3.1. Penataan Desa Adat

    Pada bagian ini akan menjelaskan secara khusus mengenai tata cara penataan desa adat. Sedangkan materi mengenai Jenis Desa tidak menjadi bagian dari Bab XIII melainkan dalam Bab II yang diatur melalui Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2).

    Bahasan ini akan menguraikan tentang penetapan, pembentukan, penggabungan desa adat dan perubahan status desa dari desa  (administratif) dapat  diubah  menjadi  desa  adat, kelurahan  dapat  diubah  menjadi  desa  adat,  desa adat  dapat  diubah  menjadi  Desa (administratif),  dan  desa  adat dapat  diubah  menjadi  kelurahan. Materi yang dibahas pada bagian ini, mulai dari pasal 96 sampai pasal 192.

     

    Pasal 96
    Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah  Kabupaten/Kota  melakukan  penataan  kesatuan masyarakat  hukum  adat  dan  ditetapkan  menjadi  Desa Adat.
    Penjelasan
    Penetapan  kesatuan  masyarakat  hukum  adat  dan  Desa  Adat yang  sudah  ada  saat  ini  menjadi  Desa  Adat  hanya  dilakukan untuk 1 (satu) kali. 
    Pasal 97
    (1)    Penetapan Desa Adat  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:

    a.       kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  secara  nyata  masih  hidup,  baik yang bersifat  teritorial,  genealogis, maupun  yang bersifat fungsional;

    b.      kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  dipandang  sesuai  dengan perkembangan masyarakat; dan

    c.       kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  sesuai  dengan  prinsip  Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    (2)    Kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  yang  masih  hidup  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  a  harus  memiliki wilayah  dan  paling  kurang  memenuhi  salah  satu atau gabungan unsur adanya:

    a.       masyarakat  yang  warganya  memiliki  perasaan bersama dalam kelompok;

    b.      pranata pemerintahan adat;

    c.       harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau

    d.      perangkat norma hukum adat.

    (3)    Kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) huruf  b  dipandang  sesuai  dengan  perkembangan masyarakat apabila:

    a.       keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai  pencerminan perkembangan  nilai  yang  dianggap  ideal  dalam masyarakat  dewasa  ini,  baik  undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan

    b.      substansi  hak  tradisional  tersebut  diakui  dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat  yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak  asasi manusia.

    (4)    Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, apabila  kesatuan  masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik  lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:

    a.       tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan

    b.      substansi  norma  hukum  adatnya  sesuai  dan tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.

    Penjelasan
    Ketentuan  ini  sesuai  dengan  Putusan  Mahkamah  Konstitusi, yaitu:

    a.         Putusan  Nomor  010/PUU-l/2003  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  11  Tahun  2003  tentang  Perubahan  Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten  Pelalawan,  Kabupaten  Rokan  Hulu,  Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;

    b.         Putusan  Nomor  31/PUU-V/2007  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  2007  tentang  Pembentukan  Kota Tual Di Provinsi Maluku;

    c.         Putusan  Nomor  6/PUU-Vl/2008  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  51  Tahun  1999  tentang  Pembentukan Kabupaten  Buol,  Kabupaten  Morowali,  dan  KabupatenBanggai Kepulauan; dan 

    d.         Putusan Nomor  35/PUU–X/2012  tentang  Pengujian Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

     

    Pasal 98
    (1)    Desa  Adat  ditetapkan  dengan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota.

    (2)    Pembentukan  Desa  Adat  setelah  penetapan  Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan  memperhatikan  faktor  penyelenggaraan Pemerintahan  Desa,  pelaksanaan  Pembangunan Desa,  pembinaan  kemasyarakatan  Desa,  serta pemberdayaan  masyarakat  Desa, dan  sarana prasarana pendukung.

    Penjelasan
    Ayat (1)

    Yang  dimaksud  dengan  “penetapan  Desa  Adat”  adalah penetapan untuk pertama kalinya.

    Ayat (2)

    Cukup jelas.

    Pasal 99
    (1)     Penggabungan  Desa  Adat  dapat  dilakukan  atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa Adat.

    (2)    Pemerintah  Daerah  Kabupaten/Kota  memfasilitasi pelaksanaan  penggabungan Desa Adat  sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Penjelasan
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    (1)    Status  Desa  dapat  diubah  menjadi  Desa  Adat, kelurahan  dapat  diubah  menjadi  Desa  Adat,  Desa Adat  dapat  diubah  menjadi  Desa,  dan  Desa  Adat dapat  diubah  menjadi  kelurahan  berdasarkan prakarsa  masyarakat  yang  bersangkutan  melalui Musyawarah  Desa  dan  disetujui  oleh  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

    (2)    Dalam  hal  Desa  diubah  menjadi  Desa  Adat, kekayaan  Desa  beralih  status  menjadi  kekayaan Desa  Adat,  dalam  hal  kelurahan  berubah  menjadi Desa  Adat,  kekayaan  kelurahan  beralih  status menjadi  kekayaan Desa  Adat,  dalam  hal Desa  Adat berubah menjadi Desa,  kekayaan Desa Adat  beralih status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat  berubah  menjadi  kelurahan,  kekayaan  Desa Adat  beralih  status  menjadi  kekayaan  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

    Penjelasan
    Ayat (1)

    Perubahan  status  Desa  Adat  menjadi  kelurahan  harus melalui  Desa,  sebaliknya  perubahan  status  kelurahan  menjadi Desa Adat harus melalui Desa.

    Ayat (2)

    Cukup jelas.

    Pasal 101
    (1)    Pemerintah,  Pemerintah  Daerah  Provinsi,  dan Pemerintah  Daerah  Kabupaten/Kota  dapat melakukan penataan Desa Adat.

    (2)    Penataan  Desa  Adat  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

    (3)    Peraturan  Daerah  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2) disertai lampiran peta batas wilayah.

    Penjelasan
    Cukup jelas.
    Pasal 102.
    Peraturan  Daerah  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  101  ayat  (2)  berpedoman  pada  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
    Penjelasan
    Cukup jelas.

     

    Pembahasan di DPR

    Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum RUU Desa yang dilaksanakan pada tanggal 31 Mei 2012, Akhmad Muqqowam sebagai Ketua Pansus RUU Desa, pada pembukaan rapat menyampaikan tentang penataan desa, seperti berikut:

    “… kemudian yang kedua adalah mengenai penataan desa. Ada substansi Bapak-Ibu sekalian, baik yang berkaitan dengan kedudukan desa, penataan desa. Di mana penataan desa ini banyak hal terkait dengan  masalah otonomisasi desa. Saya kira kita menemukan Pak ada otonomi asli yang dimiliki oleh desa yang bukan otonomi pemberian.”

    Pernyataan Akhmad Muqowwam tersebut menyuratkan pemahaman Pansus terhadap klasifikasi jenis Desa itu memiliki dua basis otonomi, yakni otonomi pemberian dan otonomi asli. Otonomi asli, yang disebut oleh Muqowwam sebagai genuine autonomy itu, mencakup satu bidang yang luas. ”Baik di bidang ketentraman, ketertiban. Kemudian otonomi dan pertanian, peternakan, perikanan, otonomi di bidang keagamaan. Otonomi di bidang kesejahteraan masyarakat, otonomi di bidang perkreditan dan lumbung desa. Kemudian otonomi pasar Desa, kemudian otonomi hak atas tanah,” tambah Muqowwam.

    Dengan demikian, agaknya, Pansus bersepakat untuk menerima dua macam jenis Desa tersebut, dengan nama: Desa dan Desa Adat. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 UU Desa, yang menyebutkan bahwa Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat. Ketentuan ini sudah dijelaskan dalam Naskah Akademik RUU Desa yang menyatakan bahwa, “Sesuai dengan pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, setidaknya ada tiga tipe bentuk desa, yaitu: a) Tipe Desa Adat (self governing community) sebagai bentuk Desa asli dan tertua di Indonesia, b) Tipe Desa Administratif (local state goverment), dan c) Tipe desa Otonom atau dulu disebut sebagai Desa Praja atau dapat juga disebut sebagai (local self goverment).”

    Penataan Desa merupakan topik sensitif. Dalam pembahasan kedudukan Desa Adat dan Desa menjadi obyek yang setara. Karena ketentuan pengaturan penataan terhadap Desa akan berlaku pula bagi Desa Adat. Termasuk juga bagi Kelurahan –sebuah satuan pemerintahan terkecil yang terdapat di wilayah administratif berskala urban.

    Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dalam Raker I RUU Desa, 4 April 2012 mengatakan bahwa:

    “Penataan desa, bertujuan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya saing desa. Berkaitan dengan penataan desa, maka perubahan mendasar yang diatur dalam regulasi ini adalah persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang diperketat. Hal ini adalah untuk mengantisipasi maraknya pemekaran desa yang semakin hari semakin tidak terkontrol. Perubahan lainnya yang diatur adalah membuka ruang bagi penyesuaian kelurahan, yaitu perubahan status kelurahan menjadi desa.”

    Ketua Pansus Desa, Akhmad Muqowwam, dalam Audiensi dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabu (LKAAM), menyebutkan ada 2 substansi penting yang dibahas dalam Penataan Desa ini, yaitu: pertama, adalah perubahan mendasar yang diatur terkait dengan persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang diperketat. Kedua, adalah membuka ruang bagi penyesuaian kelurahan yaitu perubahan status kelurahan menjadi desa.

    Menguatkan pernyataan Muqqowam, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Paser, Azhar Bahruddin, dalam RDPU III RUU Desa dan Pemda mengatakan bahwa:

    “Yang selanjutnya juga untuk mengantisipasi maraknya pemekaran desa, perlu juga mungkin ada beberapa langkah-langkah yang perlu kita perhatikan dalam rangka mengantisipasi maraknya pemekaran desa…. Yang pertama, adanya persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang lebih diperketat lagi. Saya rasa itu mungkin perlu juga menjadi perhatian kita”.

     

    Ahmad Firman, Kepala Pusat Studi Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah, Universitas Haluoleo, dalam RDPU IV RUU Desa dan Pemda mengatakan:

    “ menurut hemat saya yang perlu di atur dalam undang-undang ini adalah penataan tentang desa, bukan ditekankan kepada pemekaran, tetapi menata desa sesuai dengan undang-undang yang akan dirancang, yaitu dengan jumlah penduduk yang sudah ditetapkan berbeda antara Jawa, Sumatera dan luar Jawa. Itu sudah.” Ini melahirkan ketentuan Pasal 97 UU Desa yang mengatur mengenai persyaratan penetapan Desa Adat.”

     

    Dalam Pembahasan RUU Desa, DPR RI banyak mendapatkan masukan, kritikan dan saran dari instansi yang diundang untuk mendengarkan jajak pendapat. Kritikan tersebut datang dari, Idham Arsyad dari perwakilan Konsorsium Pembaharuan Agraria dalam RDPU VI RUU Desa yang mengatakan bahwa, “Ada kesenjangan yang begitu lebar antara argumentasi yang dibangun di dalam naskah akademik dengan apa yang dituangkan didalam norma menjadi pasal-pasal… terus pasal mengenai tentang penataan desa itu tidak mencerminkan substansinya dari pengakuan terhadap Desa Adat, desa otonom atau seperti yang dikemukakan dalam naskah akademik. Ini memperkuat tanggapan umum saya tadi”.

    Hal senada juga disampaikan oleh, H. Anwar Maksum perwakilan dari Forwana Sumbar dalam RDPU IX RUU Desa pada 10 Oktober 2012 yang menyampaikan  masukannya mengenai penataan desa bahwa, “Yang semua drafnya kami sampaikan kepada sekretariat, yang kedua mengenai penataan desa secara umum hal ini sudah memuat penataan desa dengan baik namun demikian ketentuan Pasal 5 ayat (4) perlu dipertimbangkan kembali sebaiknya ketentuan desa ini tidak hanya memperhatikan jumlah penduduk akan tetapi tetap juga mempertimbangkan asal usul desa atau sebutan lainnya kalau hanya mempertimbangkan jumlah penduduk, maka akan terjadi banyak penggabungan kembali desa, secara psikologis penggabungan desa akan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat, selain itu dengan jumlah yang sebaran penduduknya yang hampir sama antara Sumatera dan Kalimantan dan Sulawesi maka Forwana Sumatera Barat merekomendasikan batas minimal penduduk untuk Sumatera berjumlah 2.500 jiwa”.

    Penataan Desa Adat sebenarnya tidak diatur dalam RUU Desa yang di inisiasi oleh Pemerintah akan tetapi ketentuan mengenai penataan Desa Adat ini diatur dalam RUU Desa Timus yang telah selesai dibahas sampai dengan Rapat Timus 3 Oktober 2013. Penataan Desa Adat diatur dalam Pasal 14 (Keputusan Timus, Kamis 5 September 2013); Pasal 15 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013); Pasal 16 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013); Pasal 17 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013); dan Pasal 18 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013). Sedangkan hasil akhir dari UU Desa yang telah disahkan ketentuan mengenai Penataan Desa Adat diatur dalam Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal, 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102.

     

    Tanggapan

    Dalam konstitusi kita, keberadaan Desa Adat sudah diakui. Hal ini sangat jelas terpatri  dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Adanya kesatuan masyarakat hukum adat  itu terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan antara prinsip genealogis dan prinsip teritorial. Undang-Undang Desa hanya mengakomodir dua prinsip karena yang diatur adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial.

    Penetapan  Desa  Adat  untuk  pertama  kalinya  berpedoman  pada  ketentuan  khusus sebagaimana  diatur  dalam  Bab XIII UU Desa.  Sedangkan pembentukan Desa Adat  yang  baru berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab  III UU Desa. Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud di atas, yang menjadi acuan utama adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu[15]:

    1. Dua (2) tentang  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  41  Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan Nomor 10/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang  Nomor  53  Tahun  1999  tentang  Pembentukan Kabupaten  Pelalawan,  Kabupaten  Rokan  Hulu,  Kabupaten  Rokan  Hilir,  Kabupaten  Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
    2. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
    3. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan  Kabupaten  Buol,  Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
    4. Putusan Nomor  35/PUU–X/201.

     

    Namun demikian, karena kesatuan masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi Desa Adat melaksanakan fungsi pemerintahan (local self government) maka ada syarat mutlak yaitu adanya wilayah dengan batas yang jelas, adanya pemerintahan, dan perangkat lain serta ditambah dengan salah satu pranata lain dalam kehidupan masyarakat hukum adat seperti perasaan bersama, harta kekayaan, dan pranata pemerintahan adat. Penetapan Desa Adat tidak serta merta bisa dilakukan dengan begitu saja. Penetapan Desa Adat ini harus dilakukan dengan selektif. Artinya harus ada suatu syarat-syarat tertentu yang harus dicapai untuk menetapkan suatu desa adat.

    Menurut Jimly Asshiddiqie, dari rumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, kita dapat mengetahui bahwa syarat dan prosedur pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya itu harus diatur dengan undang-undang ataupun dalam pelbagai undang-undang lain yang terkait. Wilayah hukum adat ini tentu saja tidak sama dengan wilayah hukum pemerintah desa atau apalagi dengan pemerintah kelurahan yang terdapat di kota-kota. Wilayah hukum masyarakat hukum adat itu terdapat di daerah kota ataupun di perdesaan, sehingga wilayah keduanya tidak dapat diidentikkan secara nasional, meskipun boleh jadi ada juga desa yang sekaligus merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat di beberapa daerah di Indonesia.[16]

    Menurut Agus Purbathin Hadi, dengan menyitir pendapat Dharmayuda, mengatakan bahwa desa adat mempunyai unsur-unsur sebagai persekutuan masyarakat hukum adat, serta mempunyai beberapa ciri khas yang membedakan  dengan kelompok sosial lain.[17] Namun ini sangat disayangkan dalam RUU Desa versi Pemerintah tidak mengatur mengenai penatapan desa adat. Karena berbahaya sekali ketentuan tentang penetapan desa adat tidak mengatur syarat prasyaratnya, maka ini akan menimbulkan potensi banyaknya desa adat baru yang akan bermunculan. Tapi hal ini bisa diatasi dengan adanya pembahsan RUU Desa di DPR RI yang memasukan beberapa pasal untuk mengatur mengenai penataan desa adat ini.

    Dalam perkembangan desa dalam hubungannya dengan desa  adat  ini,  seperti diuraikan dalam  Penjelasan  Umum  UU Desa,  dapat  dikemukakan  adanya beberapa  variasi. Ada desa adat yang  berubah menjadi  lebih  dari  1  (satu) desa adat.  Ada  1 (satu) desa adat yang berubah menjadi desa. Ada pula lebih dari 1 (satu) desa adat menjadi 1 desa;  atau  1  (satu) desa adat  yang  sekaligus  juga berfungsi  sebagai  1  (satu) Desa/Kelurahan. Oleh karena itu, UU Desa memungkinkan terjadinya perubahan status dari  desa  atau  kelurahan  menjadi  desa adat sepanjang  masih  hidup,  sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, serta atas prakarsa masyarakat sendiri. Demikian pula, status desa adat dapat berubah menjadi desa/kelurahan atas prakarsa masyarakat.[18]

     

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.