3.2. Kewenangan Desa Adat

    Kewenangan desa adat ini diberikan dalam rangka menunjang kemandirian desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kewenangan desa adat dalam UU Desa ini meliputi kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten. Karena kebutuhan yang terus  berkembang di dalam masyarakat adat, maka diberikanlah kewenangan desa adat yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga  desa adatnya dan masyarakatnya.

     

    Pasal 103
    Kewenangan  Desa  Adat  berdasarkan  hak  asal  usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:

    a.       pengaturan  dan  pelaksanaan  pemerintahan berdasarkan susunan asli;

    b.      pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;

    c.       pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;

    d.      penyelesaian  sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan  prinsip  hak  asasi  manusia  dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;

    e.       penyelenggaraan  sidang  perdamaian  peradilan  Desa Adat  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan;

    f.        pemeliharaan  ketenteraman  dan  ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan  hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan

    g.      pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

    Penjelasan
    Huruf a

    Yang  dimaksud  dengan  “susunan  asli”  adalah  sistem organisasi  kehidupan  Desa  Adat  yang  dikenal  di  wilayah masing-masing.

    Huruf b

    Yang dimaksud dengan  “ulayat atau wilayah adat” adalah wilayah  kehidupan  suatu  kesatuan  masyarakat  hukum adat.

    Huruf c

    Cukup jelas

    Huruf d

    Cukup jelas

    Huruf e

    Cukup jelas

    Huruf f

    Cukup jelas

    Huruf g

    Cukup jelas

    Pasal 104
    Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan  berskala  lokal  Desa  Adat  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf  a  dan  huruf  b  serta  Pasal  103  diatur  dan  diurus  oleh  Desa  Adat  dengan memperhatikan prinsip keberagaman.
    Penjelasan
    Yang  dimaksud  dengan  “keberagaman”  adalah  penyelenggaraan Pemerintahan  Desa  Adat  yang  tidak  boleh  mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
    Pasal 105.
    Pelaksanaan  kewenangan  yang  ditugaskan  dan pelaksanaan  kewenangan  tugas  lain  dari  Pemerintah, Pemerintah  Daerah  Provinsi,  atau  Pemerintah  Daerah Kabupaten/Kota  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.
    Penjelasan.
    Cukup jelas
    Pasal 106
    (1)     Penugasan  dari  Pemerintah  dan/atau  Pemerintah Daerah kepada Desa Adat meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa  Adat,  pembinaan  kemasyarakatan  Desa  Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat.

    (2)    Penugasan    sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) disertai dengan biaya.

    Penjelasan.
    Cukup jelas

     

    Pembahasan di DPR

    Dalam Raker I RUU Desa4 April 2012, Mendagri Gamawan Fauzi memaparkan bahwa

    “ dalam rangka menunjang kemandirian desa maka desa perlu diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Dalam undang-undang ini kewenangan desa adalah meliputi kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa dan kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten/kota. Kewenangan desa tersebut muncul dan terjadi karena kebutuhan yang berkembang di dalam masyarakat sehingga terhadap kewenangan ini Desa berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga desanya dan kepentingan masyarakatnya. Selain itu, kewenangan desa lainnya adalah kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa sebagai lembaga dan kepada Kepala Desa sebagai Penyelenggara Pemerintah Desa dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Pada pelaksanaan kedua kewenangan tersebut, desa hanya memiliki kewenangan mengurus atau melaksanakan, sehingga pembiayaan yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan tersebut harus menjadi beban bagi pihak yang melimpahkan kewenangan.”

    Dalam Raker I RUU Desa 4 April 2012, semua fraksi DPR setuju RUU Desa untuk dibahas lebih lanjut dalam rapat-rapat selanjutnya. Dalam kesempatan yang sama Fraksi PAN yang diwakili oleh Rusli Ridwan menyampaikan pandangannya bahwa:

    ” F-PAN berpandangan bahwa undang-undang tentang desa harus memberikan legitimasi atau kewenangan bagi desa untuk mengatur sendiri organisasinya ataupun program-programnya, oleh karena itu bentuk pemerintahan desa tidak harus seragam, melainkan menyesuaikan dengan adat istiadat, kebiasaan dan norma-norma yang hidup di wilayah yang bersangkutan.”

    Dalam kesempatan yang sama, F-PPP juga menyatakan pandangannya mengenai kewenangan desa atau kewenangan Desa Adat bahwa:

    ” Berkenaan dengan kedudukan Desa, Rancangan Undang-Undang ini berupaya memberikan kejelasan dalam sistem Pemerintahan nasional, yaitu tetap memberikan pengakuan terhadap otonomi asli yang berasal dari hal asal-usul dan adanya otonomi yang didesentralisasikan, dalam pengertian diberikannya kewenangan oleh Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota kepada desa. Pelimpahan kewenangan yang lebih luas ini diberikan kepada desa, juga disertai pembiayaan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaannya. Selain itu, desa memiliki kewenangan lokal berskala desa yang diakui oleh kabupaten/kota, juga kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundangan”.

    RUU versi pemerintah (lihat Pasal 15 dan Pasal 16) memberikan pengaturan mengenai kewenangan desa. Mengenai hak asal-usul dijelaskan sebagai berikut: “Yang dimaksud “kewenangan yang berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, nilai-nilai sosial budaya masyarakat” adalah hak  untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (seperti Subak, Jogoboyo, Jogotirto, Sasi, Mapalus, Kaolotan, Kajaroan), memfasilitasi penyelesaian perselisihan masyarakat dan tindak pidana ringan, pengelolaan kekayaan desa (tanah kas desa/titi sara, tambatan perahu, dan lain-lain). Hak asal-usul itu pasti akan memperoleh reaksi keras dari masyarakat adat karena tidak menyantumkan hak ulayat desa/adat  yang merupakan hak asal-usul paling vital, sedangkan seperti subak, jogoboyo dan sebagainya sebenarnya hanya merupakan  institusi dan pranata lokal.”  DPD berpendapat bahwa hak asal-usul desa mencakup (lihat Pasal 22 RUU Desa yang diajukan DPD RI):

    1. Menguasai dan/atau memiliki ulayat desa atau ulayat adat;
    2. Menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan susunan asli;
    3. Menyelenggarakan institusi (organisasi, nilai, pranata) lokal;
    4. Menyelesaikan sengketa warga secara adat;
    5. Melestarikan adat istiadat setempat.

    Undang-Undang Desa sebaiknya mengakui dan memberi ruang bagi kewenangan yang telah diprakarsai secara mandiri oleh desa, namun kewenangan yang berdimensi “mengambil” atau “memperoleh” itu perlu diperhatikan sebab selalu ada kewenangan berskala lokal yang selalu menjadi ajang tarik-menarik antara desa dan kabupaten/kota. Ada kenyataan dan pendapat yang menegaskan bahwa kalau kewenangan “air mata” diberikan kepada desa. Dalam arti memberikan  pendapatan sedikit. Sementara kewenangan “mata air” (yang menghasilkan banyak pendapatan) diambil oleh kabupaten. Di banyak daerah, galian tambang C (pasir, batu, kerikil, dan lain-lain) yang berada dalam wilayah desa, sering menjadi tarik menarik antara kabupaten dan desa.

    Mengenai kewenangan desa adat, Zubar Kristian, Ketua Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga dalam RDPU IV RUU Desa dan Pemda mengatakan bahwa

    ” Terus point kedua mengenai kewenangan asli desa. Di sini adalah mengenai batas penentuan wilayah desa ditentukan oleh siapa? Kalau mengacu kepada self local govermance dan  self local community apakah ini bicara mengenai wilayah administrasi atau wilayah cultural? Makanya tadi yang pertama diskusi antara self local govermance dan self local community menjadi penting ketika kita bicara kewenangan asli desa. Kalau kita mengacu kepada desa sebagai administrasi Negara ya itu mungkin administrasi Negara, tetapi ketika itu bicara self community itu-itu sangat tergantung dari adat itu memaknai wilayah-wilayahnya. Terus yang ketiga mengenai pelimpahan kewenangan. Pertanyaan mendasar yang muncul dalam hal ini adalah seberapa besar pelimpahan kewenangan dari pemerintah dalam pengaturan kewenangan desa. Ini tadi yang relevan dengan disampaikan kepada pemerintah daerah, di era pemerintahan daerah ketika dari pusat turun ke daerah, daerah itu ada provinsi, ada pemerintah kabupaten apakah itu sampai di sana? Ataukah kemudian otonomi itu sampai ketingkat desa, desa sebagai self local govermance atau desa sebagai self local community. Ini akan berbeda elaborasinya.”

    Pada pembahasan di DPR, ketentuan mengenai kewenangan desa adat tidak diatur dalam RUU Desa yang diinisiasi oleh Pemerintah, melainkan lahir atau diatur dalam RUU Desa versi Timus, yaitu tepatnya diatur dalam Pasal 20 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013) dengan catatan: ” Pasal 20 ayat (1) huruf b: diberi penjelasan mengenai kewenangan lokal berskala Desa beserta contohnya; Pasal 20 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d: termasuk ketenteraman dan ketertiban berbasiskan masyarakat”; Pasal 21 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013), dengan catatan Pasal 21 huruf a: diatur dalam Penjelasan mengenai “susunan asli”; Pasal 21 huruf c: agar diberi Penjelasan mengenai “keadilan gender”; Pasal 21 agar dikonsultasikan dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional); Pasal 21 agar disesuaikan dengan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat; dan Pasal 22 (Keputusan Timus, Kamis 16 September 2013).

     

    Tanggapan

    Desa adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa. Desa adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun menurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat desa adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan dari pada hak asal usul desa, karena desa adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul.[19]

    Berdasarkan keterangan dari penjelasan UU Desa di atas, dapat kita pahami bahwa kewenangan Desa Adat adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa adat sesuai dengan hak asal usul. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan desa adat berdasarkan hak asal usul dijelaskan dalam Pasal 103 UU Desa yang berbunyi: Kewenangan  Desa  Adat  berdasarkan  hak  asal  usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:

    1. pengaturan dan  pelaksanaan  pemerintahan berdasarkan susunan asli;
    2. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
    3. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
    4. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan  prinsip  hak  asasi  manusia  dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
    5. penyelenggaraan sidang  perdamaian  peradilan  Desa Adat  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan;
    6. pemeliharaan ketenteraman  dan  ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan  hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
    7. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

     

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.