakan pemerintah daerah agar tidak membatasi pembentukan lembaga kemasyarakatan.
- Belum ada batasan tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa.
Lembaga kemasyarakatan belum memiliki batasan atas wilayah kedudukan, maupun batasan aktifitas. Di desa, terdapat organisisi yang berafiliasi dengan level pemerintahan di atasnya dan ada pula organisasi yang berdomisili di desa namun tidak melakukan aktivitasnya di tingkat desa. Misalnya: Pengurus Anak Cabang Nahdlatul Ulama dengan badan otonominya pada tingkat desa, atau Pimpinan Ranting Muhammadiyah tingkat desa. Demikian juga terdapat LSM yang berdomisili di desa namun bekerja di tingkat kabupaten/kota. Hal ini penting diperjelas karena berkaitan dengan hak untuk terlibat/berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di desa, serta hak melakukan pengawasan kepada penyelenggaraan pemerintahan desa.
Situasi terakhir yang berkaitan dengan lembaga sosial kemasyarakatan dapat dilihat dari berbagai sumber, sebagai berikut:
- Lembaga Sosial Kemasyarakatan Berperan Sebagai Bridging dan Linking.
Modal sosial ini juga bukan hanya berarti kecenderungan untuk mempertahankan hubungan sosial (kerjasama dan kepercayaan) yang dibangun berdasarkan kesamaan identitas yang homogen (ikatan keagamaan, kekekerabatan) dan kemudian menjadi ekslusif. Modal sosial yang ada juga perlu dikembangkan agar terbuka dengan komunitas heterogen lainnya, sehingga tercipta kerukunan dan perdamaian. Pada gilirannya, modal sosial yang dimiliki masyarakat perlu dijaringkan dengan modal sosial pada komunitas lokal lainnya yang lebih luas dengan dunia luar, sehingga mampu membangun kerjasama yang kokoh dengan Desa lainnya baik dalam penguatan kelembagaan sosial itu sendiri maupun pembangunan ekonomi, misalnya BUM Desa.[11]
- Lembaga Sosial Untuk Spirit Membangun Desa.
Jika mempelajari pembaharuan desa di Gerakan Saemaul Undong di Korea, peran penting lembaga kemasyarakatan desa adalah memompa spirit warga untuk membangun desa. Orientasi yang dibangun adalah menjadikan kehidupan yang lebih baik dan melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Penanaman spirit itu disebarluaskan melalui pelatihan yang sangat masif, baik oleh pemimpin pemerintahan desa maupun pemimpin lembaga kemasyarakatan. Spirit yang ditekankan dalam Gerakan Saemaul Undong adalah bekerja rajin, kepercayaan dan kerjasama[12].
- Community Center Sebagai Lembaga Kemasyarakatan.
Sutoro Eko mengkategorisasikan ada empat jenis lembaga kemasyarakatan, yaitu berdasarkan kerabat/keagamaan (parochial institution); institusi asli (indigenous institution); institusi bentukan negara (corporatist institution); dan institusi berbasiskan masyarakat sipil (civil institution).[13] Community Center yang sekarang ini ditemukan di banyak desa, umumnya difasilitasi oleh program-program LSM. Community center ini pada beberapa desa dapat berperan sebagai pengawas pemerintahan, sehingga sering terjadi hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah desa dan community center, karena peran LSM sebagai pengawas pemerintahan desa ini.
Dalam penguatan partisipasi, transparansi, dan efektifitas pemerintahan desa, community center ini dapat dikuatkan lagi menjadi lembaga kemasyarakatan yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan Desa yang akuntabel, melindungi dan mensejahterakan masyarakat.
- Peta Jalan (roadmap) Desa Mandiri dan Peran Lembaga Kemasyarakatan.
Dalam rangka pencapaian Desa mandiri, banyak pelaku dan stakeholders termasuk lembaga kemasyarakatan yang terlibat. Perubahan Desa menuju Desa mandiri bukan serta merta dampak dari pemerintahan Desa, melainkan sinergi antar pelaku dan stekeholders. Karena itu perlu adanya peta jalan (roadmap) menuju desa mandiri. Adanya peta jalan ini juga penting bagi kejelasan peran dan spirit yang menggerakkan partisipasi masyakat melalui lembaga kemasyarakatan.
2. Lembaga Adat Desa
Pasal 95 |
(1) Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa. (2) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa. (3) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
- Kekhawatiran Pengaturan Desa Akan Merusak Lembaga Adat
- Penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 mengakui desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya, mempunyai susunan asli dan dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
- Pasal 18 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
- Pasal 1 (12) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menetapkan bahwa desa yang disebut dengan nama lain berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Dalam Pasal 200-216 Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, dan Permendagri No. 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan, diatur secara rinci mengenai desa tersebut, mulai dari lembaga yang harus ada, pimpinan serta cara memilihnya, kewenangannya dan penggunaan asas trias politika yang tidak dikenal masyarakat desa. Pengaturan itu tidak sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadat setempat, sehingga terjadi konflik antar peraturan tentang desa tersebut.
- Bahwa dengan dilaksanakannya Peraturan perundang-undangan mengenai Desa tersebut di Sumatera Barat melalui Perda Sumbar No. 2 tahun 2007, dan Perda-Perda kabupaten se-Sumatera Barat, dengan prinsip Trias Politika, berupa pemisahan antara nagari adat dengan nagari pemerintahan, telah terjadi konflik horizontal antara pimpinan nagari adat dengan nagari pemerintahan. Terutama mengenai penguasaan, pengelolaan, dan penempatan aset dan pendapatan nagari.
- Bahwa berdasarkan alasan diatas, kami masyarakat Minangkabau, menolak pembentukan undang-undang tentang Desa, juga mohon pencabutan PP No. 72 Tahun 2005.
- Apabila Rancangan Undang-undang tentang Desa dibahas juga antara DPR dengan Presiden, kami mengusulkan kembali agar namanya diganti menjadi Undang-undang Pemerintahan Terendah, atau Pemerintahan Terdepan.
- Judul Bab XI Undang-undang No. 4 Tahun 2004 diganti dengan Pemerintahan Terendah atau Pemerintahan Terdepan.
- Nagari di Minangkabau atau desa di Jawa adalah Daerah istimewa.
- Nagari di Minangkabau berbasis adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru.
- Nagari adat dan pimpinannya adalah pelaksanaan pemerintahan Republik Indonesia terendah atau terdepan di Provinsi Sumatera Barat.
- Hukum adat Minangkabau dinyatakan sebagai hukum khusus.
- Pemerintahan nagari dilaksanakan berdasarkan hukum adat, di masing-masing nagari atau adat salika nagari, baik mengenai lembaga, personalia maupun cara pemilihan dan kewenangannya tanpa diatur secara rinci oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya termasuk Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota.
- Menuju Titik Kompromi
- Pengaturan Lembaga Adat
- Pengadilan Desa Tidak Disetujui
- Satuan-Satuan Budaya Yang Ada Harus Segera Memilih.
- Siapa Penentu Arah Tranformasi Budaya Di Desa?
- Situasi Terakhir
3. Ketentuan Khusus Desa Adat
4. Penutup
Secara historis, sejak dulu desa di seluruh Indonesia merupakan pusat penghidupan masyarakat setempat yang memiliki otonomi dalam mengelola tata kuasa dan tata kelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi. Setiap Desa memiliki lembaga-lembaga lokal yang tumbuh dari masyarakat. Di era reformasi, pengaturan kelembagaan masyarakat tidak lagi bersifat seragam, meski tetap membuat standar seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) dan PKK. Lembaga kemasyarakatan di desa berfungsi sebagai wadah organisasi kepentingan masyarakat setempat, termasuk untuk kepentingan ketahanan sosial (social security) masyarakat, dan menyokong daya tahan ekonomi (economic survival) warga.
Pembahasan tentang peraturan desa adat dalam RUU Desa tidak masuk dalam RUU yang diusulkan oleh pemerintah. Namun dalam rapat Timus rumusan ini masuk dalam pembahasan. Penetapan desa adat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sistem pemerintahan dan struktur lembaga pemerintahan desa adat, diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat desa adat sesuai dengan kebutuhan praktik setempat dengan otonominya untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan tradisi hukum adatnya masing-masing.