3.3. Pemerintahan Desa Adat

    Substansi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa adat dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa adat, tugas wewenang hak dan kewajiban pemerintahan desa adat dan masa jabatan kepala desa adat.

     

    Batang Tubuh.
    Pasal 107
    Pengaturan  dan  penyelenggaraan  Pemerintahan  Desa Adat  dilaksanakan  sesuai  dengan  hak  asal  usul  dan hukum  adat  yang  berlaku  di    Desa  Adat  yang  masih hidup  serta  sesuai  dengan  perkembangan  masyarakat dan  tidak  bertentangan  dengan  asas  penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

     

    Pasal 108
    Pemerintahan  Desa  Adat  menyelenggarakan  fungsi permusyawaratan  dan  Musyawarah  Desa  Adat  sesuai dengan  susunan  asli  Desa  Adat  atau  dibentuk  baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.

     

    Pasal 109
    Susunan  kelembagaan,  pengisian  jabatan,  dan  masa jabatan  Kepala  Desa  Adat    berdasarkan  hukum  adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi.
    Penjelasan.
    Pasal 107.

    Cukup jelas

    Pasal 108.

    Cukup jelas

    Pasal 109.

    Cukup jelas

     

    Pembahasan di DPR

    Pembahasan mengenai pemerintahan desa adat dimulai dengan penyampaian Gamawan Fauzi selaku Mendagri mengenai penjelasan RUU Desa dalam Raker I RUU Desa. Gamawan mengatakan bahwa, “Substansi mengenai penyelenggara pemerintah desa dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, tugas wewenang hak dan kewajiban kepala desa, larangan bagi kepala desa, pemberhentian dan pemilihan kepala desa, tindakan penyidikan terhadap  kepala desa dan BPD. Khusus mengenai masa jabatan kepala desa dan masa keanggotaan BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih atau diangkat kembali untuk 1 kali periode. Perubahan yang terkait dengan BPD adalah lebih mendudukkan pada fungsi BPD sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut sebagai tindak lanjut hasil Musyawarah Desa yang merupakan forum tertinggi musyawarah yang berfungsi untuk membahas, mendiskusikan dan mengkoordinasikan program-program strategis yang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa dan BPD. Program-program strategis dimaksud termasuk proses penyusunan  perencanaan pembangunan desa dan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan”.

    Dalam kesempatan yang sama, DPD juga menyampaikan pandangannya mengenai pemerintahan desa bahwa ”DPD RI berpendapat bahwa pengaturan tentang pemerintah desa harus bisa mengakomodasi:

    1. Penghormatan dan pengakuan atas keragaman (kebhinekaan) bentuk dan susunan pemerintahan desa-desa di Indonesia karena sejarah menunjukkan bahwa format pengaturan yang sentralistik dan seragam justru berakibat pada marginalisasi desa dan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal dalam tata pemerintahan desa.
    2. Walaupun keragaman susunan pemerintahan desa dihormati dan diakui, namun dalam undang-undang perlu diatur asas-asas tata kelola pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan desa yang demokratis  bisa diwujudkan dengan melembagakan partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Esensi dari tata pemerintahan yang demokratis adalah mendekatkan pemerintahan pada warganya.
    3. RUU Desa bukan semata-mata mengatur pemerintah desa melainkan sistem pemerintahan desa. Undang-Undang Desa perlu memperjelas sistem Pemerintahan desa, yang meliputi susunan atau struktur pemerintahan desa, tugas pokok dan fungsi dari kelembagaan pemerintahan desa serta pola relasinya.
    4. Pemerintahan desa yang demokratis hanya terbangun apabila ada saluran dari warga untuk ikut terlibat dalam proses politik-pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Keterlibatan warga dalam proses politik pemerintahan desa bukan hanya dalam konteks artikulasi dan agregasi aspirasi warga, melainkan bagian dari keikutsertaan dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan desa melalui keterlibatan itu juga sebagai upaya membangun “check and balances” dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan demikian salah satu indikator dari pemerintahan yang demokratis adalah keberadaan dan berfungsinya  lembaga perwakilan politik warga seperti BPD.

     

    Selain BPD, DPD RI juga mengusulkan desa membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa, atau nama lain, sebagai wadah tertinggi untuk pengambilan keputusan desa yang bersifat strategis. Keputusan desa yang bersifat strategis mencakup: rencana pembangunan jangka menengah desa; investasi yang masuk desa; pengembangan kawasan perdesaan; pembentukan, penggabungan, pemekaran atau perubahan status desa. Selain itu, DPD mengusulkan musyawarah desa dalam hal ini bukan pemegang kedaulatan rakyat desa, bukan juga sebagai institusi yang permanen, tetapi sebagai forum pengambilan keputusan strategis yang mengikat bagi pemerintah dan warga desa. Penyelenggaraan musyawarah desa untuk pengambilan keputusan strategis dimaksudkan untuk menghindari bias elit yang dilakukan oleh kepala desa, sekaligus pelibatan warga masyarakat guna memberikan perlindungan terhadap aset-aset strategis desa. Jika desa akan mengambil keputusan strategis, maka BPD berwenang membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa.

    Sudir dari Parade Nusantara mengatakan dalam RDPU I RUU Desa bahwa:

    “Yang memutuskan Undang-undang Desa, DPR RI- nya. Jadi anggota DPR RI periode masa lalu, mengganggap rakyat desa, pemegang terbesar saham mayoritas bangsa ini, hanya penumpang gelap saja. Tidak patutkah komunitas rakyat desa yang 78% dari keseluruhan penduduk negeri ini mendapatkan Undang-undang Desa sendiri, yang tentu di dalamnya adalah mengatur tentang Pemerintahan Desa. Itu saja yang bisa kami sesuaikan rohnya, agar menjadi semangat kepada seluruh Bapak-Bapak anggota RUU Desa ini, yaitu satu, untuk memutuskan Undang-undang Desa ditahun ini, untuk memutuskan Undang-undang Desa ditahun ini.  Yang kedua, memberi nyawa yang sehat, yaitu antara kewajiban, hak dan kewenangan. Bapak bisa mengacu konsideran dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (1) a dan b, silakan nanti Bapak pelajari, tentu Bapak sudah lebih ahli dan memahami itu semua”.

     

    Pada RDPU III RUU Desa, perwakilan dari ADEKSI menyampaikan masukannya mengenai pemerintahan desa adat bahwa

    “Undang-undang No. 32 harus mempertegas otonomi asli sebagai prinsip Pemerintah Desa. Otonomi asli berarti identik dengan  kesatuan masyarakat hukum adat, kalau Desa Adat, berarti desa bukan unit administrasi atau satuan daripada Pemerintahan. Ini juga sensitive, ada di beberapa daerah dengan  karakteristik khusus karena masyarakat adatnya masih sangat kuat. Ini seringkali juga terjadi persoalan. Ini supaya, mohon maaf sekali karena ini sifatnya masukan umum, kami mohon kiranya Pansus dapat memperhatikan ini”.

    Dalam RDPU IV RUU Desa, Hasto Wiyono dari APMD menyampaikan pandangannya mengenai pemerintahan desa, yaitu:

    ” Kemudian yang berikutnya mengenai susunan dan tata pemerintahan desa. Untuk susunan, saya kira sudah kita kenal sampai sekarang ya ada kepala desa, kemudian ada perangkat desa, nah dalam hal ini kami mengusulkan Badan Permusyawaratan Desa itu diubah menjadi Badan Perwakilan Desa karena memang itu adalah representasi dari masyarakat. Itu menjadi suatu institusi demokrasi bagi masyarakat dan juga dengan adanya Badan Perwakilan Desa, ini berarti ada check and balances terhadap kepala desa. Namun demikian, yang kami usulkan bukan badan perwakilan desa atau BPD versi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dapat menjatuhkan atau dapat memberhentikan kepala desa. Jadi dalam konteks ini BPD atau Badan Perwakilan Desa itu sama dengan Badan Permusyawaratan Desa yang kita kenal sekarang. Dia punya hak untuk mengusulkan pemberhentian kepala desa, jadi tidak langsung punya kewenangan untuk memberhentikan”.

    Dalam RDPU VI RUU Desa, Sutoro Eko perwakilan dari IRE menyampaikan pandangannya bahwa:

    “usulan kami ada dua tipe yang generik, ada desa dan Desa Adat, tetapi juga ada pengecualiannya ya. Pengecualiannya itu ternyata ada sejumlah daerah yang sudah melakukan integrasi, misalnya Sumatera Barat itu antara adat dan nagari antara desa dan adat itu diintegrasikan dalam, dalam satu wadah nagari. Keyakinan mereka itu diikat dengan hukum adat, hukum agama dan hukum negara, maka disebut sebagai tali tigo sapilin ya, tiga yang diikat menjadi satu. Kemudian juga di Maluku itu ada integrasi juga, tetapi juga ada pola yang sifatnya ko eksistensi atau saling melengkapi seperti halnya terjadi di Bali antara Desa Adat dan desa dinas itu saling melengkapi. Oleh karena itu, ini perlu ada pola pengaturan yang lebih jelas ini secara makro bisa kita buat dan perbedaan utama antara Desa Adat dan desa itu terutama pada susunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Desa Adat itu kita berikan rekognisi untuk menggunakan susunan asli juga proses pemerintahannya”.

    Pada kesempatan yang sama Yando Zakaria juga menyampaikan pandangan Perhimpunan KARSA, yang menyatakan bahwa:

    “Khusus untuk permasalahan penyelenggaraan pemerintahan nasional di tingkat desa, KARSA mengusulkan model optional bahwa penyelenggaraan pemerintahan nasional, jadi artinya karena desa diakui asal-usul, maka salah satu kewenangan desa adalah menyelenggarakan pemerintahan nasional dalam konteks desa. Mau disebut dengan pemerintahan desa oke begitu ya, tetapi intinya adalah bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa di tingkat desa yang beragam itu, maka mungkin kita membutuhkan sebuah kebijakan yang memfasilitasi keberagaman itu. Kami mengusulkan model optional tiga. Dalam konteks tertentu, dalam konteks Desa Adat tertentu seperti Minangkabau, Bali dan mungkin sebagian dari Kalimantan bisa menyelenggarakan pemerintahan nasional di tingkat desa dengan model kita sebut saja desa asli atau Desa Adat. Akui, berikan kewenangan apa yang harus mereka kerjakan sebagai-bagian dari sistem pemerintahan di Indonesia itu. Kurang lebih ini terjadi dalam praktek sudah ada sebenarnya ya yang paling persis sebenarnya adalah Badui. Minangkabau sama Bali masih fifty-fifty. Jadi bisa saja model pertama model pemerintahan asli. Oke nagari saya akui kamu sebagai nagari, organisasinya saya akui, ulayatnya saya akui, norma-normamu saya akui bahkan pengadilanmu saya akui dalam konteks desanya itu, tetapi sebagai-bagian Negara Republik Indonesia ini anda punya kewajiban menyelenggarakan kegiatan pemerintahan. Apa itu? Bisa kita rinci ke belakang.

    Yang kedua, desa asli Indonesia juga sudah berubah banyak percampuran-percampuran, maka opsi yang kedua adalah sistem sebut saja desa praja, desa otonom dan lain sebagainya. Kurang lebih seperti desa yang kita kenal sekarang. Ada pemerintahan desa, ada pemilihan, ada BPD dan macam-macam itu dan yang ketiga perlu Bapak ingat-ingat juga tadi saya katakan ada desa asli Indonesia yang memang scope of kontrol management-nya itu sangat terbatas seperti saya katakan Mentawai tadi mungkin juga sebagian besar wilayah Papua. Akan sangat terlalu berat bagi mereka untuk menjalankan sebuah sistem pemerintahan desa praja bahkan tidak mungkin menyelenggarakan sistem pemerintahan tadi, maka harus ada yang ketiga yaitu sistem pemerintahan desa administrative. Seperti halnya kurang lebih kelurahan sekarang artinya apa? Karena sesuatu dan lain hal Negara ini mewajibkan ada suatu sistem pemerintahan di wilayah yang remote-remote itu untuk melakukan pelayanan-pelayanan publik begitu”.

    Dalam naskah akademik RUU Desa dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi pilihan Desa yang beragam maka pengaturan tentang kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintah desa dibuat beragam juga pilihannya. Pada Penjelasan Umum UU Desa disebutkan bahwa Desa  atau  yang  disebut  dengan  nama  lain mempunyai karakteristik  yang  berlaku  umum  untuk  seluruh Indonesia,  sedangkan  desa adat atau  yang  disebut  dengan  nama  lain  mempunyai  karakteristik  yang berbeda dari desa pada umumnya,  terutama karena kuatnya pengaruh adat  terhadap sistem pemerintahan lokal,  pengelolaan  sumber  daya  lokal,  dan kehidupan  sosial  budaya masyarakat desa. Desa adat  pada prinsipnya merupakan warisan  organisasi kepemerintahan masyarakat  lokal  yang dipelihara  secara  turun-temurun  yang  tetap  diakui  dan  diperjuangkan  oleh  pemimpin  dan  masyarakat  desa adat agar  dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan  identitas  sosial budaya  lokal. Desa adat memiliki hak asal usul  yang  lebih dominan  daripada hak asal usul Desa,  karena sejak awal Desa Adat lahir  sebagai komunitas asli yang ada di  tengah masyarakat. Desa adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan  identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul.

    Dalam pembahasan di DPR RI, ketentuan mengenai pemerintahan desa adat tidak diatur dalam rumusan RUU Desa versi Pemerintah. Ketentuan mengenai pemerintahan Desa Adat ini diatur dalam RUU Desa versi Timus dalam Pasal 66 (Keputusan Timus, Kamis 26 September 2013) disetujui sesuai dengan rumusan baru, Pasal 67 (Keputusan Timus, Kamis 26 September 2013), dan Pasal 68 (Keputusan Timus, Kamis 26 September 2013).

     

    Tanggapan

    Dalam Penjelasan UU Desa dijelaskan bahwa dengan ditetapkannya masyarakat hukum adat menjadi desa adat, maka ada suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yaitu fungsi pemerintahan (local self goverment). Untuk menjalankan fungsi pemerintahan itu maka ada syarat mutlak yang harus dipenuhi yaitu adanya wilayah dengan batas yang jelas, adanya pemerintahan, dan ada perangkat lain serta ditambah dengan salah satu pranata lain dalam kehidupan masyarakat hukum adat seperti perasaan bersama, harta kekayaan dan pranata pemerintah adat. Fungsi pemerintahan ini dijalankan untuk mewujudkan atau menjalankan kewenangan desa adat yang berdasarkan hak asal usul, namun dalam menjalankannya tentu sangat diharuskan adanya suatu tata lembaga pemerintahan desa adat yang baik, seperti kepala desa adat, BPD dan  sebagainya atau yang dikenal dengan pemerintahan desa adat.

    Pemerintahan desa adat inilah yang nantinya menjalankan kewenangan desa adat seperti:

    1. pengaturan dan  pelaksanaan  pemerintahan berdasarkan susunan asli;
    2. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
    3. pelestarian nilai sosial budaya desa adat;
    4. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah yang selaras dengan  prinsip  hak  asasi  manusia  dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
    5. penyelenggaraan sidang  perdamaian  peradilan  desa adat sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan;
    6. pemeliharaan ketenteraman  dan  ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan  hukum adat yang berlaku di desa adat; dan
    7. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.

    Jimly Asshidiqqie juga menegaskan bahwa di samping persoalan status hukum pemerintahan desa dan desa adat itu sebagai badan hukum, yang juga penting mendapatkan perhatian adalah soal keseragaman versus keanekaragaman bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa dan desa adat. Adanya undang-undang yang mengatur pemerintahan desa dari dulu sampai sekarang selalu cenderung menyeragamkan. Sejak Pemerintahan Hindia Belanda sampai Pemerintahan Indonesia merdeka, kecenderungan penyeragaman (uniformitas) selalu menjadi arah kebijakan oleh pemerintah pusat. Para  pejabat  di  tingkat  pusat,  siapapun  mereka,  apakah  penjajah  atau  pemerintahan bangsa  sendiri,  selama mereka  berpikir  dalam  perspektif  kekuasaan  yang  terpusat  pada  negara (state  centered),  pasti  berusaha  untuk  menyeragamkan.  Pertimbangan  penyeragaman  itu  dapat dikatakan  wajar mengingat  para  perencana  dan  perumus  kebijakan  duduk  di  atas  singgasana, tidak bertitik tolak dari gagasan tentang perspektif masyarakat secara partisipatoris. Dalam buku ini, perspektif  yang dianjurkan  justru  adalah perspektif dari bawah, yaitu perspektif masyarakat madani  yang  memandang  struktur  organisasi  negara  justru  sebagai  sarana  atau  alat  untuk membangun kemajuan bangsa. Dalam perspektif masyarakat, negara hanyalah merupakan salah satu  aktor  saja dalam upaya membangun pencerahan dan pencerdasan peradaban bangsa. Tiga aktor  yang  sama-sama  perlu  digerakkan  secara  simultan  dalam  upaya membangun  peradaban bangsa adalah negara, masyarakat madani, dan korporasi dunia usaha.[20]

    Jika  kita menggunakan  perspektif  yang  demikian, maka  niscaya  desa  dan  pemerintahan Desa di  seluruh  Indonesia  tidak perlu  seragam, Desa hanya memerlukan status yang pasti kepada pemerintahan desa,  terutama desa- desa adat sebagai badan hukum dengan misi utama di bidang sosial ekonomi dan sosial budaya. Bagaimana struktur pemerintahannya hendak diatur,  lebih  baik  diserahkan  kepada  kebutuhan  praktik  setempat  dengan  otonomi masing-masing  untuk  mengatur  dirinya  sendiri  sesuai  dengan  tradisi  hukum  adatnya  masing-masing. Jika desa adat diberi ruang kreatifitas untuk berbeda-beda, desa dan pemerintahan desa administrasi  sebenarnya  juga  dapat  diberi  kebebasan  untuk  mengatur  dirinya  sendiri  sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, struktur pemerintahan desa pantai, pasti tidak perlu sama dengan struktur pemerintahan desa di gunung-gunung dan di daerah-daerah persawahan, dan sebagainya. Tradisi budaya  setempat  yang mengenal aneka  ragam  struktur kelembagaan desa,  juga haruslah dibiarkan  atau  diberi  kesempatan  untuk  berkembang  tanpa  harus  dipaksa  untuk menyesuaikan diri  dengan  struktur  pemerintahan  desa  seperti  yang  diasumsikan  sebagai  sesuatu  yang  ideal  di mata  para  perumus  kebijakan  nasional  dalam  Undang-Undang,  Peraturan  Pemerintah,  atau Peraturan Menteri.[21]

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.