Policy Brief: “Pemberdayaan BPD untuk Penguatan Demokrasi Desa”
Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas[1], UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) mengusung semangat penguatan Desa sebagai entitas yang mandiri, yaitu suatu entitas yang dapat menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa campur tangan berlebih dari pemerintah (supra desa). Dalam mengatur urusannya sendiri itulah Desa diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan Desa yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, yaitu warga desa yang memiliki hak untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut.[2]
Demokrasi yang dimaksud, bukanlah demokrasi formal sebagaimana dipraktikkan pada level negara, yang partai politik sebagai instrumen utamanya. Demokrasi di sini dipahami sebagai suatu praktik yang mengedepankan konsensus dalam setiap pengambilan keputusan, yang melibatkan warga desa baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Praktik demokrasi desa sebagaimana dimandatkan oleh UU Desa tidak melibatkan partai politik sebagai representasi warga, namun dijalankan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam konteks inilah, maka pemberdayaan BPD menjadi penting dalam rangka menguatkan demokrasi Desa.
Daftar Isi :
BPD sebagai Institusi Demokrasi Desa yang Penting
Selain sebagai representasi warga Desa, pentingnya BPD dalam demokrasi Desa, karena BPD merupakan lembaga yang diberikan tugas untuk menyelenggarakan musyawarah desa (Musdes) dan pemilihan kepala desa (Pilkades). Musdes dan Pilkades merupakan dua kegiatan yang menyediakan ruang bagi warga desa untuk terlibat dan berpartisipasi secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Melalui Musdes dan Pilkades itulah praktik-praktik demokrasi Desa dijalankan. Kualitas Musdes dan Pilkades dengan demikian turut menjadi penentu bagi berkualitasnya demokrasi Desa. Mengingat kedua kegiatan itu berada di bawah tanggungjawab BPD, maka kualitas BPD juga turut menentukan bagi berkualitasnya Musdes dan Pilkades.
Demokrasi Desa sendiri sejatinya telah diafirmasi sejak awal reformasi bergulir, tepatnya melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Didorong oleh semangat mengevaluasi Pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistik, UU No. 22/1999 mengusung penguatan tatakelola pemerintahan lokal melalui prinsip desentralisasi, termasuk pemerintahan Desa di dalamnya. Dalam konteks itulah kemudian UU No. 22/1999 memandatkan pembentukan Badan Perwakilan Desa yang menjalankan fungsi sebagai “parlemen” desa. Di masa Orde Baru, yang memosisikan Desa sebagai perpanjangan administrasi pemerintah pusat, dapat dipastikan tidak tumbuh demokrasi di level desa. Berbagai keputusan yang diambil oleh pemerintah Desa sepenuhnya didasarkan pada instruksi dari Pemerintah Pusat. Birokrasi ala Orde Baru kemudian diterapkan secara mentah-mentah pada level birokrasi pemerintahan Desa. Sebagaimana Orde Baru yang sangat ketat mengontrol rakyatnya, pemerintah desa juga memberlakukan hal yang sama saat berhadapan dengan warganya.[3] Memang, pada saat itu di desa terdapat lembaga serupa BPD yaitu Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagaimana dimandatkan oleh UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Namun sebagaimana yang terjadi pada parlemen di level nasional, LMD pun menjadi lembaga demokrasi yang semu. Dalam konteks itulah Negara hadir ke Desa untuk menancapkan pola-pola pemerintahan otoriter yang kemudian dijalankan oleh pemerintahan Desa.
Keberadaan dan fungsi Badan Perwakilan Desa tetap dipertahankan setelah UU No. 22/1999 diganti menjadi UU No. 32/2004, meskipun secara harfiah mengalami perubahan sebutan menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Sebutan ini tetap dipertahankan dalam UU Desa. Mengingat keberadaannya yang sudah cukup lama, semestinya BPD telah menjadi lembaga yang relatif mapan dalam memperkuat proses demokrasi di desa. Terlebih setelah diperkuat secara normatif oleh UU Desa, BPD semestinya menjadi pionir dalam mendorong kemandirian desa sebagaimana yang dikehendaki oleh UU Desa.
BPD Kurang Optimal Menjalankan Fungsinya
Namun di sisi lain, meskipun memiliki posisi yang sangat strategis, BPD masih belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Gejala ini tampak pada hasil penelitian PATTIRO terhadap enam desa yang berlokasi di Kabupaten Kebumen, Bantul dan Siak[4]. Sebagaimana diketahui, sebagai institusi demokrasi desa, menurut UU Desa, BPD memiliki tiga fungsi, yaitu 1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan 3) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Merujuk pada ketiga fungsi tersebut, pada hakikatnya BPD menjadi lembaga yang menjalankan mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Check and balances ini menjadi semangat yang diusung untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Desa. Setidaknya jika mengacu pada proses pembahasan UU Desa itu sendiri. Sebagaimana disampaikan dalam rapat pembahasan RUU Desa antara DPD, DPRD dan Pemerintah, Jacob Jack Ospara mewakili DPD menegaskan:
Pemerintahan desa yang kuat bukan dalam pengertian bentuk pemerintahan yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), namun bentuk pemerintahan desa dengan tata pemerintahan yang demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa/Badan Musyawarah serta elemen masyarakat setempat.[5]
Penelitian PATTIRO menunjukkan bahwa secara umum BPD masih belum optimal dalam menjalankan ketiga fungsi tersebut.
Dalam fungsinya sebagai pihak yang membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa (Perdes), BPD tidak lebih proaktif dari Kepala Desa. Meskipun rancangan dapat saja diajukan oleh BPD, tetapi kenyataannya lebih sering rancangan Perdes diusulkan oleh Kepala Desa. Pada kasus yang lain, rancangan Perdes yang telah dirumuskan dan diajukan oleh Kepala Desa gagal disahkan karena BPD tidak kunjung membahasnya. Kondisi ini menyebabkan Desa kurang produktif dalam mengesahkan Perdes di luar Perdes-Perdes yang pokok, yaitu Perdes tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa).
Penilaian cepat (rapid assessment) yang dilakukan PATTIRO di beberapa desa di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan menemukan data, bahwa BPD merasa dipaksa untuk menandatangani APBDesa karena desakan dari Kepala Desa. Kepala Desa melakukan hal ini karena juga dipaksa oleh Pemerintah Kabupaten yang merasa perlu untuk mempercepat proses penyusunan APBDesa agar proses transfer dana APBN dapat dipercepat. Di sisi lain, meskipun BPD mengetahui bahwa APBDesa tidak mencerminkan kebutuhan Desa dan proses penyusunannya tidak melibatkan warga Desa secara maksimal, namun BPD tidak berani menolak untuk menandatangani dokumen APBDesa dimaksud.
Dalam hal menampung aspirasi warga, BPD masih kurang diminati oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan warga desa yang lebih memilih menyampaikan aspirasinya kepada orang yang dianggap dekat secara kekuasaan dengan kepala desa, dengan harapan bahwa orang tersebut akan menyampaikannya langsung kepada kepala desa. Ada juga warga yang mengadukan aspirasinya kepada ketua RT atau RW. Di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, justru aspirasi warga disampaikan kepada para penarik sampah yang mendatangi rumah penduduk tiap pagi. Para penarik sampah yang bekerja untuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pengolahan sampah tersebut memang sengaja ditugaskan oleh Pemerintah Desa untuk menjalankan peran sebagai wakil desa untuk menampung aspirasi dan masalah warga. Menurut Kepala Desa Panggungharjo, Wahyudi, melalui mekanisme semacam ini pemerintah desa berhasil mengatasi masalah warga. Salah satunya adalah warga yang terjerat rentenir.
Sebagai pengawas kinerja kepala desa, BPD hampir tidak pernah membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Hampir tidak pernah ditemui BPD memberikan catatan terhadap laporan tersebut. Laporan pertanggungjawaban kepada bupati cenderung dianggap lebih penting ketimbang kepada BPD, karena laporan kepada bupati akan berimplikasi pada persetujuan untuk pencairan dana desa tahap berikutnya. Dalam fungsinya ini, tidak dijumpai adanya wacana kritis yang dikedepankan oleh BPD terhadap penyelenggaraan pemerintahan Desa. Dalam kasus yang lain, pemerintah desa cenderung lebih banyak meminta rekomendasi kepada pemerintah kabupaten daripada kepada BPD. Sebagai contoh, Kepala Desa Berumbung Baru, Kabupaten Siak pada saat hendak membangun gedung pertemuan dari dana Alokasi Dana Desa (ADD) harus berkonsultasi dengan Badan Pemberdayaan Pemerintah dan Masyarakat Desa (BPPMD) Pemerintah Kabupaten Siak. Pembangunan dijalankan setelah mendapatkan rekomendasi dari BPPMD, sedangkan BPD yang mestinya menjalankan peran kontrol pemerintahan desa tidak dimintakan rekomendasi.
Lemahnya fungsi BPD menyebabkan pemerintah desa, dalam hal ini kepala desa, menjadi lebih dominan. Peran kepala desa yang menonjol ini dikhawatirkan akan mengganggu mekanisme check and balances, sehingga pada tahap yang lebih lanjut demokrasi Desa akan terganggu.Informalitas dalam Praktik Demokrasi Desa
Selain praktik formal-insitusional sebagaimana diuraikan di atas, praktik demokrasi desa secara faktual juga dijalankan melalui mekanisme yang bersifat informal. Sebagaimana dipahami bahwa pertemuan-pertemuan warga telah berlangsung sejak dulu, sebagai wahana pengambilan keputusan bersama. Merujuk pada sejarahnya, bahkan kelahiran LMD berasal dari tradisi rembug desa. Mengutip Schrieke (1974), Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Sadu Wasistiono[6] menyatakan bahwa desa termasuk ke dalam tipe masyarakat yang bersahaja. Jenis pemerintahan ini dipimpin oleh primus interpares, yang didalamnya tidak terdapat pelaksanaan pemerintahan, tidak terdapat pelaksanaan kehendak, tetapi semuanya didasarkan pada kesepakatan sesudah bermusyawarah secara mendalam. Mekanisme musyawarah dilaksanakan melalui forum yang dinamakan rembug desa.
Rembug desa adalah sebuah forum yang keanggotaannya sangat longgar terdiri dari semua warga desa yang memiliki hak memilih dan kepemimpinannya bersifat kolektif-kolegial, sehingga tidak ada yang mendominasi. Forum rembug desa ini menjadi embrio terbentuknya LMD yang kemudian berubah namanya menjadi BPD yang bersifat kelembagaan permanen. Berdasarkan hal ini, BPD yang diformalkan melalui UU Desa pada dasarnya berawal dari praktik-praktik yang bersifat informal. Studi PATTIRO terkait implementasi UU Desa juga menunjukkan bahwa keterlibatan warga dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dituangkan dalam bentuk pertemuan informal, misalnya dalam acara sedekah bumi, yasinan, dan majelis taklim.
Mashuri Maschab (2013) menyampaikan pendapatnya bahwa dalam memandang Desa seyogyanya tidak hanya fokus pada organisasi, regulasi formal, struktur formal dan nilai-nilai normatif lainnya. Pendekatan semacam ini disebut sebagai pendekatan old-institutionalism. Sementara itu, pendekatan new-institutionalism dianggap lebih baik karena pendekatan ini juga memperhatikan feedback atau input dari para aktor yang terlibat di dalamnya terhadap institusi dan struktur yang ada. Melalui pendekatan ini, maka institusi tidak selamanya dipahami seragam, karena institusi merupakan ruang yang penuh konflik dan dinamika dari para pelaku yang terlibat di dalamnya.[7] Mengacu pada konsep ini, BPD semestinya dipandang bukan hanya sebagai institusi formal, tetapi harus dipahami sebagai lembaga yang penuh dinamika, yang dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan setempat yang berlangsung secara informal.
Analisis Regulasi
Lemahnya fungsi BPD sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikatakan sebagai dampak dari ketiadaan regulasi yang mengatur secara spesifik tentang BPD. Dari keseluruhan hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, BPD termasuk lembaga yang belum memiliki aturan pelaksanaan secara spesifik. Meskipun secara filosofis UU Desa telah memberikan kewenangan yang relatif luas kepada Desa, namun pada kenyataannya Desa tidak memiliki kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu jika belum ada aturan pelaksanaan dari UU dimaksud.
Sebenarnya UU Desa telah memandatkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara lebih lanjut tentang BPD, sebagaimana tertuang dalam pasal 65 ayat 2. Namun di sisi lain, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 47/2015 (PP Desa) pada pasal 79 menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri harus menerbitkan peraturan lebih lanjut tentang tugas, fungsi, kewenangan, hak dan kewajiban, pengisian keanggotaan, pemberhentian anggota, serta peraturan tata tertib BPD. Karena ketentuan dalam PP Desa inilah yang kemudian menyebabkan banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang tidak memiliki kepercayaan diri untuk menerbitkan Perda tentang BPD. Pemerintah Kabupaten/Kota khawatir jika nanti Perda yang diterbitkan akan bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang BPD, sehingga ketentuan Perda akan batal. Saat ini pada umumnya Pemerintah Kabupaten/Kota masih menunggu terbitnya Permendagri dimaksud.
Dari pemaparan di atas, tampak adanya kerancuan regulasi. Namun jika mengacu UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama pada pasal 7 ayat 1 jelas menyatakan bahwa secara hirarkis kedudukan UU berada di atas PP[8]. Mengacu pada ketentuan ini, semestinya Pemerintah Kabupaten/Kota tidak perlu ragu untuk menyusun Perda tentang BPD, karena telah diamanatkan oleh UU Desa. Penerbitan Perda ini tidak perlu menunggu terbitnya Permendagri tentang BPD, karena penerbitan Permendagri hanya dimandatkan melalui PP.
Rekomendasi Kebijakan
Terkait dengan regulasi BPD, maka kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
- Mendorong Pemerintah Pusat untuk merevisi PP Desa yang mengatur tentang BPD.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa keraguan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyusun Perda tentang BPD karena menunggu terbitnya Permendagri tentang BPD yang dimandatkan oleh PP Desa. Semestinya PP Desa tidak perlu memandatkan Kemendagri untuk menerbitkan Permendagri tersebut, karena mandat itu telah dinyatakan secara jelas oleh UU Desa. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu melakukan revisi terhadap PP Desa terutama menghapus ketentuan pada pasal 79 yang menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, kewenangan, hak dan kewajiban, pengisian keanggotaan, pemberhentian anggota, serta peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri.
- Mendorong Kabupaten/Kota untuk menerbitkan Perda tentang BPD
BPD sebagai institusi demokrasi desa telah diatur secara formal oleh UU Desa. Namun desa juga telah terbiasa dengan praktik-praktik demokrasi secara informal. Sebagaimana dipahami juga bahwa praktik-praktik informal ini berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi
Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi tertentu untuk mendorong agar secara formal BPD berfungsi, sekaligus praktik-praktik informal dalam demokrasi desa juga tidak dikorbankan. Selain terkait dengan informalitas, kebijakan tentang BPD juga mesti mengedepankan pendekatan new-institutionalism. Dalam konteks itulah, maka penting bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyusun Perda yang mengatur lebih lanjut tentang BPD, sebab Pemerintah Kabupaten/Kota lah yang mengetahui secara persis karakter masing-masing desa di wilayahnya, serta praktik-praktik informalitas apa saja yang berkembang di dalamnya.
Hal-hal yang Perlu Diatur dalam Perda
Penguatan Organisasi. Sebagai sebuah lembaga, BPD belum dikelola melalui mekanisme pengorganisasian yang baik. Dari hal yang paling elementer, hampir tidak ditemukan skema tentang struktur organisasi BPD. Pada hal yang lebih substantif, secara kelembagaan BPD kurang terlihat dalam mengorganisir para anggotanya, sehingga para anggota BPD terkesan bekerja tidak sistematis dan alakadarnya. Dari keseluruhan BPD yang diteliti, pada umumnya hanya sedikit saja dari anggota BPD yang aktif. Bahkan ada BPD yang aktif hanya ketuanya saja. Di desa yang lain, ada salah satu anggota BPD yang tidak aktif hingga enam bulan, namun tidak ada upaya secara kelembagaan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain soal pengorganisasian, lemahnya fungsi BPD juga karena secara kelembagaan BPD tidak didukung oleh staf yang mengelola sekretariat. Ketiadaan staf dan kesekretariatan menyebabkan BPD tidak dikelola secara memadai sebagai sebuah lembaga. Hal ini berbeda dengan pemerintah desa yang memiliki struktur kelembagaan yang jelas, termasuk dukungan staf dan kesekretariatan.[9] Ketiadaan staf dan kesekretariatan ini juga mengakibatkan kurang dianggapnya BPD sebagai sebuah lembaga, tetapi lebih dipandang sebagai kumpulan individu semata. Lebih lanjut staf dan kesekretariatan akan membantu kinerja BPD dalam menjalankan urusan yang bersifat teknis dan operasional.
Mekanisme hak bagi BPD. Isu yang mengemuka dalam temuan penelitian juga terkait dengan hak anggota BPD. Pendapat yang mengemuka beranggapan bahwa hak yang diterima oleh anggota BPD dirasa masih jauh dibanding dengan yang diterima oleh kepala desa. Meskipun sebenarnya banyak hak yang seharusnya diperoleh anggota BPD, namun dalam praktiknya hak-hak tersebut belum sepenuhnya diterima. Pasal 78 PP Desa menyatakan bahwa pimpinan dan anggota BPD mendapatkan hak untuk memperoleh tunjangan pelaksanaan tugas dan fungsi dan tunjangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; biaya operasional; pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, dan kunjungan lapangan dan penghargaan dari pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota bagi pimpinan dan anggota BPD yang berprestasi. Dari beberapa hak yang diatur oleh PP tersebut, hanya tunjangan tugas dan fungsi saja yang telah diberikan. Itupun dengan jumlah yang tidak tentu jumlahnya. Pengaturan ini harus lebih dipertegas lagi dari sisi prosedur dan mekanisme pemenuhannya, sehingga ada standar yang dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Kabupaten/kota untuk memenuhi hak-hak tersebut.
Penguatan kapasitas BPD. Secara individual, anggota BPD tampak kurang memiliki kapasitas yang memadai terkait langsung dengan fungsinya. Sebut saja misalnya, dalam fungsinya sebagai pembahas rancangan Perdes, anggota BPD semestinya memiliki kemampuan dalam bidang legal drafting. Namun dalam kenyataannya, sebagian besar anggota BPD tidak memiliki kemampuan tersebut. Dengan demikian rancangan Perdes lebih banyak berasal dari kepala desa. Dalam hal pengawasan kepala desa, banyak anggota BPD yang kurang memahami konsep pengawasan yang sesungguhnya, sehingga yang dilakukan hanyalah pengawasan secara parsial, yakni sebatas mengawasi pembangunan fisik. Selain itu, kemampuan dasar seperti berkomunikasi juga kurang dikuasai oleh para anggota BPD.. Padahal sebagai penyalur aspirasi masyarakat, anggota BPD semestinya memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni, bahkan seharusnya sampai tingkat dapat mempengaruhi orang lain. Sebagaimana diatur dalam PP Desa, selain mendapatkan hak dalam bentuk pendanaan, BPD juga berhak mendapatkan pengembangan kapasitas. Pada peraturan yang diterbitkan nanti hendaknya mengatur lebih rinci tentang bentuk-bentuk pengembangan kapasitas yang terkait langsung fungsi-fungsi BPD. Dengan demikian pengembangan kapasitas itu menjadi lebih terarah. Selain itu, harus ditegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab dalam pengembangan kapasitas BPD.
Referensi
Buku:
Antlöv, Hans. 2002. “Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal”, edisi terjemahan oleh Pujo Semedi. Yogyakarta: LAPPERA.
Maschab, Mashuri. 2013. “Politik Pemerintahan Desa di Indonesia”. Yogyakarta: PolGov.
Yasin, Muhammad, dkk. 2015. “Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa”. Jakarta: PATTIRO.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
Catatan Kaki
[1] Pada bagian Penjelasan UU Desa disebutkan bahwa yang dimaksud rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul, dan subsidiaritas adalah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Selain kedua asas tersebut, asas-asas lain dalam pengaturan tentang Desa adalah keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Asas-asas pengaturan Desa dituangkan dalam pasal 3 UU Desa.
[2] Lihat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Desa khususnya pasal 34 ayat (1) dan pasal 35, yang mengatur tentang keterlibatan warga dalam memilih kepala desa secara langsung; ketentuan tentang Badan Permusyawaratan Desa pasal 56 ayat (1) tentang keterwakilan warga dalam keanggotaan BPD dan pemilihannya yang harus ditetapkan secara demokratis; ketentuan tentang Musyawarah Desa pada pasal 54 ayat (1) yang memberikan kesempatan kepada unsur masyarakat Desa sebagai peserta bersama BPD dan Pemerintah Desa; juga ketentuan pada pasal 68 ayat (1) tentang hak masyarakat dalam meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa, mengawasi, menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggungjawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
[3] Lihat Hans Antlöv, “Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal”, edisi terjemahan oleh Pujo Semedi (Yogyakarta: LAPPERA, 2002)
[4]Penelitian dilakukan pada Januari-Maret 2016. Pada masing-masing kabupaten dipilih dua desa. Total dari tiga kabupaten adalah enam desa. Penelitian dilakukan untuk melihat dinamika yang terjadi di Desa pasca pengesahan UU Desa. Selain demokrasi Desa dan BPD, obyek penelitian ini adalah aset dan keuangan desa, Badan Usaha Milik Desa, dan Desa Adat. Hasil penelitian belum dipublikasikan.
[5]Lihat “Anotasi Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa” (Jakarta: PATTIRO, 2015).
[6] Disampaikan dalam diskusi ahli yang diselenggarakan oleh PATTIRO, 15 Agustus 2016.
[7] Lihat Mashuri Maschab, “Politik Pemerintahan Desa di Indonesia” (Yogyakarta: PolGov, 2013).
[8] Ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU No. 12/2011 menyatakan:
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”