Klaster 8: Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga Desa Adat dan Ketentuan Kekhususan Desa Adat

    Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk masyarakat dengan prinsip-prinsip kesukarelaan, kemandirian dan keragaman. Karakteristiknya terdiri dari lembaga kemasyarakatan yang berbasis: kewilayahan, keagamaan, profesi, kebudayaan (termasuk adat istiadat), kepemudaan, gender, dan interest group/kepentingan[1].   Sementara Lembaga adat menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa[2].  Lembaga kemasyarakatan dan Lembaga Adat erat kaitannya dengan modal sosial, untuk terciptanya tata kelola desa demokratis, transparan, partisipatif dan efektif.  Modal sosial yang kuat juga menjadi prasyarat bagi tercapainya Desa mandiri.

    Modal sosial diartikan sebagai norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada di dalam, dan mengatur pola perilaku warganya, juga unsur kepercayaan (trust) dan jaingan (networking) antara warga masyarakat ataupun kelompok masyarakat.  Norma dan aturan yang ada juga mengatur perilaku individu baik dalam perilaku ke dalam (internal kelompok) maupun perilaku keluar (ekseternal, hubungan dengan kelompok masyarakat yang lain).[3]

    Pada bagian ini ingin akan dibahas lembaga kemasyarakatan, lembaga desa adat dan kekhususan desa adat, dengan menjawab permasalahan berikut ini:[4]

    • Secara fundamental, bagaimana mensinergikan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa sebagai suatu kesatuan utuh untuk mempercepat pembangunan Desa?
    • Secara institusional, bagaimana memperkuat peran lembaga-lembaga yang ada di Desa (institutional building) dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat? Bagaimana mensinergikan peran lembaga-lembaga bentukan dan lembaga-lembaga asli yang ada di Desa?
    • Bagaimana posisi dan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan Desa?
    • Bagaimana pula memperkuat partisipasi (kebebasan bersuara/voice, akses dan kontrol) kelompok-kelompok marginal (perempuan, kaum miskin, petani, dan lain-lain) dalam proses politik dan perencanaan pembangunan desa?

    Daftar Isi :

    1. Lingkup Lembaga Kemasyarakatan Desa
    2. Lembaga Adat Desa
    3. Ketentuan Khusus Desa Adat
    4. Penutup
    Catatan Kaki

    1. Lingkup Lembaga Kemasyarakatan Desa

    Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang modern diperkenalkan kepada masyarakat Desa sejak UU No. 5/1979  dengan nama yang seragam dan korporatis di seluruh Desa seperti: Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Dasawisma, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).  Padahal jauh sebelumnya, setiap desa memiliki lembaga-lembaga lokal yang tumbuh dari masyarakat.  Di era reformasi, pengaturan kelembagaan masyarakat tidak lagi bersifat seragam, meski tetap membuat standar seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) dan PKK.

    Berbagai lembaga kemasyarakatan di desa berfungsi sebagai wadah organisasi kepentingan masyarakat setempat, termasuk untuk kepentingan ketahanan sosial (social security) masyarakat, dan menyokong daya tahan ekonomi warga (economic survival).   Di luar Jawa, umumnya RT dan RW sudah dihilangkan, namun di Jawa, RT tetap menjadi lembaga kemasyarakatan yang menonjol, dengan tetap menjalankan fungsi kemasyarakatan dan juga fungsi administrasi pemerintahan. Rukun Tetangga (RT) juga menjadi benteng keamanan dan ketertiban maupun tradisi sistem keamanan lingkungan, untuk menghimpun berbagai bentuk dana dari masyarakat dalam rangka kepentingan simpanan dana sosial maupun untuk gotong-royong.[5]

    Rumusan pengaturan sebagaimana dimaksud oleh UU Desa tertuang pada Bab XII: Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa.

    Pasal 94
    (1)  Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. (2)  Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa. (3)  Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa. (4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.
    Penjelasan
    Cukup Jelas

     

    Pembahasan di DPR

    Dalam pembahasan Pasal 94 di DPR memang tidak ditemui polemik berkepanjangan. Lembaga Kemasyarakat Desa sebagai usulan pemerintah sudah tertuang dalam Naskah Akademik. Namun sejumlah pakar memberikan catatan khusus pada bagian ini, baik dalam rangka menjaga ketenteraman, perdamaian, maupun menggerakkan dan mengembangkan kemandirian ekonomi desa dalam penanggulangan dan pengentasan kemiskinan.

    • Urgensi Lembaga Kemasyarakatan

    Pentingnya lembaga kemasyarakatan disampaikan oleh Mendagri, Gamawan Fauzi dalam Keterangan Pemerintahan Atas RUU Desa pada 4 April 2012.  Urgensi Lembaga Kemasyarakatan ini melekat pada argumen pengusulan UU Desa itu sendiri.

    “ ..... Dalam proses penyusunan rancangan Undang-Undang tentang Desa, kami telah berusaha mengakomodasi masukan-masukan yang disampaikan berbagai pihak berdasarkan permasalahan dan kebutuhan yang berkembang di desa, ... diharapkan Undang Undang ini mampu mewadahi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan pemerintahan sesuai dengan perkembangan dan dapat menguatkan identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dengan semangat modernisasi, globalisasi dan demokratisasi yang terus berkembang....”

    Mendagri juga menjelaskan argumen historis bahwa sejak dahulu desa-desa yang beragam di seluruh Indonesia merupakan pusat penghidupan masyarakat setempat yang memiliki otonomi dalam mengelola tata kuasa dan tata kelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi.  Selain itu masyarakat lokal atau desa memiliki kearifan lokal yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk.  Sebagian dari kearifan lokal tersebut ada yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya alam  dan hubungan sosial.  Pada prinsipnya aturan lokal tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan hubungan antar manusia, dan antara manusia dengan alam dan Tuhan.

    Alasan filosofis-konseptual juga disampaikan Mendagri adalah kebutuhan ke depan atas desa sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Menteri Dalam Negeri menyampaikan argumentasi secara sosiologis, dengan menyatakan :

    “.... Pengaturan tentang desa ke depan dimaksudkan untuk menjawab permasalahan sosial, budaya, ekonomi dan politik desa, memulihkan basis penghidupan masyarakat desa dan memperkuat desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang kuat dan mandiri.  Selain itu pengaturan tentang desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan desa merespon proses modernisasi, globalisasi dan demokratisasi yang terus berkembang.”

    Pada Raker tanggal 15 Mei 2012, Gamawan Fauzi selaku Mendagri menegaskan kembali bahwa “Demokratisasi memiliki makna bahwa kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Permusyawaratan Desa dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah desa”.

    Pada Dalam Raker sebelumnya tangal 4 April 2012 DPD melalui juru bicara Anang Prihantoro menyatakan:

    “Desa tidak hanya memiliki lembaga kemasyarakatan korporatis (bentukan negara), tetapi juga memiliki organisasi masyarakat sipil.”

    Danang juga mengkritik tentang asas keragaman:

    “Keragaman desa tentu bukan hanya sekadar keragaman istilah (nomenklatur), melainkan keragaman dalam hal bentuk desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa. DPD berpandangan bahwa cara pandang itu sebagai pendekatan pengecualian (eksepsional) untuk memaknai dan mengatur keragaman. RUU Desa ini sebenarnya mengatur desa secara generik atau default village, sementara yang berbeda sebagai wujud keragaman tidak diatur secara optional melainkan dengan cara eksepsional. Ini pun masih diamanatkan dengan pola blank check ke dalam peraturan pemerintah.”

    Terhadap hal ini Menteri memberikan tanggpan yang disampikan pada Raker 15 Mei 2015, bahwa demokratisasi memiliki makna bahwa kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui BPD dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah desa.

    Perihal lembaga kemasyarakatan desa, juru bica Fraksi P GERINDRA,  Hj. Mestariyani Habie, S.H, pada Raker 4 April 2012 menyatakan:

    “... Dengan logika fakta sejarah, sejatinya desa harus menjadi landasan bagian penting dari tata pengaturan pemerintahan di atasnya. Desa yang memiliki tata pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat seharusnya juga menjadi ujung tombak dalam setiap penyelenggaran urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

    Premis dasar yang seharusnya dikembangkan dalam tata pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan adalah desa maju dan sejahtera, otomatis negara juga maju dan sejahtera. Titik pangkal dari maju dan sejahteranya suatu bangsa adalah desa. Dengan premis dasar ini, maka desa merupakan subjek utama dalam tata pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan rakyat dan premis dasar inilah dalam pandangan Fraksi Partai Gerindra sejatinya harus menjadi roh dan landasan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan termasuk dalam menyusun peraturan perundangan dalam desa.

    Selanjutnya regulasi tentang desa dalam sebuah perundangan juga tidak sekedar regulasi yang hanya mengatur tata kelola pemerintahan desa semata. Regulasi tentang desa harus menjadi landasan dan instrumen penguatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Kesejahteraan masyarakat desa harus menjadi gool utama dari regulasi ini yang dicapai melalui tata kelola pemerintahan desa. Menjadi tidak berarti dan tidak urgen bila regulasi tentang desa hanya mengatur soal pemerintahan desa, apalagi hanya mengatur soal elit desa saja. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya dengan menempatkan desa sebagai entitas subjek dari tata pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan, maka konsekuensi logis regulasi tentang desa juga harus memposisikan masyarakat desa sebagai subjek dalam konteks ini pandangan Fraksi Gerindra regulasi tentang desa harus mendorong partisipasi masyarakat desa dalam tata kelola pemerintahan desa dan pembangunan kesejahteraan dengan membuka ruang prakarsa yang berpijak pada lokal aset yakni kelembagaan sosial yang sudah ada di desa.”

    Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, merespon pandangan Fraksi Gerindra pada Raker 15 Mei 2013, bahwa regulasi tentang desa harus mendorong partisipasi masyarakat desa dalam tata kelola Pemerintahan desa dan pembangunan kesejahteraannya dengan membuka ruang prakarsa yang berpijak pada lokal aset. Lokal aset yang dimaksud adalah kelembagaan sosial yang sudah ada di desa-desa.  Di lain sisi DPD melihatnya dari tinjauan demokratisasi.

    Urgensi lain disampaikan Sutoro Eko dalam RDPU 20 Juni 2012, bahwa penting untuk memperkuat kewargaan atau citizenship dalam kerangka republik dengan tetap memperhatikan keragaman dan kearifan komunitas lokal. Selama ini perubahan dari desa dilakukan dengan pendekatan korporatis. Desa hanya menjalankan urusan-urusan dari Negara, dan administrasi dari Negara. Kepala desa hanya jadi mandor atau jadi pesuruh pemerintah. Sutoro mencoba menawarkan model supaya desa itu menjadi semacam civil village atau desa sipil atau sebuah institusi publik yang lebih berorientasi pada kepentingan warga.  Levelnya tidak cukup hanya lembaga kemasyarakatan, tetapi juga memberikan ruang bagi tumbuhnya organisasi-organisasi warga atau yang kita sebut dengan organisasi masyarakat sipil di ranah desa.

    • Jenis Lembaga Kemasyarakatan

    Harry Soeria selaku perwakilan dari Karang Taruna Nasional dalam RDPU 10 Oktober 2012 memaparkan bahwa Karang Taruna adalah satu-satunya organisasi yang jelas-jelas menyatakan berkedudukan di desa. Di dalam pedoman dasarnya secara ekplisit dinyatakan bahwa karang taruna adalah organisasi sosial kemasyarakat yang berkedudukan di desa.  Dia juga menjelaskan tugas pokok karang taruna:

    “....... Tugas pokok karang taruna yaitu secara bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota dan bersama-sama masyarakat lainnya menyelenggarakan pembinaan generasi muda dan kesejahteraan sosial. Fungsi karang taruna mencegah timbulnya masalah kesejahteraan sosial khususnya bagi generasi muda, menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi perlindungan sosial jaminan sosial pemberdayaan sosial dan pendidikan dan pelatihan setiap anggota masyarakat terutama generasi muda. Meningkatkan usaha ekonomi produktif, menumbuhkan memperkuat, dan memerlihara kesadaran dan tanggungjawab sosial generasi muda untuk berperan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial menumbuhkan memperkuat dan memelihara kearifan lokal dan tegaknya Negara Republik Indonesia.”

     Dalam kesempatan yang sama, Abdul Azis Suseno (F-PKS) mengatakan:

     “...Yang saya tegaskan adalah dari karang taruna tadi perlunya koordinasi antar lembaga yang ada di desa, antara lain mungkin antara kepala desa sebagai leader­-nya, BPD sebagai fungsi kontrolnya, karang taruna juga harus dilibatkan di sana, lalu unsur-unsur tokoh masyarakat desa, sehingga nantinya di desa itu betul-betul secara demokratis dan bisa mempertanggungjawabkan semua program di desa yang ada.”

    Sutoro Eko dalam forum yang sama pula menyatakan bahwa lembaga kemasyarakatan tidak cukup dengan karang taruna, dan PKK, sehingga perlu ada ruang bagi organisasi yang dibentuk sendiri oleh warga.

    “ .... Lembaga kemasyarakatan, seperti karang taruna, PKK dan sebagainya, ini penting tapi tidak cukup, ini perlu ada ruang itu organisasi-organisasi yang dibentuk sendiri oleh warga atau oleh rakyat, itu kita harus ada di ruang RUU itu, misalnya, ada organisasi Petani, Difabel, Nelayan, Pedagang Kaki Lima, atau apapun yang mereka bisa representasi terlibat dalam pengambilan keputusan begitu ya, selama ini desa itu kan mengabaikan kelompok-kelompok ini, kalau musrenbang ya meskipun hanya pantes-pantesan tapi juga ada proses marginalisasi, organisasi perempuan juga perlu diwadahi begitu”, saya kira beberapa hal ini perlu untuk memperkuat kuasa rakyat dan kuasa desa pak, terimakasih pak”.

    • Lembaga Kemasyarakatan untuk Ketahanan Sosial

    Hermanto, SE, MM (Fraksi PKS) pada Rapat Audiensi 16 Mei 2012, di hadapan  rombongan utusan pemerintah daerah dan pemerintahan desa dari Kabupaten Lombok Tengah, menyampaikan bahwa:

    ”DPR juga melihat seberapa jauh nilai-nilai kedesaan yang tumbuh berkembang yang dihormati oleh warga desa sebagai suatu capital untuk membangun desa itu.  Kita memiliki modal sosial yang bagus, maka Insya Allah permasalahan uang akan datang sendiri itu, misalnya dengan pengembangan desa wisata yang bagus yang akan mendatangkan uang”.

    Prof. Dr. Sediono MP. Tjondronegoro (pakar dari IPB), dalam RDPU 13 Juni 2012, menyampaikan konsep “sodalis” yang dapat disamakan dengan modal sosial.  Inti dari “sodalis” adalah ketetanggaan yaitu inti dari adat yang paling demokratis:

     “....Tadi kebetulan juga bagaimana desa itu terdiri atas lingkungan-lingkungan yang kecil-kecil. Dan ini penemuan desa di Jepang, mereka sebut waktu itu, Tonarigomi. Itu  yang melahirkan sebenarnya, RT dan RW. Dan kita juga terus-terang, kebetulan kami tesisnya di FISIP UI itu, mempelajari lingkungan mana yang paling kecil. Dan seorang antropolog barat dulu pernah menciptakan atau menemukan nama Sodalis. Sodalis itu kami teliti di Banyutowo dekat Kendal dan di Sukabumi, sekarang disebut social capital (modal sosial), dalam Bahasa Inggrisnya. Jadi itu sebenarnya kalau dilihat, apa itu Sodalis? Adalah ketetanggaan, berdekatan, kekeluargaan juga ada, usaha bersama juga ada, dan punya mushola bersama, dan sebagainya dan sebagainya. Jadi ketetanggaan itu adalah inti dari adat yang menurut kami itu paling demokratis. Karena diskusinya bebas, dan rembukan dan kompromi yang tercapai itu berdasarkan pertemuan dari segi Sodalis dalam satu desa. Inilah yang boleh dikatakan masih berlangsung. Kebetulan kami dengan Yayasan AKATIGA di Bandung turut meneliti bagaimana modal bisa diberikan kepada desa. Sekarang program itu namanya PNPM, pemberdayaan masyarakat. Dan itu yang aktif adalah lingkungan-lingkungan yang kecil itu yang saya sebut Sodalis. Dan lingkungan itulah yang tadi juga Pak Nurcholis sudah menyebut, yang menjadi dasar, boleh dikatakan, dari demokrasi desa”.

    “...... Yang penting adalah membangun demokrasi berdasarkan adat yang ada di pedesaan. Dan tanah jangan dilupakan, berbanding dengan  jumlah penduduk, kalau kita masih mau swasembada pangan di masa depan”.

    • Lembaga Kemasyarakatan Untuk Partisipasi

    Nursuhud, anggota DPR dari Fraksi PDIP pada Audiensi 16 Mei 2012 menyampaikan kepada peserta rapat, bahwa dirinya pernah menyampaikan kepada Mendagri ketika menanggapi pandangan fraksi-fraksi terhadap RUU Desa.

    “... Kami sampaikan begini, hal-hal yang lain itu tidak terlalu rumit, tetapi yang rumit nyaris tidak pernah kita kerjakan adalah bagaimana merumuskan partisipasi masyarakat”. 

    “... Karena itu, partisipasi pemberdayaan rakyat bukan kesejahteraan rakyat karena kalau kesejahteraan itu aspeknya hanya ekonomis, kalau pemberdayaan itu aspeknya kultural, juga aspek politis.  Itu artinya pemberdayaan harus mencakup banyak hal”.

    • Lembaga Kemasyarakatan Desa untuk Menggerakkan Ekonomi Bersama

    Dr. Dina Ariyanti (Pakar dari LIPI) dalam RDPU 13 Juni 2012 menyampaikan pengorganisasian warga (terutama petani) untuk menyelesaikan permasalahannya mencapai kesejahteraan, melalui organisasi Kibbutz.  Kibbutz adalah komunitas demokratis yang bersifat sukarela.[6]

    “.... Dan yang juga penting adalah bagaimana proses mereka mengintegrasi antara berbagai macam latar belakang ras yang ada. Jadi disetiap keyboots [kibbutz, ed] ini ada Arab, ada Jerman dan sebagainya. Jadi mereka ada proses yang secara continue untuk melakukan integrasi. Ini yang menjadi satu keseluruhan sistem di keyboots [kibbutz, ed], untuk menjadikan komunitas itu bisa mencapai kesejahteraan. Jadi tidak hanya berbicara soal pendapatan yang naik, bagaimana meningkatkan pendapatan, tapi juga bagaimana aspek pendidikan dasar, kesehatan, juga diurus oleh komunitas ini. Ini yang terjadi di Israel.

    Di Brazil, lebih banyak intervensi pemerintah. Karena di Brazil tidak ada bentuk komunitas seperti di Israel, tapi mereka hanya ada istilah rural, daerah pedesaan, pertanian. Tapi tidak ada organisasi-organisasi yang namanya desa di Brazil. Tapi yang membuat mereka bisa menyelesaikan permasalahannya adalah sekali lagi, pengorganisasian. Pengorganisasian dari petani itu. Bagaimana mengorganisasi dari tingkatan produksi kemudian memasarkan bersama, adanya badan usaha-badan usaha yang dilakukan untuk menjawab permasalahan dari para petani. Dan ada kelompok lain yang kalau kita bicara soal desa, kita permasalahan desa, kesejahteraan, kita juga tidak lepas dari permasalahan tanah. Di Brazil, juga ada Gerakan MST, kelompok petani yang tidak punya tanah. Nah ini permasalahan lain. Tetapi satu yang menyamakan mereka adalah, pengorganisasian. Bagaimana memanage komunitas bersama, karena untuk kepentingan bersama. Ini yang sama diantara keduanya. Bagaimana mengelola, menduduki tanah yang tidak tergarap, dan kemudian mengelolanya secara bersama dan memasarkannya secara bersama”.

    Sebelum disepakati menjadi rumusan pasal 94 seperti di atas, sempat terjadi perubahan redaksi hasil tim perumus, seperti dalam tabel berikut.

    RUU Inisiatif Pemerintah RUU Tim Perumus (3 Oktober 2013)
    Pasal 77 Pasal 101
    (1)  Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan dengan peraturan desa.   (1)  Desa dan Desa Adat mendayagunakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam rangka membantu menjalankan fungsi-fungsi pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.
    (2)  Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat  sebagai mitra pemerintah desa dalam rangka pelayanan masyarakat, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. (2)  Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat dan sebagai mitra pemerintah Desa/Desa Adat.  
    (3)  Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan pemerintah desa bersifat konsultatif.  
    (4)  Anggaran untuk  kegiatan  lembaga  kemasyarakatan    bersumber dari  iuran  swadaya masyarakat, APB Desa, APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.  
    (5)  Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari  pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga non pemerintah wajib  memberdayakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di desa.   (3)  Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga non pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa/Desa Adat.
    Pasal 78 Pasal 102
      Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 diatur dengan peraturan pemerintah.   (1)  Lembaga Kemasyarakatan mempunyai tugas melakukan upaya pemberdayaan masyarakat, ikut serta dalam perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan, dan peningkatan pelayanan masyarakat. (2)  Lembaga Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti, RT, RW, PKK, LPM atau sebutan lain Karang Taruna, dan sebagainya.

    Tanggapan

    Pentingnya pengelolaan kembali modal sosial, karena secara historis masyarakat lokal di Indonesia telah memiliki kearifan lokal yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan, terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk.  Bentuknya antara lain berupa: beberapa aturan hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya.  Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan alam dan Tuhan.[7]

    • Bias Pemerintahan Desa Dalam Pembentukan (Pengakuan) Lembaga Kemasyarakatan. 

    Sebagai mana disebutkan dalam ayat (3) pasal 94  “Lembaga Kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.”    Mengikuti pembahasan DPR, terutama tentang Jenis Lembaga Kemasyarakatan di atas bahwa di desa tidak hanya ada Karang Taruna, PKK, Posyandu, namun juga organisasi-organisasi yang dibentuk sendiri oleh warga atau oleh rakyat seperti organisasi petani, difabel, nelayan, pedagang kaki lima, yang bisa terlibat dalam pengambilan keputusan.

    Faktanya sudah ada  10.958 BKM/LKM[8] (Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat) yang merupakan bentukan PNPM.  Ada pula organisasi rakyat, gerakan perempuan peduli desa, kader penggerak masyarakat desa, forum kawasan, yang merupakan hasil program ACCES terutama di wilayah Indonesia Timur.[9]  Tahun 2000-an Ford Foundation mengenalkan istilah forum warga.  Demikian pula community center (CC) yang mulai diperkenalkan PATTIRO sejak 2007.  Sejumlah kalangan seperti YAPPIKA[10] menyebut dengan istilah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).  Kalangan lain menyebut dengan Organisasi Berbasis Masyarakat (Community Based Organization), Kelompok Swasdaya Masyarakat (KSM), dan lain lain. Berbagai jenis lembaga kemasyarakatan tersebut tidak selalu melaksanakan pembangunan dan meningkatkan pelayanan masyarakat Desa yang diprogramkan oleh pemerintah desa.

    • Kebiasaan Menerbitkan Kebijakan Yang Membatasi Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan. 

    Undang-Undang Desa ini tidak secara eksplisit mengatur tata cara pembentukan dan pengakuan lembaga kemasyarakatan desa.  Pengalaman sebelumnya, pada pelaksananaan UU  No. 32 tahun 2004, pengaturan Lembaga Kemasyarakatan diatur melalui rute penyusunan peraturan menteri, peraturan daerah, dan baru penerbitan peraturan desa untuk pembentukan lembaga kemasyarakatan.   Perlu identifikasi kebiasaan dan kebijakan pemerintah daerah agar tidak membatasi pembentukan lembaga kemasyarakatan.

    • Belum ada batasan tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa.

    Lembaga kemasyarakatan belum memiliki batasan atas wilayah kedudukan, maupun batasan aktifitas. Di desa, terdapat organisisi yang berafiliasi dengan level pemerintahan di atasnya dan ada pula organisasi yang berdomisili di desa namun tidak melakukan aktivitasnya di tingkat desa.  Misalnya: Pengurus Anak Cabang Nahdlatul Ulama dengan badan otonominya pada tingkat desa, atau Pimpinan Ranting Muhammadiyah tingkat desa.  Demikian juga terdapat LSM yang berdomisili di desa namun bekerja di tingkat kabupaten/kota. Hal ini penting diperjelas karena berkaitan dengan hak untuk terlibat/berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di desa, serta hak melakukan pengawasan kepada penyelenggaraan pemerintahan desa.

    Situasi terakhir yang berkaitan dengan lembaga sosial kemasyarakatan dapat dilihat dari berbagai sumber, sebagai berikut:

    • Lembaga Sosial Kemasyarakatan Berperan Sebagai Bridging dan Linking.

    Modal sosial ini juga bukan hanya berarti kecenderungan untuk mempertahankan hubungan sosial (kerjasama dan kepercayaan) yang dibangun berdasarkan kesamaan identitas yang homogen (ikatan keagamaan, kekekerabatan) dan kemudian menjadi ekslusif.  Modal sosial yang ada juga perlu dikembangkan agar terbuka dengan komunitas heterogen lainnya, sehingga tercipta kerukunan dan perdamaian.  Pada gilirannya, modal sosial yang dimiliki masyarakat perlu dijaringkan dengan modal sosial pada komunitas lokal lainnya yang lebih luas dengan dunia luar, sehingga mampu membangun kerjasama yang kokoh dengan Desa lainnya baik dalam penguatan kelembagaan sosial itu sendiri maupun pembangunan ekonomi, misalnya BUM Desa.[11]

    • Lembaga Sosial Untuk Spirit Membangun  Desa. 

    Jika mempelajari pembaharuan desa di Gerakan Saemaul Undong di Korea, peran penting lembaga kemasyarakatan desa adalah memompa spirit warga untuk membangun desa.  Orientasi yang dibangun adalah menjadikan kehidupan yang lebih baik dan melepaskan diri dari jerat kemiskinan.  Penanaman spirit itu disebarluaskan melalui pelatihan yang sangat masif, baik oleh pemimpin pemerintahan desa maupun pemimpin lembaga kemasyarakatan.  Spirit yang ditekankan dalam Gerakan Saemaul Undong adalah bekerja rajin, kepercayaan dan kerjasama[12].

    • Community Center Sebagai Lembaga Kemasyarakatan. 

    Sutoro Eko  mengkategorisasikan ada empat jenis lembaga kemasyarakatan, yaitu berdasarkan kerabat/keagamaan (parochial institution); institusi asli (indigenous institution); institusi bentukan negara (corporatist institution); dan institusi berbasiskan masyarakat sipil (civil institution).[13]  Community Center yang sekarang ini ditemukan di banyak desa, umumnya difasilitasi oleh program-program LSM.  Community center ini pada beberapa desa dapat berperan sebagai pengawas pemerintahan, sehingga sering terjadi hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah desa dan community center, karena peran LSM sebagai pengawas pemerintahan desa ini.

    Dalam penguatan partisipasi, transparansi, dan efektifitas pemerintahan desa, community center ini dapat dikuatkan lagi menjadi lembaga kemasyarakatan yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan Desa yang akuntabel, melindungi dan  mensejahterakan masyarakat.

    • Peta Jalan (roadmap) Desa Mandiri dan Peran Lembaga Kemasyarakatan. 

    Dalam rangka pencapaian Desa mandiri, banyak pelaku dan stakeholders termasuk lembaga kemasyarakatan yang terlibat.  Perubahan Desa menuju Desa mandiri bukan serta merta dampak dari pemerintahan Desa, melainkan sinergi antar pelaku dan stekeholders.  Karena itu perlu adanya peta jalan (roadmap) menuju desa mandiri. Adanya peta jalan ini juga penting bagi kejelasan peran dan spirit yang menggerakkan partisipasi masyakat melalui lembaga kemasyarakatan.

    2. Lembaga Adat Desa

    Pada bagian ini, UU Desa mengatur tentang Lembaga Adat Desa.  Keberadaan lembaga tersebut di desa adat menjadi bagian tersendiri dalam memberikan peran dan fungsinya dalam mengembangkan adat istiadat.  
    Pasal 95
    (1) Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa. (2) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa. (3) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas
      Pembahasan di DPR Dalam proses pembahasan di DPR, pasal 95  adalah pasal yang cukup mendapatkan sorotan tajam terutama dari kelompok masyarakat adat.  Persoalan lembaga adat ini dalam diskusinya dilawankan dengan pengaturan desa, dan kemudian berkelindan dengan konversi  dana desa dengan basis perhitungan satuan desa. Dari awal standing point Pemerintah dalam Raker Raker 15 Mei 2012 memastikan bahwa pengaturan lembaga adat diletakkan pada pemerintah daerah. “....Pemerintah daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat di wilayahnya sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat dan lembaga adat.  Kebijakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat ditetapkan dalam Peraturan Daerah.”
    • Kekhawatiran Pengaturan Desa Akan Merusak Lembaga Adat
    Sebelum membahas pengaturan lembaga adat, kita telusuri pemikirin-pemikiran yang berkembang dalam pembahasan Lembaga Adat.  Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), M. Sayuti dt. Rj Pangulu, berkali-kali menyampaikan kekesalannya dalam Audiensi dengan Pansus Desa pada 4 Juli 2012.  LKAAM pada awalnya menolak kehadiran UU Desa ini karena dapat merusak tatanan ada yang ada.  Namun juga memberikan opsi jika memang harus diteruskan pembahasan oleh DPR dengan beberapa tawaran. “.....Nagari di Minangkabau sebelumnya sudah istimewa Pak Ketua, dan otonomi yang disebut oleh Tan Malaka dulu, dalam bukunya sebagai Negara kecil. Apa karakternya? Pertama adalah sudah punya pemerintahan. Jadi sebelum ada pemerintah ini, sudah ada pemerintahan yaitu ninik-mamak. Jadi kami-kami yang datang ini, itu yang menjadi pemimpin pemerintahan. Yang kedua, sudah punya wilayah, yaitu ulayat. Ulayat kami ada di Minangkabau itu yang dijual tidak dimakan beli, digadai tidak dimakan sando. Sekarang sudah banyak diperjualbelikan oleh penguasa dan pengusaha, Pak Ketua. Ini yang kekuatiran kami. Kemudian yang ketiga, sudah punya rakyat, yaitu anak kemenakan. Kemudian sudah punya wilayah bagian, yaitu suku dan kaum. Kemudian sudah punya hukum, yaitu hukum dan undang adat Minangkabau. Yang keenam, sudah punya polisi, sudah punya jaksa, sudah punya hakim, sudah punya pengadilan adat, itu menurut Tan Malaka dan Moh. Hatta dalam bukunya.”   Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau akhirnya menyampaikan sikapnya kepada DPR agar: “... Melakukan legislatif review terhadap Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI tentang Desa, Pasal 200-216 dan mencabut semua peraturan pelaksanaannya. Dengan alasan dan usul perubahan sebagai berikut:
    1. Penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 mengakui desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya, mempunyai susunan asli dan dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
    2. Pasal 18 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
    3. Pasal 1 (12) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menetapkan bahwa desa yang disebut dengan nama lain berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    4. Dalam Pasal 200-216 Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, dan Permendagri No. 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan, diatur secara rinci mengenai desa tersebut, mulai dari lembaga yang harus ada, pimpinan serta cara memilihnya, kewenangannya dan penggunaan asas trias politika yang tidak dikenal masyarakat desa. Pengaturan itu tidak sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadat setempat, sehingga terjadi konflik antar peraturan tentang desa tersebut.
    5. Bahwa dengan dilaksanakannya Peraturan perundang-undangan mengenai Desa tersebut di Sumatera Barat melalui Perda Sumbar No. 2 tahun 2007, dan Perda-Perda kabupaten se-Sumatera Barat, dengan prinsip Trias Politika, berupa pemisahan antara nagari adat dengan nagari pemerintahan, telah terjadi konflik horizontal antara pimpinan nagari adat dengan nagari pemerintahan. Terutama mengenai penguasaan, pengelolaan, dan penempatan aset dan pendapatan nagari.
    6. Bahwa berdasarkan alasan diatas, kami masyarakat Minangkabau, menolak pembentukan undang-undang tentang Desa, juga mohon pencabutan PP No. 72 Tahun 2005.
    7. Apabila Rancangan Undang-undang tentang Desa dibahas juga antara DPR dengan Presiden, kami mengusulkan kembali agar namanya diganti menjadi Undang-undang Pemerintahan Terendah, atau Pemerintahan Terdepan.
      Kami, masyarakat Minangkabau mengusulkan penyederhanaan Bab XI Undang-undang No. 4 Tahun 2004 atau penyederhanaan RUU Desa menjadi beberapa pasal saja, dengan menerima asas hukum sebagai berikut:
    1. Judul Bab XI Undang-undang No. 4 Tahun 2004 diganti dengan Pemerintahan Terendah atau Pemerintahan Terdepan.
    2. Nagari di Minangkabau atau desa di Jawa adalah Daerah istimewa.
    3. Nagari di Minangkabau berbasis adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru.
    4. Nagari adat dan pimpinannya adalah pelaksanaan pemerintahan Republik Indonesia terendah atau terdepan di Provinsi Sumatera Barat.
    5. Hukum adat Minangkabau dinyatakan sebagai hukum khusus.
    6. Pemerintahan nagari dilaksanakan berdasarkan hukum adat, di masing-masing nagari atau adat salika nagari, baik mengenai lembaga, personalia maupun cara pemilihan dan kewenangannya tanpa diatur secara rinci oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya termasuk Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota.
      Anggota Komisi III Fraksi Partai Golkar, Nudirman Munir[14]  memberikan tanggapan yang mencoba mengkonversi nagari dan jorong yang ada di bawahnya dengan kue pembangunan (dana desa yang mungkin akan diperolehnya). “... Saya kembali ke nusantara lagi, tadi saya di nagari sebagai penghulu. Dalam hal ini memang ada pepatah Minang, padi serumpun dibagi duo, adek salingga nagari. Maksudnya itu, nagari itu tidak dipertaruhkan karena uang, karena ada anggaran. Nagari adalah nagari. Dengan segala keistimewaannya. Di jorong, tidak ada Kerapatan Adat Jorong, yang ada Kerapatan Adat Nagari. Oleh karena itu, tadi disampaikan oleh Ketua LKAAM, Pak Datuk, bahwa  yang kita minta diistimewakan itu salah satunya adalah bahwa nagari itu yang membawahi beberapa jorong, di dalam kue pembangunan yang akan diberikan, hendaknya juga mempertimbangkan untuk tidak persis sama dengan desa. Artinya nagari tetap merupakan nagari yang dianggap sebagai desa, dari sudut formalitas kita berbangsa dan bernegara. Tetapi dari sudut kepentingan adat, kepentingan komunitas masyarakat hukum adat di Minangkabau, maka nagari yang dikedepankan. Dan jumlah bantuan tidak bisa sama dengan yang diberikan kepada desa. Dengan pertimbangan bahwa nagari dulu hanya sekedar tumbal saja. Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 5 Tahun 1974, adalah pembusukan terhadap nagari di Minangkabau. Nah ini jangan sampai terjadi lagi. Kalau kita arahkan kepada jorong, maka yang terjadi adalah pembusukan terhadap nagari. Sehingga peran ninik-mamak, peran alim-ulama cerdik pandai, menjadi terdegradasi. Karena itu, peran ini jangan sampai dilupakan, karena ini adalah sangat penting. Revitalisasi ninik-mamak adalah merupakan hal yang mutlak.”   Ketua LKAAM memberikan respon keras atas pembicaraan yang disampaikan tersebut. “.... Bahkan kami diancam, kalau sekiranya nanti desa itu statusnya dapat, misalnya kita kue-kue ini, di desa di Jawa dapat sekian, 1 desa Rp 1 miliar, di desa, Jawa, begitu banyak, Aceh dan Lampung, atau Pekanbaru, Riau. Lalu Sumatera Barat hanya 543. Terus-terang Pak, seperti yang disampaikan oleh Pak Nudirman Munir tadi, kami di Sumatera Barat, tidak segala-galanya uang, Pak. Kami harga diri, dan kultur adat yang hidup itu. Karena kenapa kami sampaikan itu Pak Ibnu? Dari awal sudah saya katakan, jangan ada terlintas di benak orang Indonesia bahwa Sumatera Barat mau buat merdekakah, mau khusus, tidak ada. Membuat Republik Indonesia ini kita tidak bisa memungkiri sejarah. Buka Lembar Negara Badan Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia, itu 9 dari Panitia Persiapan Kemerdekaan, itu 4 orang, orang Minang. Tidak mungkinlah orang Minang itu minta merdeka, yang memerdekakan Republik ini orang Minang. Hanya kami hanya minta supaya diberi khusus. Alternatifnya khususnya 2 saja, pertama, hitunglah cost yang akan dibantu itu, per penduduk, itu alternatif pertama. Berapa Jawa misalnya 1 penduduk itu dapat Rp 1 juta, kalau 1000 dapat Rp 1 miliar. Kalau penduduk kami sejuta, maka dapatlah sekian.” Tidak usah dipermasalahkan nagari dengan jorong itu. Atau apa yang dikatakan Pak Nudirman Munir tadi, diberikan karena Sumatera Barat itu karena khusus hanya 543 nagari, kalau di desa misalnya dapat Rp 1 miliar, maka Sumatera Barat itu 10 kali lipat. Kan tidak apa-apa. Kalau 1 nagari itu Rp 10 miliar, di desa dapat Rp 1 miliar. Ini yang …….. jadi jangan diancam-ancam kami, “Kalau tidak mau nanti sedikit bantuan”, tidak ada itu. Kami tidak ada urusan dengan uang-uang itu. ..... Lebih memahami lagi, bagaimana menghidupkan adat, agama kita ke depan, begitu, di nusantara ini, begitu. Kita kembalikan etika bangsa ini sebagai bangsa yang beretika dan bermoral. Jadi itu yang tadi disampaikan oleh Pak Hermanto, tidak perlu kita dulu membicarakan masalah kalau seperti ini, seperti ini. Apakah sudah ada jaminan bahwa setiap desa itu Rp 1 miliar? Ini isu keluar sudah ada ini Pak Muqowam, sampai kami. Saya tanya langsung kepada Pak Gamawan, “tidak ada katanya”. ………   Yang diminta LKAAM adalah pengakuan adat. “..... Hanya mengakui nagari. Jadi berlaku di situ adat Minangkabau syarak Minangkabau, kemudian mengatur ninik-mamaknya, masalah hukum adatnya, ulayatnya, sako pusakonya.  Itu saja. Jadi sehingga dia mempunyai otonom di nagari masing-masing itu. Sehingga kalau dia sudah punya otonom, uang bisa dicari, Pak. Bisa dicari bersama-sama, begitu. Tidak sulit mencari uang itu. Itu kira-kira yang perlu kami sampaikan kepada Bapak. “.... Hasan Basri tokoh dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)  memberikan klarifikasi perihal kemungkinan jorong menjadi desa, yang sekarang dipertanyakan lagi. .... Bapak-Bapak anggota Dewan yang terhormat, tolong dilihat kembali Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 25 Januari 1977. Di sini sudah mengenai jorong itu sudah menjadi desa, sebanyak 3.516. Jadi tidak perlu Bapak-Bapak kuatir, karena ini sudah mulai oleh Pemerintah Pusat, oleh eksekutif. Sekarang yang saya lihat, ini berputar-putar, sudah sebegini, dialihkan lagi. Ini sama saja dengan Undang-undang Desa ini, dulu Undang-undang No. 5 Tahun 1979 ini mengenai desa sudah dikeluarkan juga, di waktu Orde Lama. Sehingga ini tetap berjalan, waktu undang-undang itu, nagari dialihkan kepemimpinannya ke Ketua Kerapatan Adat. Jadi ini berjalan. Yang tidak berjalan setelah 2000 belakangan. Nah mengapa diurak-arik begini? Saya tidak mengertilah Pemerintahan pusat menjalankan pemikirannya. Mengapa hal ini kami sampaikan kepada Bapak-bapak yang terhormat? Nagari ini sebetulnya sudah otonomi, dari dahulu. Dari jaman per Patih Nusabatang, dengan Datuk Ketemanggungan. Dua pakar adat di Minangkabau yang meletakkan sendi-sendi adat, demokrasinya sudah ada, Bapak-Bapak sekalian. Demokrasi yang beraja ke mufakat. Ketemanggungan demokrasi yang meraja ke daulat. Dan untuk Bapak-Bapak ketahui, di Minangkabau itu sudah dulu di nagari itu demokrasi, daripada Eropa. Eropa baru setelah Revolusi Perancis. Tapi di Minangkabau, nagari ini sudah didudukkan berdemokrasi. Duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Basilang kayu dalam tungku, disenan api makonyo kaiduik.   Anggota Fraksi Partai Demokrat, H. Darizal Basir memberikan tanggapan yang menyetujui undang undang diletakkan pada pemerintahan paling rendah di bawah nagari. “... Lebih baik judul ini diarahkan kepada sistem pemerintahan yang paling ujung, sehingga secara nyata tidak akan bertabrakan dengan nilai nagari. ... Nah agar ini (nagari) tetap eksis, tidak ditabrak oleh nilai-nilai yang akan kita buat ini, memang perlu ada satu tata aturan yang memberikan kepastian bahwa komunitas ini bisa berkembang secara independen. Dan ini kita geser menjadi Undang-undang yang mengatur sistem pembangunan di daerah, sehingga apa yang menjadi bagian tanggung jawab dari komunitas masyarakat pengelola adat ini tidak bertabrakan dengan undang-undang ini.” “..... saya mencoba memberikan satu alternatif ya, yang pada dasarnya saya tidak berkeinginan agar nagari itu hilang. Justru saya berkeinginan nagari tetap eksis sebagai satu lembaga. Dan ini juga merupakan satu lembaga yang kita terima, bagaimana nanti berjalan beriringan. Ini yang saya katakan, satu ditawarkan, tapi orang Minang dapat dua.”   Drs. H. Ibnu Munzir dari Fraksi Partai Golkar menyampaikan hal serupa dengan bahasa yang berbeda: “... Tetapi prinsip dasarnya saya kira, apapun namanya, yang disebut sebagai Bhinneka Tunggal Ika itu tidak boleh kita nafikan. Apa yang ada secara adat, dan itu hidup di Negara kita, itu tidak boleh kita nafikan. Kita harus akomodasi itu, tetapi mencari rumusannya secara baik.”   Kata penutup Datuk Sayuti menyampaikan tentang posisi Undang Undang ini terhadap adat. “..... kembalikan sirih ke gagangnya, pinang ke tampuknya, dan kembalikan nagari secara utuh dalam Undang-undang Desa itu.”  
    • Menuju Titik Kompromi
    Dalam Audiensi dengan Pansus Desa pada 4 Juli 2012, salah satu tokoh Bundo Kanduang, Prof. DR. Hj. Elidar Thalib menawarkan gagasan baru untuk ide konversi dana desa dengan jorong dan nagari. “.... bahwa nagari memang tidak sama dengan desa. Nagari merupakan kesatuan adat yang mempunyai wilayah, ulayat tersendiri, punya rakyat, anak kemenakan, punya struktur pemerintahan secara adat, dan menganut sistem kekerabatan matrilineal yang menempatkan kedudukan, peranan perempuan setara dengan kedudukan dan peranan laki-laki. Jadi kesetaraan bagi orang Minang sudah selesai. Jadi dalam hal ini saya juga mengemukakan, kalau ada tuntutan undang-undang kesetaraan gender, kami dari Sumatera Barat, menolak. Atau perlu belajar juga ke Sumatera Barat mengenai bagaimana kesetaraan laki-laki dengan perempuan dalam konsep seimbang dan berimbang.   Kemudian yang berikutnya, nagari di  Minangkabau itu merupakan genealogis. Terdiri dari minimal 4 suku atau juga 5 suku. Dan kalau kita lihat secara adat, setiap nagari itu ada 7 batu sampai 8 batu atau 9 batu, artinya bisa dari jorong. Jadi seperti yang dikemukakan Bapak Ketua LKAAM tadi, barangkali nanti untuk tidak merusak tatanan adat di dalam nagari, dalam berupa seperti yang dikemukakan Pak Hermanto, yang kata Pak Sayuti itu semacam ancaman sehingga nanti Sumatera Barat tidak akan berkembang, barangkali pertimbangan itu, nagari itu diakui, kalau membantu sama dengan 9 desa. Itu yang tertinggi. Jadi kalau kita simak, dari nagari itu paling tinggi itu 9 jorong, banyaknya. Jadi itu salah satu solusinya. Jadi bantuan tetap per nagari, tapi hitungannya dalam 9 kali 1 desa, begitu...”     Ide formulasi tersebut ditangkap oleh Fraksi PKS, Hermanto, SE, MM, yang mengkonfirmasi lagi pada akhir rapat audiensi. “... sangat menarik ini usulan dari Bundo Kanduang, terkait dengan persoalan, tadi saya agak remang-remang mendengarnya ya, saya ingin dipertegas saja betul apa tidak. Per nagari berbasis 9 desa? Oh 9 jorong? Nah, jadi begini, kalau kita lihat fakta di lapangan, ada satu nagari jumlah jorongnya itu kalau tidak salah 23 jorong, ada 28? Ya ini nanti tolong dipikirkan oleh ninik-mamak, kalau ini konsepnya yang mau diperjuangkan, tolong nanti di daerah itu ada satu nagari itu 28 jorong. Bagaimana? Ada, ada, tolong dicek saja nanti...”   Prof. Robert. MZ. Lawang, pakar dari Universitas Indonesia, dalam RDPU 13 Juni 2012 menyampaikan pentingnya standing point negara atas eksistensi desa. “Masalahnya terletak pada eksistensi desa yang tidak permanen dalam NKRI, dalam perkembangan masyarakat global. Satu, Undang-undang Dasar 1945 memberi pengakuan dan penghormatan secara bersyarat. Jadi bukan absolut, bersyarat, terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Di situ ada kata-kata “sepanjang masih hidup”, kalau tidak hidup ya hilang. “Sesuai dengan  perkembangan masyarakat”, kalau tidak berkembang ya hilang. “sesuai dengan  prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”, kalau tidak, ya hilang. Jadi eksistensinya penuh dengan  syarat-syarat yang datang dari luar. Bukan datang dari masyarakat adat itu sendiri. Memang Undang-undang Dasar 1945 tidak menyebut masyarakat hukum adat ini sebagai desa. Tetapi, di mana letaknya desa, kalau tidak terkait dengan  masyarakat hukum adat? Dalam konsep masyarakat hukum adat, pasti ada desa sebagai sistem pemerintahan.   ......... Jadi pada suatu saat, dalam satu perkembangan evolusi, akan tidak ada lagi desa, dan hanya ada kota di Indonesia. Jadi seperti yang dikatakan oleh Prof. Tjondro kita tadi, Negara kita ini akan kehilangan basis dasarnya, yaitu desa.   Kalau kita mencermati desa-desa di Indonesia yang berada di tengah-tengah kawasan hutan adat, maka Undang-undang No. 41 Tahun 1999 sebagian besar sumber daya alam sudah tidak berada dalam otoritas hukum adat itu sendiri. Bagaimana bisa hidup? Kesatuan masyarakat hukumnya diakui oleh Negara, tetapi sumber daya alam diambil Negara menjadi miliknya. Dengan  cara begini, desa pasti mati.” Darizal Basir dari Fraksi Partai Demokrat, dalam RDPU 13 Juni 2012 menyampaikan pertanyaan kepada pakar tentang kemungkinan membentuk lembaga pemerintahan paling depan yang mungkin kita kenal dengan desa namun tidak menggunakan entitas komunitas adat yang ada selama ini. Ia berharap akan menghindarkan dari potensi pertentangan antara desa dan lembaga adat selama ini. “Saya mencoba memahami konsep yang ada ini. Sepertinya Pemerintah ingin membuat satu sistem pemerintahan terkecil pada tingkat desa di seluruh wilayah nusantara kita ini, di mana fungsi dan peranan itu ditempatkan di atas komunitas masyarakat yang ada. Saya mengambil perbandingan katakanlah di Sumatera Barat, ada nagari, kemudian ada sistem pemerintahan. Fungsi ini ditumpangkan di atas nagari. Sehingga timbullah suatu kerancuan. Kerancuan yang muncul ya, tumpang tindihnya atas sistem pemerintahan dengan hak-hak adat yang berkembang secara tradisional dan turun-menurun. Itu lama-lama bisa jadi hilang. Yang pasti saja ya, dengan aturan seorang kepala desa, seorang wali nagari, katakan, dipilih dengan persyaratan formal, maka pejabat-pejabat informal kita, para pemimpin-pemimpin karismatik kita itu semakin tersisih, semakin tidak muncul. Nah saya mencoba menanyakan kepada Bapak dan Ibu narasumber, bagaimana kalau RUU ini kita tempatkan secara berdiri sendiri, tidak ditumpangkan dalam fungsi komunitas masyarakat yang ada? Artinya apa? RUU ini memang mengatur suatu sistem pemerintahan terdepan, tetapi dia merupakan satu lembaga yang berdiri sendiri di luar komunitas masyarakat. Jadi nanti akan ada lembaga pemerintahan paling depan yang mungkin kita kenal dengan desa tadi. Di samping itu, ada komunitas masyarakat yang mempertahankan hak tradisionalnya. Jadi kalau di Sumatera Barat ada nagari, yang mungkin nanti dipimpin oleh wali nagari, mengatur sistem adat dan budaya, sedangkan sistem pemerintahan ini tentu mengatur yang intinya masalah pembangunan dan pemerintahan. Ini dua masalah yang coba saya lemparkan, bagaimana menurut sudut pandang Bapak, para narasumber.”   Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh DR. Hanif Nurcholis (pakar) yang mengemukakan teori rekognisi yaitu pengakuan negara atas sebuah komunitas adat yang sudah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bisa yaitu penyelenggaraan pemerintahan.  Dia juga memberikan contoh model commune di Perancis, sebelum diintegrasikan di dalam Negara.  Sedangkan mengenai pengaturan yang terpisah (antara formal dan komunitas adat), hal itu potensial mengalami konflik dan tidak produktif. “Apakah mungkin dibuat suatu bentuk undang-undang yaitu ada satu satuan pemerintahan yang formal, kemudian juga ada satu pengakuan satu komunitas-komunitas adat. Bapak memberikan satu contoh, yaitu nagari, bagus sekali. Ini krusial, menurut saya, dari disiplin Ilmu Administrasi Negara. Karena apa? Karena itu kalau itu diakomodasi dalam satu legalitas formal, itu akan ada tabrakan kepentingan. Ini adalah pengalaman yang barangkali mungkin secara detail barangkali ada suatu penelitian, tetapi dari bacaan saya yang tidak begitu mendetail adalah konflik antara desa adat dan desa dinas di Bali. Yang sampai sekarang itu tidak pernah selesai, dari sisi kepentingan-kepentingan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan Negara. Oleh karena itu tadi dalam makalah saya, saya mengusulkan adanya satu kompromi, yang tadi saya menunjuk satu contoh yang sudah ada, yaitu commune, commune di Perancis, atau dalam skala besar adalah state di Amerika. Koloni, dulunya itu adalah koloni, Pak. Yang sekarang menjadi state-state, United States itu dulunya koloni. Pada model commune atau koloni di Amerika atau commune di Perancis. Itu adalah modelnya adalah dengan satu teori yang disebut dengan teori Recognisi. Recognisi itu adalah pengakuan Negara atas sebuah komunitas adat yang sudah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bisa dianggap, yaitu penyelenggaraan Pemerintahan. tadi saya ambilkan contoh, di dalam commune di Perancis, sebelum itu diintegrasikan di dalam Negara, itu seperti nagari, Pak. Mengurus kesehatan di bawah gereja, waktu itu, kalau di Sumatera di bawah Tiga tungku sajarangan, jadi alim ulama, kepala adat dan para andiko, ya panghulu andiko dan lain-lain itu. Itu secara empirik komunitas itu menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan yang kongkrit. Commune waktu itu menyelenggarakan kesehatan. Tapi bukan pemerintah, mereka sendiri. Ya kemudian mengatur pertanian. Mereka sendiri Pak. Kemudian juga mengatur keamanan lingkungan, mereka sendiri, bukan Negara yang mengurus. Kemudian juga mengurus pendidikan gereja, waktu itu ya, mereka sendiri. Nah kemudian Negara datang, dengan teori yang disebut dengan teori recognisi, namanya. Dalam prakteknya, oke, commune A katakan begitu, silakan itu terus, dan Negara mengakui itu adalah urusan kamu. Nah itulah apa yang namanya teori recognisi. Nah kemudian, bersamaan dengan perjalanan dan pertumbuhan masyarakat, karena makin dinamis dan maju, maka ada kebutuhan-kebutuhan lain di luar yang mereka sudah selenggarakan itu, maka ada teori baru yang disebut dengan namanya teori desentralisasi. Jadi ketika yang mereka selenggarakan itu  mungkin hanya 3 urusan, yaitu kesehatan, pendidikan, mungkin waktu itu hanya pendidikan untuk anak-anak kecil, Sekolah minggu pagi, gereja itu ya, kemudian pertanian, ternyata ada kebutuhan juga untuk mengurus masalah pertanian, maka Negara masuk dengan teori yang namanya adalah desentralisasi, yaitu penyerahan urusan yang semula miliknya Pemerintah pusat, diberikan kepada commune tersebut dan itu disertai dengan dananya. Nah itulah, itu yang di dalam disiplin ilmu saya, itu yang paling mungkin, sehingga tidak ada benturan antara komunitas yang sudah berdiri dengan kepentingan Negara. “   “Nah, ada teori baru kemudian, namanya adalah asas tugas pembantuan. Tugas pembantuan itu adalah satu tugas dari sebuah kewenangan Pemerintahan atasan yang ditugaskan untuk pelaksanaan teknis. Jadi regulasinya itu ada di kabupaten, kota, provinsi, pusat. Tapi kemudian secara teknis, itu hanya disuruh melaksanakan, itu namanya tugas pembantuan. Tapi kalau desentralisasi itu  memang urusannya itu diserahkan kepada commune tersebut. Tapi kalau pengaturannya menjadi terpisah, itu agak dalam disiplin ilmu kami, itu akan mengalami konflik dan tidak produktif. Karena di dalam ilmu administrasi Negara, yang namanya tugas untuk pemberdayaan masyarakat itu harus dilakukan oleh satuan-satuan Pemerintahan yang profesional. Bahwa satuan-satuan profesional itu diambil dari satu komunitas-komunitas yang sudah berjalan, itu oke. Tetapi harus ada satu tugas dan tanggung jawab dari satuan-satuan yang professional. Itu baru yang namanya tugas-tugas pemberdayaan masyarakat itu baru bisa berjalan.” “.... Model pertama adalah desa sebagai komunite yang dikontrol oleh Negara, itu sekarang, dan RUU seperti itu. Pilihan kedua, ubah saja semua desa menjadi UPT kecamatan, dan saya tidak setuju. Dan yang ketiga itu setuju, dan saya setuju kalau modelnya itu adalah model recognisi terhadap komunitas, tetapi masuk dalam sistem Negara. Setuju, 100% setuju. Karena itulah yang sebenarnya menjadi tulang punggung, memberikan satu yang bisa menjadi agen.”  
    • Pengaturan Lembaga Adat
    Menjelang penetapan UU Desa ini, pada Raker 11 Desember 2013, Mendagri Gamawan Fauzi menyampaikan tingkat regulasi pengaturan kelembagaan adat di pemerintah daerah. “... Ada  yang meminta supaya jangan rusak satu kesatuan masyarakat hukum adat di daerah, seperti Bali. Kan tidak enak kalau Badung berbeda dengan yang lain, apa ini tidak dengan Perda Provinsi maksud saya, kalau di sini kan kabupaten/kota” “... Susunan kelembagaan, pengisian jabatan dan masa jabatan kepala desa adat berdasarkan hukum adat, ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ini diminta menjadi provinsi. Begitu?” Ketua Rapat, Pak Muqowam dalam forum yang sama menimpali: “Pengertiannya tidak seperti itu, bahwa ini adalah eksklusif mengenai desa adat ini diatur dengan peraturan daerah provinsi, itu saja, eksepsinya disitu, eksklusifnya disitu Pak.” Wakil Ketua Rapat, Budiman Sudjatmiko dari Fraksi PDIP) mencoba menyodorkan fakta bahwa tidak semua kelembagaan adat memiliki skala adat  tingkat provinsi dan bisa ditetapkan di provinsi.  Mungkin untuk Bali, untuk Sumatera Barat, Perda Provinsi sudah cukup menjelaskan di tingkat provinsi, namun untuk beberapa provinsi yang lain, skalanya berada pada tingkat kabupaten misalnya di NTT. Antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain bisa mempunyai sistem yang berbeda, padahal satu provinsi yang sama.  Sehingga usulannya lebih setuju pengaturan di tingkat kabupaten/kota. Menanggapi hal itu Mendagri, Gamawan Fauzi menawarkan penjelasan” “Kalaupun dibuat Perda Provinsi, itu juga bisa mengatur di dalam perbedaan-perbedaan antar kabupaten itu tetapi induknya dibuat provinsi dulu. Kalaupun ada perbedaan di dalam provinsi silakan dalam Perda Provinsi itu diatur perbedaan itu tapi harus ada, ini sekaligus untuk menampung supaya di dalam satu provinsi yang kebetulan itu solid, itu perlu sekali payung itu”. Akhirnya Ketua Rapat, A. Muqowam menyimpulkan: “Baik, jadi lebih baik diatur daripada kemudian ada kekosongan pada tingkat regional provinsi.  Jadi Pasal 108 itu adalah mahfum mukhalaf, pemahamannya adalah nanti dalam peraturan daerah juga boleh ada kepelbagai heterogitas sesuai adat masing-masing tetapi bahwa bagi daerah provinsi yang memang itu uniform dan homogen, itu dijadikan sebagai landasan hukum. Itu ya? Bapak sekalian, Pak Menteri? Teman-teman sekalian setuju ya? (RAPAT: SETUJU)”
    • Pengadilan Desa Tidak Disetujui
    Sedangkan mengenai usulan DPD yang tidak terakomodasi seperti pengadilan desa, DPD dalam Pandangan Mini-nya mengusulkan untuk menjadi bahan kajian. “...Terkait dengan  proses tersebut, kami juga memang harus menyesalkan langkah tersebut, karena sesuai dengan Keputusan tanggal 23 Oktober 2013, usulan sesuai DIM DPD tentang perlunya pengaturan yang memberikan kewenangan kepada lembaga kemasyarakatan yang disebut Polmas atau nama lain, diakomodir untuk menyelesaikan pertikaian antarwarga. Kewenangan komunitas tersebut, dimulai dari berbagai kewenangan pembinaan ketertiban dan ketentraman atau tindakan preventif oleh desa, atau kewenangan penyelesaian sengketa masyarakat, oleh kepala desa yang merupakan perangkat birokrasi. Pengaturan tersebut dimaksudkan agar permasalahan pelanggaran hukum serba ringan, terutama yang melibatkan warga, dapat diselesaikan pada level komunitas, dan dan bukan pada birokrasi, apakah Polri atau pemerintahan desa.” Tanggapan
    • Satuan-Satuan Budaya Yang Ada Harus Segera Memilih.
    Muncul kekhawatiran adanya komunitas adat berpotensi menimbulkan pertentangan dengan desa. Pada praktik selama ini, diberikan dua alternatif ruang yaitu memilih menjadi desa adat, atau tetap menjadi kelembagaan adat.  Untuk berubah menjadi desa adat hanya memiliki waktu yang pendek.  Sedangkan untuk menjadi kelembagaan adat menunggu ketentuan yang dimandatkan dalam Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
    • Siapa Penentu Arah Tranformasi Budaya Di Desa?
    Hak satuan masyarakat adat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya berada pada kelembagaan adat dan kelembagaan kemasyarakatan lainnya.  Jika sebelumnya pelestarian nilai budaya berada pada pemimpin satuan budaya, maka penetapan pemerintahan desa berpotensi bersinggungan dengan arah tranformasi budaya setempat. Karena itu, perlu ada satu tata aturan yang memberikan kepastian bahwa komunitas ini bisa berkembang secara independen.
    • Situasi Terakhir
    Berdasarkan pasal 153 UU Desa bahwa Lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.  Namun saat ini Menteri terkait belum menerbitkan peraturan tersebut.  

    3. Ketentuan Khusus Desa Adat

    Dalam UU Desa ini, pengaturan mengenai Desa Adat terdapat di Bab XIII, yang terentang dari Pasal 96 hingga Pasal 111. Secara keseluruhan, Bab Desa Adat ini memiliki 16 pasal dan 26 ayat, yang dibagi ke dalam empat topik. Keempat topik tersebut adalah: Bagian Kesatu      :    Penataan Desa Adat. Bagian Kedua       :    Kewenangan Desa Adat. Bagian Ketiga       :    Pemerintahan Desa Adat. Bagian Keempat   :    Peraturan Desa Adat. Untuk memudahkan dalam pemeriksaan dan penelaahan, struktur anotasi atas UU Desa mengikuti pembagian pengaturan dalam UU Desa tersebut, dengan sedikit penyesuaian, dengan maksud agar klasifikasi pembahasan lebih mudah dipahami pembaca. Struktur anotasi yang dimaksud adalah: (1). Penataan Desa Adat; (2). Kewenangan Desa Adat; (3). Pemerintahan Desa Adat dan; (4). Peraturan Desa Adat.

    4. Penutup

    Secara historis, sejak dulu desa di seluruh Indonesia merupakan pusat penghidupan masyarakat setempat yang memiliki otonomi dalam mengelola tata kuasa dan tata kelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi. Setiap Desa memiliki lembaga-lembaga lokal yang tumbuh dari masyarakat.  Di era reformasi, pengaturan kelembagaan masyarakat tidak lagi bersifat seragam, meski tetap membuat standar seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) dan PKK. Lembaga kemasyarakatan di desa berfungsi sebagai wadah organisasi kepentingan masyarakat setempat, termasuk untuk kepentingan ketahanan sosial (social security) masyarakat, dan menyokong daya tahan ekonomi (economic survival) warga.

    Pembahasan tentang peraturan desa adat dalam RUU Desa tidak masuk dalam RUU yang diusulkan oleh pemerintah. Namun dalam rapat Timus rumusan ini masuk dalam pembahasan. Penetapan desa adat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sistem pemerintahan dan struktur lembaga pemerintahan desa adat, diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat desa adat sesuai dengan kebutuhan praktik setempat dengan otonominya untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan tradisi hukum adatnya masing-masing.

    Catatan Kaki

    [1] Naskah Akademik RUU Desa oleh Baleg DPR (2008), halaman 33-34) [2] (Permendesa No. 3 tahun 2015 pasal 1 ayat 16 [3] Isbandi Rukminto Adi (2013), Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan masyarakat, Jakarta: Rajawali Press, hal. 258 [4] Kementerian Dalam Negari Republik Indonesia (2011), Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa, hal. 6-7 [5] Kementerian Dalam Negari Republik Indonesia (2011), Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa, hal. 38 dan 97 [6] Kibbutz berarti kelompok dalam bahasa Hebrew (bahasa di Israel). Orang-orang dalam komunitas tersebut tinggal dan bekerjasama. Kerjasama dalam kibbutz tidak menggunakan dasar kompetitif. Tujuan dari kibbutz adalah  menghasilkan masyarakat mandiri secara ekonomi dan sosial dengan menggunakan prinsip kepemilikan komunitas terhadap property, keadilan sosial, dan persamaan hak. Salah satu gerakan komunitas ini di bidang pertanian. [7] Ibid hal 8 [8] Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, (????) Petunjuk Teknis Penguatan Modal Sosial: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri – Perkotaan, [9] Sutoro Eko, dkk, (2014), Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: FPPD. Bagian Bab 2: Desa Bertenaga Secara Sosial hal. 47 – 66. [10] YAPPIKA sejak tahun 2000 bergerak dalam bidang peningkatkan kapasitas organisasi untuk dapat mengawal proses transisi demokrasi di Indonesia. [11] Sutoro eko, (2013), Policy Paper: Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan [12] Sooyoung Park, (2009)* Analysis Of Saemaul Undong: A Korean Rural Development Programme In The 1970s,   on Asia-Pacific Development Journal , Vol. 16, No. 2, December 2009, didowload dari http://econpapers.repec.org/article/untjnapdj/v_3a16_3ay_3a2009_3ai_3a2_3ap_3a113-140.htm pada 3 Februari 2015. [13]  Sutoro eko, (2014), Desa Membangun Indonesia, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) halaman 55. [14] Nudirman Munir menyatakan pendapat. Pimpinan rapat, sebelumnya memberikan pengantar:  Pak Nudirman, ini bukan anggota Pansus, tapi anggota DPR, bukan pengurus LKAAM tapi adalah anggota kehormatan. Jadi Pak Ganjar, ini anggota DPR yang LKAAM Pak. Silakan Pak Nudirman.  Nudirman kemudian memperkenalkan diri: “Saya dari Komisi III intervensi masuk, tapi bukan masuk karena komisinya, tapi karena masuk karena penghulunya. Tadi saya serba salah duduk di situ, saya penghulu, saya duduk di sini, saya anggota DPR. Tapi akhirnya saya pilih duduk di sini biar dua-duanya terpenuhi..... kebetulan saya penghulu dari Kaum Suku Koto, di Kabupaten Agam. Gelar saya Datuk Panglima Bandaro”   [15] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Masyarakat Desa (Piagam Tanggung Jawab dan Hak Asasi Warga Desa), hal. 3. [16]Ibid, hal. 2 [17]Agus Pubathin Hadi, Eksistensi Desa Adat dan Kelembagaan Lokal: Kasus Bali, Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA). [18]Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal.2. [19]Penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa [20]Jimly Asshidiqqie, Op.cit., hal. 10 [21]Ibid, hal. 12-13 [22]Ibid, hal. 12
    Last Updated 14 June 2016.