2. Lembaga Adat Desa

    Pada bagian ini, UU Desa mengatur tentang Lembaga Adat Desa.  Keberadaan lembaga tersebut di desa adat menjadi bagian tersendiri dalam memberikan peran dan fungsinya dalam mengembangkan adat istiadat.

     

    Pasal 95
    (1) Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa.

    (2) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa.

    (3) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.

    Penjelasan
    Cukup jelas

     

    Pembahasan di DPR

    Dalam proses pembahasan di DPR, pasal 95  adalah pasal yang cukup mendapatkan sorotan tajam terutama dari kelompok masyarakat adat.  Persoalan lembaga adat ini dalam diskusinya dilawankan dengan pengaturan desa, dan kemudian berkelindan dengan konversi  dana desa dengan basis perhitungan satuan desa.

    Dari awal standing point Pemerintah dalam Raker Raker 15 Mei 2012 memastikan bahwa pengaturan lembaga adat diletakkan pada pemerintah daerah.

    “….Pemerintah daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat di wilayahnya sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat dan lembaga adat.  Kebijakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat ditetapkan dalam Peraturan Daerah.”

    • Kekhawatiran Pengaturan Desa Akan Merusak Lembaga Adat

    Sebelum membahas pengaturan lembaga adat, kita telusuri pemikirin-pemikiran yang berkembang dalam pembahasan Lembaga Adat.  Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), M. Sayuti dt. Rj Pangulu, berkali-kali menyampaikan kekesalannya dalam Audiensi dengan Pansus Desa pada 4 Juli 2012.  LKAAM pada awalnya menolak kehadiran UU Desa ini karena dapat merusak tatanan ada yang ada.  Namun juga memberikan opsi jika memang harus diteruskan pembahasan oleh DPR dengan beberapa tawaran.

    “…..Nagari di Minangkabau sebelumnya sudah istimewa Pak Ketua, dan otonomi yang disebut oleh Tan Malaka dulu, dalam bukunya sebagai Negara kecil. Apa karakternya? Pertama adalah sudah punya pemerintahan. Jadi sebelum ada pemerintah ini, sudah ada pemerintahan yaitu ninik-mamak. Jadi kami-kami yang datang ini, itu yang menjadi pemimpin pemerintahan. Yang kedua, sudah punya wilayah, yaitu ulayat. Ulayat kami ada di Minangkabau itu yang dijual tidak dimakan beli, digadai tidak dimakan sando. Sekarang sudah banyak diperjualbelikan oleh penguasa dan pengusaha, Pak Ketua. Ini yang kekuatiran kami. Kemudian yang ketiga, sudah punya rakyat, yaitu anak kemenakan. Kemudian sudah punya wilayah bagian, yaitu suku dan kaum. Kemudian sudah punya hukum, yaitu hukum dan undang adat Minangkabau. Yang keenam, sudah punya polisi, sudah punya jaksa, sudah punya hakim, sudah punya pengadilan adat, itu menurut Tan Malaka dan Moh. Hatta dalam bukunya.”

     

    Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau akhirnya menyampaikan sikapnya kepada DPR agar:

    “… Melakukan legislatif review terhadap Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI tentang Desa, Pasal 200-216 dan mencabut semua peraturan pelaksanaannya. Dengan alasan dan usul perubahan sebagai berikut:

    1. Penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 mengakui desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya, mempunyai susunan asli dan dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
    2. Pasal 18 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
    3. Pasal 1 (12) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menetapkan bahwa desa yang disebut dengan nama lain berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    4. Dalam Pasal 200-216 Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, dan Permendagri No. 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan, diatur secara rinci mengenai desa tersebut, mulai dari lembaga yang harus ada, pimpinan serta cara memilihnya, kewenangannya dan penggunaan asas trias politika yang tidak dikenal masyarakat desa. Pengaturan itu tidak sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadat setempat, sehingga terjadi konflik antar peraturan tentang desa tersebut.
    5. Bahwa dengan dilaksanakannya Peraturan perundang-undangan mengenai Desa tersebut di Sumatera Barat melalui Perda Sumbar No. 2 tahun 2007, dan Perda-Perda kabupaten se-Sumatera Barat, dengan prinsip Trias Politika, berupa pemisahan antara nagari adat dengan nagari pemerintahan, telah terjadi konflik horizontal antara pimpinan nagari adat dengan nagari pemerintahan. Terutama mengenai penguasaan, pengelolaan, dan penempatan aset dan pendapatan nagari.
    6. Bahwa berdasarkan alasan diatas, kami masyarakat Minangkabau, menolak pembentukan undang-undang tentang Desa, juga mohon pencabutan PP No. 72 Tahun 2005.
    7. Apabila Rancangan Undang-undang tentang Desa dibahas juga antara DPR dengan Presiden, kami mengusulkan kembali agar namanya diganti menjadi Undang-undang Pemerintahan Terendah, atau Pemerintahan Terdepan.

     

    Kami, masyarakat Minangkabau mengusulkan penyederhanaan Bab XI Undang-undang No. 4 Tahun 2004 atau penyederhanaan RUU Desa menjadi beberapa pasal saja, dengan menerima asas hukum sebagai berikut:

    1. Judul Bab XI Undang-undang No. 4 Tahun 2004 diganti dengan Pemerintahan Terendah atau Pemerintahan Terdepan.
    2. Nagari di Minangkabau atau desa di Jawa adalah Daerah istimewa.
    3. Nagari di Minangkabau berbasis adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru.
    4. Nagari adat dan pimpinannya adalah pelaksanaan pemerintahan Republik Indonesia terendah atau terdepan di Provinsi Sumatera Barat.
    5. Hukum adat Minangkabau dinyatakan sebagai hukum khusus.
    6. Pemerintahan nagari dilaksanakan berdasarkan hukum adat, di masing-masing nagari atau adat salika nagari, baik mengenai lembaga, personalia maupun cara pemilihan dan kewenangannya tanpa diatur secara rinci oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya termasuk Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota.

     

    Anggota Komisi III Fraksi Partai Golkar, Nudirman Munir[14]  memberikan tanggapan yang mencoba mengkonversi nagari dan jorong yang ada di bawahnya dengan kue pembangunan (dana desa yang mungkin akan diperolehnya).

    “… Saya kembali ke nusantara lagi, tadi saya di nagari sebagai penghulu. Dalam hal ini memang ada pepatah Minang, padi serumpun dibagi duo, adek salingga nagari. Maksudnya itu, nagari itu tidak dipertaruhkan karena uang, karena ada anggaran. Nagari adalah nagari. Dengan segala keistimewaannya. Di jorong, tidak ada Kerapatan Adat Jorong, yang ada Kerapatan Adat Nagari. Oleh karena itu, tadi disampaikan oleh Ketua LKAAM, Pak Datuk, bahwa  yang kita minta diistimewakan itu salah satunya adalah bahwa nagari itu yang membawahi beberapa jorong, di dalam kue pembangunan yang akan diberikan, hendaknya juga mempertimbangkan untuk tidak persis sama dengan desa. Artinya nagari tetap merupakan nagari yang dianggap sebagai desa, dari sudut formalitas kita berbangsa dan bernegara. Tetapi dari sudut kepentingan adat, kepentingan komunitas masyarakat hukum adat di Minangkabau, maka nagari yang dikedepankan. Dan jumlah bantuan tidak bisa sama dengan yang diberikan kepada desa. Dengan pertimbangan bahwa nagari dulu hanya sekedar tumbal saja. Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 5 Tahun 1974, adalah pembusukan terhadap nagari di Minangkabau. Nah ini jangan sampai terjadi lagi. Kalau kita arahkan kepada jorong, maka yang terjadi adalah pembusukan terhadap nagari. Sehingga peran ninik-mamak, peran alim-ulama cerdik pandai, menjadi terdegradasi. Karena itu, peran ini jangan sampai dilupakan, karena ini adalah sangat penting. Revitalisasi ninik-mamak adalah merupakan hal yang mutlak.”

     

    Ketua LKAAM memberikan respon keras atas pembicaraan yang disampaikan tersebut.

    “…. Bahkan kami diancam, kalau sekiranya nanti desa itu statusnya dapat, misalnya kita kue-kue ini, di desa di Jawa dapat sekian, 1 desa Rp 1 miliar, di desa, Jawa, begitu banyak, Aceh dan Lampung, atau Pekanbaru, Riau. Lalu Sumatera Barat hanya 543. Terus-terang Pak, seperti yang disampaikan oleh Pak Nudirman Munir tadi, kami di Sumatera Barat, tidak segala-galanya uang, Pak. Kami harga diri, dan kultur adat yang hidup itu. Karena kenapa kami sampaikan itu Pak Ibnu? Dari awal sudah saya katakan, jangan ada terlintas di benak orang Indonesia bahwa Sumatera Barat mau buat merdekakah, mau khusus, tidak ada. Membuat Republik Indonesia ini kita tidak bisa memungkiri sejarah. Buka Lembar Negara Badan Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia, itu 9 dari Panitia Persiapan Kemerdekaan, itu 4 orang, orang Minang. Tidak mungkinlah orang Minang itu minta merdeka, yang memerdekakan Republik ini orang Minang. Hanya kami hanya minta supaya diberi khusus. Alternatifnya khususnya 2 saja, pertama, hitunglah cost yang akan dibantu itu, per penduduk, itu alternatif pertama. Berapa Jawa misalnya 1 penduduk itu dapat Rp 1 juta, kalau 1000 dapat Rp 1 miliar. Kalau penduduk kami sejuta, maka dapatlah sekian.” Tidak usah dipermasalahkan nagari dengan jorong itu. Atau apa yang dikatakan Pak Nudirman Munir tadi, diberikan karena Sumatera Barat itu karena khusus hanya 543 nagari, kalau di desa misalnya dapat Rp 1 miliar, maka Sumatera Barat itu 10 kali lipat. Kan tidak apa-apa. Kalau 1 nagari itu Rp 10 miliar, di desa dapat Rp 1 miliar. Ini yang …….. jadi jangan diancam-ancam kami, “Kalau tidak mau nanti sedikit bantuan”, tidak ada itu. Kami tidak ada urusan dengan uang-uang itu.

    ….. Lebih memahami lagi, bagaimana menghidupkan adat, agama kita ke depan, begitu, di nusantara ini, begitu. Kita kembalikan etika bangsa ini sebagai bangsa yang beretika dan bermoral. Jadi itu yang tadi disampaikan oleh Pak Hermanto, tidak perlu kita dulu membicarakan masalah kalau seperti ini, seperti ini. Apakah sudah ada jaminan bahwa setiap desa itu Rp 1 miliar? Ini isu keluar sudah ada ini Pak Muqowam, sampai kami. Saya tanya langsung kepada Pak Gamawan, “tidak ada katanya”. ………

     

    Yang diminta LKAAM adalah pengakuan adat.

    “….. Hanya mengakui nagari. Jadi berlaku di situ adat Minangkabau syarak Minangkabau, kemudian mengatur ninik-mamaknya, masalah hukum adatnya, ulayatnya, sako pusakonya.  Itu saja. Jadi sehingga dia mempunyai otonom di nagari masing-masing itu. Sehingga kalau dia sudah punya otonom, uang bisa dicari, Pak. Bisa dicari bersama-sama, begitu. Tidak sulit mencari uang itu. Itu kira-kira yang perlu kami sampaikan kepada Bapak. “….

    Hasan Basri tokoh dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)  memberikan klarifikasi perihal kemungkinan jorong menjadi desa, yang sekarang dipertanyakan lagi.

    …. Bapak-Bapak anggota Dewan yang terhormat, tolong dilihat kembali Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 25 Januari 1977. Di sini sudah mengenai jorong itu sudah menjadi desa, sebanyak 3.516. Jadi tidak perlu Bapak-Bapak kuatir, karena ini sudah mulai oleh Pemerintah Pusat, oleh eksekutif. Sekarang yang saya lihat, ini berputar-putar, sudah sebegini, dialihkan lagi. Ini sama saja dengan Undang-undang Desa ini, dulu Undang-undang No. 5 Tahun 1979 ini mengenai desa sudah dikeluarkan juga, di waktu Orde Lama. Sehingga ini tetap berjalan, waktu undang-undang itu, nagari dialihkan kepemimpinannya ke Ketua Kerapatan Adat. Jadi ini berjalan. Yang tidak berjalan setelah 2000 belakangan. Nah mengapa diurak-arik begini? Saya tidak mengertilah Pemerintahan pusat menjalankan pemikirannya. Mengapa hal ini kami sampaikan kepada Bapak-bapak yang terhormat? Nagari ini sebetulnya sudah otonomi, dari dahulu. Dari jaman per Patih Nusabatang, dengan Datuk Ketemanggungan. Dua pakar adat di Minangkabau yang meletakkan sendi-sendi adat, demokrasinya sudah ada, Bapak-Bapak sekalian. Demokrasi yang beraja ke mufakat. Ketemanggungan demokrasi yang meraja ke daulat. Dan untuk Bapak-Bapak ketahui, di Minangkabau itu sudah dulu di nagari itu demokrasi, daripada Eropa. Eropa baru setelah Revolusi Perancis. Tapi di Minangkabau, nagari ini sudah didudukkan berdemokrasi. Duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Basilang kayu dalam tungku, disenan api makonyo kaiduik.

     

    Anggota Fraksi Partai Demokrat, H. Darizal Basir memberikan tanggapan yang menyetujui undang undang diletakkan pada pemerintahan paling rendah di bawah nagari.

    “… Lebih baik judul ini diarahkan kepada sistem pemerintahan yang paling ujung, sehingga secara nyata tidak akan bertabrakan dengan nilai nagari.

    … Nah agar ini (nagari) tetap eksis, tidak ditabrak oleh nilai-nilai yang akan kita buat ini, memang perlu ada satu tata aturan yang memberikan kepastian bahwa komunitas ini bisa berkembang secara independen. Dan ini kita geser menjadi Undang-undang yang mengatur sistem pembangunan di daerah, sehingga apa yang menjadi bagian tanggung jawab dari komunitas masyarakat pengelola adat ini tidak bertabrakan dengan undang-undang ini.”

    “….. saya mencoba memberikan satu alternatif ya, yang pada dasarnya saya tidak berkeinginan agar nagari itu hilang. Justru saya berkeinginan nagari tetap eksis sebagai satu lembaga. Dan ini juga merupakan satu lembaga yang kita terima, bagaimana nanti berjalan beriringan. Ini yang saya katakan, satu ditawarkan, tapi orang Minang dapat dua.”

     

    Drs. H. Ibnu Munzir dari Fraksi Partai Golkar menyampaikan hal serupa dengan bahasa yang berbeda:

    “… Tetapi prinsip dasarnya saya kira, apapun namanya, yang disebut sebagai Bhinneka Tunggal Ika itu tidak boleh kita nafikan. Apa yang ada secara adat, dan itu hidup di Negara kita, itu tidak boleh kita nafikan. Kita harus akomodasi itu, tetapi mencari rumusannya secara baik.”

     

    Kata penutup Datuk Sayuti menyampaikan tentang posisi Undang Undang ini terhadap adat.

    “….. kembalikan sirih ke gagangnya, pinang ke tampuknya, dan kembalikan nagari secara utuh dalam Undang-undang Desa itu.”

     

    • Menuju Titik Kompromi

    Dalam Audiensi dengan Pansus Desa pada 4 Juli 2012, salah satu tokoh Bundo Kanduang, Prof. DR. Hj. Elidar Thalib menawarkan gagasan baru untuk ide konversi dana desa dengan jorong dan nagari.

    “…. bahwa nagari memang tidak sama dengan desa. Nagari merupakan kesatuan adat yang mempunyai wilayah, ulayat tersendiri, punya rakyat, anak kemenakan, punya struktur pemerintahan secara adat, dan menganut sistem kekerabatan matrilineal yang menempatkan kedudukan, peranan perempuan setara dengan kedudukan dan peranan laki-laki. Jadi kesetaraan bagi orang Minang sudah selesai. Jadi dalam hal ini saya juga mengemukakan, kalau ada tuntutan undang-undang kesetaraan gender, kami dari Sumatera Barat, menolak. Atau perlu belajar juga ke Sumatera Barat mengenai bagaimana kesetaraan laki-laki dengan perempuan dalam konsep seimbang dan berimbang.

     

    Kemudian yang berikutnya, nagari di  Minangkabau itu merupakan genealogis. Terdiri dari minimal 4 suku atau juga 5 suku. Dan kalau kita lihat secara adat, setiap nagari itu ada 7 batu sampai 8 batu atau 9 batu, artinya bisa dari jorong. Jadi seperti yang dikemukakan Bapak Ketua LKAAM tadi, barangkali nanti untuk tidak merusak tatanan adat di dalam nagari, dalam berupa seperti yang dikemukakan Pak Hermanto, yang kata Pak Sayuti itu semacam ancaman sehingga nanti Sumatera Barat tidak akan berkembang, barangkali pertimbangan itu, nagari itu diakui, kalau membantu sama dengan 9 desa. Itu yang tertinggi. Jadi kalau kita simak, dari nagari itu paling tinggi itu 9 jorong, banyaknya. Jadi itu salah satu solusinya. Jadi bantuan tetap per nagari, tapi hitungannya dalam 9 kali 1 desa, begitu…”  

     

    Ide formulasi tersebut ditangkap oleh Fraksi PKS, Hermanto, SE, MM, yang mengkonfirmasi lagi pada akhir rapat audiensi.

    “… sangat menarik ini usulan dari Bundo Kanduang, terkait dengan persoalan, tadi saya agak remang-remang mendengarnya ya, saya ingin dipertegas saja betul apa tidak. Per nagari berbasis 9 desa? Oh 9 jorong? Nah, jadi begini, kalau kita lihat fakta di lapangan, ada satu nagari jumlah jorongnya itu kalau tidak salah 23 jorong, ada 28? Ya ini nanti tolong dipikirkan oleh ninik-mamak, kalau ini konsepnya yang mau diperjuangkan, tolong nanti di daerah itu ada satu nagari itu 28 jorong. Bagaimana? Ada, ada, tolong dicek saja nanti…”

     

    Prof. Robert. MZ. Lawang, pakar dari Universitas Indonesia, dalam RDPU 13 Juni 2012 menyampaikan pentingnya standing point negara atas eksistensi desa.

    “Masalahnya terletak pada eksistensi desa yang tidak permanen dalam NKRI, dalam perkembangan masyarakat global. Satu, Undang-undang Dasar 1945 memberi pengakuan dan penghormatan secara bersyarat. Jadi bukan absolut, bersyarat, terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Di situ ada kata-kata “sepanjang masih hidup”, kalau tidak hidup ya hilang. “Sesuai dengan  perkembangan masyarakat”, kalau tidak berkembang ya hilang. “sesuai dengan  prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”, kalau tidak, ya hilang. Jadi eksistensinya penuh dengan  syarat-syarat yang datang dari luar. Bukan datang dari masyarakat adat itu sendiri. Memang Undang-undang Dasar 1945 tidak menyebut masyarakat hukum adat ini sebagai desa. Tetapi, di mana letaknya desa, kalau tidak terkait dengan  masyarakat hukum adat? Dalam konsep masyarakat hukum adat, pasti ada desa sebagai sistem pemerintahan.

     

    ……… Jadi pada suatu saat, dalam satu perkembangan evolusi, akan tidak ada lagi desa, dan hanya ada kota di Indonesia. Jadi seperti yang dikatakan oleh Prof. Tjondro kita tadi, Negara kita ini akan kehilangan basis dasarnya, yaitu desa.

     

    Kalau kita mencermati desa-desa di Indonesia yang berada di tengah-tengah kawasan hutan adat, maka Undang-undang No. 41 Tahun 1999 sebagian besar sumber daya alam sudah tidak berada dalam otoritas hukum adat itu sendiri. Bagaimana bisa hidup? Kesatuan masyarakat hukumnya diakui oleh Negara, tetapi sumber daya alam diambil Negara menjadi miliknya. Dengan  cara begini, desa pasti mati.”

    Darizal Basir dari Fraksi Partai Demokrat, dalam RDPU 13 Juni 2012 menyampaikan pertanyaan kepada pakar tentang kemungkinan membentuk lembaga pemerintahan paling depan yang mungkin kita kenal dengan desa namun tidak menggunakan entitas komunitas adat yang ada selama ini. Ia berharap akan menghindarkan dari potensi pertentangan antara desa dan lembaga adat selama ini.

    “Saya mencoba memahami konsep yang ada ini. Sepertinya Pemerintah ingin membuat satu sistem pemerintahan terkecil pada tingkat desa di seluruh wilayah nusantara kita ini, di mana fungsi dan peranan itu ditempatkan di atas komunitas masyarakat yang ada. Saya mengambil perbandingan katakanlah di Sumatera Barat, ada nagari, kemudian ada sistem pemerintahan. Fungsi ini ditumpangkan di atas nagari. Sehingga timbullah suatu kerancuan. Kerancuan yang muncul ya, tumpang tindihnya atas sistem pemerintahan dengan hak-hak adat yang berkembang secara tradisional dan turun-menurun. Itu lama-lama bisa jadi hilang. Yang pasti saja ya, dengan aturan seorang kepala desa, seorang wali nagari, katakan, dipilih dengan persyaratan formal, maka pejabat-pejabat informal kita, para pemimpin-pemimpin karismatik kita itu semakin tersisih, semakin tidak muncul. Nah saya mencoba menanyakan kepada Bapak dan Ibu narasumber, bagaimana kalau RUU ini kita tempatkan secara berdiri sendiri, tidak ditumpangkan dalam fungsi komunitas masyarakat yang ada? Artinya apa? RUU ini memang mengatur suatu sistem pemerintahan terdepan, tetapi dia merupakan satu lembaga yang berdiri sendiri di luar komunitas masyarakat. Jadi nanti akan ada lembaga pemerintahan paling depan yang mungkin kita kenal dengan desa tadi. Di samping itu, ada komunitas masyarakat yang mempertahankan hak tradisionalnya. Jadi kalau di Sumatera Barat ada nagari, yang mungkin nanti dipimpin oleh wali nagari, mengatur sistem adat dan budaya, sedangkan sistem pemerintahan ini tentu mengatur yang intinya masalah pembangunan dan pemerintahan. Ini dua masalah yang coba saya lemparkan, bagaimana menurut sudut pandang Bapak, para narasumber.”

     

    Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh DR. Hanif Nurcholis (pakar) yang mengemukakan teori rekognisi yaitu pengakuan negara atas sebuah komunitas adat yang sudah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bisa yaitu penyelenggaraan pemerintahan.  Dia juga memberikan contoh model commune di Perancis, sebelum diintegrasikan di dalam Negara.  Sedangkan mengenai pengaturan yang terpisah (antara formal dan komunitas adat), hal itu potensial mengalami konflik dan tidak produktif.

    “Apakah mungkin dibuat suatu bentuk undang-undang yaitu ada satu satuan pemerintahan yang formal, kemudian juga ada satu pengakuan satu komunitas-komunitas adat. Bapak memberikan satu contoh, yaitu nagari, bagus sekali. Ini krusial, menurut saya, dari disiplin Ilmu Administrasi Negara. Karena apa? Karena itu kalau itu diakomodasi dalam satu legalitas formal, itu akan ada tabrakan kepentingan. Ini adalah pengalaman yang barangkali mungkin secara detail barangkali ada suatu penelitian, tetapi dari bacaan saya yang tidak begitu mendetail adalah konflik antara desa adat dan desa dinas di Bali. Yang sampai sekarang itu tidak pernah selesai, dari sisi kepentingan-kepentingan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan Negara. Oleh karena itu tadi dalam makalah saya, saya mengusulkan adanya satu kompromi, yang tadi saya menunjuk satu contoh yang sudah ada, yaitu commune, commune di Perancis, atau dalam skala besar adalah state di Amerika. Koloni, dulunya itu adalah koloni, Pak. Yang sekarang menjadi state-state, United States itu dulunya koloni. Pada model commune atau koloni di Amerika atau commune di Perancis. Itu adalah modelnya adalah dengan satu teori yang disebut dengan teori Recognisi. Recognisi itu adalah pengakuan Negara atas sebuah komunitas adat yang sudah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bisa dianggap, yaitu penyelenggaraan Pemerintahan. tadi saya ambilkan contoh, di dalam commune di Perancis, sebelum itu diintegrasikan di dalam Negara, itu seperti nagari, Pak. Mengurus kesehatan di bawah gereja, waktu itu, kalau di Sumatera di bawah Tiga tungku sajarangan, jadi alim ulama, kepala adat dan para andiko, ya panghulu andiko dan lain-lain itu. Itu secara empirik komunitas itu menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan yang kongkrit.

    Commune waktu itu menyelenggarakan kesehatan. Tapi bukan pemerintah, mereka sendiri. Ya kemudian mengatur pertanian. Mereka sendiri Pak. Kemudian juga mengatur keamanan lingkungan, mereka sendiri, bukan Negara yang mengurus. Kemudian juga mengurus pendidikan gereja, waktu itu ya, mereka sendiri. Nah kemudian Negara datang, dengan teori yang disebut dengan teori recognisi, namanya. Dalam prakteknya, oke, commune A katakan begitu, silakan itu terus, dan Negara mengakui itu adalah urusan kamu. Nah itulah apa yang namanya teori recognisi.

    Nah kemudian, bersamaan dengan perjalanan dan pertumbuhan masyarakat, karena makin dinamis dan maju, maka ada kebutuhan-kebutuhan lain di luar yang mereka sudah selenggarakan itu, maka ada teori baru yang disebut dengan namanya teori desentralisasi. Jadi ketika yang mereka selenggarakan itu  mungkin hanya 3 urusan, yaitu kesehatan, pendidikan, mungkin waktu itu hanya pendidikan untuk anak-anak kecil, Sekolah minggu pagi, gereja itu ya, kemudian pertanian, ternyata ada kebutuhan juga untuk mengurus masalah pertanian, maka Negara masuk dengan teori yang namanya adalah desentralisasi, yaitu penyerahan urusan yang semula miliknya Pemerintah pusat, diberikan kepada commune tersebut dan itu disertai dengan dananya. Nah itulah, itu yang di dalam disiplin ilmu saya, itu yang paling mungkin, sehingga tidak ada benturan antara komunitas yang sudah berdiri dengan kepentingan Negara. “

     

    “Nah, ada teori baru kemudian, namanya adalah asas tugas pembantuan. Tugas pembantuan itu adalah satu tugas dari sebuah kewenangan Pemerintahan atasan yang ditugaskan untuk pelaksanaan teknis. Jadi regulasinya itu ada di kabupaten, kota, provinsi, pusat. Tapi kemudian secara teknis, itu hanya disuruh melaksanakan, itu namanya tugas pembantuan. Tapi kalau desentralisasi itu  memang urusannya itu diserahkan kepada commune tersebut. Tapi kalau pengaturannya menjadi terpisah, itu agak dalam disiplin ilmu kami, itu akan mengalami konflik dan tidak produktif. Karena di dalam ilmu administrasi Negara, yang namanya tugas untuk pemberdayaan masyarakat itu harus dilakukan oleh satuan-satuan Pemerintahan yang profesional. Bahwa satuan-satuan profesional itu diambil dari satu komunitas-komunitas yang sudah berjalan, itu oke. Tetapi harus ada satu tugas dan tanggung jawab dari satuan-satuan yang professional. Itu baru yang namanya tugas-tugas pemberdayaan masyarakat itu baru bisa berjalan.”

    “…. Model pertama adalah desa sebagai komunite yang dikontrol oleh Negara, itu sekarang, dan RUU seperti itu. Pilihan kedua, ubah saja semua desa menjadi UPT kecamatan, dan saya tidak setuju. Dan yang ketiga itu setuju, dan saya setuju kalau modelnya itu adalah model recognisi terhadap komunitas, tetapi masuk dalam sistem Negara. Setuju, 100% setuju. Karena itulah yang sebenarnya menjadi tulang punggung, memberikan satu yang bisa menjadi agen.”

     

    • Pengaturan Lembaga Adat

    Menjelang penetapan UU Desa ini, pada Raker 11 Desember 2013, Mendagri Gamawan Fauzi menyampaikan tingkat regulasi pengaturan kelembagaan adat di pemerintah daerah.

    “… Ada  yang meminta supaya jangan rusak satu kesatuan masyarakat hukum adat di daerah, seperti Bali. Kan tidak enak kalau Badung berbeda dengan yang lain, apa ini tidak dengan Perda Provinsi maksud saya, kalau di sini kan kabupaten/kota”

    “… Susunan kelembagaan, pengisian jabatan dan masa jabatan kepala desa adat berdasarkan hukum adat, ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ini diminta menjadi provinsi. Begitu?”

    Ketua Rapat, Pak Muqowam dalam forum yang sama menimpali:

    “Pengertiannya tidak seperti itu, bahwa ini adalah eksklusif mengenai desa adat ini diatur dengan peraturan daerah provinsi, itu saja, eksepsinya disitu, eksklusifnya disitu Pak.”

    Wakil Ketua Rapat, Budiman Sudjatmiko dari Fraksi PDIP) mencoba menyodorkan fakta bahwa tidak semua kelembagaan adat memiliki skala adat  tingkat provinsi dan bisa ditetapkan di provinsi.  Mungkin untuk Bali, untuk Sumatera Barat, Perda Provinsi sudah cukup menjelaskan di tingkat provinsi, namun untuk beberapa provinsi yang lain, skalanya berada pada tingkat kabupaten misalnya di NTT. Antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain bisa mempunyai sistem yang berbeda, padahal satu provinsi yang sama.  Sehingga usulannya lebih setuju pengaturan di tingkat kabupaten/kota.

    Menanggapi hal itu Mendagri, Gamawan Fauzi menawarkan penjelasan” “Kalaupun dibuat Perda Provinsi, itu juga bisa mengatur di dalam perbedaan-perbedaan antar kabupaten itu tetapi induknya dibuat provinsi dulu. Kalaupun ada perbedaan di dalam provinsi silakan dalam Perda Provinsi itu diatur perbedaan itu tapi harus ada, ini sekaligus untuk menampung supaya di dalam satu provinsi yang kebetulan itu solid, itu perlu sekali payung itu”.

    Akhirnya Ketua Rapat, A. Muqowam menyimpulkan:

    “Baik, jadi lebih baik diatur daripada kemudian ada kekosongan pada tingkat regional provinsi.  Jadi Pasal 108 itu adalah mahfum mukhalaf, pemahamannya adalah nanti dalam peraturan daerah juga boleh ada kepelbagai heterogitas sesuai adat masing-masing tetapi bahwa bagi daerah provinsi yang memang itu uniform dan homogen, itu dijadikan sebagai landasan hukum. Itu ya? Bapak sekalian, Pak Menteri? Teman-teman sekalian setuju ya? (RAPAT: SETUJU)”

    • Pengadilan Desa Tidak Disetujui

    Sedangkan mengenai usulan DPD yang tidak terakomodasi seperti pengadilan desa, DPD dalam Pandangan Mini-nya mengusulkan untuk menjadi bahan kajian.

    “…Terkait dengan  proses tersebut, kami juga memang harus menyesalkan langkah tersebut, karena sesuai dengan Keputusan tanggal 23 Oktober 2013, usulan sesuai DIM DPD tentang perlunya pengaturan yang memberikan kewenangan kepada lembaga kemasyarakatan yang disebut Polmas atau nama lain, diakomodir untuk menyelesaikan pertikaian antarwarga. Kewenangan komunitas tersebut, dimulai dari berbagai kewenangan pembinaan ketertiban dan ketentraman atau tindakan preventif oleh desa, atau kewenangan penyelesaian sengketa masyarakat, oleh kepala desa yang merupakan perangkat birokrasi. Pengaturan tersebut dimaksudkan agar permasalahan pelanggaran hukum serba ringan, terutama yang melibatkan warga, dapat diselesaikan pada level komunitas, dan dan bukan pada birokrasi, apakah Polri atau pemerintahan desa.”

    Tanggapan

    • Satuan-Satuan Budaya Yang Ada Harus Segera Memilih.

    Muncul kekhawatiran adanya komunitas adat berpotensi menimbulkan pertentangan dengan desa. Pada praktik selama ini, diberikan dua alternatif ruang yaitu memilih menjadi desa adat, atau tetap menjadi kelembagaan adat.  Untuk berubah menjadi desa adat hanya memiliki waktu yang pendek.  Sedangkan untuk menjadi kelembagaan adat menunggu ketentuan yang dimandatkan dalam Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

    • Siapa Penentu Arah Tranformasi Budaya Di Desa?

    Hak satuan masyarakat adat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya berada pada kelembagaan adat dan kelembagaan kemasyarakatan lainnya.  Jika sebelumnya pelestarian nilai budaya berada pada pemimpin satuan budaya, maka penetapan pemerintahan desa berpotensi bersinggungan dengan arah tranformasi budaya setempat. Karena itu, perlu ada satu tata aturan yang memberikan kepastian bahwa komunitas ini bisa berkembang secara independen.

    • Situasi Terakhir

    Berdasarkan pasal 153 UU Desa bahwa Lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.  Namun saat ini Menteri terkait belum menerbitkan peraturan tersebut.

     

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.