Klaster 3: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Peraturan Desa

    Pemerintahan dalam pengertian yang sempit ialah segala aktivitas, tugas, fungsi, dan kewajiban yang dijalankan oleh lembaga yang berwenang mengelola dan mengatur jalannya sistem pemerintahan negara untuk mencapai tujuan negara. Hirarki pemerintahan di Indonesia mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai desa. Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, sistem pemerintahan desa mulai coba diseragamkan lewat UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa, dan kemudian diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah.

    Desa dengan segenap atribut pemerintahannya adalah arena yang berhadapan langsung dengan rakyat. Pemerintahan desa adalah sentra kekuasaan politik lokal yang dipersonifikasi lewat Kepala Desa dan perangkatnya. Posisi pemerintahan desa juga sangat penting, mengingat mayoritas penduduk Indonesia tinggal di pedesaan.

    Pada prakteknya sistem pemerintahan Desa di Indonesia tidak seragam. Adanya gampong di Aceh, nagari di Sumatera Barat, marga di Palembang, dan banjar di Bali memperlihatkan warna lain pemerintahan desa. Upaya penyeragaman itu akhirnya membuat desa tidak mandiri. Kini, lewat UU Desa, pemerintah dan DPR berupaya mengembalikan kemandirian Desa dan pengakuan terhadap Desa berdasarkan asal usul. Di dalam UU Desa (UU No. 6 Tahun 2014), materi tentang pemerintahan desa terutama diatur pada pasal 23-66.

     

    Daftar Isi :

    1. Lingkup dan Asas
    2. Kepala Desa
    3. Perangkat Desa
    4. Musyawarah Desa
    5. Badan Permusyawaratan Desa
    6. Peraturan Desa
    7. Penutup
    Catatan Kaki

    1. Lingkup dan Asas

    Dalam konsepsi UU No. 32 Tahun 2004, khususnya pasal 200, pemerintahan Desa adalah bagian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota. Namun UU itu dan UU No. 5/1979, tak memberikan penjelasan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pemerintahan Desa. Hal berbeda terlihat dari UU Desa yang sudah memberikan definisi tentang pemerintahan Desa. Pemerintah Desa pada dasarnya lebih merujuk pada organ, sedangkan pemerintahan desa lebih merujuk pada fungsi.[1] Pemerintahan Desa mencakup fungsi regulasi/kebijakan, fungsi pelayanan dan fungsi pemberdayaan.

    Undang-Undang Desa memperjelas asas penyelenggaraan pemerintahan Desa yang menjadi prinsip/nilai dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa. Asas itu dijelaskan dalam pasal berbeda yang terdapat dalam Bab V tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Banyaknya pasal yang mengatur tentang pemerintah Desa dapat dipahami karena pemerintah Desa menjadi representasi penyelenggara urusan pemerintahan (top-down) sekaligus menjembatani kepentingan masyarakat setempat (bottom up).

    Pasal 1 angka 2
    Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 1 angka 3
    Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Penyelenggaraan pemerintahan Desa dalam konteks ini meliputi Desa dan Desa Adat. Pemerintah desa adalah Kepala Desa atau dengan sebutan lain dan perangkat desa. Pengaturan mengenai lingkup dan asas dirumuskan dalam Pasal 23-25 berikut:

    Pasal 23
    Pemerintahan desa diselenggarakan oleh pemerintah desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 24
    Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas: a.       Kepastian hukum; b.      Tertib penyelenggaraan pemerintahan; c.       Tertib kepentingan umum; d.      Keterbukaan; e.       Proporsionalitas f.        Profesionalitas g.       Akuntabilitas h.      Efektivitas dan efisiensi i.         Kearifan lokal; j.         Keberagaman; dan k.       Partisipatif.
    Penjelasan
    a.       Kepastian hukum; yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan desa. b.       Tertib penyelenggaraan pemerintahan; yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara pemerintahan desa. c.       Tertib kepentingan umum; yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. d.       Keterbukaan; yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan. e.       Proporsionalitas; yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan pemerintahan desa. f.        Profesionalitas; yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. g.       Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai peraturan perundang-undangan. h.      Efektivitas dan efisiensi. Efektif berarti setiap kegiatan yang dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat desa. Efisien berarti setiap kegiatan yang dilaksanakan harus tepat sesuai dengan rencana dan tujuan. i.         Kearifan lokal; mengandung arti bahwa dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa. j.         Keberagaman; berarti penyelenggaraan pemerintahan desa   tidak boleh mendiskriminasi kelompok tertentu. k.       Partisipatif; berarti penyelenggaraan pemerintahan desa mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat desa.
    Pasal 25
    Pemerintah desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat desa atau yang disebut dengan nama lain.
    Penjelasan
    Penyebutan nama lain untuk Kepala Desa dan perangkat desa dapat menggunakan penyebutan di daerah masing-masing.

    Konstruksi pemerintahan Desa yang dianut dalam UU Desa adalah konstruksi gabungan. Penjelasan Umum Undang-Undang ini menyebutkan secara tegas: “Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat”.

    Pembahasan Di DPR

    Argumentasi pengaturan tentang pemerintahan Desa dan asas-asasnya dirumuskan panjang lebar dalam Naskah Akademik RUU Desa. Disebutkan antara lain bahwa Desa sebagai miniatur negara Indonesia menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat Desa). Pemerintahan Desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang sederhana. Birokrat desa yang disebut dengan perangkat desa membantu Kepala Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

    Saat menyampaikan Keterangan Pemerintah atas RUU Desa, 2 April 2012, Menteri Dalam Negeri menyinggung apa saja yang diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Gamawan mengatakan:

    Substansi mengenai penyelenggara pemerintahan desa dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, tugas, wewenang, hak dan kewajiban Kepala Desa; larangan bagi Kepala Desa; pemberhentian dan pemilihan Kepala Desa, tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa”.

    Pemerintahan desa menjadi salah satu hal yang mendapat perhatian utama bagi DPR/DPD saat menyampaikan pendapat mini atas naskah RUU tentang Desa. Bahkan saat awal-awal pembahasan bersama, pertanyaan penting yang dikemukakan oleh Ketua Pansus RUU Desa kepada pemerintah adalah tentang kedudukan desa di hadapan negara (pemerintah).

    DPR/DPD menginginkan pemerintahan desa yang kuat sebagai implikasi pengaturan diri sendiri. Mewakili DPD, Jacob Jack Ospara menegaskan:

    Pemerintahan desa yang kuat bukan dalam pengertian bentuk pemerintahan yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), namun bentuk pemerintaha desa dengan tata pemerintahan yang demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa/Badan Musyawarah serta elemen masyarakat setempat”.

    Para pembentuk UU Desa menginginkan gambaran Desa yang modern dan pengelolaannya profesional di satu sisi, dan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional di sisi lain. Pandangan Fraksi PPP seperti disampaikan A.W. Thalib merepresentasikan harapan itu:

    Dalam pandangan Fraksi PPP, sebagaimana draft RUU Desa bahwa tujuan pengaturan dalam RUU tersebut mencakup 5 (lima) hal yaitu…kedua, keinginan membentuk pemerintan desa yang modern, yaitu profesional, efisien dan efektif, terbuka dan bertanggung jawab. Pada sisi lain, desa tetap memelihara sistem nilai lokal tetapi di sisi lainnya desa harus mampu mengikuti arah perkembangan zaman”.

    Mengenai asas penyelenggaraan pemerintahan Desa, naskah RUU antara lain merumuskan bahwa ‘Dalam pelaksanaan tugasnya, pemerintah desa berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara’ yaitu kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Jumlah asas ini telah berkembang dari tujuh asas yang disebut dalam Naskah Akademik yaitu asas kepastian hukum, tertib kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.

    Rasio pengaturan asas penyelenggaraan pemerintahan diuraikan dalam Naskah Akademik, yaitu:

    Sebagai konsekuensi pilihan desa yang beragam, maka pengaturan tentang kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa dibuat beragam juga pilihannya. Namun demikian UU ini perlu merumuskan standar norma yang bisa dipakai sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa”.

    Tanggapan

    UU Desa mengatur dan membedakan asas pengaturan Desa (pasal 3) dan asas penyelenggaraan pemerintahan Desa. Seperti disebutkan dalam Naskah Akademik, asas penyelenggaraan pemerintahan Desa dibuat sebagai standar norma yang bisa dipakai dalam iklim keberagaman penyelenggaraan pemerintahan desa. Prinsip keberagaman itu memang diakomodasi baik dalam pengaturan desa maupun penyelenggaraan pemerintahan Desa meskipun dalam konteks berbeda. Dalam pengaturan Desa, asas keberagaman itu mengandung arti pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, keberagaman itu mengandung arti penyelenggaraan pemerintahan Desa yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.

    Konsep keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa bisa ditarik ke dalam landasan konstitusional. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan ‘setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’. Larangan melakukan diskriminasi itu juga kemudian dituangkan antara lain dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

    Pada tataran normatif, larangan berlaku diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa itu dituangkan dalam ketentuan yang memungkinkan setiap warga negara dipilih menjadi atau memilih pemerintah Desa. Pasal 68 UU Desa mengatur sejumlah norma yang memberi hak kepada semua warga desa untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil, punya hak menyampaikan saran dan berpartisipasi, serta mendapatkan informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa.

    Pengaturan hak-hak masyarakat desa di satu sisi, dan pengaturan kaedah norma bagi pemerintah Desa di sisi lain dimaksudkan agar terselenggara tata pemerintahan Desa yang baik. Demi mencapai tujuan itu, penyelenggaraan pemerintahan Desa harus didasarkan pada asas-asas yang sudah diterima secara umum. Undang-Undang ini hanya mengatur sebagian kecil saja asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik karena faktanya, baik dalam doktrin maupun yurisprudensi, asas-asas umum pemerintahan yang baik itu telah berkembang.[2]

    Sebagian besar dari asas tersebut sebenarnya sudah termuat dalam UU No. 32/2004. Hanya asas kearifan lokal, asas keberagaman, dan asas partisipatif yang benar-benar baru dalam UU Desa. Kearifan lokal mengandung arti bahwa dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa. Evaluasi Peraturan Desa (Perdes), pembentukan Desa, dan pemberian wewenang dan kewajiban pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa. Sedangkan asas partisipasi dirumuskan dalam banyak peraturan perundang-undangan.

    Sebagai pengakuan terhadap prinsip keberagaman, UU Desa mengizinkan Desa menggunakan sebutan selain Kepala Desa, sesuai dengan bahasa dan adat istiadat setempat. Desa adat tertentu bisa saja menggunakan sebutan lokal, tetapi kedudukan yang bersangkutan tetap sebagai Kepala Desa. Apalagi Pasal 111 ayat (2) UU Desa sudah menegaskan ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk desa adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang desa adat. Seberagam apapun pemerintahan Desa, UU Desa sudah menggariskan bahwa pemerintahan desa tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bingkai ini dirumuskan dalam norma kewajiban dan sumpah para penyelenggara pemerintahan desa.

    Adapun karakter atau sifat pemerintahan Desa yang hendak dituju lewat pengaturan UU Desa dapat digambarkan pada bagan berikut.

     

    [caption id="attachment_1606" align="aligncenter" width="370"]Sumber: Dirangkum dari Penjelasan Umum UU Desa Sumber:
    Dirangkum dari Penjelasan Umum UU Desa[/caption]

     

     Konstruksi pemerintahan desa yang dianut dalam UU Desa adalah konstruksi gabungan, yakni konstruksi yang timbul akibat pertarungan pandangan antara DPR/DPD dan pemerintah mengenai basis konstitusional yang dipakai. Pansus RUU Desa meminta Pasal 18B ayat (2) yang dikedepankan, sedangkan delegasi Pemerintah menginginkan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945 yang didahulukan. Jika Pasal 18B ayat (2) dikedepankan maka bobot desa sebagai komunitas akan lebih dominan. Sebaliknya, jika Pasal 18 ayat (7) yang didahulukan maka desa sebagai subordinasi pemerintahan kabupaten/kota akan lebih dominan. Konstruksi gabungan ini dapat dibaca dalam Penjelasan Umum UU Desa: “Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat”.[3]

    2. Kepala Desa

    Kepala Desa adalah salah satu unsur penyelenggara pemerintah desa. Unsur lain adalah Perangkat Desa. Dalam UU Desa, setidaknya ada 22 pasal yang mengatur tentang Kepala Desa, dengan beragam aspek yang diatur antara lain: (i) tugas, hak, dan wewenang Kepala Desa; (ii) akuntabilitas Kepala Desa; (iii) larangan bagi Kepala Desa (iv) pemilihan Kepala Desa; dan (v) pemberhentian Kepala Desa.

    Kepala Desa adalah organ utama pemerintahan desa yang memiliki tugas dan, hak, dan wewenang sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berikut ini. Tema ini akan menjelaskan, satu persatu aspek yang berkaitan dengan Kepala Desa.

    3. Perangkat Desa

    Perangkat Desa adalah salah satu organ pemerintah desa, selain Kepala Desa. Sesuai rumusan Pasal 1 angka 3 UU Desa, kedudukan Perangkat Desa adalah ‘pembantu’ bagi Kepala Desa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan ‘pembantu’ juga dilekatkan kepada Wakil Presiden dan menteri-menteri.

    Perangkat Desa diatur dalam Pasal 48-53 UU Desa. Secara ringkas, pasal-pasal ini mengatur tentang kedudukan dan tugas Perangkat Desa; pengangkatan dan pemberhentian; penghasilan; serta larangan-larangan dalam menjalankan tugas. Aspek-aspek tersebut disajikan dalam penuturan pasal-pasal, rincian rumusan dan penjelasannya sebagai berikut:

     a. Kedudukan dan Tugas

     Jenis, kedudukan, dan tugas Perangkat Desa disebut dalam Pasal 48 dan 49 berikut.

    Pasal 48
    Perangkat Desa terdiri atas: a.       Sekretaris desa b.      Pelaksana kewilayahan, dan c.       Pelaksana teknis
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 49
    (1)    Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya; (2)    Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan camat atas nama Bupati/Walikota; (3)    Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
    Penjelasan
    Ayat (1) dan ayat (3) cukup jelas. Ayat (2), Yang dimaksud dengan ‘camat’ adalah camat atau yang disebut dengan nama lain.

     

    b. Pengangkatan dan Pemberhentian

    Pasal 49 telah menyebutkan bahwa Perangkat Desa diangkat oleh Kepala Desa. Dalam proses pengangkatan itu, Kepala Desa harus mempertimbangkan syarat-syarat yang sudah ditentukan UU Desa. Kepala Desa juga harus berkonsultasi dengan camat sebelum membuat keputusan pengangkatan. Rumusan mengenai persyaratan Perangkat Desa diatur dalam Pasal 50, sedangkan pemberhentiannya diatur dalam Pasal 53.

    Pasal 50
    (1)         Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga desa yang memenuhi persyaratan: a.         Berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat; b.        Berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun; c.         Terdaftar sebagai penduduk desa dan bertempat tinggal di desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelu pendaftaran; dan d.        Syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2)         Ketentuan lebih lanjut mengenai Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 48, pasal 49, Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.  
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 53
    (1)       Perangkat Desa berhenti karena: a.    Meninggal dunia; b.    Permintaan sendiri; atau c.     Diberhentikan (2)  Perangkat Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pasa ayat (1) huruf c karena: a.    Usia telah genap 60 (enam puluh) tahun; b.    Berhalangan tetap; c.     Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Perangkat Desa; atau d.    Melanggar larangan sebagai Perangkat Desa (3)         Pemberhentian Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan camat atas nama Bupati/Walikota. (4)         Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    c. Larangan

    Sesuai amanat Pasal 53 ayat (2) huruf d UU Desa, melanggar larangan bisa menjadi dasar untuk memberhentikan Perangkat Desa. Adapun larangan-larangan terhadap Perangkat Desa dirinci dalam Pasal 51 dan Pasal 52 berikut.

    Pasal 51
    Perangkat Desa dilarang: a.       Merugikan kepentingan umum; b.      Membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu; c.       Menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya; d.      Melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu; e.       Melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa; f.        Melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g.       Menjadi pengurus partai politik; h.      Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang; i.         Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; j.         Ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah; k.       Melanggar sumpah/janji jabatan; dan l.         Meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 52
    (1)  Perangkat Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis; (2)  Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    d. Penghasilan Perangkat Desa

    Rumusan penghasilan perangkat desa disatukan dengan aturan penghasilan Kepala Desa, sebagaimana dimuat dalam Bagian Kedelapan Bab V, yakni Pasal 66. Rumusannya adalah sebagai berikut:

    Pasal 66
    (1)     Kepala Desa dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan. (2)     Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh kabupaten/kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. (3)     Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. (4)     Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat desa memperoleh jaminan kesehatan dan memperoleh penerimaan lainnya yang sah. (5)     Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
    Penjelasan
    Ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) cukup jelas. Ayat (4): Jaminan kesehatan yang diberikan kepala Kepala Desa dan perangkat desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.   Sebelum program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjangkau ke tingkat desa, jaminan kesehatan dapat dilakukan melalui kerjasama kabupaten/kota dengan Badan Usaha Milik Negara atau dengan memberikan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

    Pasal ini berhubungan dengan hak Kepala Desa yang diatur dalam Pasal 26 ayat (3) huruf c UU Desa yang berbunyi: ”Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa berhak …c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan”. Tetapi rumusan yang sama tidak ditemukan pada pasal-pasal yang mengatur perangkat desa (Pasal 48-53).

    Pembahasan di DPR

    Istilah perangkat desa sudah dikenal dalam perundang-undangan mengenai desa sebelum lahirnya UU Desa. Yang berbeda adalah rinciannya. UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, misalnya, hanya memasukkan sekretaris desa dan kepala-kepala dusun sebagai perangkat desa. Sedangkan dalam UU Desa dikenal sekretaris desa, pelaksana teknis, dan pelaksana kewilayahan.

    Dalam Naskah Akademik RUU Desa yang disampaikan pemerintah disebutkan bahwa:

    Pemerintahan desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang sederhana. Para birokrat desa (sekretaris desa hingga kepala-kepala urusan) disebut sebagai Perangkat Desa yang bertugas membantu Kepala Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, termasuk pelayanan administrasi di dalamnya”.

    Keberadaan perangkat desa menjadi salah satu isu penting pemerintahan desa yang dirumuskan dalam Naskah Akademik, dan menggambarkan lebih lanjut prinsip-prinsip pengangkatan mereka. Disebutkan bahwa:

    Kepala Desa dibantu oleh unsur pemerintahan desa yang meliputi sekretaris desa dan perangkat desa. Struktur organisasi pemerintah desa ditetapkan melalui Peraturan Desa dengan memperhatikan model dan kewenangan desa. UU ini mengatur mengenai perangkat desa (sekretaris desa dan perangkat desa lainnya), baik dalam sistem rekrutmen, pemberian tunjangan, penghargaan. Rekrutmen sekretaris desa dan perangkat desa didasarkan pinsip-prinsip profesionalitas, transparan, dan akuntabel”.

    • Perangkat Desa dari PNS

    Perdebatan paling krusial mengenai perangkat desa berkaitan dengan status Sekretaris Desa sebagai PNS atau bukan. Fraksi PKB dalam DIM tetap mengusulkan agar perangkat desa diisi dari PNS ditambah syarat pendidikan SLTA, mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan, dan memahami sosial budaya masyarakat setempat. Fraksi PPP dan Fraksi PDIP juga setuju dalam DIM. Dalam rapat 4 April 2012, juru bicara Fraksi PKB H. Bahrudin Nasori menyampaikan keinginan partainya memperjuangkan status Perangkat Desa menjadi PNS.

    “F-PKB mengusulkan agar desa mendapat alokasi APBN 11-10%. Nah ini sudah menjadi usulan kawan-kawan juga, dan juga usulan Kepala Desa-Kepala Desa yang datang ke Pak Mendagri dan demo-demo di depan DPR, Pak. Dan juga perangkat desa yang menjadi penekanan F-PKB agar menjadi PNS, Pak. Karena Sekdes yang sudah diangkat selama 2 tahun ini menjadi sumber iri bagi para perangkat desa. Untuk itu harga mati buat F-PKB agar perangkat desa ini supaya diusulkan menjadi PNS.”

    Suara senada datang dari utusan Partai Demokrat. Mewakili partai ini, Nanang Samodra mengatakan:

    “...F-PD akan memperhatikan berbagai aspirasi yang masuk, antara lain: keinginan desa untuk mempunyai anggaran tersendiri yang bersumber dari APBN, pengangkatan perangkat desa menjadi PNS, masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun dan Kepala Desa ingin duduk sebagai pengurus partai politik.”

    Namun DPD mengingatkan resiko jika pemerintah hanya mengangkat Sekretaris Desa sebagai PNS, sedangkan perangkat desa lainnya tidak. Anang Prihantono dalam rapat 4 April 2012 menyatakan:

    “Dalam hal perangkat desa, pengisian sekdes dengan PNS menjadi isu yang sangat kontroversial. Kebijakan birokratisasi desa yang dimulai sejak UU No. 32/2004 ini menimbulkan gelombang protes dari Persatuan Perangkat Desa seluruh Indonesia (PPDI), sehingga mereka sekarang juga menuntut untuk diangkat menjadi PNS. DPD berpandangan bahwa birokratisasi desa semacam itu kontra produktif dengan otonomi lokal, tetapi kebijakan pemerintah tentang pengangkatan sekdes menjadi PNS atau pengisian sekdes dengan PNS merupakan kebijakan diskriminatif yang menimbulkan gejolak di desa khususnya kesenjangan antara sekdes dan perangkat desa lainnya, sehingga mengurangi efektivitas penyelenggaraaan pemerintahan dan pembangunan desa. Karena itu, DPD berpendapat, jika pemerintah mengangkat sekdes menjadi PNS atau mengisi sekdes dengan PNS, maka bertitik tolak dan konsisten dengan pilihan tersebut, maka semua perangkat desa seharusnya menjadi PNS, sesuai dengan aspirasi PPDI.”

    Pada raker tanggal 15 Mei 2012, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menjawab pandangan sejumlah fraksi mengenai status Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya sebagai PNS. Khusus mengenai status PNS Sekretaris Desa, Mendagri menyampaikan beberapa poin, yaitu:

    • Sekretaris Desa sebagai orang kedua di desa mempunyai peran penting karena desa di samping merupakan jajaran pemerintah terdepan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat juga memiliki ruang lingkup tugas yang cukup berat yaitu mencakup urusan berdasarkan asal usul dan adat istiadat, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang dilimpahkan kepada desa, dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan lainnya dilimpahkan ke desa. Oleh karena itu diperlukan seorang Sekretaris Desa dari PNS yang siap dan mampu melaksanakan tugas yang berat tadi.
    • Dalam penguatan kapasitas desa di berbagai kabupaten/kota sedang dan telah berlangsung pemberian Alokasi Dana Desa yang bersumber dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota. Alokasi Dana Desa tersebut harus dikelola melalui sistem perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti sekretaris desa dari PNS yang mampu mengelola keuangan desa yang baik dan benar.
    • Dalam upaya menata administrasi desa secara efektif dan profesional dalam melayani masyarakat, melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat diperlukan Sekdes dari PNS yang siap dan mampu secara profesional melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan penyusunan administrasi desa, pengelolaan keuangan desa, penyusunan perencanaan desa dan penyusunan pelaporan penyelenggaraan pemerintahan desa.
    • Dalam era reformasi, jabatan Kepala Desa dan perangkat desa merupakan jabatan publik yang keberadaannya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan masyarakat yang kadang-kadang dapat terpengaruh oleh situasi dan kondisi serta tarik menarik antarkepentingan yang dapat menimbulkan instabilitas atau kendala bagi kesinambungan proses pelayanan administrasi desa. Sekdes dari PNS menjadi penyelaras atau penyeimbang yang mampu menjaga netralitas.

    Sedangkan mengenai status PNS perangkat desa lainnya, Mendagri menjelaskan lebih lanjut:

    “Dalam hal perangkat desa diusulkan menjadi Pegawai Negeri Sipil dapat dijelaskan :

    • Bahwa pengangkatan perangkat desa menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah suatu proses politik yang hanya bisa dilakukan dengan pembentukan Undang-undang yang memerlukan pengkajian dan pendalaman yang lebih komprehensif untuk sampai pada keputusan penyelesaiannya.
    • Dari sisi anggaran memerlukan biaya yang cukup besar setiap tahunnya untuk pengangkatan perangkat desa. Setiap tahun pembiayaan akan bertambah 5-10% disebabkan adanya pertambahan jumlah desa, kenaikan gaji, askes dan gaji pensiun (memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), sebagaimana kami jelaskan pada saat menjawab pandangan Fraksi PKB.”

    Merespon pandangan pemerintah itu, anggota DPD asal Bali, I Wayan Sudirta, menjelaskan:

    “Saya sebenarnya berharap ada konsistensi, dan untuk menjadi renungan Saudara Menteri Dalam Negeri. Semula sebelumnya memang ada reaksi keras, mengapa Sekdes itu mesti di PNS-kan, apa tidak cukup tokoh-tokoh lokal yang mengisi itu? Karena belakangan, isu ini muncul lagi. Tapi baiklah, ini sudah terjadi. Kalau dia terjadi dengan alasan begitu banyak dana dikelola, urusan banyak dikelola, kami hanya minta konsistensi saja. Kalau Sekdes itu masuk perangkat desa, Kaur juga masuk perangkat desa, mengapa mereka tidak disamakan dan mengapa mereka harus dibedakan? Dari asas manapun kita tidak menemukan, kalau perangkat desa itu dipilih-pilih, dipilah-pilah. Yang satu di PNS-kan, yang satu dibiarkan.

    Saudara Menteri tadi mencoba menyampaikan data 69.000. Baiklah, kita bulatkan saja 70.000 desa yang ada. Kalau misalnya dikatakan ada 10 perangkat desa, baik kita bulatkan saja gaji mereka Rp 20 juta per desa, itu baru Rp 1,4 triliun, kalau kita bulatkan ke atas. Mudah-mudahan kami keliru. Dari APBN kita yang Rp 1400 triliun. Saya setuju pendapat rekan saya dari F.PD tadi, demikian kuat mengangkat posisi desa. Dan kalau kita berterima kasih kepada mereka, saya ingin mengajak teman-teman F.PD untuk mengingat ini, posisi desa, agar Rp 1,4 triliun tidaklah terlalu besar menurut ukuran kita.”

    Status PNS Sekretaris Desa bukan hanya memantik perbedaan pandangan pemerintah dengan anggota DPR/DPD, tetapi juga mendorong sejumlah undangan RDPU menyinggung masalah tersebut. Dalam RDPU 24 Mei 2012, sejumlah undangan mendukung gagasan Sekdes diangkat jadi PNS. Pertimbangannya antara lain demi perbaikan kinerja, sudah banyak sekdes yang berstatus PNS sebagai konsekuensi UU No. 32 Tahun 2004, hanya PNS yang bisa ‘memegang’ keuangan negara, dan ketersediaan anggaran negara untuk menggaji mereka. Ubaidi Rosidi dari Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) menyampaikan pandangan berikut:

     “Kemudian kita sepakati, dalam satu pembentukan Rancangan Undang-undang ini, apa yang telah disampaikan oleh Pak Sudir, kewajiban tetap, kewenangan tetap, bayaranpun harus tetap ada. Baik mengenai perangkat desa, Kepala Desa, maupun sekretaris desa yang bekerja pada Pemerintahan Desa. Yang kemudian mengapa perangkat desa mengusulkan perangkat desa untuk menjadi PNS? Karena menampung aspirasinya Pak Sudir, ketika anggaran APBN masuk, perangkat desa PNS, sudah bisa melaksanakan tugas-tugasnya. Karena kita melihat bahwa proposisi hukum yang ada, di saat kita melihat Kepres No. 80 yang sekarang direvisi menjadi No. 54, PP No. 28, 29, yang kemudian Undang-undang No. 6, 7, itu semuanya mendelegasikan bahwa yang dapat mengelola uang Negara menjadi pengguna anggaran dan lain sebagainya adalah pegawai negeri sipil, TNI/Polri. Nah apabila perangkat desanya sendiri masih statusnya “dan lain-lain” itu bukan swasta dan bukan negeri, maka kapasitas untuk menyentuh pada tataran itu adalah sangat susah.”

    Namun dalam RDPU 31 Mei 2012 muncul pandangan lain dari Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Indra Catri, Bupati Agam, menyampaikan pandangan APKASI tersebut, antara lain menyatakan:

    Kemudian masalah pegawai. Ini hampir sama dengan kawan saya sekretaris nagari sudah terlanjur, silakanlah jadi pegawai negeri, tetapi kalau menjadikan pegawai negeri semua perangkat desa, ini perlu pemikiran yang lebih cermat, yang lebih dalam karena seperti contoh kalau 10 orang perangkat nagari, perangkat desa dijadikan pegawai negeri itu celah fiskal ke saya jadi kecil sekali jadinya. Guru saja, saya memang kabupaten, tetapi Kabupaten Agam penduduk saya hanya sekitar 450 ribu jiwa dan itu dua kali penduduk, itu Padang hampir 1 juta, tetapi jumlah sekolah lebih banyak di Kabupaten Agam daripada di Kota Padang. Nah guru saya lebih banyak. Apa yang ingin saya sampaikan? Kalau diangkat menjadi pegawai negeri perangkat desa ini, maka mereka juga mungkin minta perlakuan yang sama, prospek karier yang sama, pensiun yang sama, hak yang sama. Oke, baik itu akan menyerap dana, tetapi yang paling berbahaya kalau mereka menjadikan peluang ini, menjadikan peluang ini untuk entry point, untuk titik masuk menjadi pegawai negeri”.

    Selain menyampaikan risiko dan dampak yang timbul jika perangkat desa berasal dari PNS, proses pembahasan juga mengungkapkan usulan tegas agar perangkat desa bukan PNS. Usul itu antara lain datang dari Lastowijono (APMD Yogyakarta). Ia mengatakan:

    “Kemudian yang berikutnya mengenai perangkat desa. Nah ini maaf barangkali agak sensitif, tetapi memang ini harus kami sampaikan bahwa kami mengusulkan perangkat desa itu non PNS termasuk sekretaris desa ya. Jadi kami mengusulkan perangkat desa, sehingga tidak ada lagi nanti sebutan perangkat desa lainnya. Sekarang itu ada sebutan perangkat desa lainnya karena diantarai oleh yang namanya sekdes, sehingga nanti hanya ada perangkat desa. Kami-kami mengusulkan itu. Apa alasannya? Sebetulnya desa itu jangan sampai justru menjadi rezim administrasi kemudian justru ada terjadi birokratisasi begitu ya, sehingga sebaiknya tidak ada perangkat desa yang PNS.

    Kemudian bagaimana halnya dengan yang selama ini mungkin kita harus-harus melihat kenapa banyak orang tertarik kemudian perangkat desa itu menjadi PNS? Ini saya kira tidak bisa diingkari, ini persoalan kepastian penghidupan. Untuk kepastian bagaimana memperoleh penghargaan atau jerih payah atau gaji dan seterusnya. Oleh karena itu, kami memberikan satu alternatif, kalau tidak ada PNS di desa lalu bagaimana? Ini perlu ada skala penggajian saya kira begitu menggunakan standar PNS. Jadi perangkat desa tidak harus PNS, tetapi bisa digaji dengan standar PNS. Lalu siapa yang menggaji ditambah dengan tunjangan plus yang namanya asuransi bagi keluarganya. Jadi perlakuannya sebetulnya hampir sama dengan PNS, hanya dia tidak statusnya bukan PNS.

    Dalam perdebatan kami di kampus, apa mungkin Negara membayar yang bukan pegawai negeri? Kenapa tidak. KPU itu berapa banyak orang itu digaji oleh pemerintah dan itu bukan PNS, itu adalah pegawai sipil itu, bukan pegawai negeri, bukan pegawai Negara sipil itu. Lalu akhirnya oh ini jalan keluar yang baik kalau kemudian agar apa di desa tidak lagi terjadi tarik ulur dan sekarang inikan yang namanya sekretaris desa itu harus ya berdiri dua posisi karena ada dualisme kepemimpinan dibenaknya yang namanya sekdes satu adalah sekretaris desa, yang satu adalah Kepala Desa. Pada satu saat itu rentan akan terjadi konflik”.

     

    Dalam RDPU tanggal 13 Juni 2012 antara DPR dengan para pakar yang hadir, DR. Hanif Nurcholis, Prof. DR. Sediono MP. Tjondronegoro, Prof. DR. Robert Z. Lawang, DR. Dina Ardiyanti, MA, dan Prof. DR. Tri Ratnawati, terdapat dua tema besar pembahasan tentang perangkat desa, yaitu tentang penghasilan Perangkat Desa dan status Perangkat Desa. Pembahasan terhadap peghasilan Perangkat Desa tidak banyak terjadi perbedaan pendapat, namun tentang status Perangkat Desa yang diangkat menjadi PNS sempat terjadi perbedaan pendapat. Salah satu statement yang muncul dalam pembahasan tersebut muncul dari DR. Hanif Nurcholis:

    “Pertanyaannya, jadi pertama adalah, desa, setuju tidak, apakah perangkat desa itu selain Sekdes itu menjadi PNS? Nah ini jawaban saya tinggal posisi desa itu diletakkan kemana? Kalau posisi desa seperti pengaturan No. 5 Tahun 1979, Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, sebagai lembaga masyarakat yang dikontrol oleh Negara, ini tidak relevan. Karena lembaga masyarakat. Sehingga Sekdes menjadi PNS itu pun tidak relevan, itu lembaga masyarakat. Sehingga ya, maunya masyarakatlah, itu....

    ....Kalau pendapat saya, itu relevan dan saya dukung itu, yaitu dengan, tadi kan ada 3 model. Model pertama adalah desa sebagai komunite yang dikontrol oleh Negara, itu sekarang, dan RUU seperti itu. Pilihan kedua, ubah saja semua desa menjadi UPT kecamatan, dan saya tidak setuju. Dan yang ketiga itu setuju, dan saya setuju kalau modelnya itu adalah model yang saya jawab pada Pak...tadi,yaitu adalah recognisi terhadap komunitas, tetapi masuk dalam sistem Negara. Setuju, 100% setuju. Karena itulah yang sebenarnya menjadi tulang punggung, memberikan satu yang bisa menjadi agen. Baik itu agen sosial, ekonomi dan pemerintahan. Tanpa ada suatu agen seperti itu ya, maka itu menjadi sangat tergantung sekali kepada peningkatan kualitas dan kompetensi komunitas tersebut. Itu menjadi satu rekayasa, satu instrument yang menjadi tidak efektif, kalau menurut saya. Kalau dipertahankan sebagai komunitas seperti itu. Jadi saya setuju dengan Bapak, kalau perangkat desa selain Sekdes menjadi PNS, dengan posisi yaitu desa itu sebagai yang tadi saya berikan contoh, yaitu sebagai commune yang sekarang itu masuk dalam sistem, atau county di Inggris. Commune. Ya. Itu, seperti itu Pak. Akhirnya masuk ke Negara, tapi basisnya komunitas. Nah itu yang saya setuju.”

    Mantan Menteri Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid juga menyampaikan pandangannya mengenai PNS ini dan hubungannya dengan tingkat kesejahteraan perangkat desa, pada RDPU tanggal 27 Juni 2012. Di depan anggota Pansus, Prof. Ryaas Rasyid mengatakan antara lain:

    “.... Sebenarnya yang bermasalah di PNS itu bukan hanya sekadar mem-PNS-kan sekretaris desa Pak. Semua pengangkatan honorer PNS itu bertentangan dengan prinsip kompetensi begitu Pak. Bagaimana Indonesia mau maju cara seleksi PNS-nya saja tidak ketat begitu Pak. Jadi saya lebih cenderung ya memang PNS ini ditaruh di desa begitu Pak. Jadi bukan kita mempertimbangkan nasibnya mereka begitu, tetapi bahwa desa itu diberi bantuan secara kumulatif ya itu silakan dikelola dari situ mungkin perangkat desa bisa dapat kesejahteraan, tetapi tidak harus jadikan pegawai negeri. Sekarang itu Kepala Desa juga minta jadi pegawai negeri, sekretaris sudah jadi, perangkat desa mau jadi pegawai negeri semua. Ya hilanglah makna desa dalam artian cultural itu yang asli itu.

    Jadi mensejahterakan aparat desa bukan dengan menjadikan dia PNS, tetapi dialokasikan anggaran untuk pembinaan pemerintahan yang mereka dari situ bisa hidup yang termasuk 8 juta hektar tanah itu ya mungkin antara lain dialokasikan untuk kepentingan desa, jadi itu menjadi tanah desa misalnya saja di situ mereka hidup seperti jaman dulu juga. Jaman dulu desa itu sejahtera kok tidak pakai PNS. Kenapa jaman dulu bisa bagus, sekarang tidak bisa begitu. Jadi menurut saya, kita harus hati-hati soal menjadikan mereka sebagai PNS, nanti PNS semua. Nah kalau PNS semua pemerintahan kita jenjangnya jadi sangat banyak Pak.”

    Pada RDPU yang sama, Guru Besar FISIP UGM Yogyakarta, Pratikno, mengingatkan bahwa penempatan PNS sebagai sekdes selama ini justru merusak tatanan. Ia mengatakan antara lain:

    Sekdes yang PNS itu kan sudah terbukti menimbulkan masalah yang serius begitu karena kemudian merusak kultur yang ada di desa itu, meningkatkan birokratisasi pemerintahan daerah yang basisnya adalah adat masyarakat, adat komunal begitu. Kalau saya lebih cenderung, kalau ini dirasa penting untuk meningkatkan pendisiplinan administrasi pemerintahan desa, saya lebih cenderung jangan diisi oleh PNS. Nanti sekdesnya PNS itu sangat beresiko. Lebih baik kalau dipandang perlu adalah staf kabupaten yang ditugaskan di tingkat desa, diperbantukan di tingkat desa. Nah, itu tidak menimbulkan komplikasi iri antara Kepala Desa dengan sekdes”.

    Pada akhirnya, tak ada lagi syarat PNS bagi Sekdes atau perangkat desa lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Fraksi Demokrat mengklaim sebagai pihak yang ikut memperjuangkan agar pengangkatan perangkat desa dilakukan Kepala Desa. Dalam pandangan mini fraksi yang disampaikan pada Desember 2013, H. Darizal Basir dari Partai Demokrat menyatakan:

    “Ada banyak isu penting yang kami perjuangkan dan akhirnya masuk ke dalam RUU dan berhasil disepakati. Isu-isu itu adalah:

    1….

    2….

    3…..

    4….

    1. Mengembalikan jabatan Sekretaris Desa yang tadinya diisi oleh PNS dikembalikan menjadi wewenang Kepala Desa”.

    Argumentasi tentang komunalitas oleh Tri Ratnawati, pakar yang dihadirkan dalam rapat 13 Juni 2012, bisa menjawab mengapa Sekdes dan perangkat desa lainnya tak harus PNS. Menurutnya, justru status PNS itulah yang ikut merusak tatanan pemerintahan desa berbasis komunal selama ini. Ia mengatakan antara lain:

    “Kemudian juga mengenai apakah aparat desa itu PNS? Tidak. Saya pernah rebut betul waktu itu, waktu draft UU No. 32 Tahun 2004 sedang dibahas…Waktu itu saya sudah memperkirakan, ini pasti akan menimbulkan jealous atau kecemburuan. Padahal waktu itu saya kecil…tinggal di desa, carik itu tidak perlu kok yang namanya harus PNS. Nyatanya kerjanya bagus. Apalagi sekarang sudah ada insentif dalam Undang-Undangnya. Menurut saya justru Undang-Undang yang akan dibuat itu merevisi agar carik, sekdes, jangan lagi PNS. Jadi, sama rata sama rasa. Namanya juga di desa..komunalisme itu memang harus ada. Kan kita tahu bahwa face to face interrelation itu bagian dari khas desa. Kalau semuanya dibirokratisasi dengan cara Jakarta, saya pikir rusak semua itu desa. Jadi, kalau saya, lebih baik (aturan) dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur bahwa sekretaris desa harus PNS yang dicabut…Saya pikr jangan dibolak-balik logika kita. Justru pasal itulah yang merusak tatanan pemda sekarang”.

    • Penghasilan Perangkat Desa

    Berkaitan dengan penghasilan perangkat Desa (dan Kepala Desa), pengusul RUU Desa melihat tugas-tugas berat yang akan mereka pikul. Sebagai abdi negara, perangkat desa menyandang atribut dan simbol yang diberikan negara sekaligus menjalankan tugas-tugas negara seperti memungut pajak, mengurus administrasi, menyiapkan surat-surat resmi dan pendataan penduduk. Mereka harus melayani kebutuhan penduduk 24 jam, tak hanya tata naskah dinas, tetapi juga keamanan warga. Penyusun RUU Desa percaya bahwa kinerja perangkat desa sangat ditentukan tingkat kesejahteraan mereka, sebagaimana tergambar dalam Naskah Akademik:

    “Kinerja organisasi dan perangkat desa yang sangat terbatas juga berkaitan dengan keterbatasan kesejahteraan mereka dan tidak jelasnya sistem penggajian (remunerasi) yang didesain pemerintah. Meski di atas kertas sistem birokrasi desa dibuat modern, tetapi penggajian perangkat masih menggunakan pola yang sangat tradisional. Selama ini belum ada kebijakan yang memadai mengenai penggajian (remunerasi) terhadap Kepala Desa dan perangkat desa. Di sebagian besar desa-desa di Jawa, perangkat memperoleh penghasilan dari tanah bengkok (palungguh), sebagai bentuk remunerasi secara tradisional yang diwariskan secara turun temurun”.

    Selanjutnya disebutkan juga di dalam Naskah Akademik, bahwa:

    “Para perangkat desa tentu mempunyai status terhormat bagi masyarakat, tetapi pada umumnya tingkat kesejahteraan perangkat desa sangat memprihatinkan. Oleh karena itu perangkat desa selalu menuntut dan berharap agar pemerintah betul-betul memperhatikan nasib dan kesejahteraan mereka”.

    Anggota Dewan juga menyambut antusias gagasan memberikan penghasilan tetap perangkat desa (dan Kepala Desa). Apalagi dalam rumusan DIM, penghasilan itu dihubung-hubungkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) kabupaten/kota. Fraksi Partai Demokrat, misalnya, mengusulkan agar gaji Kepala Desa lebih tinggi dibandingkan perangkat desa demi memberikan penghargaan lebih kepada Kepala Desa atas beban tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Demokrat mengusulkan gaji Kepala Desa 2 x UMR, sedangkan perangkat desa minimal 1 x UMR.

    Dalam salah satu rapat tanggal 4 April 2012, juru bicara Fraksi PPP, Dr. AW. Thalib, menyampaikan argumentasi berikut:

    “Terkait dengan penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat desa, ditetapkan paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/kota, tetapi sekretaris desa penghasilannya ditetapkan berdasarkan gaji PNS. Perbedaan dasar penetapan penghasilan ini berdampak pada kurang harmonisnya hubungan Kepala Desa dan perangkat desa dengan sekretaris desa. F-PPP berpendapat, perlu ada rumusan lain yang lebih tepat dengan tidak menggunakan standar UMR.

    Dalam upaya peningkatan kinerja dan kenyamanan kerja penyelenggaraan Pemerintahan desa, sebaiknya Kepala Desa juga dapat memperoleh tunjangan lainnya selain perolehan dari tanah bengkok serta pemberian dana untuk purna bakti, dan diberikannya jaminan asuransi kesehatan bagi perangkat desa dan Kepala Desa oleh Pemerintah.”

    Fraksi PPP dan Fraksi PKB menyetujui agar penghasilan tetap Kepala Desa 2 x UMR, tetapi untuk perangkat desa Fraksi PPP mengusulkan paling sedikit sama dengan UMR. Fraksi Partai Demokrat bahkan mengklaim sebagai salah satu pihak yang memperjuangkan agar Kepala Desa dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulannya yang bersaumber dari APBN, tunjangan dari APBDes, serta jaminan kesehatan.

    Pandangan yang sama antara DPR dan Pemerintah menjadi salah satu berita gembira bagi perangkat desa. Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Robert Z. Lawang menyampaikan apresiasi dan pandangannya mengenai penghasilan perangkat desa dalam rapat kerja tanggal 13 Juni 2012. Dengan menggunakan istilah gaji, Prof. Robert Z Lawang menyatakan pemberian gaji itu bukan saja menggembirakan tetapi juga kemajuan.

    “Yang mungkin menggembirakan aparat desa adalah Pasal 37 (RUU) yang menyebutkan dengan jelas pada butir 1 bahwa Kepala Desa dan perangkat desa diberikan penghasilan tetap setiap bulannya dan tunjangan, yang dalam butir 4 bersumber dari APBD Desa. Pada butir 2 dari pasal yang sama menyebutkan penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit sama dengan UMR kabupaten/kota…..Mungkin ini kemajuan. Pasal ini akan menjadi perhatian pada kades di seluruh Indonesia dan mengharapkan akan terlaksananya janji RUU…Pasal ini memberikan harapan sedikit untuk mendorong desa mempertahankan eksistensinya”.

    Prof. Robert Z. Lawang juga menyinggung pentingnya membuat gaji Kepala Desa lebih tinggi dari perangkat desa. Ia mengatakan:

    Gaji kades lebih tinggi dari gaji sekdes yang disebutkan dalam Pasal 35. Gaji kades yang lebih rendah dapat merusak wibawa kades di kalangan aparat pemdes sendiri, dan di mata masyarakat desa. Dan perpecahan ini dimulai oleh negara… Harus ada jaminan bahwa PP yang akan disusun itu menyebutkan secara eksplisit bahwa gaji kades lebih tinggi dari gaji sekdes. Pengalaman menunjukkan bahwa produk hukum yang disusun di Indonesia seringkali tidak sinkron”.

    Pada rapat yang sama, anggota DPR dari Fraksi PKS, Abdul Azis Suseno, menambahkan pandangan bahwa:

    “Sebenarnya intinya para perangkat desa itu juga masalah penghasilan saja. Jadi, kesejahteraan antara sekretaris desa yang notabene juga digaji dari pegawai negeri, sementara Kepala Desanya tidak digaji. Terus, perangkat di bawahnya juga sementara ini terabaikan. Kalau itu nanti semuanya tercukupi dengan standarnya masing-masing, saya rasa Insya Allah akan bisa meminimalkan permasalahan di desa itu. Jadi, untuk itu, minta rumusan tentang UU Desa ini sedemikian rupa sehingga apa yang diharapkan baik oleh perangkat desa, Kepala Desa maupun masyarakat desa sendiri terutama partisipasi masyarakt desa untuk membangun desanya akan terwujud”.

    Tanggapan

    Pada dasarnya pemerintah dan DPR/DPD sepakat tentang pentingnya peranan Perangkat Desa sebagai pembantu Kepala Desa. Sebagai pembantu, perangkat desa menjalankan tugas-tugas yang sifatnya bantuan bagi Kepala Desa. Meskipun berkedudukan sebagai pembantu Kepala Desa, rasio RUU Desa telah menempatkan mereka dalam posisi penting dalam pemerintahan desa: ‘perangkat desa menyandang atribut dan simbol-simbol yang diberikan negara sekaligus menjalankan tugas-tugas negara’ (Lihat Naskah Akademik RUU Desa). Sebagai perbandingan, Menteri juga disebut ‘membantu’ Presiden. Tetapi mereka bukanlah orang sembarangan. Kedudukan ‘pembantu’ Presiden tak lantas membuat sistem rekrutmen mereka asal-asalan. Pilihan terhadap mereka harus didasarkan pada meritokrasi.[9] Dalam konteks perangkat desa, pilihan terhadap perangkat desa memang sangat bergantung kepada Kepala Desa. Tetapi kewenangan subjektif Kepala Desa itu diatur sedemikian rupa agar yang terpilih benar-benar mampu menjalankan tugas. Misalnya, dari syarat usia, perangkat Desa berusia minimal 20 tahun sampai 42 tahun. Syarat semacam ini tak dikenal untuk Kepala Desa dan anggota BPD. Selain itu, Kepala Desa diwajibkan berkonsultasi dengan Camat sebelum mengangkat seseorang menjadi perangkat desa. Camat, sesuai PP No. 43 Tahun 2014, memberikan rekomendasi tertulis atas kandidat perangkat desa. Pasal 66 huruf d PP ini bahkan menegaskan rekomendasi tertulis Camat dijadikan dasar oleh Kepala Desa untuk mengangkat perangkat Desa.

    Persoalan yang mengemuka dalam proses pembahasannya itu pada dasarnya menyangkut tiga hal. Pertama, status Perangkat Desa (Sekretaris Desa dan perangkat lainnya). UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda telah mewariskan aturan bahwa Sekretaris Desa adalah PNS. Pasal 202 ayat (3) UU ini menyebutkan Sekdes diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan. Sebelumnya, di bawah rezim UU No. 22 Tahun 2009, Menteri Dalam Negeri juga pernah mengeluarkan Keputusan No. 8 Tahun 2001 tentang Pedoman Bagi PNS yang Dipilih Menjadi Kepala Desa atau Dipilih/Diangkat Menjadi Perangkat Desa.

    Status PNS Sekretaris Desa ini prakteknya telah memantik demo selama proses pembahasan RUU Desa. Ribuan Kepala Desa berdemo menuntut status mereka juga diangkat menjadi PNS. Bahkan kemudian perangkat lain, misalnya kepala-kepala dusun, mengajukan tuntutan senada. Tuntutan ini membuat pemerintah menghadapi dilema. Mengangkat seluruh Kepala Desa dan perangkat Desa menjadi PNS akan sangat berdampak pada anggaran negara.

    Rincian Perangkat Desa yang diatur dalam Pasal 48 UU Desa diambil dari Pasal 12 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pasal 12 PP ini merumuskan:

    • Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa.
    • Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya.
    • Perangkat Desa lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :
    1. sekretariat desa;
    2. pelaksana teknis lapangan;
    3. unsur kewilayahan.
    • Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
    • Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa.

    Tentu saja ada perubahan mendasar dalam pengangkatan Sekdes. Dalam PP No. 72/2005 ia diangkat oleh Sekretaris Daerah atas nama Bupati/Walikota. Kini, Sekdes diangkat oleh Kepala Desa setelah berkonsultasi dengan camat atas nama Bupati/Walikota. Dari sisi persyaratan, dalam UU Desa, Sekdes sudah harus terdaftar sebagai penduduk desa; sedangkan dalam PP No. 72/2005 cukup menyatakan bersedia tinggal di desa bersangkutan.

    Undang-Undang Desa pada akhirnya menghapus klausul Sekdes berasal dari PNS. Pasal 49 UU Desa telah menyebutkan bahwa perangkat desa diangkat oleh Kepala Desa. Dalam proses pengangkatan itu kepala harus mempertimbangkan syarat-syarat yang sudah ditentikan dan ia harus berkonsultasi dengan camat. Misalnya, untuk mampu membantu tugas-tugas Kepala Desa, usia orang yang boleh diangkat menjadi PNS dibatasi antara 20 hingga 42 tahun. Persyaratan model usia minimal dan maksimal ini tak dikenal dalam pencalonan Kepala Desa dan anggota BPD.

    Meskipun UU Desa menghapuskan klausul PNS, PP No. 43 Tahun 2014 tetap membuka peluang PNS masuk sebagai perangkat Desa. Pasal 66 PP ini menyebutkan:

    • PNS kabupaten/kota setempat yang akan diangkat menjadi perangkat desa harus mendapatkan izin tertulis dari pejabat pembina kepegawaian;
    • Kalau terpilih dan diangkat menjadi perangkat desa yang bersangkutan dibebaskan sementara dari jabatannya selama menjadi perangkat desa tanpa kehilangan hak sebagai PNS.

    Aturan ini sekilas tentu saja sangat menguntungkan PNS yang menjadi perangkat desa karena pindah tugas tak membuat hak-haknya sebagai PNS hilang. Persyaratan untuk menjadi perangkat desa sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) UU Desa tidak secara eksplisit memuat status PNS sebagai hambatan persyaratan. Jika pemerintah kabupaten/kota membuat aturan yang mengizinkan PNS menjadi perangkat Desa sepanjang memenuhi syarat lain: (i) berpendidikan minimal SMU; (ii) berusia 20-42 tahun; dan (iii) terdaftar sebagai penduduk desa, maka kemungkinan bagi PNS untuk menjadi perangkat Desa tetap ada. Apalagi jika Kepala Desa menggunakan argumentasi bahwa tenaga PNS dimaksud sangat dibutuhkan oleh warga desanya.

    Hal kedua yang penting dicatat adalah larangan perangkat Desa menjadi pengurus partai politik dan terlibat dalam kampanye. Larangan ini juga berlaku bagi Kepala Desa dan anggota BPD. Argumentasi yang dibangun pemerintah adalah menjaga netralitas. Larangan-larangan lain, di luar menjadi pengurus partai politik sebenarnya diatur dalam sejumlah perundang-undangan dan menjadi prinsip memegang jabatan. Pasal 41 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden melarang pelaksana kampanye mengikutsertakan Kepala Desa dan perangkat desa berkampanye. Aturan senada tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Larangan mengikuti kampanye ini dapat dimaklumi karena selama ini Kepala Desa dan perangkatnya dituding sebagai salah satu aktor yang menjadi broker suara dalam pemilihan umum, atau menjadi salah satu mesin birokrasi dalam pilkada[10]

    Ketiga adalah penghasilan dan hak-hak lain perangkat Desa. Seperti halnya Kepala Desa, perangkat Desa juga mendapatkan ganjaran atas pelaksanaan tugas-tugasnya, yang berupa penghasilan tetap, tunjangan, jaminan kesehatan dan penerimaan lainnya yang sah. Pengaturan mengenai penghasilan perangkat desa juga ada dalam PP No. 72 Tahun 2005. Pasal 27 PP ini menyebutkan: (i) Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan Desa; (ii) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa ditetapkan setiap tahun dalam APB Desa; dan Penghasilan tetap tersebut paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota.

    Khusus mengenai jaminan kesehatan, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), menyebutkan jaminan kesehatan merupakan salah satu program jaminan sosial, selain jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Pasal 19 UU ini menegaskan jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi social dan prinsip ekuitas. Jaminan kesehatan bertujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

    • Keterlibatan Kepala Desa dan Perangkat Desa dalam Politik Praktis.

    Keterlibatan aparat pemerintahan desa dalam politik praktis sudah menjadi rahasia umum. Meskipun perangkat peraturan perundang-undangan secara eksplisit melarang, selama ini Kepala Desa dan perangkat Desa adalah pendulang suara potensial bagi partai tertentu.

    • Penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa

    Dalam konstruksi RUU Desa, ukuran penghasilan Kepala Desa dan perangkat desa adalah UMR. Namun ukuran ini berpotensi menimbulkan perbedaan dan ketidakadilan mengingat UMR di tiap kabupaten/kota berbeda-beda. Dalam proses pembahasan, perbedaan gaji Kepala Desa dan perangkat Desa juga dikaji. Selama ini, gaji tetap sekdes (PNS) tak sebanding dengan penghasilan tidak tetap Kepala Desa dan perangkat desa lainnya, sehingga menimbulkan kecemburuan.

    Walhasil, dalam naskah UU Desa, parameter UMR tersebut dihilangkan. Penghasilan tetap Kepala Desa juga dibuat lebih tinggi dari sekdes. Setidaknya itu tergambar dari PP No. 43 Tahun 2014 yang mengatur Alokasi Dana Desa (ADD) untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa. Besaran persisnya, oleh Pasal 81 ayat (4) PP No 43 Tahun 2014, masih diserahkan kepada Bupati/Walikota dan ditetapkan melalui peraturan Bupati/Walikota. Sedangkan perangkat desa ditetapkan dengan ketentuan:

    • Sekretaris desa paling sedikit 70 persen dari penghasilan tetap Kepala Desa perbulan
    • Perangkat desa selain sekretaris desa paling sedikit 50 persen dari penghasilan tetap Kepala Desa per bulan.

    Jika dibaca dari rumusan UU Desa, penghasilan pemerintah desa adalah seperti terlihat dalam tabel berikut.

    Tabel: Penghasilan Perangkat Desa dan Sumbernya

    Jenis Sumber Keterangan
    Penghasilan tetap Dana perimbangan dalam APBN yang diterima kabupaten/kota Dibayar setiap bulan. Besaran dana perimbangannya harus ditetapkan dalam APBD kabupaten/kota
    Tunjangan APB Desa Ditetapkan lewat Perbup/Perwali
    Jaminan kesehatan BPJS UU No. 40 Tahun 2004 tentang BPJS, Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
    Penerimaan lainnya yang sah Diatur lebih lanjut dalam PP.

    PP No. 43 Tahun 2014 ternyata hanya mengatur ukuran penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat desa. Bagaimana dengan tunjangan, jaminan kesehatan, dan penerimaan lain yang sah? Apa saja jenis tunjangan yang diperoleh? Apa saja yang masuk kategori penerimaan lain yang sah, apakah termasuk keuntungan BUM Desa atau bagian tertentu dari hibah? Sayangnya, PP No. 43 Tahun 2014 hanya menyebutkan (i) tunjangan dan penerimaan lain yang sah dapat bersumber dari APB Desa dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan (ii) besaran tunjangan dan penerimaan lain yang sah ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota. Lantas, siapa yang menentukan penerimaan lain itu sah? Selain itu, UU secara eksplisit menyebut tunjangan Kepala Desa dan perangkat desa berasal dari ABP Des, tetapi kemudian PP menyebut ‘dapat’ bersumber dari APB Des. Bukankah ini berarti juga PP memungkinkan perangkat desa mendapatkan tunjangan yang bersumber selain APB Desa? Bagaimana pula PNS yang diangkat menjadi perangkat desa, apakah ia tetap punya hak penuh penghasilan yang diatur UU Desa tanpa melepaskan sama sekali hak-haknya sebagai PNS sebagaimana disebut Pasal 67 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014?

    Kepastian penghasilan perangkat desa menghidupkan harapan akan semakin meningkatnya pelayanan mereka kepada masyarakat. Harapan itu disampaikan Miryam S. Haryani (Fraksi Partai Hanura) dalam Pandangan Mini Fraksi 10 Desember 2013: “Perangkat Desa lebih memahami posisinya sebagai pengayom dan penggerak dalam struktur organisasi yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dalam perspektif melayani”. Tetapi apakah ada jaminan kepastian penghasilan itu akan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab lewat praktik.

    4. Musyawarah Desa

    Musyawarah Desa (Musdes) adalah proses musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh BPD untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. Musyawarah adalah forum pengambilan keputusan yang sudah dikenal sejak lama dan menjadi bagian dari dasar negara. Sila keempat Pancasila menyebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

    Pasal 54
    (1)     Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. (2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.    penataan Desa; b.    perencanaan Desa; c.     kerjasama Desa; d.    rencana investasi yang masuk ke Desa; e.    pembentukan BUM Desa; f.      penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g.    kejadian luar biasa. (3)     Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun. (4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
    Penjelasan
    Ayat (1) Musyawarah Desa merupakan forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Desa, termasuk masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat Desa.   Hasil ini menjadi pegangan bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya.   Yang dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin.   Ayat (2) Huruf a Dalam hal penataan Desa, Musyawarah Desa hanya memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.   Huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, huruf g, serta ayat (3) dan ayat (4) cukup jelas.

    Selain pada penjelasan pasal per pasal, bagian Penjelasan Umum UU Desa juga memuat penjelasan mengenai Musdes. Selengkapnya disebutkan: “Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Hasil musyawarah desa dalam bentuk kesepakatan dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa untuk menetapkan kebijakan Pemerintahan Desa”.

    Pembahasan di DPR

    Pengaturan Musyawarah Desa dalam UU Desa hanya diatur dalam satu Pasal berisi empat ayat. Keempat ayat yang ada pada pasal 54 tersebut berisi tentang fungsi musyawarah Desa; hal yang dibahas dalam musyawarah desa; waktu penyelenggaraan Musyawarah Desa; dan Pembiayaan Musyawarah Desa. Dalam proses pembahasan DIM, klausul Musdes juga relatif tak banyak diperdebatkan, semua fraksi setuju kecuali untuk penempatan bab. Pemerintah dan DPR sepakat mengenai pentingnya penyelenggaraan musyawarah desa sebagai forum pengambilan keputusan desa.

    Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menyampaikan pandangan pemerintah saat mengantarkan RUU Desa:

    “Musyawarah Desa ….merupakan forum tertinggi musyawarah yang berfungsi untuk membahas, mendiskusikan dan mengkoordinasikan program-program strategis yang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Program-program strategis dimaksud termasuk proses penyusunan perencanaan pembangunan desa dan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan”.

    Dalam Raker 4 April 2012, Anang Prihantoro mewakili DPR menyampaikan pandangan berikut:

     “RUU Desa yang diajukan oleh Pemerintah mereduksi kedudukan Musyawarah Desa dalam sistem pemerintahan desa. Musyawarah desa hanya berfungsi untuk membahas, mendiskusikan dan mengkoordinasikan program-program strategis yang akan dilaksanakan pemerintah desa. Hasil musyawarah digunakan sebagai bahan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa dan merupakan masukan bagi Kepala Desa dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan desa serta bagi BPD dalam penyelenggaraan musyawarah BPD. …..DPD RI mengusulkan desa membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa, atau nama lain, sebagai wadah tertinggi untuk pengambilan keputusan desa yang bersifat strategis.

    Keputusan desa yang bersifat strategis mencakup: rencana pembangunan jangka menengah desa; investasi yang masuk desa; pengembangan kawasan perdesaan; pembentukan, penggabungan, pemekaran atau perubahan status desa. DPD mengusulkan musyawarah desa dalam hal ini bukan pemegang kedaulatan rakyat desa, bukan juga sebagai institusi yang permanen, tetapi sebagai forum pengambilan keputusan strategis yang mengikat bagi pemerintah dan warga desa. Penyelenggaraan musyawarah desa untuk pengambilan keputusan strategis dimaksudkan untuk menghindari bias elite yang dilakukan oleh Kepala Desa, sekaligus pelibatan warga masyarakat guna memberikan perlindungan terhadap aset-aset strategis desa. Jika desa akan mengambil keputusan strategis, maka BPD berwenang membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa.

    Menteri Dalam Negeri Gamawan Fawzi dalam Raker tanggal 15 Mei 2012 mengapresiasi usulan-usulan DPD yang menempatkan Musyawarah Desa sebagai pengambil kebijakan tertinggi di Desa dengan alasan beberapa peraturan perundangan lainnya tidak mengatur hal tersebut dan pembentukan UU Desa bukan untuk membentuk Daerah Otonomi III. Kutipan atas tanggapan Pemerintah terhadap usulan DPD tentang musyawarah Desa dapat dilihat di bawah ini:

    “Terkait dengan usulan DPD-RI mengenai kedudukan lembaga perwakilan rakyat desa dalam desain Pemerintahan desa, dapat dijelaskan bahwa Rancangan Undang-undang tentang Desa tidak mengatur mengenai lembaga perwakilan rakyat desa tetapi mengatur Badan Permusyawaratan Desa yang berfungsi sebagai lembaga permusyawaratan dan pemufakatan dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Hal tersebut sejalan dengan kesepakatan politik yang tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dimana penyebutan Badan Perwakilan Desa dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dirubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Landasan pemikirannya adalah bahwa Desa yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 maupun Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Rancangan Undang-undang tentang Desa tidak mengarah pada pembentukan Daerah Otonom Tingkat III sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1965, Undang-undang No. 1 Tahun 1957 maupun Undang-undang No. 22 Tahun 1948 semua tentang Pemerintahan Daerah. Demikian pula halnya dengan usulan DPD-RI agar Musyawarah Desa dijadikan wadah tertinggi untuk pengambilan keputusan desa yang bersifat strategis.”

    Fraksi PPP, dalam pandangan mini fraksi, menyatakan musyawarah Desa penting karena ‘mengakomodasi adanya unsur masyarakat dalam pengambilan keputusan Desa’. Di forum yang sama, Fraksi Partai Golkar menganggap musyawarah Desa sebagai wujud penguatan demokrasi di Desa.

    Hasto Wiyono dari STPD “APMD” Yogyakarta menyampaikan pandangan mengenai musyawarah desa dalam RDPU tanggal 7 Juni 2012. Ia mengatakan:

    “Kemudian untuk musyawarah desa. Untuk musyawarah desa, kami juga menginginkan agar musyawarah desa itu menjadi lebih bermakna bukan sekadar untuk prosedur. Jadi musyawarah desa untuk memenuhi persyaratan yang namanya partisipatif dengan mengumpulkan orang, maka itu adalah partisipatif. Kami tidak sepakat dengan itu. Saya kira sepemikiran dengan teman dari UKSW. Namun demikian, musyawarah desa itu bukan juga merupakan pemegang kedaulatan rakyat desa, tetapi musyawarah desa itu sebagai satu arena untuk melakukan rembuk, melakukan pembahasan, melakukan apa namanya ya untuk mengambil keputusan bersama terutama hal-hal yang sangat strategis. Nah misalnya nanti di dalam konteks pembangunan pedesaan, dalam pengelolaan resourceh terutama sumberdaya alam untuk pertambangan misalnya. Ini saya kira musyawarah desa menjadi sangat penting sebelum Kepala Desa itu memutuskan atau mengizinkan atau tidak ketika ada investor itu masuk. Jadi musyawarah desa rakyat diajak bicara, sehingga dalam konteks ini betul-betul desa itu menjadi sebuah subjek ya, menjadi subjek yang keberadaannya memang dihormati dan diakui.”

    Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Shirley dari Surya Research Center:

    “Saya setuju dengan rekan-rekan, teman-teman yang memberikan tanggapan tentang RUU ini bahwa Badan Musyawarah Desa jangan kita anggap kecil. Perlakukan mereka seperti kita memperlakukan DPR ini bahwa teman-teman di DPR ini terdiri dari berbagai macam musyawarah desa yang ada di Indonesia ini berkumpul dan kemudian juga bisa mengontrol SKPD atau teman-teman birokrat lainnya yang di daerah-daerah dan dibenak kami Surya Research kami mengadakan dalam tanda kutip ini juga merupakan tawaran dari setiap kali kami mengunjungi kabupaten, bagaimana kalau kita membentuk kelompok penguatan masyarakat, kita menyebutnya seperti itu kelompok penguatan masyarakat.”

    Dalam RDPU 10 Oktober 2012, Sutoro Eko dari IRE menyampaikan pandangan berikut:

    “Ini ada persoalan kuasa desa dan kuasa rakyat ya, itu menyatu di dalam desa tetapi persoalannya begini pak, kuasa desa ini sekarang tidak berdaya karena berhadapan dengan kuasa negara dan kuasa modal, jadi banyak sumber daya lokal yang ini terkikis abis lah kalau ada intervensi modal misalnya soal air dan macam-macam, dan oleh karena ini kan persoalan agraria yang kita harus selesaikan juga, termasuk pembangunan pedesaan yang mengandung investasi ya, sebenarnya pikiran yang sudah berkembang, bagaimana desa itu secara kolektif mampu mengontrol usulan kita itu ada semacam musyawarah desa, musyawarah desa itu sebagai semacam institusi yang bisa kita panggil untuk mengambil keputusan strategis di desa, supaya ini tidak hanya diputuskan oleh segelintir orang tetapi oleh forum yang lebih besar, karena modalnya kan Bupati-Kepala Desa selesai gitu ya, jadi artinya keputusan mengenai investasi yang bersentuhan dengan desa itu tidak hanya dari tangan Bupati, tetapi juga itu basisnya ada di desa, dan desa itu pengambil keputusannya adalah musyawarah desa.”

     

    Tanggapan

    Musyawarah adalah forum bertemunya berbagai kepentingan para pemangku kepentingan. Keinginan umum (general will) dipertemukan dalam forum itu, dibahas, dan kemudian diputuskan bersama-sama mana yang terbaik di antara pilihan-pilihan yang ada. Dalam forum itu bersatu keinginan Kepala Desa dan mungkin juga keinginan pemerintahan kabupaten/kota yang disampaikan lewat Kepala Desa, keinginan warga desa, dan keinginan pemangku kepentingan lainnya. Konsep musyawarah pada hakekatnya menunjukkan bahwa forum tersebut bersifat partisipatif dan dialogis.[11]

    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksanaannya, PP 72 tahun 2005, tak mengatur spesifik musyawarah Desa. Namun korelasi kedua regulasi ini bisa dilihat dari pembahasan perencanaan desa yang disebut dalam Pasal 54 UU Desa. Musyawarah Desa sebagaimana diinginkan dalam Pasal 54 merupakan sebuah tahapan yang cukup penting dalam pembangunan desa, khususnya perencanaan desa. Salah satu perencanaan desa yang berlangsung terjadwal tahunan adalah Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

    Payung hukum pelaksanaan Musrenbang secara umum diatur dalam Undang Undang No. 25 Tahun 2004 dan secara teknis pelaksanaannya diatur melalui Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang diterbitkan setiap tahun. Secara khusus Musrenbangdes diatur dalam Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa yang didalamnya termuat petunjuk teknis penyelenggaraan Musrenbang untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) tahunan yang kemudian ditekniskan lagi melalui Surat Dirjen PMD No. 414.2/1408/PMD tanggal 31 Maret 2010 tentang Petunjuk Teknis Perencanaan Pembangunan Desa.

    Perencanaan dan penganggaran merupakan satu kesatuan konsep dan proses yang tak terpisahkan sehingga mustahil perencanaan pembangunan dilakukan tanpa membahas anggaran pembiayaannya. Oleh karena itu, bersamaan dengan penyusunan dokumen perencanaan, Desa juga menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Payung hukum penyusunan APB Desa adalah UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PP No. 58 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta Permendagri No. 37 Tahun 2007 tentang Keuangan Desa.

    Pasal 54 UU Desa tidak menyebutkan secara jelas tentang rekomendasi pengaturan teknis pelaksanaan Musyawarah Desa. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 memuat sejumlah aturan mengenau musyawarah desa. Rinciannya antara lain:

    • Pasal 9 dan 10 tentang pembuatan kesepakatan dalam pembentukan desa oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
    • Pasal 18 tentang pembuatan kesepakatan dalam penggabungan desa oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
    • Pasal 22 tentang prakarsa perubahan status desa menjadi kelurahan;
    • Pasal 26 tentang prakarsa perubahandesa adat menjadi desa;
    • Pasal 45, 47, dan 56 tentang pemilihan Kepala Desa antarwaktu melalui musyawarah desa;
    • Pasal 111 tentang pengelolaan kekayaan milik desa;
    • Pasal114 tentang perencanaan pembangunan desa;
    • Pasal 121 tentang pelaksanaan pembangunan desa;
    • Pasal 125 tentang pembangunan kawasan perdesaan;
    • Pasal 126 dan Pasal 130 tentang pemberdayaan;
    • Pasal132 dan 136 tentang BUM Desa Masyarakat Desa.

    Dengan konsep hibrid atau campuran, masyarakat desa mempunyai kewenangan untuk mengatur desa sebagaimana halnya kewenangan pemerintah desa. Dalam musyawarah desa, masyarakat desa mempunyai kedudukan yang sama dan saling terkait dengan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Kedudukan dan korelasi itu dapat digambarkan sebagai berikut:

    Gambar : Keterkaitan para pemangku kepentingan

    diagram 2

    Gambar tersebut memperlihatkan keterkaitan antara para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan musyawarah desa. Kepala Desa beserta perangkatnya saling terkait dengan masyarakat desa beserta unsur-unsur representasinya, dan BPD beserta pengurusnya. Mereka membawa kepentingan yang menguat pada irisan lingkaran. Artinya, musyawarah desa harus selalu diarahkan pada tercapainya mufakat.

    Dalam prakteknya, sesuai dengan konstruksi campuran yang dipakai UU Desa, sangat mungkin terjadi perbedaan kepentingan tiap-tiap unsur yang membentuk Musdes. Oleh karena itu sangat mungkin terjadi Kepala Desa yang membawa kepentingan pemerintahan kabupaten/kota menolak melaksanakan keputusan Musdes, baik secara terang-terangan maupun secara halus. Penjelasan Pasal 54 UU Desa sebenarnya sudah memberi garis yang tegas: “Hasil ini menjadi pegangan bagi perangkat pemerintah desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya”. Dalam hal terjadi konflik kepentingan, maka peraturan teknis harus memberikan jalan keluar yang tegas, misalnya sejauh mana masyarakat desa punya kewenangan menegur Kepala Desa. Pasal 68 ayat (1) UU Desa memang memberi hak kepada masyarakat desa untuk melakukan pengawasan atas kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa serta menyampaikan aspirasi, saran dan pendapat. Dalam hal konflik kepentingan itu berkaitan dengan hak asal usul dan lokal berskala desa, maka Desa punya kekuatan untuk mengatur dan mengurus. Sedangkan jika berkaitan dengan wewenang yang ditugaskan dan kewenangan lain dari supra desa, maka Desa hanya punya kewenangan mengurus (vide Pasal 20 dan 21 UU Desa). Bahkan dalam hal penataan Desa, keputusan akhir tetap ada di tangan pemerintah kabupaten/kota. Musyawarah Desa hanya sekadar forum untuk memberikan pertimbangan dan masukan (Penjelasan Pasal 54 ayat 2 UU Desa).

    Seperti disebutkan dalam Pasal 54 UU Desa, musyarawah Desa adalah forum untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pembentuk Undang-Undang telah menetapkan tujuh isu strategis, sebagaimana tergambar berikut:

    Bagan Isu-Isu Strategis yang Dibahas dalam Musyawarah Desa

    diagram 3

    •  Hal-Hal Strategis.

     Pasal 54 ayat (2) UU Desa mengatur apa saja yang disebut sebagai hal yang bersifat strategis yang menjadi dasar penyelenggaraan musyawarah Desa. Tetapi tidak jelas apa maksud isu strategis dan penormaannya terkesan tidak membuka peluang untuk menambahkan hal strategis itu. Seolah-olah hanya ketujuh hal itu saja yang masuk kategori hal strategis. Berarti pula di luar ketujuh hal tersebut tidak harus diputuskan lewat musyawarah Desa. Dalam praktiknya sangat mungkin terjadi perbedaan pandangan antara warga desa dengan pemerintah desa mengenai sifat strategisnya sesuatu hal. Apalagi jika sudah menyangkut frasa ‘kejadian luar biasa’. Apa yang dimaksud dengan kejadian luar biasa? Banjir, misalnya, bisa disebut kejadian luar biasa. Lalu, apakah harus Musdes dulu sebelum banjir ditangani? Isu strategis dalam Pasal 54 lebih sebagai isu yang penting menurut pembentuk Undang-Undang, dan bukan isu strategis menurut kenyataan yang dihadapi masyarakat.

    • Pelaksanaan dan Pembiayaan Musdes

    Berdasarkan UU Desa, Musdes diselenggarakan minimal satu kali dalam setahun. Undang-Undang tidak menyebutkan kapan waktu pelaksanaan dan berapa lama waktu penyelenggaraan Musdes. Pada praktiknya, musrenbang diselenggarakan pada Januari setiap tahun. Namun dilihat dari keragaman isu strategis, ada kemungkinan besar pelaksanaan Musdes lebih dari satu kali.

    Pembiayaan Musdes berasal dari APB Desa. Penyelenggaraan Musdes yang hanya bergantung pada APB Desa sebenarnya menimbulkan dua persoalan. Pertama, bila dana APB Desa tidak mencukupi untuk Musdes sekali setahun, bisakah Desa tak menyelenggarakan Musdes? Penyelenggara Musdes adalah BPD dengan difasilitasi pemerintah desa. Jika pemerintah desa berdalih tidak ada dana, apakah BPD bisa membatalkan pelaksanaan Musdes, dan lantas memberikan kewenangan kepada Kepala Desa untuk memutuskan hal-hal strategis tanpa melibatkan BPD? Kedua, persoalan pertama sebenarnya bisa diatasi dengan membuka peluang pendanaan Musdes diambil dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Tetapi akan muncul persoalan, apa kaedah yang harus ditaati peserta Musdes jika dana Musdes berasal dari pihak ketiga?

    Dilihat dari konstruksi hibriditas, sebenarnya peluang untuk mendapatkan biaya pelaksanaan Musdes dari luar desa tetap dimungkinkan. Sebagian biaya Musdes adalah dari pendapatan desa yang bisa berasal dari beragam sumber, antara lain ‘hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga’. Dari rumusan Pasal 72 ayat (1) huruf f UU Desa tersebut tergambar jelas salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah dana itu tidak bersifat mengikat. Jika ada penyimpangan dalam penggunaan dana pihak ketiga untuk Musdes tersebut, sesuai Pasal 75 ayat (1) UU Desa, yang akan dimintai tanggung jawab terutama adalah Kepala Desa sebagai ‘pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa’.

    5. Badan Permusyawaratan Desa

    Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah salah satu organ yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan desa. Organ ini adalah penyelenggara musyawarah desa. Pasal 1 angka 4 UU Desa menyebutkan BPD atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Materi mengenai BPD yang diatur dalam UU ini meliputi fungsi, keanggotaan, hak dan kewajiban, larangan, dan mekanisme pengambilan keputusan.

    Dalam tema ini akan dibahas aspek yang berkaitan dengan BPD dalam menjalankan perannya di Pemerintahan Desa, yaitu: fungsi; keanggotaan; hak dan kewajiban; dan larangan.

    6. Peraturan Desa

    Peraturan Desa (Perdes) adalah produk pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang digunakan untuk menjadi acuan pelaksanaan pemerintahan desa. Peraturan desa dalam konteks ini adalah dalam pengertian luas karena meliputi juga peraturan Kepala Desa dan peraturan bersama Kepala Desa. Peraturan Desa diatur dalam dua pasal, yakni Pasal 69 dan 70, sebagaimana dirumuskan berikut.

    7. Penutup

    Pengaturan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa yang diatur dalam UU Desa prinsipnya mendorong setiap perangkat melaksanakan tugas pokok dan kewajiban yang sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Tata kelola yang baik di level pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus pula dilaksanakan pada tingkat desa. Tanpa menjalankan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, Pemerintahan Desa berpotensi tidak stabil karena perebutan pengaruh dan kewenangan masing-masing pemangku kepentingan. Kepala Desa yang tidak transparan dan akuntabel menyelenggarakan pemerintahan desa, misalnya, berpeluang didemo dan dituntut mundur oleh masyarakat desanya. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa tidak hanya tunduk pada UU Desa, tetapi juga tunduk pada peraturan perundang-undangan lain yang masih berlaku. Di daerah-daerah khusus seperti Aceh, Papua, Papua Barat dan DI Yogyakarta, misalnya, berlaku ketentuan-ketentuan khusus yang juga diatur dengan Undang-Undang. Kekhasan suatu daerah akan berimbas pula pada penyelenggaraan pemerintahan desanya.

    Catatan Kaki

    [1] Bhenyamin Hossein. Op.cit.

    [2] Lihat Safri Nugraha dkk. Hukum Administrasi Negara. Depok: Center for Law and Good Governance Studies (CLGS), 2007, hal. 52-76.

    [3] Bito Wikantosa,’Catatan Terhadap Dokumen Naskah Anotasi Hukum UU Desa tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa’, dalam FGD di Kantor PATTIRO Jakarta.

    [4] Istilah Badan Perwakilan Desa diganti dalam UU No. 32/2004 menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Pengaturan tentang BPD dalam UU Desa diatur dalam pasal 55-65.

    [5] Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pasal 1 angka 14 KUHAP.

    [6] Terdakwa adalah seseorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Pasal 1 angka 14 KUHAP.

    [7] Bachrul Amiq. Penerapan Sanksi Administrasi dalam Hukum Lingkungan. Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2013, hal. 23

    [8] Lihat misalnya model sanksi administratif dalam PP No. 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

    [9] Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hal. 175-176.

    [10] Lihat antara lain Harun Husein, Pemilu Indonesia: Fakta, Angka, Analisis, dan Studi Banding. Jakarta: Perludem, 2014, hal.87; juga Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin (ed). Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia. Yogkyakarta: the Institute Power of Democracy (IPD), 2009.

    [11] Rianingsih Djohani (penulis). Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Bandung: FPPM, 2008, hal. 4

    [12] Masalah ini sudah lama menjadi perhatian para penulis buku hukum administrasi negara. Lihat H.A. Muin Fahmal. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII Press, 2006, hal. 24-28.

    [13] Nurul Firmansyah dan Wing Prabowo. Berhukum dari Desa, Memotret Proses Lahirnya Aturan Berbasis Masyarakat Desa. Jakarta: Perkumpulan HuMA, 2013, hal. 65.

    [14] Ibid., hal. 60.

    [15] H.A.S. Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press dan Tata Nusa, 2008, hal. 180.

    Last Updated 14 June 2016.