Klaster 5: Pembangunan Desa, Pembangunan Kawasan Perdesaan Dan Kerjasama Desa

    Undang-Undang Desa secara tegas telah membedakan antara pembangunan desa yang menempatkan desa sebagai subyek pembangunan dan pembangunan perdesaan yang menjadi domain pemerintah. Hal ini terlihat dengan adanya pengaturan khusus tentang pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, UU Desa menggunakan dua pendekatan, yaitu “Desa Membangun” dan “Membangun Desa” yang diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan desa. Sebagai konsekwensinya, Desa menyusun perencanaan pembangunan desa yang mengacu kepada perencanaan pembangunan kabupaten/kota (diatur dalam Pasal 78-82).

    Konsep perencanaan pembangunan desa yang diatur dalam UU Desa mengalami kemajuan dan perubahan dibandingkan dengan substansi yang diatur dalam PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Sebelumnya, perencanaan desa merupakan bagian dari perencanaan kabupaten/kota. Sekarang, perencanaan pembangunan desa adalah village self planning yang berdiri sendiri dan diputuskan sendiri oleh desa (Sutoro Eko, 2014).

    Pembahasan anotasi pada bagian ini membahas keempat hal di atas. Pertama, pembangunan desa, yang meliputi: tahapan perencanaan serta pemantauan dan pengawasan pembangunan desa; Kedua,  pembangunan kawasan perdesaan yang meliputi: pengertian dan lingkup pembangunan kawasan perdesaan, serta  peran dan partisipasi pemerintah desa dan masyarakat; Ketiga sistem pembangunan kawasan perdesaan, yang meliputi: hak desa, kewajiban pemerintah dalam mengembangkan SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan  Desa) dan pengelolaan SIPD. Keempat, kerjasama desa, yang meliputi kerjasama antar desa dan kerjasama dengan pihak ketiga.

    Daftar Isi :

    1. Pembangunan Desa
    2. Perencanaan Pembangunan Desa
    3. Pelaksanaan Pembangunan Desa
    4. Pemantauan dan Pengawasan Pembangunan Desa
    5. Pembangunan Kawasan Perdesaan
    6. Sistem Informasi Desa
    7. Kerjasama Desa
    8. Penutup
    Catatan Kaki

    1. Pembangunan Desa

    Ketentuan Umum UU Desa mendefinisikan Pembangunan Desa adalah “upaya peningkatan  kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa”. Sedangkan tujuan pembangunan desa dinyatakan di dalam pasal 78 ayat (1), yaitu “meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan”. “Dalam pelaksanaannya pembangunan desa penting untuk mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial” sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 78 ayat (3).

    Berdasarkan pasal 78, tahapan-tahapan dalam pembangunan desa terdiri dari: (i) perencanaan pembangunan desa; (ii) pelaksanaan pembangunan desa; (iii) pengawasan dan pemantauan pembangunan desa.  Dokumen Rencana Pembangunan Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar penyusunan APB Desa. Penyusunan rencana desa itu dilakukan melalui Musrenbang Desa yang mengikutsertakan masyarakat.

    Pasal 78
    (1)         Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. (2)         Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. (3)         Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
    Penjelasan
    Cukup Jelas

    Pembahasan di DPR

    Rumusan pasal 78 ini merupakan rumusan usulan dari Fraksi PDIP yang tercantum dari DIM. Dilihat dari DIM, pandangan fraksi-fraksi terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, yang Mengusulkan substansi  baru. Hal ini dilakukan oleh Fraksi PDIP, yang mencakup:

    • asas penyelenggaraan pembangunan perdesaan, dengan redaksional “Pembangunan perdesaan diselenggarakan dengan asas: a. Kebersamaan dan gotong royong; b. Efisiensi berkeadilan; c. berkelanjutan; d. berwawasan lingkungan; e. kemandirian; f. Kesetaraan; g. Kemanusiaan; h. Kebangsaan; i. Kekeluargaan; j. Bhineka tunggal ika; k. ketertiban dan kepastian hukum; l. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; m. Kreativitas; n. Kearifan lokal; o. Integratif; p. Transparansi; q. Akuntabilitas; r. Efektifitas; s. Responsif dan peran serta aktif; dan t. Tanggungjawab negara”.
    • tujuan dari pembangunan perdesaan, dengan redaksional “Pembangunan perdesaan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap menjamin terpeliharanya ada istiadat setempat”.
    • ruang lingkup pembangunan perdesaan, dengan redaksional “pembangunan perdesaan meliputi pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia perdesaan”.
    • tahapan pembangunan perdesaan, dengan redaksional “Pembangunan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 diselenggarakan melalui tahapan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. pengawasan; dan d. evaluasi.”
    • sistem informasi pembangunan perdesaan, dengan redaksional “informasi kegiatan seluruh tahapan pembangunan perdesaan memanfaatkan sistem informasi pembangunan perdesaan”.

    Kedua, yang Mengusulkan Tetap.  Beberapa fraksi, yaitu  Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PPP, Fraksi PKB dan Fraksi Gerindra menyetujui rumusan yang diajukan pemerintah, yaitu langsung mengatur tentang “Perencanaan”.

    Meski ada dua pendapat yang berbeda, namun, tidak ada perdebatan cukup signifikan dalam proses pembahasan tentang pasal 78 ini. Dari risalah sidang, ditemukan pembahasan mengenai hal ini pada RDPU yang diselenggarakan tanggal 14 Juni 2012, Hardisoesilo dari Fraksi Partai Golkar memberikan pandangannya bahwa prinsip yang ingin dibangun dari UU Desa adalah memperkuat pembangunan desa, dan memberikan kemandirian kepada desa sebagai basis pembangunan nasional. Berikut kutipan pendapat Hardisoesilo:

    “....Sekarang prinsip yang ingin kita bangun itu adalah, bagaimana kita memperkuat pembangunan desa, memberikan kemandirian kewenangan-kewenangan kepada desa, untuk sebagai basis pembangunan nasional. Jadi apakah dimungkinkan, menurut pertanian misalnya, kita soal irigasi desa itu tidak bagian dari program atau proyeknya kabupaten/kota, tapi kewenangannya diserahkan kepada desa. Kalau dia lewat desa, ya bisa kerja sama desa dan sebagainya. Jadi prinsip untuk kita bukan membangun desa, tapi desa membangun. Jadi betul-betul desa  memberikan wewenang. Prinsip daripada yang ingin dicapai dari undang-undang ini tampaknya demikian. Sehingga, mungkin banyak hal-hal yang sekarang ini menjadi bagian daripada kegiatan-kegiatan sektoral di desa, itu yang harus diubah pendekatannya. Dan kita ingin menetapkan bahwa didalam undang-undang ini arahnya demikian...”.

    Dalam forum yang sama, H. Darizal Basir dari Fraksi Partai Demokrat menekankan bahwa semangat UU Desa adalah desa membangun, bukan membangun desa.

    Perbandingan rumusan yang diajukan oleh F PDIP dengan rumusan yang disepakati adalah sebagai berikut:

    Rumusan yang disepakati Rumusan yang diajukan F PDIP
    (1)             Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan perdesaan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap menjamin terpeliharanya adat istiadat setempat.
    (2)  Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.   Pembangunan perdesaan sebagai-mana dimaksud dalam pasal 69 diselenggarakan melalui tahapan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. pengawasan; dan d. evaluasi
    (3)  Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.   Pembangunan perdesaan diselenggarakan dengan asas: a. Kebersamaan dan gotong royong; b. Efisiensi berkeadilan; c. berkelanjutan; d. berwawasan lingkungan; e. kemandirian; f. Kesetaraan; g. Kemanusiaan; h. Kebangsaan; i. Kekeluargaan; j. Bhineka tunggal ika; k. ketertiban dan kepastian hukum; l. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; m. Kreativitas; n. Kearifan lokal; o. Integratif; p. Transparansi; q. Akuntabilitas; r. Efektifitas; s. Responsif dan peran serta aktif; dan t. Tanggungjawab negara

    Tanggapan

    Posisi pembangunan desa di dalam sistem perencanaan pembangunan nasional belum jelas. UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (selanjutnya disebut UU SPPN) merupakan landasan hukum yang berlaku yang mengatur mengenai pembangunan nasional, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Konstruksi yang digunakan di dalam UU SPPN adalah konstruksi desentralisasi, yang menempatkan Desa sebagai bagian dari kabupaten/kota, sehingga pengaturan di dalamnya hanya sampai di tingkat kabupaten/kota dan tidak secara spesifik mengatur Desa.

    Pertanyaannya, bagaimana posisi pembangunan desa di dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN)? Apakah merupakan bagian dari SPPN? Merujuk pada pendefinisian desa sebagai

    “......... kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal/usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia[1]

    maka desa merupakan bagian dari NKRI sehingga masuk di dalam ruang lingkup UU SPPN.  Sayangnya, tidak ada pasal maupun penjelasan di dalam UU Desa ini yang menegaskan bahwa pembangunan desa merupakan bagian dari pembangunan nasional sehingga mengikuti ketentuan peraturan perundangan terkait (yaitu UU SPPN) ataupun penegasan sebaliknya, yaitu pembangunan Desa diatur tersendiri dan tidak terkait dengan ketentuan undang-undang tersebut.

    Tahapan pembangunan desa tidak standar. Pasal 78 ayat 2 UU Desa menyebutkan bahwa “pembangunan desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan”. Sedangkan  tahapan  pembangunan di UU SPPN sebagaimana diatur dalam pasal 8 terdiri dari: (i) penyusunan rencana;  (ii) penetapan rencana;  (iii) pengendalian pelaksanaan rencana; dan  (iv) evaluasi pelaksanaan rencana. Tahapan yang disebutkan di dalam UU SPPN sesuai dengan tahapan di dalam siklus manajemen yaitu  adalah: perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi.  Akibatnya, di dalam pasal selanjutnya dari UU Desa yang membahas masing-masing tahapan terlihat ada missing link (bagian yang hilang) karena tidak ada pasal yang menjelaskan tentang evaluasi. Sementara pasal yang mengatur tentang pengawasan berisi bagaimana hak warga memperoleh informasi pembangunan, melakukan pengawasan dan melakukan pengaduan.  Tahapan evaluasi merupakan satu rangkaian dengan tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang dilaksanakan oleh internal pemerintah. Hasil dari evaluasi akan memberikan masukan atas proses perencanaan berikutnya. Sedangkan pengawasan adalah tindakan mengawasi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pihak di luar pemerintah (eksternal). Dengan demikian, terlihat jelas perbedaan antara evaluasi dengan pengawasan.

    2. Perencanaan Pembangunan Desa

    Pasal 79 UU Desa menyebutkan bahwa Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan desa dilaksanakan dengan menyusun dokumen:

    1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
    2. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

    Kedua dokumen perencanaan ini ditetapkan dengan Peraturan Desa.

    Pasal 79 ayat (4) dan (5) menyatakan bahwa  Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan  merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa.

    Pasal 80 menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan desa  dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.

    Pasal 79
    (1)    Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. (2)    Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi: a.       Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan b.      Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (3)    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Desa. (4)    Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa. (5)    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. (6)    Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa. (7)    Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.  
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 80
    (1)    Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa. (2)    Dalam menyusun perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan Pembangunan Desa. (1)    Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. (2)    Prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi: a.       peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar; b.      pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia; c.       pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif; d.      pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan e.       peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas

     

    Pembahasan di DPR

    Rumusan awal pemerintah atas pasal 79-80 ini terdiri dari dua pasal, yaitu pasal 66 dan pasal 67 dengan redaksional  sebagai berikut:

    Rumusan RUU
    Pasal 66
    (1)      Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. (2)      Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi: a.         Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disebut RPJM Desa untuk jangka waktu 5 (tahun) tahun; dan b.        Rencana Pembangunan Tahunan Desa, selanjutnya  disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (3)      RPJM Desa dan RKP Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan desa. (4)      Peraturan desa tentang RPJM dan RKP- Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa. (5)      Program-program sektor yang masuk ke desa wajib disinkronisasikan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan desa.
    Pasal 67
    (1)    Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (1) dilakukan secara berjenjang dimulai dari tingkat dusun (2)    Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa dan tokoh masyarakat (3)    Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai  salah satu masukan utama dalam perencanaan pembangunan kabupaten/kota.

    Dari dokumen DIM, pandangan fraksi terbagi menjadi tiga, yaitu:

    Pertama; yang mengusulkan Tetap, artinya menyetujui rumusan usulan pemerintah. Pandangan ini  merupakan pandangan dari Fraksi Partai Golkar,  Fraksi PAN, Fraksi PPP, Fraksi Gerindra dan Fraksi Hanura.

    Kedua; yang mengusulkan diadakan Penyempurnaan terhadap substansi dan penambahan substansi baru, yang merupakan pandangan dari Fraksi PDIP dan Fraksi PKS. Fraksi PDIP mengusulkan penyempurnaan substansi untuk rumusan pasal 66, dengan redaksional  “Pemerintahan Desa menyusun perencanaan pembangunan perdesaan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa”. Fraksi PKS mengusulkan menambahkan keterlibatan lembaga adat, selain lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat di pasal 67 ayat (2), dengan redaksional “Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa, lembaga Adat  dan tokoh masyarakat.”

    Sedangkan usulan penambahan substansi baru dilakukan oleh Fraksi PDIP dengan radaksional sebagai berikut: (1) Perencanaan pembangunan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dimulai dari musyawarah masyarakat desa; (2) Perencanaan pembangunan perdesaan memuat jenis pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69; (3) Perencanaan Pembangunan Perdesaan dapat disusun untuk jangka panjang, jangka menengah dan tahunan; (4) Perencanaan Pembangunan Perdesaan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun menjadi Rencana Kerja Pemerintah Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

    Ketiga; yang mengusulkan untuk Menambahkan frasa “partisipatif” , yang merupakan pandangan dari Fraksi PKB, dengan reaksional “Pemerintah desa menyusun perencanaan pembangunan desa secara partisipatif sesuai kewenangannya mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota.”

    Dalam proses rapat pembahasan di DPR, tidak ditemukan perdebatan mengenai substansi pasal ini hingga akhirnya didapati rumusan yang disepakati adalah rumusan yang ada di pasal 79-80 UU Desa.

     

    Tanggapan

    Undang-Undang Desa ini memiliki dua  pendekatan, yaitu ‘Desa membangun’ dan ‘membangun Desa’ yang tidak ada  pada aturan sebelumnya.  Penjelasan UU Desa menyebutkan bahwa “kedua” pendekatan ini  diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa. Sebagai konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Dokumen rencana Pembangunan Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa.”

    Kedua pendekatan ini merupakan pendekatan baru   yang tidak ada pada UU SPPN  maupun UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (lihat tabel perbandingan pengaturan tentang desa). Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan pelaksanaannya agar kedua pendekatan ini diuraikan secara jelas sehingga bisa diimplementasikan dengan baik.

    • Perbandingan Pengaturan tentang Desa

     

    Perihal UU SPSN UU Tentang Pemerintahan Daerah UU Desa
    Definisi Desa - kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Dasar kewenang-an Desa Desentralisasi; Tugas Pembantuan (Medebewind) Desentralisasi; Tugas Pembantuan (Medebewind) Kewenangan Asli Desentralisasi; Tugas Pembantuan (Medebewind)
    Kedudukan Desa berada dalam sistem pemerintahan daerah kabupaten/kota   Desa berada dalam sistem pemerintahan daerah kabupaten/kota   Desa berada dalam wilayah kabupaten/kota  
    Pemba-ngunan Desa Bagian dari pembangunan kabupaten/kota Bagian dari pembangunan kabupaten/kota -Desa membangun berdasarkan RPJM Desa dan menggunakan sumber dana yang khusus diperuntukkan kepada Desa - Pembangunan Desa yang merupakan bagian dari pembangunan kabupaten/kota
    • Relasi antara Musyawarah Desa dan Musyawarah Pembangunan Desa Belum Jelas.

    Pasal 80 ayat (2) menyebutkan bahwaDalam menyusun perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan Pembangunan Desa”  sedangkan pasal 54 ayat (1) menyebutkan bahwa “Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. Frasa “hal yang bersifat strategis” dijelaskan di  pasal 52 ayat (2) dan di point b disebutkan bahwa perencanaan Desa merupakan salah satunya. Ayat lainnya, yaitu ayat 3 pasal 80 menyebutkan “Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh APB Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau APBD Kabupaten/Kota.” Beberapa pertanyaan muncul terkait dengan pasal 80 ini, yaitu: Pertama,  apakah Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa yang disebutkan di UU ini sama dengan Musrenbang Desa  yang dilaksanakan pada bulan Januari setiap tahunnya, yang selama ini dipraktikkan sebelum UU ini lahir?.

    Kedua, bagaimana relasi antara Musyawarah Desa dan Musrenbang Desa? Apakah keduanya merupakan kegiatan yang berbeda satu sama lain ataukah ada keterkaitan antara penyelenggaraan Musyawarah Desa dengan Musrenbang Desa? Sayangnya, UU Desa baik di norma maupun penjelasan tidak memberikan gambaran bagaimana relasi antara kedua kegiatan ini di dalam proses pembangunan Desa.

    • Mekanisme  Relasi  antara Perencanaan Pembangunan di tingkat Desa dengan Perencanaan Pembangunan di tingkat Kabupaten/Kota belum Jelas.

    Pasal 79 ayat 1 menyebutkan bahwa “Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota”, sedangkan di pasal 79 ayat 7 disebutkan “Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota” Dari dua ayat ini, terlihat ada relasi timbal balik antara perencanaan di tingkat Desa dengan perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten. Sayangnya, UU Desa baik di norma maupun penjelasan tidak memberikan gambaran bagaimana relasi antara keduanya.

    • Ketentuan tentang “Masyarakat  Desa” masih terlalu Umum.

    Pasal 80 ayat (1) menyebutkan “Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa. Penjelasan pasal ini adalah “cukup jelas” sehingga tidak ada keterangan lebih lanjut yang menjelaskan apa yang disebut dengan “masyarakat Desa”.  Pertanyaan yang muncul adalah siapa saja yang dimaksud sebagai masyarakat desa yang harus terlibat dalam proses perencanaan pembangunan desa? Ada kecenderungan keterlibatan masyarakat desa dalam proses perencanaan pembangunan bersifat terbatas pada yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan desa. Karena itu, perlu dipertimbangkan kemungkinan tidak dilibatkannya kelompok seperti : 1) kelompok masyarakat yang berbeda pandangan politik dengan Kepala Desa; 2) kelompok masyarakat yang ternomorduakan karena kultur, seperti perempuan; 3) kelompok masyarakat miskin dan/atau kurang berpendidikan; 4) kelompok profesi seperti (nelayan, petani dll); 5) kelompok penyandang cacat, dan berbagai kelompok lain yang berhak memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat di dalam pembangunan Desa.

    • Terdapat Inkosistensi Jangka Waktu RPJM Desa dengan  RPJMD.

    Pasal 79 ayat (2) butir a menyebutkan “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun”.  Jangka waktu RPJM Desa selama 6 (enam) tahun ini memang sesuai  dengan pasal 39 ayat (1)  yang menyebutkan  “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan”. Namun, ada pertanyaan yang muncul  mengenai hal ini, yaitu: Pertama, mengapa jangka waktu RPJM Desa ini berbeda  dengan jangka  waktu RPJM Nasional dan RPJM Daerah yang berdurasi 5 (lima) tahun sebagaimana diatur di dalam UU SPPN?.[2] Kedua, bagaimana proses relasi timbal balik antara perencanaan pembangunan di tingkat desa dengan perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten jika durasi perencanaan pembangunan antara keduanya berbeda? Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan pelaksanaannya agar tidak menimbulkan permasalahan pada saat implementasinya.

    3. Pelaksanaan Pembangunan Desa

    Pasal 81 UU Desa menyatakan bahwa  pembangunan Desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa dan  dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat gotong royong  serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa. Pada ayat (4) pasal 81 ini ditegaskan bahwa pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa. Sedangkan  pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.

    Pasal 81

    (1)    Pembangunan Desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa. (2)    Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat gotong royong. (3)    Pelaksanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa. (4)    Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa. (5)    Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas

     

    Pembahasan di DPR

    Dari dokumen DIM, semua fraksi menyetujui  rumusan yang diajukan Pemerintah. Proses pembahasan mengenai pasal ini dapat ditemui dalam RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) yang diselenggarakan pada tanggal 14 Juni 2014. Moch. Arif dari Kementrian ESDM, menyoroti Pasal 69 ayat (3) RUU Desa. Menurutnya, pelaksanaan pembangunan desa dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam, dan Pasal 71 mengenai pembangunan kawasan perdesaan menyangkut pembangunan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan infrastruktur. Ia menyatakan bahwa hal ini tidak menjadi masalah. Ia setuju dengan apa yang sudah tercantum dalam RUU.

    Secara umum,   pembahasan ini   di DPR tidak ditemui polemik. Rumusan pasal yang disepakati sama dengan rumusan pasal yang diajukan oleh pemerintah.

     

    Tanggapan

    • Ketentuan pelaksanaan pembangunan Desa mencantumkan secara eksplisit terkait modal sosial Desa, yaitu “gotong royong” dan “kearifan lokal”.

    Hal ini termaktub di dalam pasal 81 ayat (2) dan ayat (3). Namun, bagian penjelasan dari pasal ini tidak mengatur lebih lanjut apa yang dimaksud dengan gotong royong dan kearifan lokal. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan pelaksanaannya agar kedua modal sosial ini  diuraikan secara jelas, sehingga bisa diimplementasikan dengan baik.

     

    • Ketentuan pengadaan barang dan jasa diatur secara spesifik.

    Pasal 81 ayat (4) menyebutkan bahwa “Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa”. Jika ketentuan ini dikaitkan dengan metode pengadaan barang dan jasa, maka frasa  “dilaksanakan sendiri” merupakan metode swakelola dan tidak dilaksanakan oleh pihak ketiga (swasta). Dengan demikian, ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Peraturan Presiden dimana metode pelaksanaan kegiatan pembangunan bisa dengan metode swakelola maupun dilaksanakan oleh pihak ketiga. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan pelaksanaannya agar bisa   diuraikan secara jelas, sehingga bisa diimplementasikan dengan baik.

    • Mekanisme integrasi  program sektoral dengan pembangunan Desa belum jelas.

    Pasal 81 ayat (5) menyebutkan bahwa “Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa”. Namun, bagian penjelasan dari pasal ini tidak mengatur lebih lanjut apa yang dimaksud dengan frasa “diintegrasikan dengan Pembangunan Desa”. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan pelaksanaannya agar bisa   diuraikan secara jelas, sehingga bisa diimplementasikan dengan baik.

    4. Pemantauan dan Pengawasan Pembangunan Desa

    Pasal 82 ini menyatakan secara tegas hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan terlibat aktif mengawasi pelaksanaan pembangunan serta melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pasal ini juga mengatur kewajiban menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan RPJM Desa, RKP Desa, dan APB Desa kepada masyarakat Desa.

    Pasal 82
    (1)  Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa. (2)    Masyarakat Desa berhak melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa. (3)    Masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. (4)    Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan  melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. (5)    Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan Pembangunan Desa.
    Penjelasan
    Cukup Jelas

    Pembahasan di DPR

    Pasal ini merupakan usulan dari Fraksi PDIP. Dalam RUU yang diajukan Pemerintah tidak ada pengaturan mengenai pemantauan dan pembangunan desa. Dari dokumen DIM, Fraksi PDIP mengusulkan penambahan substansi baru dalam bentuk pasal 77-79  dengan redaksional sebagai berikut:

    Rumusan RUU
    Pasal 77
    (1)    Pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan perdesaan dilakukan secara cermat dalam setiap proses dan tahapan sesuai dengan Rencana Pembangunan Perdesaan yang telah ditetapkan; (2)    Badan Permusyawaratan Desa melakukan pengawasan pembangunan perdesaan; (3)    Masyarakat dapat melakukan pengawasan pembangunan perdesaan sebagai bentuk peran serta aktif.
    Pasal 78
    (1)    Hasil pengawasan pembangunan perdesaan meliputi laporan kinerja dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan; (2)    Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
    Pasal 79
    (1)    Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan evaluasi atas pelaksanaan pembangunan perdesaan dan hasil evaluasi tersebut menjadi acuan penyusunan perencanaan pembangunan perdesaan tahun berikutnya (2)    Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan laporan kinerja perencanaan dan pelaksanaan (3)    Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah hasil pengawasan disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (4)    Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Badan Permusyawaratan Desa; (5)    Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (6)    Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

    Pada proses rapat pembahasan, tidak ditemukan risalah rapat yang membahas mengenai pasal ini.  Rumusan akhir pasal disepakati adalah rumusan pasal usulan dari Fraksi PDIP yang kemudian menjadi Pasal 82, dengan rumusan sebagai berikut:

    Rumusan RUU
    Pasal 82
    (1)           Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa. (2)           Masyarakat Desa berhak melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa. (3)           Masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. (4)           Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan  melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. (5)           Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan Pembangunan Desa

    Tanggapan

    • Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang evaluasi pembangunan desa.

    Sebagaimana telah disebutkan di dalam tanggapan penulis terkait pasal 78 yang  menyebutkan bahwa “pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan”, maka tidak ada pasal yang mengatur secara khusus mengenai evaluasi pembangunan Desa. Sedangkan  tahapan  pembangunan di UU SPPN sebagaimana diatur dalam pasal 8 terdiri dari: (i) penyusunan rencana;  (ii) penetapan rencana;  (iii) pengendalian pelaksanaan rencana; dan  (iv) evaluasi pelaksanaan rencana. Akibatnya, terlihat ada missing link (bagian yang hilang) karena tidak ada ketentuan yang menjelaskan tentang evaluasi, sehingga siklus manajemen secara umum yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi tidak bisa dibentuk secara utuh. Meskipun jika merujuk pada pembahasan pasal, rumusan tentang tahapan evaluasi ini telah diusulkan, namun dari risalah rapat tidak diketahui mengapa pada akhirnya rumusan mengenai tahapan evaluasi ini tidak diakomodir dalam rumusan akhir yang disepakati.

     

    • Ketentuan mengenai hak warga untuk melakukan pengawasan diatur dengan jelas.

    Pasal 82 ayat (1) dan (2) secara tegas menjamin hak masyarakat Desa untuk: (i) mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa; dan (ii) melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan pelaksanaannya agar bisa   diuraikan secara jelas sehingga bisa diimplementasikan dengan baik.

     

    • Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah Desa atas informasi publik diatur dengan jelas.

    Pasal 82 ayat (3) secara tegas mengatur kewajiban Pemerintah Desa untuk: (i) menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum; (ii)   melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan pelaksanaannya agar bisa   diuraikan secara jelas, sehingga bisa diimplementasikan dengan baik.

     

    • Ketentuan mengenai penanganan keluhan berhenti di tingkat Desa.

    Pasal 82 ayat (3) menyebutkan bahwa “masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa”. Namun, tidak ada ketentuan lain yang mengatur mengenai kesempatan masyarakat Desa untuk melaporkan keluhan di luar Pemerintah Desa dan BPD. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan pelaksanaannya agar dapat  mengantisipasi penanganan keluhan yang tidak bisa diselesaikan baik oleh Pemerintah Desa maupun  BPD.

    5. Pembangunan Kawasan Perdesaan

    Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004) telah mengatur tentang pembangunan kawasan perdesaan. Hanya saja di dalam kedua rezim UU tersebut tidak secara detail membahas aturan mengenai pembangunan kawasan perdesaan. Undang-Undang No. 22/1999 tidak secara eksplisit disebut sebagai pembangunan kawasan perdesaan[3], sementara UU No. 32/2004 telah secara eksplisit mengatur pembangunan kawasan perdesaan yang menjadi bagian dari kerjasama antar desa, namun pengaturannya juga belum secara detail.

    Berbeda dengan kedua rezim UU di atas, UU Desa, yang memiliki visi mewujudkan desa yang kuat, mandiri, sejahtera, dan demokratis, memberikan pengaturan yang cukup mengenai pembangunan kawasan perdesaan. Ketentuan mengenai pembangunan kawasan perdesaan diamanahkan dalam UU ini untuk diatur dalam Perda[4].  

    Pasal 83
    (1)  Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota. (2)  Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. (3)  Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
    1. penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota;
    2. pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
    3. pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan
    4. pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.
    (4)    Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa. (5)    Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 84
    (1)  Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa. (2)    Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset  Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa. (3)    Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 85
    (1)  Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa. (2)   Pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah,  Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib mendayagunakan  potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pembahasan di DPR

    • Definisi dan Ruang Lingkup

    Dalam Naskah Akademik RUU Desa, tidak ditemukan pembahasan secara khusus mengenai pembangunan kawasan perdesaan. Begitu pula di dalam dokumen DIM (Oktober 2012) tidak ada usulan perubahan dari fraksi-fraksi untuk Pasal 83 dan 84, yang dalam RUU pasal ini adalah Pasal 70 dan 71.

    Rumusan RUU
    Pasal 70
    1)       Pemerintah menetapkan pedoman dan petunjuk teknis pembangunan kawasan perdesaan. 2)       Gubernur sesuai dengan ketentuan pada ayat 91) melakukan pembinaan dan sosialisasi kepada kabupaten/kota di wilayahnya. 3)       Bupati walikota melakukan pendataan dan identifikasi terhadap desa-desa yang dapat ditetapkan sebagai suatu kawasan pembangunan perdesaan. 4)       Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ayat (3), Bupati/Walikota menyusun program yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan perdesaan. 5)       Kawasan pembangunan peresaan ditetapkan dengan peraturan Bupati Walikota.
    Pasal 71
    1)        Pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kawasan. 2)        Pembangunan kawasan perdesaan mencakup pembangunan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan infrastruktur. 3)        Pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud ayat (2) masing-masing dilaksanakan oleh pemerintah desa.

    Seluruh Fraksi di DPR menyetujui rumusan pasal  yang ada di dalam RUU. Perubahan yang diusulkan oleh fraksi-fraksi dalam DIM hanya terkait dengan penyesuaian nomor pasal. Sebelumnya, di dalam RUU Desa,  pengaturan tentang pembangunan kawasan perdesaan terdiri dari 5 ayat, yang didalamnya termasuk pengaturan tentang Sistem Informasi Desa (SID). Namun, setelah proses pembahasan di DPR, pengaturan tentang pembangunan kawasan perdesaan menjadi 3 pasal, namun pengaturannya menjadi lebih detail dibandingkan RUU.

    Terkait dengan proses pembahasan mengenai pembangunan kawasan perdesaan, dalam Rapat Kerja I RUU Desa tanggal 4 April 2012, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri menyampaikan pandangan pemerintah terhadap RUU Desa. Dalam pandangan pemerintah disebutkan bahwa pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, ditujukan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan program-program pembangunan  desa yang terpusat  dan bersifat seragam dengan pola “bantuan“ cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan  konteks sosial yang beragam. Kekurang-jelasan pengaturan kewenangan dan kedudukan keuangan antara Kabupaten/Kota  dan Desa mengakibatkan  desa belum ditempatkan sebagai entitas yang mengelola sendiri perencanaan pembangunannya.  Perencanaan pembangunan desa dan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan menjadi sebuah instrumen  untuk merespon secara cepat, efisien dan efektif atas masalah dan kebutuhan yang berskala lokal.

    Di dalam RUU Desa,  ditegaskan bahwa  perencanaan pembangunan desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan, sehingga program-program sektor yang masuk ke desa wajib disinkronisasikan dan diintegrasikan  dengan perencanaan pembangunan desa. Sedangkan pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan  pembangunan antar desa dalam satu kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan  dilaksanakan dalam upaya mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif.  Ke depan diharapkan UU Desa dapat menjadikan desa sebagai subyek pembangunan yang mendasarkan pada perencanaan pembangunan yang berbasis potensi dan kearifan lokal.

    Pada Rapat Kerja yang sama, DPD memberikan pendapatnya secara khusus mengenai pembangunan kawasan perdesaan. Menurut DPD, isu yang terkait dengan tata ruang, investasi, dan ekonomi politik tidak dibicarakan dalam RUU Desa versi Pemerintah. Cakupan dan orientasi pembangunan perdesaan juga kecil dan sempit yakni mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif. Di sisi lain RUU hanya berbicara tentang tata kelola dan relasi antara pemerintah, desa dan masyarakat, tetapi tidak berbicara tentang investasi masuk desa. Berikut adalah pandangan lengkap DPD tentang pembangunan kawasan perdesaan :

    1. Pembangunan perdesaan merupakan domain kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pengaturan pembangunan perdesaan oleh kabupaten/kota itu harus memperhatikan beberapa aspek: kepentingan masyarakat setempat, kewenangan desa, dana bagi hasil kepada desa, kelancaran pelaksanaan investasi, dan kelestarian lingkungan. Meskipun Pemda mempunyai kewenangan penuh atas investasi pembangunan perdesaan, tetapi tentu tidak boleh menabrak kepentingan masyarakat dan kewenangan desa. DPD juga merekomendasikan bahwa pembangunan perdesaan yang mengandung investasi SDA sebaiknya menggunakan model shareholding, dimana desa dan masyarakat setempat berpotensi juga sebagai shareholder, dan karena itu harus ada bagi hasil kepada desa.
    2. Meskipun pembangunan perdesaan merupakan domain kewenangan kabupaten/kota, tetapi posisi desa dan masyarakat setempat amat penting. Keputusan tentang izin investasi, misalnya, tidak bisa diputuskan langsung oleh kabupaten/kota. Tahap awal yang harus dilalui oleh musyawarah desa untuk mengambil keputusan, apakah investasi itu diterima atau ditolak. Dari sisi bisnis dan administrasi publik, proses ini tentu memperpanjang proses dan biasanya investor enggan untuk melakukan hal ini. Tetapi pengambilan keputusan melalui musyawarah desa selain sebagai bentuk rekognisi (pengakuan dan penghormatan) terhadap desa, sebenarnya juga memberikan keuntungan, keamanan dan kenyamanan bagi investor dalam jangka panjang, sekaligus menghindari konflik antara investor dan masyarakat setempat yang ternyata merugikan semua pihak. Keputusan musyawarah desa itu harus dihormati semua pihak, baik Pemda maupun investor. Jika musyawarah desa menyetujui investasi maka proses selanjutnya adalah pertemuan antara desa, pemda dan investor untuk membicarakan kemitraan dan shareholding. Jika semua ini telah disetujui dengan baik, pemda baru mengambil keputusan tentang izin. Tetapi kalau Musyawarah Desa menolak investasi maka proses selanjutnya tidak boleh dijalankan.

    Menyikapi pandangan DPD, kemudian Pemerintah dalam Rapat Kerja II tanggal 15 Mei 2012 melalui juru bicaranya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, memberikan pandangannya sebagai berikut:

    1. Pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, ditujukan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan program-program pembangunan desa yang terpusat dan bersifat seragam dengan pola “bantuan” cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial yang beragam. Kekurangjelasan pengaturan kewenangan dan kedudukan keuangan antara kabupaten/kota dan desa mengakibatkan desa belum ditempatkan sebagai intensitas yang mengelola sendiri perencanaan pembangunannya.
    2. Perencanaan pembangunan desa dan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan menjadi sebuah instrumen untuk merespon secara cepat, efisien dan efektif atas masalah dan kebutuhan yang berskala lokal dikaitkan dengan upaya percepatan pembangunan perdesaan dalam skala antara desa antara kecamatan dan bahkan antar kabupaten/kota.
    3. Di dalam RUU tentang Desa, ditegaskan bahwa perencanaan pembangunan desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan sehingga program-program sektor yang masuk ke desa wajib disinkronkan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan desa. Sedangkan pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah.
    4. Pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif. Ke depan diharapkan Undang-undang tentang Desa dapat menjadikan desa sebagai subyek pembangunan yang mendasarkan pada perencanaan pembangunan yang berbasis potensi dan kearifan lokal.

    Dalam RDPU yang diselenggarakan pada tanggal 13 Juni 2012, Prof. DR. Robert Z Lawang memberikan pandangannya terkait pembangunan kawasan perdesaan. Menurutnya, RUU ini masih perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pembangunan perdesaan sebagai intinya. Pembangunan kawasan perdesaan menjadi sangat penting.  Karena itu perlu mengangkat status RUU lebih tinggi dibandingkan undang-undang lainnya, tidak sekedar perpanjangan dari UU No. 32 tahun 2004. Ia juga mengkritisi Pasal 70 (RUU) ini dengan menyatakan bahwa peran pemerintah, pemerintah provinsi, dan kabupaten terlalu dominan dalam pembangunan kawasan perdesaan. Berikut adalah pernyataan lengkap dari Prof. DR. RZ Lawang:

    “....Pasal 70 dan seterusnya menyebutkan dengan jelas, peran Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten yang terlalu dominan. Mungkin dalam kebijakan pembangunan perdesaan selama ini, definisi pembangunan perdesaan sudah dikeluarkan oleh Pemerintah. Namun demikian, perlu ada satu peta tata ruang pembangunan sebagai blue print untuk desa-desa di Indonesia, sehingga desa itu mempunyai status permanen, dan peta itu disusun dalam satuan-satuan lebih kecil, sampai mungkin kalau perlu ke Letter C, sehingga orang desa dan Pemdes mengetahui dengan  jelas status kawasan mereka, untuk satu pengembangan pembangunan pertanian. Dengan  kata lain, RUU ini harus menempatkan pembangunan perdesaan sebagai inti, dan mengarahkan sektor-sektor pelaksana lainnya dari Pemerintah, akan fungsi mereka dalam pengembangan pertanian dan pengembangan sumber daya manusianya. Karena pembangunan kawasan Perdesaan itu menjadi sangat penting, perlu mengangkat RUU ini memiliki status yang lebih tinggi daripada undang-undang yang lainnya. Dan tidak sekedar perpanjangan dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 200-216. Dengan  cara berpikir seperti itu, maka RUU ini perlu ditata kembali sedemikian, sehingga seluruh perhatian kita tercurah pada pembangunan desa, dengan  fungsi sosial politik, ekonomi nasional, yang penting untuk masa depan Negara kita...”.

    Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan juga mengkritisi adanya pengaturan tentang pembangunan kawasan perdesaan dan pembangunan desa, yang disampaikannya pada  Rapat Dengar Pendapat Umum  tanggal 28 Juni 2012.  Menurutnya, adanya pengaturan tentang pembangunan kawasan perdesaan dalam RUU Desa menjadikan RUU ini tidak jelas maksud dan tujuannya, apakah RUU ini nantinya menjadi RUU Desa dan Pembangunan Perdesaan atau RUU Pemerintahan Desa? Arya Hadi memberikan catatan bahwa sebaiknya RUU ini konsisten, apakah menjadi RUU Pemerintahan Desa, atau  RUU Desa dan Pembangunan Perdesaan. Berikut ini pernyataan lengkap dari Arya Hadi Dharmawan:

    ”... kritik saya pada Bab XI dan seterusnya tentang kawasan perdesaan dan pembangunan desa. Saya berulangkali pada tahun 2007 dan 2008 kalau tidak salah, diundang selalu untuk membahas UU Pembangunan Desa, termasuk dengan DPD dan sebagainya yang kemudian UU itu almarhum, karena disana sebetulnya mendefinisikan desa sebagai spasial. Nah pertanyaannya adalah, ketika ini mulai dimasukkan, pasal-pasal pada bab pembangunan kawasan perdesaan ini dimasukkan ke dalam RUU Desa, ini kemudian ada inkonsistensi semangat dan roh, definis desa, antara yang ada pada Bab XI dan seterusnya itu dengan Bab Ketentuan Umum, No. 5 tadi. Desa di dalam RUU ini dimaknai sebagai satu kesatuan masyarakat hukum, tetapi ada pasal-pasal yang mengandaikan bahwa desa itu adalah kesatuan ruang, kesatuan spasial yang a human, begitu kira-kira. Yang bisa diatur-atur, diintegrasikan dan seterusnya. Saya ingin mengatakan bahwa masuknya pasal-pasal ini terutama Pasal 70-74, ini menjadikan RUU yang tadinya sudah kita katakan RUU Desa, menjadi RUU apa, begitu ya. Apakah ini RUU Desa dan Pembangunan Perdesaan? Tapi kalau itu yang kita namakan, kemudian hongnya atau domainnya, ini bukan di Kemendagri nanti, mungkin di Kemendagri dan PU, dan mungkin kementrian PDT. Nah, ini yang punya gawe yaitu Kemendagri bisa kemudian agak kaget begitu ya. Tapi saya tidak tahu apakah ini memang dari Kemendagri, saya tidak tahu. Tetapi sampai tahun 2009 - 2010 ketika saya terakhir ikut mengawal RUU Desa ini bersama-sama dengan kawan-kawan di Kemendagri, rasanya Bab XI tentang pembangunan desa dan kawasan perdesaan waktu itu tidak ada. Saya tidak tahu apa yang terjadi, kemudian ini muncul disini. Dalam catatan saya itu, saran yang saya berikan adalah sebaiknya kita konsisiten, apakah ini akan menjadi RUU Desa, RUU Pemerintahan Desa, atau RUU tentang Desa dan Pembangunan Perdesaan...”.

    • Peran Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat

    Tidak ada perdebatan signifikan dalam proses pembahasan Pasal 85 yang terkait dengan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan kawasan perdesaan. Di dalam RUU, pasal ini sebelumnya adalah Pasal 72, dengan rumusan pasal sebagai berikut:

    • Pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif.
    • Pelaksanaan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga wajib mengikutsertakan masyarakat desa yang bersangkutam dengan yang diwakili oleh pemerintah desa dan BPD.

    Dalam DIM, seluruh Fraksi DPR menyetujui rumusan pasal ini. Usulan perubahan hanya pada point penyesuaian nomor pasal. Sementara dalam Rapat Kerja I RUU Desa, DPD memberikan perhatian khusus pada Pasal 72 ayat (2) dalam draft RUU.  Menurut pandangan DPD, pengaturan pasal ini mengenai mekanisme keterlibatan masyarakat dan pemerintah desa belum cukup memadai untuk menjawab persoalan representasi desa dan proteksi desa dari investasi.

    “...Di sisi lain RUU hanya berbicara tentang tata kelola dan relasi antara pemerintah, desa dan masyarakat, tetapi tidak berbicara tentang investasi masuk desa. Pasal 72 ayat 2 menegaskan: “Pelaksanaan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga wajib mengikutsertakan masyarakat desa yang bersangkutan yang diwakili oleh pemerintah desa dan BPD”. Mekanisme ini tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan representasi desa dan proteksi desa dari investasi. RUU Desa versi pemerintah sebenarnya mempunyai klausul tentang musyawarah desa tetapi institusi deliberatif ini tidak diposisikan sebagai wadah pengambilan keputusan tentang pembangunan perdesaan khususnya yang terkait dengan investasi”.

    Terkait dengan izin investasi, Sutoro Eko juga memberikan pandangannya dalam RDPU yang diselenggarakan pada tanggal 12 Juni 2012. Menurutnya,  ijin investasi yang masuk ke desa tidak bisa diputuskan sendiri oleh pemerintah, tapi harus ada persetujuan dari desa. Berikut penyataan lengkap Sutoro Eko:

    “....kemudian yang ketiga, izin investasi yang masuk ke ranah desa tidak bisa diputuskan sendiri oleh pemerintah dengan cara-cara rente selama ini ya, tetapi butuh persetujuan awal dari desa. Nah persetujuan awal dari desa itu tidak cukup dengan rekomendasi kepala desa yang selama ini terjadi seperti itu. Jadi sebelum bupati mengeluarkan ijin itu ada rekomendasi dari kepala desa dan mohon maaf itu menjadi bagian dari perebutan rente selama ini. Oleh karena itu, di dalam usulan ini, perlu ada semacam institusi musyawarah desa yang mengambil keputusan secara kolektif untuk mengambil keputusan yang strategis termasuk investasi yang masuk desa, termasuk perubahan desa dan sebagainya. Jadi basis awalnya melalui musyawarah desa secara emansipatoris, secara partisipatoris..”.

     

    Tanggapan

    • Definisi dan Ruang Lingkup

    Pembangunan kawasan perdesaan dalam Pasal 83 ayat (1) didefinisikan sebagai perpaduan pembangunan antar-Desa dalam satu kabupaten/kota. Sedangkan kawasan perdesaan sendiri dalam ketentuan umum UU Desa diartikan sebagai “ ....kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi”.  Dengan tujuan sebagaimana tercantum dalam ayat (2) pasal ini.

    Ruang lingkup pembangunan kawasan perdesaan diantaranya mengatur tentang penggunaan dan pemanfaatan lahan (pasal 83 ayat 1). Dengan diaturnya penggunaan dan pemanfaatan lahan bisa mengurangi mis-alokasi sumberdaya yang selama ini terjadi antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Keadaan yang selama ini terjadi adalah kurangnya investasi infrastruktur yang tercermin pada kurangnya fasilitas jasa umum di perdesaan. UU Desa dapat memaksa pemerintah untuk mengalokasikan dananya ke alokasi yang lebih produktif di perdesaan.

    Rencana pembangunan kawasan perdesaan harus mengacu pada RPJMD Kabupaten/Kota dan dibahas bersama oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan pemerintah desa. Hal ini seperti dijelaskan dalam pasal 83 ayat (4) dan (5).

     

    • Peran Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat Desa

    Pasal 84 ayat (1) dan (2), ditegaskan bahwa pembangunan kawasan perdesaan yang terkait dengan pemanfaatan aset desa dan tata ruang desa wajib melibatkan pemerintah desa. Perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatannya sendiri harus merujuk pada hasil Musyawarah Desa. Secara eksplisit kedua pasal ini bertujuan memperkuat Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pembangunan serta menjadikan pemerintah desa sebagai subyek pembangunan.

    Selain penguatan pemerintah desa, penguatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kawasan perdesaan juga menjadi perhatian UU Desa sebagaimana diatur dalam pasal 85. Pada pasal 85 Ayat (3) mewajibkan pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan yang berskala lokal desa diserahkan kepada pemerintah desa.

     

    • Sinkronisasi pembangunan kawasan perdesaan dengan penataan ruang dan perlindungan lahan pertanian.

    Pasal 83 ayat (3) huruf a menyebutkan  penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang kabupaten/kota. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan kawasan perdesaan berkaitan erat dengan penataan ruang suatu wilayah yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Baik penataan ruang kawasan perdesaan yang ada dalam UU Penataan Ruang maupun pembangunan kawasan perdesaan yang ada dalam UU Desa memiliki tujuan yang sama, yakni pemberdayaan masyarakat desa. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya perencanaan pembangunan kawasan perdesaan perlu merujuk pada UU Penataan Ruang. Selain penataan ruang, pelaksanaan pembangunan kawasan juga perlu memperhatikan perlindungan lahan pertanian yang diatur dalam UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Pemerintah desa harus berperan aktif melindungi lahan pertanian yang dimiliki oleh warga agar tidak dialihfungsikan.

               

    • Belum ada pengaturan tentang izin investasi yang masuk ke desa dalam pembangunan kawasan perdesaan.

    Pasal 83-85 yang mengatur pembangunan kawasan perdesaan, tidak mengatur tentang izin investasi yang masuk ke desa. Padahal persoalan izin investasi yang masuk ke desa mengemuka pada saat pembahasan RUU di DPR.  Sejumlah pakar seperti Sutoro Eko dan DPD  mempersoalkan perlunya pengaturan mengenai ijin investasi yang masuk ke desa. Keputusan tentang izin investasi  khususnya yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa diputuskan langsung oleh pemerintah kabupaten/kota. Izin yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak cukup  dengan rekomendasi dari Kepala Desa. Musyawarah Desa harus dijadikan sebagai pengambilan keputusan tertinggi sebagai bentuk rekognisi (pengakuan) terhadap desa.

    • Belum ada pengaturan mekanisme pelibatan masyarakat dan pemerintah desa dalam pengambilan keputusan pembangunan kawasan perdesaan.

    Pasal 85 ayat (1) dan (2) menegaskan pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan mengikutsertakan masyarakat desa dan pemerintah desa.  Melalui pasal ini, UU Desa memiliki semangat memperkuat masyarakat desa dengan memosisikan mereka  sebagai subyek pembangunan. Akan tetapi, pengaturan mengenai bagaimana mekanisme pelibatan masyarakat dan pemerintah desa dalam pengambilan keputusan pembangunan kawasan perdesaan belum diatur secara jelas dalam pasal 85. Sementara, apabila merujuk pada Pasal 54 ayat (2), penetapan kawasan pembangunan perdesaan tidak secara eksplisit masuk dalam hal-hal strategis yang dibahas dalam Musyawarah Desa.

    • Belum ada pengaturan batasan pembangunan kawasan perdesaan berskala lokal desa.

    Dalam Pasal 85 ayat (3) ditegaskan bahwa pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa. Akan tetapi, penjelasan mengenai batasan pembangunan berskala lokal desa ini belum jelas diatur dalam Pasal 85 termasuk di dalam penjelasan UU Desa. Kondisi inilah yang perlu dipertimbangkan dalam aturan pelaksanaannya agar ketentuan ini bisa diterapkan.

    6. Sistem Informasi Desa

    Sistem Informasi Desa (SID) menjadi bagian tak terpisahkan dari pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Dengan adanya perubahan paradigma pembangunan desa membuat SID menjadi penting peranannya. Karena itu, perlu dikembangkan SID yang sesuai dengan visi UU Desa yakni menjadikan desa kuat, mandiri, sejahtera, dan demokratis. Oleh karenanya, SID diatur secara khusus dalam UU Desa melalui Pasal 86.

    Dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72/2005 tentang Desa tidak diatur secara khusus tentang sistem informasi serupa SID. Undang-Undang Desa ini ingin menegaskan pentingnya SID dalam perencanaan dan pembangunan desa, karena itu dalam Pasal 86 ayat (2) dan ayat (5) mewajibkan kepada Pemerintah dan Pemda untuk mengembangkan SID, dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Desa agar dapat diakses oleh masyarakat desa dan pemangku kepentingan lainnya. Ayat (6) menjelaskan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan kabupaten/kota untuk desa.

    Pasal 86
    (1)  Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan. (3)   Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia. (4)   Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan. (5)   Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan. (6)   Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas.

    Pembahasan di DPR

    Rumusan pasal mengalami perubahan dari draft RUU yang diserahkan oleh pemerintah. Sebelumnya dalam RUU, pengaturan tentang SID diatur dalam Pasal 73 dan hanya terdiri dari 4 ayat. Setelah proses pembahasan, rumusan pasal dalam UU Desa menjadi Pasal 86 dan terdiri dari 6 ayat. Berikut adalah rumusan pasal dalam RUU Desa sebelum mengalami perubahan saat proses pembahasan di DPR.

    Rumusan RUU
    Pasal 73
    1)      Pemerintah mengembangkan sistem informasi desa. 2)      Sistem informasi desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan  data monografi desa. 3)      Sistem informasi desa sebagaimana dimaksudpada ayat (1) meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia. 4)      Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh pemerintah desa.

    Dalam dokumen DIM (Oktober 2012), seluruh fraksi DPR menyetujui rumusan pasal-pasal yang ada dalam RUU, kecuali Fraksi PDIP yang mengusulkan adanya penambahan substansi baru yakni penambahan 2 ayat. Usulan Fraksi PDIP ini mengacu pada RUU Pembangunan Perdesaan (DPR 2004-2009) yang sebelumnya telah diajukan. Berikut adalah usulan substansi baru dari Fraksi PDIP (tambahan ayat 5 dan 6):

    “Ayat (5) Sistem informasi desa juga memuat informasi pembangunan perdesaan berupa informasi publik yang sifatnya umum, terbuka, dan bertanggungjawab disampaikan kepada masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

    Ayat (6) informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap tahun kepada BPD, DPRD kabupaten/kota, DPR, dan pemerintah”.

     

    Dalam proses pembahasan pasal ini baik dalam Rapat Kerja, maupun RDPU tidak ada perdebatan diantara fraksi-fraksi di DPR, maupun kritik dan masukan dari para ahli.

     

    Tanggapan

    • Efektifitas pengelolaan SID

     Sebetulnya  SID bukan hal baru yang digunakan dalam mendukung perencanaan dan pembangunan di desa. Sebelum diatur dalam UU Desa, telah banyak desa-desa yang mengembangkan SID dengan inisiatif atau fasilitasi pemerintah kabupaten/kota. Dengan diaturnya SID secara eksplisit dalam UU Desa, menjadikan SID kian penting peranannya dalam pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan khususnya mengenai manajemen informasi data. Namun, pengelolaan SID yang diatur dalam UU Desa ini menimbulkan pertanyaan mengenai:

    Sejauhmana efektifitas pengelolaan SID oleh Pemerintah Desa?  

    Sistem Informasi serupa SID

     

    Sistem Informasi Dasar Muatan Informasi Capaian Masih Berlaku ?
    Data Desa ............... ............... ..................... Ya/Tidak
    Sistem Layanan Informasi publik UU NO. 14 Tahun 2008 tentang KIP .................. ............... .............
    .................. ..................... .................. .............. .............
    ................ ................. ................... ................. .................

    Pasal 86 ayat (1) dinyatakan bahwa SID dikembangkan oleh pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota. Sementara pada ayat (5) disebutkan pengelolaan SID dilakukan oleh pemerintah desa. Pertanyaan diatas  cukup beralasan, karena di satu sisi SID dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, namun pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Desa. Di saat yang lain, Desa juga masih dibebani tanggung jawab untuk mengisi berbagai sistem informasi serupa SID yang masih berlaku, sehingga perlu kita pertimbangkan kesiapan aparatur desa (ketersediaan dan kualifikasi personil) untuk memenuhi tanggung jawab terkait sistem informasi yang harus terus dimutakhirkan (update).

    • Kualitas sistem informasi desa dan manajemen informasi data menjadi tantangan.

    Pasal 86 ayat (4) disebutkan SID yang dikembangkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah ini meliputi data Desa, data pembangunan desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan.

    Sistem informasi yang akan dikembangkan oleh pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota setidaknya harus menjawab kebutuhan yang terkait dengan data desa, sehingga desa menjadi bersuara. SID diharapkan dapat mempunyai data dan informasi yang berkualitas, komprehensif, dan terintegrasi.

    Perencanaan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan tidak berjalan sendiri-sendiri antara pemerintah daerah dan pemerintah desa. Perlu ada sinkronisasi antara rencana pembangunan kawasan pedesaan berdasarkan rencana tata ruang daerah dan RPJM Desa. Ketika SID dikelola oleh desa, kualitas SID dan manajemen informasi data menjadi sebuah tantangan, bagaimana desa mampu memperbaharui data, konten, dan informasi desa secara terus menerus. Kondisi inilah yang perlu diperhatikan dalam aturan pelaksanaannya agar ketentuan ini bisa diterapkan.

    7. Kerjasama Desa

    Kerjasama desa diatur dalam bab terpisah dari pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Meskipun terpisah pengaturannya, kerjasama desa memilki keterkaitan dengan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Pengaturan tentang kerjasama antar desa diatur dalam Bab XI Pasal 91-93. Dalam UU Desa ini tidak diatur tentang kerjasama antar-desa dengan pihak ketiga.

    Pada pasal 91, ditegaskan bahwa desa dapat melakukan kerjasama desa. Kerjasama desa dapat dilakukan dalam dua model, yaitu Pertama, kerjasama antar desa dan Kedua, kerjasama dengan pihak ketiga. Kedua model kerjasama ini memiliki tujuan yang sama, yakni mempercepat pembangunan, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat desa.

    Pasal 92 ayat (1) menyebutkan kerjasama antar desa yang dilakukan oleh desa ini meliputi: a.  pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; b. Kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar desa; dan c. Bidang kemananan dan ketertiban. Secara hukum, dalam pada ayat (2) disebutkan kerjasama antar desa dituangkan dalam peraturan bersama kepala desa melalui kesepakatan musyawarah antar desa.

    Musyawarah antar desa yang bersepakat untuk melakukan kerjasama desa, membahas hal-hal yang berkaitan dengan:

    1. Pembentukan lembaga antar-Desa;
    2. pelaksanaan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat dilaksanakan melalui skema kerja sama antar-Desa;
    3. perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan antar-Desa;
    4. pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan Kawasan Perdesaan;
    5. masukan terhadap program Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut berada; dan
    6. kegiatan lainnya yang dapat diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa.

    Dalam melaksanakan kerjasama desa ini, desa membentuk lembaga/badan kerjasama antar desa yang pembentukannya diatur melalui Peraturan Bersama Kepala Desa. Untuk pelayanan usaha antar desa, dapat dibentuk BUM Desa yang kepemilikannya dimiliki oleh 2 desa atau lebih yang melakukan kerjasama desa.

    Pasal 91
    Desa dapat mengadakan kerja sama dengan Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
    Penjelasan
    Cukup jelas.
    Bagian Kesatu Kerja Sama antar-Desa Pasal 92
    (1)    Kerja sama antar-Desa meliputi: a.    pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; b.    kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau c.     bidang keamanan dan ketertiban. (2)    Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa. (3)    Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa. (4)    Musyawarah antar-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membahas hal yang berkaitan dengan: a.    pembentukan lembaga antar-Desa; b.    pelaksanaan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat dilaksanakan melalui skema kerja sama antar-Desa; c.     perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan antar-Desa; d.    pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan Kawasan Perdesaan; e.    masukan terhadap program Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut berada; dan f.      kegiatan lainnya yang dapat diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa. (5)    Dalam melaksanakan pembangunan antar-Desa, badan kerja sama antar-Desa dapat membentuk kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan. (6)    Dalam pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih.
    Penjelasan
    Cukup jelas.
    Bagian Kedua Kerja Sama dengan Pihak Ketiga Pasal 93
    (1)    Kerja sama Desa dengan pihak ketiga dilakukan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. (2)    Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimusyawarahkan dalam Musyawarah Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas.

     

    Pembahasan di DPR

    Pada saat menyampaikan pandangan umum tentang RUU Desa di dalam Rapat Pansus 4 April 2012, Menteri Dalam Negeri mewakili Pemerintah tidak secara khusus menyampaikan pernyataan terkait dengan klausul ini. Usulan rumusan pemerintah dalam RUU Desa juga dapat dikatakan sangat sederhana. Di sana dinyatakan bahwa, Desa dapat mengadakan kerjasama antar desa dan kerjasama dengan pihak ketiga yang dimusyawarahkan dengan BPD. Ketentuan lebih lanjut tentang kerjasama antar desa dan kerjasama dengan pihak ketiga lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Dasar pemikiran dirumuskannya ketentuan tentang kerjasama antar desa, menurut Naskah Akademik RUU Desa adalah agar kerjasama yang dibangun lebih terarah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Selama ini peluang kerjasama antar desa yang dibuka oleh UU sebelumnya telah dimanfaatkan oleh elit-elit desa untuk membentuk forum komunikasi dan asosiasi. Sejak tahun 2000, hampir di setiap kabupaten terbentuk forum komunikasi atau asosiasi Kepala Desa maupun Badan Perwakilan Desa (BPD). Tahun-tahun berikutnya asosiasi ini membesar di level provinsi dan nasional, sebagaimana ditunjukkan dengan hadirnya Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh Indonesia (ABPEDSI), Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan juga Parade Nusantara (Persatuan Perangkat Desa Nusantara). Kemudian juga disusul dengan hadirnya Asosiasi Sekdes Seluruh Indonesia untuk memperjuangkan aspirasi mereka agar segera diangkat menjadi PNS. Berbagai asosasi ini ternyata tumbuh sebagai “organisasi politik” baru yang digunakan sebagai wadah penyaluran aspirasi politik anggotanya, bahkan digunakan untuk menekan dan menantang pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Penyaluran aspirasi politik para pemimpin Desa melalui wadah asosiasi tentu merupakan hak politik yang dijamin oleh konstitusi, tetapi fungsi kerjasama antar Desa tidak diutamakan oleh asosiasi-asosiasi ini.

    Sedangkan pengaturan tentang kerjasama desa dengan pihak ketiga didasari pada maraknya fenomena penguasaan oleh kaum elit (elite capture) di tingkat desa. Dalam Naskah Akademik diuraikan, selama ini di banyak daerah, kepala Desa maupun elit lokal mengambil keputusan sendiri menjual/menyewakan tanah kas Desa atau tanah ulayat kepada pihak ketiga, yang akhirnya hanya menguntungkan elite lokal dan justru merugikan masyarakat. Di banyak daerah, juga seringkali dijumpai pertengkaran antara kepala Desa dengan rakyat karena keputusan pengembangan kawasan maupun kerjasama bisnis yang tidak melibatkan masyarakat.

    Terhadap rumusan draf RUU tersebut, FPKS melalui DIM yang disusun mengusulkan agar dirumuskan klausul yang lebih jelas tentang ruang lingkup bidang yang dikerjasamakan.  Menurut FPKS, kerjasama antar desa dan kerjasama desa dengan pihak ketiga meliputi bidang-bidang: a) peningkatan perekonomian masyarakat desa;  b) peningkatan pelayanan pendidikan;  c) kesehatan; d) pertanian; e) sosial budaya; f) ketertiban; g) tenaga kerja; h) pekerjaan umum; i) keuangan mikro; j) pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi tepat guna dengan memperhatikan kelestarian dan keadilan lingkungan; dan k) lain-lain bidang kerjasama yang menjadi kewenangan Desa.

    Sedangkan FPPP mengusulkan ruang lingkup kerjasama tersebut dalam bidang-bidang: a) peningkatan perekonomian masyarakat desa; b) peningkatan pelayanan pendidikan; c) kesehatan; d) sosial budaya; e) ketertiban; f) tenaga kerja; g) pekerjaan umum; h) pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi tepat guna dengan memperhatikan kelestarian dan keadilan lingkungan; dan i) lain-lain bidang kerjasama yang menjadi kewenangan desa.

    Meskipun dalam rapat-rapat Pansus, bagian ini tidak terlalu mengemuka, namun terdapat perubahan yang cukup signifikan pada rumusan ini setelah dibahas dalam rapat Timus hingga tanggal 3 Oktober 2013. Jika dalam draft RUU Pemerintah kerjasama antar desa dan kerjasama dengan pihak ketiga menjadi satu bagian, pada rumusan draft hasil Timus ini telah diurai menjadi dua bagian. Pada bagian kerjasama antar desa, bidang yang dikerjasamakan meliputi:

    1. mengembangkan usaha bersama yang dimiliki oleh beberapa Desa;
    2. pelaksanaan kegiatan pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat antar Desa; dan
    3. bidang keamanan dan ketertiban.

    Sedangkan pada bagian kerjasama dengan pihak ketiga tidak dicantumkan ruang lingkup, tapi hanya disebutkan tujuannya yaitu untuk mempercepat dan meningkatkan kegiatan pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Meskipun tidak sama persis, tetapi substansinya sama dengan klausul pada UU yang disahkan.

    Dalam rumusan hasil rapat Timus ini juga sudah tidak lagi mencantumkan klausul yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai kerjasama antar desa dan kerjasama dengan pihak ketiga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Selain beberapa perubahan sebagaimana disebutkan di atas, dalam kaitan dengan kerjasama desa ini, UU Desa memandatkan beberapa hal yang tidak diusulkan dalam RUU Pemerintah. Pertama, UU ini memberikan kewenangan untuk membentuk badan kerjasama antar desa sekaligus kewenangan kepada badan tersebut untuk membentuk kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan. Kedua, UU ini memberikan kewenangan untuk menyelenggarakan musyawarah antar desa. Ketiga, UU ini menyatakan ketentuan tentang Peraturan Bersama Kepala Desa.  Peraturan ini sebagai dasar mengatur penetapan kerjasama antar-Desa dan  pembentukan badan kerjasama antar-desa. Dan Keempat, UU ini memberikan peluang dibentuknya BUM Desa yang dapat dimiliki oleh dua desa atau lebih.

    Tanggapan

    • Pengaturan kerjasama desa lebih detail.

    Secara umum, jika dibandingkan dengan UU sebelumnya, pengaturan tentang kerjasama desa pada UU ini jauh lebih spesifik dan detail. Pengaturan kerjasama desa dalam UU No. 32/2004 terkesan hanya sepintas lalu. Badan kerjasama antar desa, pada UU No. 32/2004 keberadaannya terkesan tidak urgent (penting dan mendesak). Sedangkan pada UU Desa, keberadaan badan kerjasama antar desa secara implisit merupakan suatu keharusan. Mengacu pada klausul ini, kerjasama antar desa hanya dapat dilakukan melalui badan ini.

    • UU Desa memberikan kewenangan secara penuh kepada Desa untuk melakukan kerjasama desa

    Desa mendapat kewenangan penuh untuk melakukan kerjasama desa, mekanisme pelaksanaannya diserahkan kepada Desa dan tidak perlu melaporkannya kepada Bupati/Walikota. Sedangkan jika mengacu pada UU No. 32/2004, pelaksanaan kerjasama antar desa dan kerjasama desa dengan pihak ketiga harus dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui camat. Namun di sisi lain, dengan pengaturan yang  lebih spesifik  justru dapat berdampak pada terbatasnya ruang gerak dalam implementasinya nanti.  Sebagai contoh adalah pengaturan tentang ruang lingkup kerjasama antar-desa. Dengan dibatasinya ruang lingkup sebagaimana dituangkan pada pasal 92 ayat 1, desa tidak memiliki legitimasi untuk mengadakan kerjasama di luar hal-hal diatur tersebut. Ketentuan mengenai Peraturan Bersama Kepala Desa akan memunculkan tantangan tersendiri bagi kepala-kepala desa, sebab ini merupakan hal baru bagi mereka. Kepala desa belum memiliki model bagaimana peraturan ini dirumuskan.

    • Tidak ada pengaturan tentang kerjasama antar-desa dengan pihak ketiga.

    Dalam Bab tentang Kerjasama Desa ini tidak diatur ketentuan tentang kerjasama antar-desa dengan pihak ketiga. Sedangkan pada praktiknya hal ini dapat saja terjadi. Sebagai contoh, dua desa yang telah bekerjasama dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki bersama akan mengembangkan lebih jauh dengan melibatkan investor.  Saat kedua desa ini akan bekerjasama dengan investor tersebut, bagaimana mekanisme yang harus dijalankan? Dalam kondisi kekosongan peraturan tentang hal ini, ada peluang bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengambil alih sebagai pihak yang bekerjasama dengan investor tersebut.

    Ketiadaan panduan ini juga akan menimbulkan kerawanan konflik kewenangan di lapangan, karena ada banyak pemangku kewenangan di desa (di atas satu objek yang sama) seperti Pemerintah Daerah, Perhutani, Perusahaan Umum Daerah dan sebagainya.

    8. Penutup

    Sejalan dengan dinamika dan tuntutan pembangunan bangsa, pemerintah melalui UU Desa juga memiliki semangat membangun desa dengan meningkatkan pembangunan kawasan perdesaan yang bertujuan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Oleh karena itu, UU Desa ini juga mengatur pembangunan kawasan perdesaan yang terpisah dari pembangunan desa dalam Pasal 83-85. Di dalam pembangunan kawasan perdesaan terdapat Sistem Informasi Desa (SID) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pembangunan kawasan perdesaan yang diatur dalam Pasal 86.  Bagian lain yang menjadi bagian dari pembangunan kawasan perdesaan adalah kerjasama antar desa yang diatur dalam pasal 91-93, meskipun dalam UU Desa pengaturan kerjasama antar desa menjadi Bab tersendiri terpisah dari pembangunan kawasan perdesaan. Undang-Undang Desa menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu ‘Desa membangun’ dan ‘membangun Desa’ yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa. Sebagai konsekuensi, Desa berhak menyusun perencanaan pembangunannya sendiri sesuai dengan kewenangannya dan harus mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh APB Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau APBD Kabupaten/Kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa. Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa. Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa dan diintegrasikan dengan rencana Pembangunan Desa. Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.

    Catatan Kaki

    [1]    Definisi Desa dalam ketentuan Umum Undang-Undang Desa

    [2] Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnyadisingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan untuk periode  5 (lima) tahun (Ketentuan Umum UU No. 25 tahun 2004).

    [3] Pasal 110 menyebutkan: “pemerintah kabupaten dan/atau pihak ketiga yang merencanakan pembangunan bagian wilayah Desa menjadi wilayah permukiman, industri, dan jasa wajib mengikutsertakan pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya”

    [4] Lihat pasal 215 ayat (2) UU Desa

    Last Updated 14 June 2016.