1. Hak dan Kewajiban Desa

    Ruang lingkup Hak Desa yang diatur dalam pasal ini berkaitan dengan : (1) hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal usul; (2)  menetapkan dan mengelola kelembagaan desa, dan (3) mendapatkan sumber pendapatan.

    Kewajiban yang diatur dalam pasal ini adalah : (1) kewajiban desa untuk menjaga kerukunan; (2) persatuan dan kesatuan masyarakat desa dalam kerangka NKRI; (3) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa; (4) mengembangkan kehidupan demokrasi; (5) pemberdayaan masyarakat, dan (6) memberikan dan meningkatkan pelayanan masyarakat.
     

    Pasal 67
    (1)  Desa berhak:

    a.       mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;

    b.      menetapkan dan mengelola kelembagaan Desa; dan

    c.       mendapatkan sumber pendapatan.

    (2)  Desa berkewajiban:

    a.       melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    b.      meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa;

    c.       mengembangkan kehidupan demokrasi;

    d.      mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa; dan

    e.       memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa.

    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pembahasan di DPR

    Hak Desa yang dibahas dalam Naskah Akademik RUU Desa meliputi : (1) hak asal-usul dan hak tradisional; (2) hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri; (3) memiliki, mengontrol, dan mengelola sumber daya alam di wilayahnya; (4) hak untuk mempunyai, mengelola, atau memperoleh sumber daya ekonomi-politik; (5) hak mengambil keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat; dan (6) hak untuk memperoleh alokasi anggaran dari pemerintah.

    Kewajiban Desa antara lain: (1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya; (2) menyelenggarakan pemerintahan Desa; dan (3) melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas penugasan tertentu yang disertai pembiayaan, sarana prasarana, serta sumber daya manusia.[2]

    Pada Naskah RUU Desa, pengaturan mengenai Hak dan Kewajiban Desa terdapat pada pasal 20 dan 21. Berikut Naskah RUU Desa yang disampaikan kepada DPR oleh pemerintah melalui Direktorat Pemerintahan Desa Dan Kelurahan Direktorat Jenderal Pemberdayaan  Masyarakat Dan Desa, Kementerian Dalam Negeri Tahun 2007 berkaitan dengan hak dan kewajiban desa:

    Naskah RUU Desa
    Pasal 20
    Desa mempunyai  hak:

    a.       mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan nilai- nilai sosial budaya masyarakat;

    b.      memilih kepala desa, menetapkan BPD dan perangkat desa lainnya;

    c.       mengelola kelembagaan desa; dan

    d.      mendapatkan sumber-sumber pendapatan desa

     

    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 21
    Desa mempunyai kewajiban:

    a.       melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    b.      meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

    c.       mengembangkan kehidupan demokrasi;

    d.      mengembangkan pemberdayaan masyarakat; dan

    e.       meningkatkan pelayanan dasar masyarakat.

     

    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pada Rapat-rapat kerja dan Rapat Dengar Pendapat Umum yang dilaksanakan oleh  DPR dengan Pemerintah, pembahasan hak dan kewajiban desa sebagaimana dimaksudkan pada pasal ini tidak dibahas secara spesifik dan tidak menjadi perdebatan panjang. Pembahasan secara spesifik dan menjadi perdebatan panjang lebih banyak berhubungan dengan hak asal-usul, kewenangan Desa, dan Penataan Desa.  Meski demikian, dalam beberapa Rapat, baik Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU Desa maupun Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Pansus dengan stakeholders, bagian hak dan kewajiban desa sempat mengemuka.

    Parade Nusantara melalui H. Sudir Santoso dalam RDPU tanggal 24 Mei 2012 menyampaikan bahwa sebelum adanya RUU Desa, desa hanya diberikan kewajiban, tanpa diberikan kelengkapan hak dan kewenangan. Keadaan yang demikian tersebut menurut Parade Nusantara yang menyebabkan Desa tidak menampakkan jati diri sebagai entitas yang paling bawah.

    “Sekali lagi saya hanya sekedar mengingatkan, Bapak-Ibu, Saudara sekalian, utamanya adalah Anggota Pansus RUU Desa. Mari kita cermati, kalau memang tidak punya data, saya siap kontribusi data. Sejak Undang-undang yang mengatur tentang Desa jaman Belanda, yaitu inlandjimentie  ordonantie, saya melompat langsung tentang Desa yang dibuat jaman Orde Lama, Orde Baru, dan dimana saat ini sampai orde reformasi, terakhir dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Tolong dibaca dan dicermati. Kalau tadi didepan Pak Kyai Muqowam mengatakan, mengapa desa tidak pernah menampakkan entitas, menampakkan jati dirinya sebagai entitas yang ada di paling bawah. Karena dalam Undang-undang Desa sampai hari ini, desa hanya diberi kewajiban. Ulangi, desa hanya diberi kewajiban, tanpa diberi kelengkapan hak dan kewenangan.

    Dalam strata, struktur pemerintahan, dimana pun negeri di dunia ini termasuk di Indonesia, setiap strata struktur pemerintah harus minimal memiliki 3 dasar yaitu (1) Hak, (2) Kewenangan, dan (3)Kewajiban.

    Tapi sekali lagi, desa hanya diberi kewajiban Pak Kyai, tolong digarisbawahi. Secara lipstick, basa-basi, dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memang diberi suatu kewenangan, tapi kewenangan itu hanya bersifat delegatif atau pendelegasian. Jadi ulangi sekali lagi, yang seharusnya dalam ilmu pemerintahan, seharusnya di sini ada mentor saya, Prof. DR. Ryaas Rasyid, MA, PHd., tidak akan pernah jalan sebuah strata pemerintah baik itu Pemerintah desa, Pemerintah kabupaten/kota, Pemerintah provinsi, Pemerintah pusat maksudnya, kalau tidak dilengkapi dengan 3 hal yaitu kewajiban, hak dan kewenangan. Sementara desa sejak jaman Orde Lama berubah ke Orde Baru, sampai dengan era reformasi saat ini, aturan Undang-undang yang mengatur tentang Desa, Desa hanya dikasih 1 saja, yaitu kewajiban. Itupun diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah dengan bahasa yang malu-malu yaitu dikemas dengan suatu bahasa, pendelegasian. Itu dulu.”

    Pendapat Parade Nusantara tersebut diatas diamini oleh Pansus RUU Desa. Dukungan atas pendapat parade nusantara tersebut disampaikan Ketua Sidang DR. A.W. Thalib, M.Si., yang menyampaikan bahwa:

    “Yang berikut juga tadi, dari Pak Ketua Parade Nusantara, memang kalau dilihat bahwa yang ada itu adalah kewajiban. Sementara, belum ada suatu hak yang diberikan, satu kewenangan yang diberikan kepada kepala desa ataupun perangkatnya. Sehingga desa hanya menjadi satu objek. Kegiatan-kegiatan pembangunan sering hanya dilakukan oleh supra tadi, oleh institusi diatas dari pada desa. Sementara dari desa, hanya menjadi penonton yang tidak berdaya sama sekali, untuk menegur atau mengawasi. Inilah yang tentunya diperhatikan dan kami juga sangat konsen dengan hal itu, sehingga ada meskipun di dalam Undang-undang Dasar 1945 kita tidak mengenal daerah tingkat III, tidak dikenal ya, daerah tingkat III, tetapi harus ada split, otonomi daerah yang dititikberatkan tingkat II, itu harus sampai ke tingkat desa. Banyak hal itu yang diisyaratkan dalam aturan, misalnya Undang-undang No. 5 Tahun 1979, ada pembagian juga. Pembagian terhadap berapa pendapatan atau bagi hasil daripada retribusi pajak. Tetapi dalam implementasinya ternyata tidak dilakukan. Jadi ada semacam hak-hak yang tertahan di tingkat kabupaten/kota. Sehingga di dalam pasal dan ayat yang ada, ini memang sudah harus jelas. Tadi kami sangat menyambut baik, harus jelas, bahwa daerah tidak bisa mengurangi ataupun mengalihkan dana yang harusnya untuk desa, untuk  kegiatan yang lain. Jadi tentunya ini adalah merupakan harapan dari kita, karena kemajuan daripada desa akan menjadi kemajuan daripada daerah itu sendiri.”

    Selanjutnya dalam RDPU tanggal 28 Juni 2012, pembahasan tentang hak dan kewajiban desa sempat disinggung secara khusus. Pada RDPU ini yang dipimpin Ketua Rapat Khatibul Umam Wiranu, Salah seorang pakar yang diundang, Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan menyampaikan pertanyaan tentang hak desa. Pada pasal tentang hak dan kewajiban desa tersebut tidak jelas sebenarnya ditujukan kepada siapa.

    “Kemudian ada persoalan-persoalan terminologis ya. Masih di persoalan desa sebagai, desa ini apakah menjadi sebuah organisme atau aktor, begitu ya? Ini di Pasal 20 dan Pasal 21, itu agak aneh, itu. Desa mempunyai hak. Sebetulnya yang mempunyai hak itu biasanya menempel pada manusia, aktor atau pihak atau kelembagaan. Tidak pernah ada kota mempunyai hak. Kalau kota mempunyai hak itu, mestinya kan, kotanya siapa, kan begitu? Kalau desa mempunyai hak atau desa mempunyai kewajiban, itu siapa? Ini Pasal 20-21 sekilas bagus begitu ya, kalimatnya, tetapi kalau nanti dioperasionalkan ini menjadi agak membingungkan.”

    Sementara itu dalam DIM, masukan terhadap pembahasan Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa hanya berkisar pada perubahan nomor bab, pasal, serta penambahan beberapa kata. FPKS mengusulkan adanya perubahan nomor bab, sebelumnya Bab IV menjadi Bab VI. Kemudian FPDIP dan FPKS mengusulkan adanya perubahan nomor pasal menjadi Pasal 19, dan FPPP mengusulkan untuk menyesuaikan menjadi pasal 41.

    Pada huruf a, FPG mengusulkan menambahkan kata persetujuan menjadi a. mencari, meminta, mengawasi, dan memberikan informasi serta persetujuan kepada pemerintah desa tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desanya.  

    Pada huruf c, Fraksi Partai Hanura mengusulkan untuk ditambah kata “aspirasi” dan dipertegas saran ataupun pendapat tersebut “secara lisan atau tertulis” menjadi, c.  menyampaikan  aspirasi saran  dan  pendapat  lisan atau tulisan secara  bertanggung  jawab  tentang  kegiatan  pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desanya. Juga pada huruf f, FP Hanura mengusulkan untuk ditambahkan kata “pengayoman” menjadi e. mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari ancaman ketentraman dan ketertiban.

    Tanggapan

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., dalam makalahnya yang berjudul Konstitusi Masyarakat Desa (Piagam Tanggungjawab Dan Hak Asasi Warga Desa) menyebutkan bahwa  kesatuan masyarakat hukum adat itu terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan antara prinsip genealogis dan prinsip teritorial. Sementara itu yang diatur dalam UU Desa, menurut beliau adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial. Pada Penjelasan UUD 1945 sebelum Perubahan I, II, III, dan IV, keduanya sama- sama disebut.  Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan,  “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen (daerah-daerah swapraja) dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Nageri di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.” Dua konsideran yang dipakai oleh UU Desa menunjukkan bahwa salah satu dasar penyusunan UU Desa ini adalah pengakuan negara terhadap hak asal-usul dan hak tradisional desa.[3]

    Ketentuan Umum di pasal 1 angka 1, menyatakan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

    Pengertian tentang desa juga tercantum dalam dalam Pasal 1 angka 43 UU  No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan redaksi yang sama persis seperti pada pasal 1 angka 1 UU Desa di atas.

    • Penetapan Badan Permusyawaratan Desa, Hak Siapa?

    Pasal 67 ayat 1 huruf (b) menyatakan bahwa hak desa untuk menetapkan dan mengelola kelembagaan Desa. Kelembagaan Desa sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum pasal 1 angka 5 yaitu lembaga Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan lembaga adat. Sementara itu, pada pasal 58 ayat (2) disebutkan bahwa “Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota”. Mencermati kedua pasal tersebut, patut dipertanyakan sejauh mana dan pada tahapan apa saja hak desa dalam menetapkan BPD. Karena hal itu berpengaruh pada pemenuhan hak desa oleh pemerintah. Selain itu, dalam operasionalnya akan menjadi lebih mudah jika lebih jelas peran desa dalam penetapan BPD.

    • Apakah Desa Berhak Menolak Sumber Pendapatan?

    Pasal 67 ayat 1 huruf (c) menyatakan tentang hak desa untuk mendapatkan sumber pendapatan. Keterkaitan dengan peraturan perundangan lain secara langsung tentang Hak Desa untuk mendapatkan sumber pendapatan tidak ditemukan. Namun keterkaitan dengan pasal lain berkaitan dengan apa saja sumber pendapatan itu, dapat ditemui dalam Pasal 71 dan 72 UU Desa ini. Pembahasan mendetail berkaitan dengan sumber pendapatan dalam pasal 71 dan 72 akan dibahas dalam bab lain.

    Hak untuk mendapatkan sumber pendapatan tidak lepas dari pelaksanaan asas recognisi dan subsidiaritas yang menjadi pijakan UU Desa. Kedua asas itu tentunya berkaitan dengan kewajiban desa dalam menjalankan tugas akibat pelimpahan, penyerahan, dan atau perbantuan. Adanya pelimpahan, penyerahan, atau tugas perbantuan akan membawa konsekuensi yang berbeda-beda. Apakah Desa memiliki hak menolak sumber pendapatan yang muncul dari adanya pelimpahan, penyerahan, atau perbantuan yang diberikan itu?

    Jika sedikit mengupas sumber pendapatan yang ada dalam pasal 71, salah satunya adalah pengelolaan sumber daya alam. Pada konteks ini Desa memiliki hak untuk mengelola sumber daya alam di lingkungannya. Sejauh mana Desa memiliki hak tersebut? Apakah Desa juga memiliki hak untuk melakukan kontrol dan hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada di wilayahnya?

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.