Klaster 4: Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa
Menurut Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. yang memiliki hak adalah manusia, aktor atau pihak atau kelembagaan[1]. Pada bagian ini yang disebut desa adalah desa sebagai secara kelembagaan. Pengertian tersebut memperkuat pengertian Desa pada Ketentuan Umum di Pasal 1 angka 1 UU Desa, yang berbunyi:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Hak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya). Selain itu hak juga berarti kepunyaan. Hak pada pasal ini lebih kepada pengertian hak yang pertama. Sementara hak yang melekat pada asal-usul dan hak tradisional dapat diartikan sebagai kepunyaan yang melekat sejak desa ada. Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau hanya dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya. Hak adalah bawaan atau kepunyaan yang melekat sejak desa ada. Sedangkan kewajiban adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau hanya diberikan oleh pihak tertentu, tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan atau sesuatu yang diwajibkan. Kewajiban juga berarti keharusan melakukan sesuatu.
Bab VI dalam UU Desa mengatur mengenai Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa sebagai hak dalam arti kekuasaan untuk berbuat sesuatu sebagaimana pengertian hak menurut KBBI. Bab VI terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 67 dan Pasal 68. Yang berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Desa serta berkaitan Hak dan Kewajiban Masyarakat Desa.
Daftar Isi:
Hak dan Kewajiban Masyarakat Desa
Daftar Isi :
1. Hak dan Kewajiban Desa
Ruang lingkup Hak Desa yang diatur dalam pasal ini berkaitan dengan : (1) hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal usul; (2) menetapkan dan mengelola kelembagaan desa, dan (3) mendapatkan sumber pendapatan.
Kewajiban yang diatur dalam pasal ini adalah : (1) kewajiban desa untuk menjaga kerukunan; (2) persatuan dan kesatuan masyarakat desa dalam kerangka NKRI; (3) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa; (4) mengembangkan kehidupan demokrasi; (5) pemberdayaan masyarakat, dan (6) memberikan dan meningkatkan pelayanan masyarakat.
Pasal 67 |
(1) Desa berhak: a. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa; b. menetapkan dan mengelola kelembagaan Desa; dan c. mendapatkan sumber pendapatan. (2) Desa berkewajiban: a. melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa; c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa; dan e. memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pembahasan di DPR
Hak Desa yang dibahas dalam Naskah Akademik RUU Desa meliputi : (1) hak asal-usul dan hak tradisional; (2) hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri; (3) memiliki, mengontrol, dan mengelola sumber daya alam di wilayahnya; (4) hak untuk mempunyai, mengelola, atau memperoleh sumber daya ekonomi-politik; (5) hak mengambil keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat; dan (6) hak untuk memperoleh alokasi anggaran dari pemerintah.
Kewajiban Desa antara lain: (1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya; (2) menyelenggarakan pemerintahan Desa; dan (3) melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas penugasan tertentu yang disertai pembiayaan, sarana prasarana, serta sumber daya manusia.[2]
Pada Naskah RUU Desa, pengaturan mengenai Hak dan Kewajiban Desa terdapat pada pasal 20 dan 21. Berikut Naskah RUU Desa yang disampaikan kepada DPR oleh pemerintah melalui Direktorat Pemerintahan Desa Dan Kelurahan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, Kementerian Dalam Negeri Tahun 2007 berkaitan dengan hak dan kewajiban desa:
Naskah RUU Desa |
Pasal 20 |
Desa mempunyai hak: a. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan nilai- nilai sosial budaya masyarakat; b. memilih kepala desa, menetapkan BPD dan perangkat desa lainnya; c. mengelola kelembagaan desa; dan d. mendapatkan sumber-sumber pendapatan desa |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 21 |
Desa mempunyai kewajiban: a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mengembangkan pemberdayaan masyarakat; dan e. meningkatkan pelayanan dasar masyarakat. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pada Rapat-rapat kerja dan Rapat Dengar Pendapat Umum yang dilaksanakan oleh DPR dengan Pemerintah, pembahasan hak dan kewajiban desa sebagaimana dimaksudkan pada pasal ini tidak dibahas secara spesifik dan tidak menjadi perdebatan panjang. Pembahasan secara spesifik dan menjadi perdebatan panjang lebih banyak berhubungan dengan hak asal-usul, kewenangan Desa, dan Penataan Desa. Meski demikian, dalam beberapa Rapat, baik Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU Desa maupun Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Pansus dengan stakeholders, bagian hak dan kewajiban desa sempat mengemuka.
Parade Nusantara melalui H. Sudir Santoso dalam RDPU tanggal 24 Mei 2012 menyampaikan bahwa sebelum adanya RUU Desa, desa hanya diberikan kewajiban, tanpa diberikan kelengkapan hak dan kewenangan. Keadaan yang demikian tersebut menurut Parade Nusantara yang menyebabkan Desa tidak menampakkan jati diri sebagai entitas yang paling bawah.
“Sekali lagi saya hanya sekedar mengingatkan, Bapak-Ibu, Saudara sekalian, utamanya adalah Anggota Pansus RUU Desa. Mari kita cermati, kalau memang tidak punya data, saya siap kontribusi data. Sejak Undang-undang yang mengatur tentang Desa jaman Belanda, yaitu inlandjimentie ordonantie, saya melompat langsung tentang Desa yang dibuat jaman Orde Lama, Orde Baru, dan dimana saat ini sampai orde reformasi, terakhir dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Tolong dibaca dan dicermati. Kalau tadi didepan Pak Kyai Muqowam mengatakan, mengapa desa tidak pernah menampakkan entitas, menampakkan jati dirinya sebagai entitas yang ada di paling bawah. Karena dalam Undang-undang Desa sampai hari ini, desa hanya diberi kewajiban. Ulangi, desa hanya diberi kewajiban, tanpa diberi kelengkapan hak dan kewenangan.
Dalam strata, struktur pemerintahan, dimana pun negeri di dunia ini termasuk di Indonesia, setiap strata struktur pemerintah harus minimal memiliki 3 dasar yaitu (1) Hak, (2) Kewenangan, dan (3)Kewajiban.
Tapi sekali lagi, desa hanya diberi kewajiban Pak Kyai, tolong digarisbawahi. Secara lipstick, basa-basi, dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memang diberi suatu kewenangan, tapi kewenangan itu hanya bersifat delegatif atau pendelegasian. Jadi ulangi sekali lagi, yang seharusnya dalam ilmu pemerintahan, seharusnya di sini ada mentor saya, Prof. DR. Ryaas Rasyid, MA, PHd., tidak akan pernah jalan sebuah strata pemerintah baik itu Pemerintah desa, Pemerintah kabupaten/kota, Pemerintah provinsi, Pemerintah pusat maksudnya, kalau tidak dilengkapi dengan 3 hal yaitu kewajiban, hak dan kewenangan. Sementara desa sejak jaman Orde Lama berubah ke Orde Baru, sampai dengan era reformasi saat ini, aturan Undang-undang yang mengatur tentang Desa, Desa hanya dikasih 1 saja, yaitu kewajiban. Itupun diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah dengan bahasa yang malu-malu yaitu dikemas dengan suatu bahasa, pendelegasian. Itu dulu.”
Pendapat Parade Nusantara tersebut diatas diamini oleh Pansus RUU Desa. Dukungan atas pendapat parade nusantara tersebut disampaikan Ketua Sidang DR. A.W. Thalib, M.Si., yang menyampaikan bahwa:
“Yang berikut juga tadi, dari Pak Ketua Parade Nusantara, memang kalau dilihat bahwa yang ada itu adalah kewajiban. Sementara, belum ada suatu hak yang diberikan, satu kewenangan yang diberikan kepada kepala desa ataupun perangkatnya. Sehingga desa hanya menjadi satu objek. Kegiatan-kegiatan pembangunan sering hanya dilakukan oleh supra tadi, oleh institusi diatas dari pada desa. Sementara dari desa, hanya menjadi penonton yang tidak berdaya sama sekali, untuk menegur atau mengawasi. Inilah yang tentunya diperhatikan dan kami juga sangat konsen dengan hal itu, sehingga ada meskipun di dalam Undang-undang Dasar 1945 kita tidak mengenal daerah tingkat III, tidak dikenal ya, daerah tingkat III, tetapi harus ada split, otonomi daerah yang dititikberatkan tingkat II, itu harus sampai ke tingkat desa. Banyak hal itu yang diisyaratkan dalam aturan, misalnya Undang-undang No. 5 Tahun 1979, ada pembagian juga. Pembagian terhadap berapa pendapatan atau bagi hasil daripada retribusi pajak. Tetapi dalam implementasinya ternyata tidak dilakukan. Jadi ada semacam hak-hak yang tertahan di tingkat kabupaten/kota. Sehingga di dalam pasal dan ayat yang ada, ini memang sudah harus jelas. Tadi kami sangat menyambut baik, harus jelas, bahwa daerah tidak bisa mengurangi ataupun mengalihkan dana yang harusnya untuk desa, untuk kegiatan yang lain. Jadi tentunya ini adalah merupakan harapan dari kita, karena kemajuan daripada desa akan menjadi kemajuan daripada daerah itu sendiri.”
Selanjutnya dalam RDPU tanggal 28 Juni 2012, pembahasan tentang hak dan kewajiban desa sempat disinggung secara khusus. Pada RDPU ini yang dipimpin Ketua Rapat Khatibul Umam Wiranu, Salah seorang pakar yang diundang, Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan menyampaikan pertanyaan tentang hak desa. Pada pasal tentang hak dan kewajiban desa tersebut tidak jelas sebenarnya ditujukan kepada siapa.
“Kemudian ada persoalan-persoalan terminologis ya. Masih di persoalan desa sebagai, desa ini apakah menjadi sebuah organisme atau aktor, begitu ya? Ini di Pasal 20 dan Pasal 21, itu agak aneh, itu. Desa mempunyai hak. Sebetulnya yang mempunyai hak itu biasanya menempel pada manusia, aktor atau pihak atau kelembagaan. Tidak pernah ada kota mempunyai hak. Kalau kota mempunyai hak itu, mestinya kan, kotanya siapa, kan begitu? Kalau desa mempunyai hak atau desa mempunyai kewajiban, itu siapa? Ini Pasal 20-21 sekilas bagus begitu ya, kalimatnya, tetapi kalau nanti dioperasionalkan ini menjadi agak membingungkan.”
Sementara itu dalam DIM, masukan terhadap pembahasan Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa hanya berkisar pada perubahan nomor bab, pasal, serta penambahan beberapa kata. FPKS mengusulkan adanya perubahan nomor bab, sebelumnya Bab IV menjadi Bab VI. Kemudian FPDIP dan FPKS mengusulkan adanya perubahan nomor pasal menjadi Pasal 19, dan FPPP mengusulkan untuk menyesuaikan menjadi pasal 41.
Pada huruf a, FPG mengusulkan menambahkan kata persetujuan menjadi a. mencari, meminta, mengawasi, dan memberikan informasi serta persetujuan kepada pemerintah desa tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desanya.
Pada huruf c, Fraksi Partai Hanura mengusulkan untuk ditambah kata “aspirasi” dan dipertegas saran ataupun pendapat tersebut “secara lisan atau tertulis” menjadi, c. menyampaikan aspirasi saran dan pendapat lisan atau tulisan secara bertanggung jawab tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desanya. Juga pada huruf f, FP Hanura mengusulkan untuk ditambahkan kata “pengayoman” menjadi e. mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari ancaman ketentraman dan ketertiban.
Tanggapan
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., dalam makalahnya yang berjudul Konstitusi Masyarakat Desa (Piagam Tanggungjawab Dan Hak Asasi Warga Desa) menyebutkan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat itu terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan antara prinsip genealogis dan prinsip teritorial. Sementara itu yang diatur dalam UU Desa, menurut beliau adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial. Pada Penjelasan UUD 1945 sebelum Perubahan I, II, III, dan IV, keduanya sama- sama disebut. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan, “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen (daerah-daerah swapraja) dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Nageri di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.” Dua konsideran yang dipakai oleh UU Desa menunjukkan bahwa salah satu dasar penyusunan UU Desa ini adalah pengakuan negara terhadap hak asal-usul dan hak tradisional desa.[3]
Ketentuan Umum di pasal 1 angka 1, menyatakan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pengertian tentang desa juga tercantum dalam dalam Pasal 1 angka 43 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan redaksi yang sama persis seperti pada pasal 1 angka 1 UU Desa di atas.
- Penetapan Badan Permusyawaratan Desa, Hak Siapa?
Pasal 67 ayat 1 huruf (b) menyatakan bahwa hak desa untuk menetapkan dan mengelola kelembagaan Desa. Kelembagaan Desa sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum pasal 1 angka 5 yaitu lembaga Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan lembaga adat. Sementara itu, pada pasal 58 ayat (2) disebutkan bahwa “Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota”. Mencermati kedua pasal tersebut, patut dipertanyakan sejauh mana dan pada tahapan apa saja hak desa dalam menetapkan BPD. Karena hal itu berpengaruh pada pemenuhan hak desa oleh pemerintah. Selain itu, dalam operasionalnya akan menjadi lebih mudah jika lebih jelas peran desa dalam penetapan BPD.
- Apakah Desa Berhak Menolak Sumber Pendapatan?
Pasal 67 ayat 1 huruf (c) menyatakan tentang hak desa untuk mendapatkan sumber pendapatan. Keterkaitan dengan peraturan perundangan lain secara langsung tentang Hak Desa untuk mendapatkan sumber pendapatan tidak ditemukan. Namun keterkaitan dengan pasal lain berkaitan dengan apa saja sumber pendapatan itu, dapat ditemui dalam Pasal 71 dan 72 UU Desa ini. Pembahasan mendetail berkaitan dengan sumber pendapatan dalam pasal 71 dan 72 akan dibahas dalam bab lain.
Hak untuk mendapatkan sumber pendapatan tidak lepas dari pelaksanaan asas recognisi dan subsidiaritas yang menjadi pijakan UU Desa. Kedua asas itu tentunya berkaitan dengan kewajiban desa dalam menjalankan tugas akibat pelimpahan, penyerahan, dan atau perbantuan. Adanya pelimpahan, penyerahan, atau tugas perbantuan akan membawa konsekuensi yang berbeda-beda. Apakah Desa memiliki hak menolak sumber pendapatan yang muncul dari adanya pelimpahan, penyerahan, atau perbantuan yang diberikan itu?
Jika sedikit mengupas sumber pendapatan yang ada dalam pasal 71, salah satunya adalah pengelolaan sumber daya alam. Pada konteks ini Desa memiliki hak untuk mengelola sumber daya alam di lingkungannya. Sejauh mana Desa memiliki hak tersebut? Apakah Desa juga memiliki hak untuk melakukan kontrol dan hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada di wilayahnya?
2. Hak dan Kewajiban Masyarakat Desa
Ruang lingkup pengaturan Hak Masyarakat Desa diatur yang dalam pasal 68 berkaitan dengan hak untuk meminta dan mendapatkan informasi, memperoleh pelayanan, menyampaikan aspirasi, memilih dan dipilih, dan mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban.
Pengaturan hak dan kewajiban masyarakat desa ini telah memperkuat peran masyarakat desa sebagai subjek pembangunan di wilayahnya sendiri, sehingga diharapkan pengaturan ini membuka ruang bagi masyarakat untuk bersifat aktif dalam pembangunan di wilayahnya. Pengaturan ini juga akan membangun kesetaraan dalam memperoleh pelayanan dan hak politik.
Pasal 68
(1) Masyarakat Desa berhak: a. meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil; c. menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; d. memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi: 1. Kepala Desa; 2. perangkat Desa; 3. anggota Badan Permusyawaratan Desa; atau 4. anggota lembaga kemasyarakatan Desa. e. mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa. (2) Masyarakat Desa berkewajiban: a. membangun diri dan memelihara lingkungan Desa; b. mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik; c. mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa; d. memelihara dan mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di Desa; dan e. berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Proses Pembahasan di DPR
Naskah Akademik RUU Desa tidak membahas hak dan kewajiban masyarakat desa dalam satu kajian. Sedangkan pada naskah RUU Desa, hak dan kewajiban masyarakat Desa diatur pada pasal 18 dan 19. Berikut Naskah RUU Desa yang disampaikan kepada DPR oleh Pemerintah melalui Direktorat Pemerintahan Desa Dan Kelurahan, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, Departemen Dalam Negeri Tahun Tahun 2007:
RUU Desa |
Pasal 18 |
Masyarakat desa mempunyai hak : a. mencari, meminta, mengawasi dan memberikan informasi kepada pemerintah desa tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desanya; b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil; c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desanya; d. memilih, dipilih dan/atau ditetapkan menjadi kepala desa, perangkat desa lainnya, anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan desa; dan e. mendapatkan perlindungan dari ancaman ketentraman dan ketertiban. |
Penjelasan |
Cukup jelas. |
Pasal 19 |
Masyarakat desa mempunyai kewajiban: a. membela kepentingan lingkungannya; b. membangun diri dan lingkungannya; c. mendorong terciptanya penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang baik di desanya; d. mendorong terciptanya situasi yang aman; e. menghadiri musyawarah dan gotongroyong; dan f. ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas. |
Pembahasan tentang Hak dan Kewajiban Masyarakat Desa sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 68 sempat muncul dalam dua kali Raker Pansus RUU Desa. Pada Raker Pansus RUU Desa tanggal 4 April 2012, Fraksi PPP melalui jurubicaranya Drs. Hasrul Azwar, MM menyampaikan bahwa terdapat kaitannya antara partisipasi dengan hak dan kewajiban masyarakat.
“........Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, telah diatur mengenai hak dan kewajiban masyarakat, dibentuknya Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan adanya lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat sebagai mitra Pemerintah desa, serta forum masyarakat desa yang berfungsi membahas, mendiskusikan dan mengkoordinasikan program-program strategis yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah desa dan BPD. “
Pada Raker tanggal 12 Desember 2012, Drs. H. Akhmad Muqowam sebagai Ketua Rapat menyatakan bahwa pembahasan berkaitan dengan hak dan kewajiban masyarakat digabung menjadi satu cluster dengan penataan desa dan kewenangan desa, dengan alasan pasalnya yang sedikit.
“Lalu yang kedua adalah cluster penataan desa, kewenangan desa, hak dan kewajiban masyarakat dan desa. Itu memuat Bab I, Bab II, Bab III dan Bab IV. Ada di situ adalah penjelasannya substansi di penataan desa bisa dibahas bersama dengan substansi kewenangan desa, serta hak dan kewajiban masyarakat desa, karena pasal yang mengatur terkait kewenangan desa serta hak dan kewajiban masyarakat dan desa hanya sedikit, sehingga pembahasannya bisa digabung di dalam cluster dua ini.”
Dalam DIM, mengenai hak dan kewajiban Masyarakat Desa digabungkan dengan Desa dalam bentuk pembahasan Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat pada 4.2.3 Pembahasan di DPR (untuk Hak dan Kewajiban Desa), pembahasannya hanya berkisar pada perubahan nomor bab, pasal, serta penambahan beberapa kata.
Tanggapan
Masyarakat Desa juga merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lain. Hak Warga Negara Indonesia terhadap negara telah diatur dalam UUD 1945 dan aturan hukum lainnya yang sebagai penjabaran UUD 1945. Hak-hak warga negara Indonesia yang diperoleh dari negara seperti hak untuk hidup secara layak, dan aman, pelayanan, dan hal lain yang diatur dalam undang-undang. Sementara itu, kewajiban terhadap negara selain kewajiban terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, juga ada kewajiban yang ditetapkan dengan undang-undang, seperti kewajiban untuk membela negara, dan kewajiban untuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Apakah Masyarakat hanya Berhak Meminta dan Mendapatkan Informasi saja?
Pasal 68 ayat (1) huruf (a) UU Desa menyatakan bahwa masyarakat berhak “meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa”. Hal ini sedikit berbeda dengan Amanat UUD 1945 Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik di pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Setiap Orang berhak: (a) melihat dan mengetahui Informasi Publik; (b) menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; (c) mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau (d) menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak masyarakat terhadap informasi yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 14/2008 lebih luas dibanding yang diatur dalam UU Desa. Pada UU Desa, hak yang dimiliki oleh masyarakat hanya pada tataran meminta dan mendapatkan informasi saja. Sedangkan UUD 1945 dan UU No. 14/2008 mengamanatkan tentang hak masyarakat untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Amanat UUD 1945 memungkinkan masyarakat untuk menyebarluaskan informasi yang dimilikinya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat maupun kelompok masyarakat untuk terlibat aktif dalam penyebarluasan informasi dan pembangunan di Desa. Pembatasan hak masyarakat hanya meminta dan mendapatkan informasi, tanpa diberikan hak untuk memiliki, menyimpan, mengolah dan menyebarluaskan dapat menimbulkan masalah tersendiri bagi masyarakat. Masalah tersebut dapat muncul apabila Desa tidak proaktif dalam menyebarluaskan informasi di bawah kekuasaannya.
Berkaitan dengan hak atas informasi bagi masyarakat Desa, Pasal 68 ayat (1) ini berhubungan dengan beberapa pasal yang lain. Ya itu pasal 26 ayat (4) huruf p[4], pasal 27 huruf d[5], pasal 82 ayat (1)[6], ayat (4)[7]; pasal 86 ayat (1)[8], ayat (2)[9], ayat (3)[10], ayat (4)[11], ayat (5)[12], ayat (6)[13], penjelasan pasal 24 huruf d[14]. Selain itu pemenuhan hak masyarakat pada Pasal 68 (1) ini juga berhubungan erat dengan pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
- Partisipasi Masyarakat Desa, Hak atau Kewajiban?
Partisipasi Masyarakat dalam pasal 68 ayat 1 huruf (c) dan ayat 2 huruf (e) UU Desa dinyatakan bahwa :
“hak dan kewajiban Masyarakat Desa dalam berpartisipasi. Pasal 68 ayat 1 huruf (c) menyebutkan bahwa masyarakat desa berhak menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Sementara itu Pasal 68 ayat 2 huruf (e) menyatakan tentang kewajiban masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa”.
Sementara itu, UUD 1945 Pasal 28C ayat (2) menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik pasal 19 ayat (1) menyatakan :
“Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.” dan ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
Menurut Moeljarto terdapat beberapa alasan bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu : (1) Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut; (2) Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat; (3) Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan; (4) Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki; (5) Partisipasi memperluas zone (kawasan) penerimaan proyek pembangunan; (6) Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintahan kepada seluruh masyarakat; (7) Partisipasi menopang pembangunan; (8) Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif bagi baik aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia; (9) Partisipasi merupakan cara yang efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah; (10) Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri.[15]
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pasal 2 Ayat (4) huruf d menyebutkan bahwa :
“salah satu tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah meningkatkan Partisipasi Masyarakat. Sehingga Partisipasi masyarakat didorong untuk ada dalam setiap tahapan perencanaan.”
Sementara itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, mengatur tetang partisipasi masyarakat dalam bab tersendiri, yaitu Bab XIV. Bab tentang Partisipasi Masyarakat itu terdiri dari 1 Pasal yaitu Pasal 354. Semangat yang dibangun dalam pengaturan ini adalah pemenuhan hak partisipasi masyarakat oleh negara dengan menyediakan ruang partisipasi.
Adanya hak masyarakat Desa memiliki konsekuensi terhadap kewajiban desa atau negara untuk untuk menghormati melindungi dan memenuhinya. Sementara itu adanya kewajiban Masyarakat Desa memiliki konsekuensi bagi negara untuk menuntut pelaksanaan kewajiban tersebut dan menyediakan ruang bagi masyarakat yang akan melaksanakan kewajibannya. Sementara itu tidak ada amanat pengaturan secara teknis berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban partisipasi masyarakat ini.
- Bagaimanakah Masyarakat Mendapatkan Hak Pengayoman?
Pasal 68 ayat (1) huruf e UU Desa mengatakan bahwa Masyarakat Desa berhak untuk mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa. Pasal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28G ayat (1) :
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Selain itu Pasal ini juga berkaitan dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu, dalam rangka menjamin keamanan dan perlindungan terhadap warga negara, UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Republik Indonesia menggariskan bahwa komponen pertahahan negara terdiri dari (1) Komponen utama yaitu TNI dan cadangan TNI; (2) Komponen dasar yaitu rakyat terlatih (Ratih) yang terdiri dari Relawan Rakyat, Keamanan Rakyat, Perlindungan Rakyat, Ketertiban Umum yang semuanya bersifat kombatan; (3) Komponen pendukung yaitu sarana dan prasarana nasional; dan (4) Komponen khusus, yaitu Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang bersifat non kombatan. Melalui UU tersebut sesungguhnya keberadaan Pertahanan Sipil dengan fungsi Perlindungan Masyarakat mendapatkan payung hukum yang kuat dalam rangka memenuhi hak perlindungan bagi warga negara.
Namun pada era reformasi, UU No. 20/1982 dipecah menjadi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pada kedua UU itu, keberadaan Perlindungan Masyarakat tidak lagi secara tegas disebutkan. Undang-Undang No. 3/2002 hanya mengatur bahwa komponen-komponen Pertahanan Negara dalam menghadapi bahaya ancaman militer dan non militer terdiri atas tiga komponen yaitu : 1) komponen Utama; 2) Komponen Cadangan, dan 3) Komponen Pendukung yang masing-masing komponen akan diatur dengan undang-undang.
Jaminan terhadap perlindungan dan keamanan masyarakat selanjutnya menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Hal ini diatur diatur secara teknis pada UU No 23 Tahun 2014 pada klausul pembentukan polisi pamong praja, khususnya pada pasal 255 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa :
“Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat. tentang Pemerintahan Daerah.”
Upaya untuk memenuhi hak pengayoman dan perlindungan Masyarakat Desa tidak ditemukan pengaturan secara teknis pada UU Desa. Hal tersebut semakin sulit dilaksanakan dengan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) 88 Tahun 2014 yang mencabut Keputusan Presiden (Kepres) 55/1972 tentang Penjempurnan Organisasi Pertahanan Sipil (Hansip) dan Organisasi Perlawanan dan Keamanan Rakjat (Wankamra) Dalam Rangka Penertiban Pelaksanaan Sistim Hankamrata yang selama ini menjadi payung hukum bagi pembentukan Hansip. Pasca keluarnya Perpres tersebut, hansip secara otomatis dibubarkan. Peran perlindungan masyarakat pada tingkat desa tidak memiliki payung lagi. Bagaimana hak masyarakat desa untuk mendapatkan pengayoman dan perlindungan keamanan akan dapat diperoleh? Apakah keberadaan Polisi Pamong Praja hingga Desa? Jika demikian, bagaimana Desa akan melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pengayoman dan perlindungan? Dengan kata lain, penyerahan kewenangan ke desa dalam kaitannya dengan pengayoman masyarakat masih belum jelas konsepnya.
3. Penutup
Catatan Kaki
[1] Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum DPR tanggal tanggal 27 Juni 2012 pembahasan Rancangan Undang-Undang Desa
[2] Disarikan dari Naskah Akademik yang disampaikan oleh Direktorat Pemerintahan Desa Dan Kelurahan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa Departemen Dalam Negeri pada tahun 2007 kepada DPR.
[3] Diambil dari http://www.jimly.com/makalah/namafile/176/KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf pada tanggal 3 Maret 2015
[4] Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban: (p) memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
[5] Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib: (d) memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
[6] Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan Desa.
[7] Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
[8] Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
[9] Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
[10] Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia.
[11] Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
[12] Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan.
[13] Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.
[14] Penjelasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas keterbukaan. Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[15] Moeljarto, T. Politik Pembangunan, Sebuah Analisis, Arah dan Strategi. PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.1987. Hal. 35
[16] Diambil dari http://www.jimly.com/makalah/namafile/176/KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf. Pada tanggal 3 Maret 2015
[17] ibid