BPD Kurang Optimal Menjalankan Fungsinya
Namun di sisi lain, meskipun memiliki posisi yang sangat strategis, BPD masih belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Gejala ini tampak pada hasil penelitian PATTIRO terhadap enam desa yang berlokasi di Kabupaten Kebumen, Bantul dan Siak[4]. Sebagaimana diketahui, sebagai institusi demokrasi desa, menurut UU Desa, BPD memiliki tiga fungsi, yaitu 1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan 3) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Merujuk pada ketiga fungsi tersebut, pada hakikatnya BPD menjadi lembaga yang menjalankan mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Check and balances ini menjadi semangat yang diusung untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Desa. Setidaknya jika mengacu pada proses pembahasan UU Desa itu sendiri. Sebagaimana disampaikan dalam rapat pembahasan RUU Desa antara DPD, DPRD dan Pemerintah, Jacob Jack Ospara mewakili DPD menegaskan:
Pemerintahan desa yang kuat bukan dalam pengertian bentuk pemerintahan yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), namun bentuk pemerintahan desa dengan tata pemerintahan yang demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa/Badan Musyawarah serta elemen masyarakat setempat.[5]
Penelitian PATTIRO menunjukkan bahwa secara umum BPD masih belum optimal dalam menjalankan ketiga fungsi tersebut.
Dalam fungsinya sebagai pihak yang membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa (Perdes), BPD tidak lebih proaktif dari Kepala Desa. Meskipun rancangan dapat saja diajukan oleh BPD, tetapi kenyataannya lebih sering rancangan Perdes diusulkan oleh Kepala Desa. Pada kasus yang lain, rancangan Perdes yang telah dirumuskan dan diajukan oleh Kepala Desa gagal disahkan karena BPD tidak kunjung membahasnya. Kondisi ini menyebabkan Desa kurang produktif dalam mengesahkan Perdes di luar Perdes-Perdes yang pokok, yaitu Perdes tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa).
Penilaian cepat (rapid assessment) yang dilakukan PATTIRO di beberapa desa di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan menemukan data, bahwa BPD merasa dipaksa untuk menandatangani APBDesa karena desakan dari Kepala Desa. Kepala Desa melakukan hal ini karena juga dipaksa oleh Pemerintah Kabupaten yang merasa perlu untuk mempercepat proses penyusunan APBDesa agar proses transfer dana APBN dapat dipercepat. Di sisi lain, meskipun BPD mengetahui bahwa APBDesa tidak mencerminkan kebutuhan Desa dan proses penyusunannya tidak melibatkan warga Desa secara maksimal, namun BPD tidak berani menolak untuk menandatangani dokumen APBDesa dimaksud.
Dalam hal menampung aspirasi warga, BPD masih kurang diminati oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan warga desa yang lebih memilih menyampaikan aspirasinya kepada orang yang dianggap dekat secara kekuasaan dengan kepala desa, dengan harapan bahwa orang tersebut akan menyampaikannya langsung kepada kepala desa. Ada juga warga yang mengadukan aspirasinya kepada ketua RT atau RW. Di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, justru aspirasi warga disampaikan kepada para penarik sampah yang mendatangi rumah penduduk tiap pagi. Para penarik sampah yang bekerja untuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pengolahan sampah tersebut memang sengaja ditugaskan oleh Pemerintah Desa untuk menjalankan peran sebagai wakil desa untuk menampung aspirasi dan masalah warga. Menurut Kepala Desa Panggungharjo, Wahyudi, melalui mekanisme semacam ini pemerintah desa berhasil mengatasi masalah warga. Salah satunya adalah warga yang terjerat rentenir.
Sebagai pengawas kinerja kepala desa, BPD hampir tidak pernah membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Hampir tidak pernah ditemui BPD memberikan catatan terhadap laporan tersebut. Laporan pertanggungjawaban kepada bupati cenderung dianggap lebih penting ketimbang kepada BPD, karena laporan kepada bupati akan berimplikasi pada persetujuan untuk pencairan dana desa tahap berikutnya. Dalam fungsinya ini, tidak dijumpai adanya wacana kritis yang dikedepankan oleh BPD terhadap penyelenggaraan pemerintahan Desa. Dalam kasus yang lain, pemerintah desa cenderung lebih banyak meminta rekomendasi kepada pemerintah kabupaten daripada kepada BPD. Sebagai contoh, Kepala Desa Berumbung Baru, Kabupaten Siak pada saat hendak membangun gedung pertemuan dari dana Alokasi Dana Desa (ADD) harus berkonsultasi dengan Badan Pemberdayaan Pemerintah dan Masyarakat Desa (BPPMD) Pemerintah Kabupaten Siak. Pembangunan dijalankan setelah mendapatkan rekomendasi dari BPPMD, sedangkan BPD yang mestinya menjalankan peran kontrol pemerintahan desa tidak dimintakan rekomendasi.
Lemahnya fungsi BPD menyebabkan pemerintah desa, dalam hal ini kepala desa, menjadi lebih dominan. Peran kepala desa yang menonjol ini dikhawatirkan akan mengganggu mekanisme check and balances, sehingga pada tahap yang lebih lanjut demokrasi Desa akan terganggu.
Daftar Isi :