3. Ketentuan Khusus Desa Adat

    Dalam UU Desa ini, pengaturan mengenai Desa Adat terdapat di Bab XIII, yang terentang dari Pasal 96 hingga Pasal 111. Secara keseluruhan, Bab Desa Adat ini memiliki 16 pasal dan 26 ayat, yang dibagi ke dalam empat topik. Keempat topik tersebut adalah:

    Bagian Kesatu      :    Penataan Desa Adat.

    Bagian Kedua       :    Kewenangan Desa Adat.

    Bagian Ketiga       :    Pemerintahan Desa Adat.

    Bagian Keempat   :    Peraturan Desa Adat.

    Untuk memudahkan dalam pemeriksaan dan penelaahan, struktur anotasi atas UU Desa mengikuti pembagian pengaturan dalam UU Desa tersebut, dengan sedikit penyesuaian, dengan maksud agar klasifikasi pembahasan lebih mudah dipahami pembaca. Struktur anotasi yang dimaksud adalah: (1). Penataan Desa Adat; (2). Kewenangan Desa Adat; (3). Pemerintahan Desa Adat dan; (4). Peraturan Desa Adat.

    Daftar Isi :

    3.1. Penataan Desa Adat
    3.2. Kewenangan Desa Adat
    3.3. Pemerintahan Desa Adat
    3.4. Peraturan Desa Adat

    3.1. Penataan Desa Adat

    Pada bagian ini akan menjelaskan secara khusus mengenai tata cara penataan desa adat. Sedangkan materi mengenai Jenis Desa tidak menjadi bagian dari Bab XIII melainkan dalam Bab II yang diatur melalui Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). Bahasan ini akan menguraikan tentang penetapan, pembentukan, penggabungan desa adat dan perubahan status desa dari desa  (administratif) dapat  diubah  menjadi  desa  adat, kelurahan  dapat  diubah  menjadi  desa  adat,  desa adat  dapat  diubah  menjadi  Desa (administratif),  dan  desa  adat dapat  diubah  menjadi  kelurahan. Materi yang dibahas pada bagian ini, mulai dari pasal 96 sampai pasal 192.  
    Pasal 96
    Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah  Kabupaten/Kota  melakukan  penataan  kesatuan masyarakat  hukum  adat  dan  ditetapkan  menjadi  Desa Adat.
    Penjelasan
    Penetapan  kesatuan  masyarakat  hukum  adat  dan  Desa  Adat yang  sudah  ada  saat  ini  menjadi  Desa  Adat  hanya  dilakukan untuk 1 (satu) kali. 
    Pasal 97
    (1)    Penetapan Desa Adat  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat: a.       kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  secara  nyata  masih  hidup,  baik yang bersifat  teritorial,  genealogis, maupun  yang bersifat fungsional; b.      kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  dipandang  sesuai  dengan perkembangan masyarakat; dan c.       kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  sesuai  dengan  prinsip  Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2)    Kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  yang  masih  hidup  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  a  harus  memiliki wilayah  dan  paling  kurang  memenuhi  salah  satu atau gabungan unsur adanya: a.       masyarakat  yang  warganya  memiliki  perasaan bersama dalam kelompok; b.      pranata pemerintahan adat; c.       harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau d.      perangkat norma hukum adat. (3)    Kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) huruf  b  dipandang  sesuai  dengan  perkembangan masyarakat apabila: a.       keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai  pencerminan perkembangan  nilai  yang  dianggap  ideal  dalam masyarakat  dewasa  ini,  baik  undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan b.      substansi  hak  tradisional  tersebut  diakui  dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat  yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak  asasi manusia. (4)    Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, apabila  kesatuan  masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik  lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang: a.       tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan b.      substansi  norma  hukum  adatnya  sesuai  dan tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.
    Penjelasan
    Ketentuan  ini  sesuai  dengan  Putusan  Mahkamah  Konstitusi, yaitu: a.         Putusan  Nomor  010/PUU-l/2003  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  11  Tahun  2003  tentang  Perubahan  Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten  Pelalawan,  Kabupaten  Rokan  Hulu,  Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; b.         Putusan  Nomor  31/PUU-V/2007  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  2007  tentang  Pembentukan  Kota Tual Di Provinsi Maluku; c.         Putusan  Nomor  6/PUU-Vl/2008  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  51  Tahun  1999  tentang  Pembentukan Kabupaten  Buol,  Kabupaten  Morowali,  dan  KabupatenBanggai Kepulauan; dan  d.         Putusan Nomor  35/PUU–X/2012  tentang  Pengujian Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.  
    Pasal 98
    (1)    Desa  Adat  ditetapkan  dengan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota. (2)    Pembentukan  Desa  Adat  setelah  penetapan  Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan  memperhatikan  faktor  penyelenggaraan Pemerintahan  Desa,  pelaksanaan  Pembangunan Desa,  pembinaan  kemasyarakatan  Desa,  serta pemberdayaan  masyarakat  Desa, dan  sarana prasarana pendukung.
    Penjelasan
    Ayat (1) Yang  dimaksud  dengan  “penetapan  Desa  Adat”  adalah penetapan untuk pertama kalinya. Ayat (2) Cukup jelas.
    Pasal 99
    (1)     Penggabungan  Desa  Adat  dapat  dilakukan  atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa Adat. (2)    Pemerintah  Daerah  Kabupaten/Kota  memfasilitasi pelaksanaan  penggabungan Desa Adat  sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    Penjelasan
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    (1)    Status  Desa  dapat  diubah  menjadi  Desa  Adat, kelurahan  dapat  diubah  menjadi  Desa  Adat,  Desa Adat  dapat  diubah  menjadi  Desa,  dan  Desa  Adat dapat  diubah  menjadi  kelurahan  berdasarkan prakarsa  masyarakat  yang  bersangkutan  melalui Musyawarah  Desa  dan  disetujui  oleh  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (2)    Dalam  hal  Desa  diubah  menjadi  Desa  Adat, kekayaan  Desa  beralih  status  menjadi  kekayaan Desa  Adat,  dalam  hal  kelurahan  berubah  menjadi Desa  Adat,  kekayaan  kelurahan  beralih  status menjadi  kekayaan Desa  Adat,  dalam  hal Desa  Adat berubah menjadi Desa,  kekayaan Desa Adat  beralih status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat  berubah  menjadi  kelurahan,  kekayaan  Desa Adat  beralih  status  menjadi  kekayaan  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
    Penjelasan
    Ayat (1) Perubahan  status  Desa  Adat  menjadi  kelurahan  harus melalui  Desa,  sebaliknya  perubahan  status  kelurahan  menjadi Desa Adat harus melalui Desa. Ayat (2) Cukup jelas.
    Pasal 101
    (1)    Pemerintah,  Pemerintah  Daerah  Provinsi,  dan Pemerintah  Daerah  Kabupaten/Kota  dapat melakukan penataan Desa Adat. (2)    Penataan  Desa  Adat  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah. (3)    Peraturan  Daerah  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2) disertai lampiran peta batas wilayah.
    Penjelasan
    Cukup jelas.
    Pasal 102.
    Peraturan  Daerah  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  101  ayat  (2)  berpedoman  pada  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
    Penjelasan
    Cukup jelas.
      Pembahasan di DPR Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum RUU Desa yang dilaksanakan pada tanggal 31 Mei 2012, Akhmad Muqqowam sebagai Ketua Pansus RUU Desa, pada pembukaan rapat menyampaikan tentang penataan desa, seperti berikut: “... kemudian yang kedua adalah mengenai penataan desa. Ada substansi Bapak-Ibu sekalian, baik yang berkaitan dengan kedudukan desa, penataan desa. Di mana penataan desa ini banyak hal terkait dengan  masalah otonomisasi desa. Saya kira kita menemukan Pak ada otonomi asli yang dimiliki oleh desa yang bukan otonomi pemberian.” Pernyataan Akhmad Muqowwam tersebut menyuratkan pemahaman Pansus terhadap klasifikasi jenis Desa itu memiliki dua basis otonomi, yakni otonomi pemberian dan otonomi asli. Otonomi asli, yang disebut oleh Muqowwam sebagai genuine autonomy itu, mencakup satu bidang yang luas. ”Baik di bidang ketentraman, ketertiban. Kemudian otonomi dan pertanian, peternakan, perikanan, otonomi di bidang keagamaan. Otonomi di bidang kesejahteraan masyarakat, otonomi di bidang perkreditan dan lumbung desa. Kemudian otonomi pasar Desa, kemudian otonomi hak atas tanah,” tambah Muqowwam. Dengan demikian, agaknya, Pansus bersepakat untuk menerima dua macam jenis Desa tersebut, dengan nama: Desa dan Desa Adat. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 UU Desa, yang menyebutkan bahwa Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat. Ketentuan ini sudah dijelaskan dalam Naskah Akademik RUU Desa yang menyatakan bahwa, “Sesuai dengan pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, setidaknya ada tiga tipe bentuk desa, yaitu: a) Tipe Desa Adat (self governing community) sebagai bentuk Desa asli dan tertua di Indonesia, b) Tipe Desa Administratif (local state goverment), dan c) Tipe desa Otonom atau dulu disebut sebagai Desa Praja atau dapat juga disebut sebagai (local self goverment).” Penataan Desa merupakan topik sensitif. Dalam pembahasan kedudukan Desa Adat dan Desa menjadi obyek yang setara. Karena ketentuan pengaturan penataan terhadap Desa akan berlaku pula bagi Desa Adat. Termasuk juga bagi Kelurahan –sebuah satuan pemerintahan terkecil yang terdapat di wilayah administratif berskala urban. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dalam Raker I RUU Desa, 4 April 2012 mengatakan bahwa: “Penataan desa, bertujuan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya saing desa. Berkaitan dengan penataan desa, maka perubahan mendasar yang diatur dalam regulasi ini adalah persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang diperketat. Hal ini adalah untuk mengantisipasi maraknya pemekaran desa yang semakin hari semakin tidak terkontrol. Perubahan lainnya yang diatur adalah membuka ruang bagi penyesuaian kelurahan, yaitu perubahan status kelurahan menjadi desa.” Ketua Pansus Desa, Akhmad Muqowwam, dalam Audiensi dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabu (LKAAM), menyebutkan ada 2 substansi penting yang dibahas dalam Penataan Desa ini, yaitu: pertama, adalah perubahan mendasar yang diatur terkait dengan persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang diperketat. Kedua, adalah membuka ruang bagi penyesuaian kelurahan yaitu perubahan status kelurahan menjadi desa. Menguatkan pernyataan Muqqowam, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Paser, Azhar Bahruddin, dalam RDPU III RUU Desa dan Pemda mengatakan bahwa: “Yang selanjutnya juga untuk mengantisipasi maraknya pemekaran desa, perlu juga mungkin ada beberapa langkah-langkah yang perlu kita perhatikan dalam rangka mengantisipasi maraknya pemekaran desa…. Yang pertama, adanya persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang lebih diperketat lagi. Saya rasa itu mungkin perlu juga menjadi perhatian kita”.   Ahmad Firman, Kepala Pusat Studi Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah, Universitas Haluoleo, dalam RDPU IV RUU Desa dan Pemda mengatakan: “ menurut hemat saya yang perlu di atur dalam undang-undang ini adalah penataan tentang desa, bukan ditekankan kepada pemekaran, tetapi menata desa sesuai dengan undang-undang yang akan dirancang, yaitu dengan jumlah penduduk yang sudah ditetapkan berbeda antara Jawa, Sumatera dan luar Jawa. Itu sudah.” Ini melahirkan ketentuan Pasal 97 UU Desa yang mengatur mengenai persyaratan penetapan Desa Adat.”   Dalam Pembahasan RUU Desa, DPR RI banyak mendapatkan masukan, kritikan dan saran dari instansi yang diundang untuk mendengarkan jajak pendapat. Kritikan tersebut datang dari, Idham Arsyad dari perwakilan Konsorsium Pembaharuan Agraria dalam RDPU VI RUU Desa yang mengatakan bahwa, “Ada kesenjangan yang begitu lebar antara argumentasi yang dibangun di dalam naskah akademik dengan apa yang dituangkan didalam norma menjadi pasal-pasal… terus pasal mengenai tentang penataan desa itu tidak mencerminkan substansinya dari pengakuan terhadap Desa Adat, desa otonom atau seperti yang dikemukakan dalam naskah akademik. Ini memperkuat tanggapan umum saya tadi”. Hal senada juga disampaikan oleh, H. Anwar Maksum perwakilan dari Forwana Sumbar dalam RDPU IX RUU Desa pada 10 Oktober 2012 yang menyampaikan  masukannya mengenai penataan desa bahwa, “Yang semua drafnya kami sampaikan kepada sekretariat, yang kedua mengenai penataan desa secara umum hal ini sudah memuat penataan desa dengan baik namun demikian ketentuan Pasal 5 ayat (4) perlu dipertimbangkan kembali sebaiknya ketentuan desa ini tidak hanya memperhatikan jumlah penduduk akan tetapi tetap juga mempertimbangkan asal usul desa atau sebutan lainnya kalau hanya mempertimbangkan jumlah penduduk, maka akan terjadi banyak penggabungan kembali desa, secara psikologis penggabungan desa akan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat, selain itu dengan jumlah yang sebaran penduduknya yang hampir sama antara Sumatera dan Kalimantan dan Sulawesi maka Forwana Sumatera Barat merekomendasikan batas minimal penduduk untuk Sumatera berjumlah 2.500 jiwa”. Penataan Desa Adat sebenarnya tidak diatur dalam RUU Desa yang di inisiasi oleh Pemerintah akan tetapi ketentuan mengenai penataan Desa Adat ini diatur dalam RUU Desa Timus yang telah selesai dibahas sampai dengan Rapat Timus 3 Oktober 2013. Penataan Desa Adat diatur dalam Pasal 14 (Keputusan Timus, Kamis 5 September 2013); Pasal 15 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013); Pasal 16 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013); Pasal 17 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013); dan Pasal 18 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013). Sedangkan hasil akhir dari UU Desa yang telah disahkan ketentuan mengenai Penataan Desa Adat diatur dalam Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal, 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102.   Tanggapan Dalam konstitusi kita, keberadaan Desa Adat sudah diakui. Hal ini sangat jelas terpatri  dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Adanya kesatuan masyarakat hukum adat  itu terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan antara prinsip genealogis dan prinsip teritorial. Undang-Undang Desa hanya mengakomodir dua prinsip karena yang diatur adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial. Penetapan  Desa  Adat  untuk  pertama  kalinya  berpedoman  pada  ketentuan  khusus sebagaimana  diatur  dalam  Bab XIII UU Desa.  Sedangkan pembentukan Desa Adat  yang  baru berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab  III UU Desa. Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud di atas, yang menjadi acuan utama adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu[15]:
    1. Dua (2) tentang  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  41  Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan Nomor 10/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang  Nomor  53  Tahun  1999  tentang  Pembentukan Kabupaten  Pelalawan,  Kabupaten  Rokan  Hulu,  Kabupaten  Rokan  Hilir,  Kabupaten  Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
    2. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
    3. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan  Kabupaten  Buol,  Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
    4. Putusan Nomor  35/PUU–X/201.
      Namun demikian, karena kesatuan masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi Desa Adat melaksanakan fungsi pemerintahan (local self government) maka ada syarat mutlak yaitu adanya wilayah dengan batas yang jelas, adanya pemerintahan, dan perangkat lain serta ditambah dengan salah satu pranata lain dalam kehidupan masyarakat hukum adat seperti perasaan bersama, harta kekayaan, dan pranata pemerintahan adat. Penetapan Desa Adat tidak serta merta bisa dilakukan dengan begitu saja. Penetapan Desa Adat ini harus dilakukan dengan selektif. Artinya harus ada suatu syarat-syarat tertentu yang harus dicapai untuk menetapkan suatu desa adat. Menurut Jimly Asshiddiqie, dari rumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, kita dapat mengetahui bahwa syarat dan prosedur pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya itu harus diatur dengan undang-undang ataupun dalam pelbagai undang-undang lain yang terkait. Wilayah hukum adat ini tentu saja tidak sama dengan wilayah hukum pemerintah desa atau apalagi dengan pemerintah kelurahan yang terdapat di kota-kota. Wilayah hukum masyarakat hukum adat itu terdapat di daerah kota ataupun di perdesaan, sehingga wilayah keduanya tidak dapat diidentikkan secara nasional, meskipun boleh jadi ada juga desa yang sekaligus merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat di beberapa daerah di Indonesia.[16] Menurut Agus Purbathin Hadi, dengan menyitir pendapat Dharmayuda, mengatakan bahwa desa adat mempunyai unsur-unsur sebagai persekutuan masyarakat hukum adat, serta mempunyai beberapa ciri khas yang membedakan  dengan kelompok sosial lain.[17] Namun ini sangat disayangkan dalam RUU Desa versi Pemerintah tidak mengatur mengenai penatapan desa adat. Karena berbahaya sekali ketentuan tentang penetapan desa adat tidak mengatur syarat prasyaratnya, maka ini akan menimbulkan potensi banyaknya desa adat baru yang akan bermunculan. Tapi hal ini bisa diatasi dengan adanya pembahsan RUU Desa di DPR RI yang memasukan beberapa pasal untuk mengatur mengenai penataan desa adat ini. Dalam perkembangan desa dalam hubungannya dengan desa  adat  ini,  seperti diuraikan dalam  Penjelasan  Umum  UU Desa,  dapat  dikemukakan  adanya beberapa  variasi. Ada desa adat yang  berubah menjadi  lebih  dari  1  (satu) desa adat.  Ada  1 (satu) desa adat yang berubah menjadi desa. Ada pula lebih dari 1 (satu) desa adat menjadi 1 desa;  atau  1  (satu) desa adat  yang  sekaligus  juga berfungsi  sebagai  1  (satu) Desa/Kelurahan. Oleh karena itu, UU Desa memungkinkan terjadinya perubahan status dari  desa  atau  kelurahan  menjadi  desa adat sepanjang  masih  hidup,  sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, serta atas prakarsa masyarakat sendiri. Demikian pula, status desa adat dapat berubah menjadi desa/kelurahan atas prakarsa masyarakat.[18]  

    3.2. Kewenangan Desa Adat

    Kewenangan desa adat ini diberikan dalam rangka menunjang kemandirian desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kewenangan desa adat dalam UU Desa ini meliputi kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten. Karena kebutuhan yang terus  berkembang di dalam masyarakat adat, maka diberikanlah kewenangan desa adat yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga  desa adatnya dan masyarakatnya.  
    Pasal 103
    Kewenangan  Desa  Adat  berdasarkan  hak  asal  usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi: a.       pengaturan  dan  pelaksanaan  pemerintahan berdasarkan susunan asli; b.      pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; c.       pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat; d.      penyelesaian  sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan  prinsip  hak  asasi  manusia  dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; e.       penyelenggaraan  sidang  perdamaian  peradilan  Desa Adat  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan; f.        pemeliharaan  ketenteraman  dan  ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan  hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan g.      pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
    Penjelasan
    Huruf a Yang  dimaksud  dengan  “susunan  asli”  adalah  sistem organisasi  kehidupan  Desa  Adat  yang  dikenal  di  wilayah masing-masing. Huruf b Yang dimaksud dengan  “ulayat atau wilayah adat” adalah wilayah  kehidupan  suatu  kesatuan  masyarakat  hukum adat. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas
    Pasal 104
    Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan  berskala  lokal  Desa  Adat  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf  a  dan  huruf  b  serta  Pasal  103  diatur  dan  diurus  oleh  Desa  Adat  dengan memperhatikan prinsip keberagaman.
    Penjelasan
    Yang  dimaksud  dengan  “keberagaman”  adalah  penyelenggaraan Pemerintahan  Desa  Adat  yang  tidak  boleh  mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
    Pasal 105.
    Pelaksanaan  kewenangan  yang  ditugaskan  dan pelaksanaan  kewenangan  tugas  lain  dari  Pemerintah, Pemerintah  Daerah  Provinsi,  atau  Pemerintah  Daerah Kabupaten/Kota  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.
    Penjelasan.
    Cukup jelas
    Pasal 106
    (1)     Penugasan  dari  Pemerintah  dan/atau  Pemerintah Daerah kepada Desa Adat meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa  Adat,  pembinaan  kemasyarakatan  Desa  Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat. (2)    Penugasan    sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) disertai dengan biaya.
    Penjelasan.
    Cukup jelas
      Pembahasan di DPR Dalam Raker I RUU Desa4 April 2012, Mendagri Gamawan Fauzi memaparkan bahwa “ dalam rangka menunjang kemandirian desa maka desa perlu diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Dalam undang-undang ini kewenangan desa adalah meliputi kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa dan kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten/kota. Kewenangan desa tersebut muncul dan terjadi karena kebutuhan yang berkembang di dalam masyarakat sehingga terhadap kewenangan ini Desa berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga desanya dan kepentingan masyarakatnya. Selain itu, kewenangan desa lainnya adalah kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa sebagai lembaga dan kepada Kepala Desa sebagai Penyelenggara Pemerintah Desa dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Pada pelaksanaan kedua kewenangan tersebut, desa hanya memiliki kewenangan mengurus atau melaksanakan, sehingga pembiayaan yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan tersebut harus menjadi beban bagi pihak yang melimpahkan kewenangan.” Dalam Raker I RUU Desa 4 April 2012, semua fraksi DPR setuju RUU Desa untuk dibahas lebih lanjut dalam rapat-rapat selanjutnya. Dalam kesempatan yang sama Fraksi PAN yang diwakili oleh Rusli Ridwan menyampaikan pandangannya bahwa: ” F-PAN berpandangan bahwa undang-undang tentang desa harus memberikan legitimasi atau kewenangan bagi desa untuk mengatur sendiri organisasinya ataupun program-programnya, oleh karena itu bentuk pemerintahan desa tidak harus seragam, melainkan menyesuaikan dengan adat istiadat, kebiasaan dan norma-norma yang hidup di wilayah yang bersangkutan.” Dalam kesempatan yang sama, F-PPP juga menyatakan pandangannya mengenai kewenangan desa atau kewenangan Desa Adat bahwa: ” Berkenaan dengan kedudukan Desa, Rancangan Undang-Undang ini berupaya memberikan kejelasan dalam sistem Pemerintahan nasional, yaitu tetap memberikan pengakuan terhadap otonomi asli yang berasal dari hal asal-usul dan adanya otonomi yang didesentralisasikan, dalam pengertian diberikannya kewenangan oleh Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota kepada desa. Pelimpahan kewenangan yang lebih luas ini diberikan kepada desa, juga disertai pembiayaan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaannya. Selain itu, desa memiliki kewenangan lokal berskala desa yang diakui oleh kabupaten/kota, juga kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundangan”. RUU versi pemerintah (lihat Pasal 15 dan Pasal 16) memberikan pengaturan mengenai kewenangan desa. Mengenai hak asal-usul dijelaskan sebagai berikut: “Yang dimaksud “kewenangan yang berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, nilai-nilai sosial budaya masyarakat” adalah hak  untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (seperti Subak, Jogoboyo, Jogotirto, Sasi, Mapalus, Kaolotan, Kajaroan), memfasilitasi penyelesaian perselisihan masyarakat dan tindak pidana ringan, pengelolaan kekayaan desa (tanah kas desa/titi sara, tambatan perahu, dan lain-lain). Hak asal-usul itu pasti akan memperoleh reaksi keras dari masyarakat adat karena tidak menyantumkan hak ulayat desa/adat  yang merupakan hak asal-usul paling vital, sedangkan seperti subak, jogoboyo dan sebagainya sebenarnya hanya merupakan  institusi dan pranata lokal.”  DPD berpendapat bahwa hak asal-usul desa mencakup (lihat Pasal 22 RUU Desa yang diajukan DPD RI):
    1. Menguasai dan/atau memiliki ulayat desa atau ulayat adat;
    2. Menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan susunan asli;
    3. Menyelenggarakan institusi (organisasi, nilai, pranata) lokal;
    4. Menyelesaikan sengketa warga secara adat;
    5. Melestarikan adat istiadat setempat.
    Undang-Undang Desa sebaiknya mengakui dan memberi ruang bagi kewenangan yang telah diprakarsai secara mandiri oleh desa, namun kewenangan yang berdimensi “mengambil” atau “memperoleh” itu perlu diperhatikan sebab selalu ada kewenangan berskala lokal yang selalu menjadi ajang tarik-menarik antara desa dan kabupaten/kota. Ada kenyataan dan pendapat yang menegaskan bahwa kalau kewenangan “air mata” diberikan kepada desa. Dalam arti memberikan  pendapatan sedikit. Sementara kewenangan “mata air” (yang menghasilkan banyak pendapatan) diambil oleh kabupaten. Di banyak daerah, galian tambang C (pasir, batu, kerikil, dan lain-lain) yang berada dalam wilayah desa, sering menjadi tarik menarik antara kabupaten dan desa. Mengenai kewenangan desa adat, Zubar Kristian, Ketua Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga dalam RDPU IV RUU Desa dan Pemda mengatakan bahwa ” Terus point kedua mengenai kewenangan asli desa. Di sini adalah mengenai batas penentuan wilayah desa ditentukan oleh siapa? Kalau mengacu kepada self local govermance dan  self local community apakah ini bicara mengenai wilayah administrasi atau wilayah cultural? Makanya tadi yang pertama diskusi antara self local govermance dan self local community menjadi penting ketika kita bicara kewenangan asli desa. Kalau kita mengacu kepada desa sebagai administrasi Negara ya itu mungkin administrasi Negara, tetapi ketika itu bicara self community itu-itu sangat tergantung dari adat itu memaknai wilayah-wilayahnya. Terus yang ketiga mengenai pelimpahan kewenangan. Pertanyaan mendasar yang muncul dalam hal ini adalah seberapa besar pelimpahan kewenangan dari pemerintah dalam pengaturan kewenangan desa. Ini tadi yang relevan dengan disampaikan kepada pemerintah daerah, di era pemerintahan daerah ketika dari pusat turun ke daerah, daerah itu ada provinsi, ada pemerintah kabupaten apakah itu sampai di sana? Ataukah kemudian otonomi itu sampai ketingkat desa, desa sebagai self local govermance atau desa sebagai self local community. Ini akan berbeda elaborasinya.” Pada pembahasan di DPR, ketentuan mengenai kewenangan desa adat tidak diatur dalam RUU Desa yang diinisiasi oleh Pemerintah, melainkan lahir atau diatur dalam RUU Desa versi Timus, yaitu tepatnya diatur dalam Pasal 20 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013) dengan catatan: ” Pasal 20 ayat (1) huruf b: diberi penjelasan mengenai kewenangan lokal berskala Desa beserta contohnya; Pasal 20 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d: termasuk ketenteraman dan ketertiban berbasiskan masyarakat”; Pasal 21 (Keputusan Timus, Kamis 12 September 2013), dengan catatan Pasal 21 huruf a: diatur dalam Penjelasan mengenai “susunan asli”; Pasal 21 huruf c: agar diberi Penjelasan mengenai “keadilan gender”; Pasal 21 agar dikonsultasikan dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional); Pasal 21 agar disesuaikan dengan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat; dan Pasal 22 (Keputusan Timus, Kamis 16 September 2013).   Tanggapan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa. Desa adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun menurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat desa adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan dari pada hak asal usul desa, karena desa adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul.[19] Berdasarkan keterangan dari penjelasan UU Desa di atas, dapat kita pahami bahwa kewenangan Desa Adat adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa adat sesuai dengan hak asal usul. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan desa adat berdasarkan hak asal usul dijelaskan dalam Pasal 103 UU Desa yang berbunyi: Kewenangan  Desa  Adat  berdasarkan  hak  asal  usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
    1. pengaturan dan  pelaksanaan  pemerintahan berdasarkan susunan asli;
    2. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
    3. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
    4. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan  prinsip  hak  asasi  manusia  dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
    5. penyelenggaraan sidang  perdamaian  peradilan  Desa Adat  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan;
    6. pemeliharaan ketenteraman  dan  ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan  hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
    7. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
     

    3.3. Pemerintahan Desa Adat

    Substansi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa adat dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa adat, tugas wewenang hak dan kewajiban pemerintahan desa adat dan masa jabatan kepala desa adat.  
    Batang Tubuh.
    Pasal 107
    Pengaturan  dan  penyelenggaraan  Pemerintahan  Desa Adat  dilaksanakan  sesuai  dengan  hak  asal  usul  dan hukum  adat  yang  berlaku  di    Desa  Adat  yang  masih hidup  serta  sesuai  dengan  perkembangan  masyarakat dan  tidak  bertentangan  dengan  asas  penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.  
    Pasal 108
    Pemerintahan  Desa  Adat  menyelenggarakan  fungsi permusyawaratan  dan  Musyawarah  Desa  Adat  sesuai dengan  susunan  asli  Desa  Adat  atau  dibentuk  baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.  
    Pasal 109
    Susunan  kelembagaan,  pengisian  jabatan,  dan  masa jabatan  Kepala  Desa  Adat    berdasarkan  hukum  adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi.
    Penjelasan.
    Pasal 107. Cukup jelas Pasal 108. Cukup jelas Pasal 109. Cukup jelas
      Pembahasan di DPR Pembahasan mengenai pemerintahan desa adat dimulai dengan penyampaian Gamawan Fauzi selaku Mendagri mengenai penjelasan RUU Desa dalam Raker I RUU Desa. Gamawan mengatakan bahwa, “Substansi mengenai penyelenggara pemerintah desa dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, tugas wewenang hak dan kewajiban kepala desa, larangan bagi kepala desa, pemberhentian dan pemilihan kepala desa, tindakan penyidikan terhadap  kepala desa dan BPD. Khusus mengenai masa jabatan kepala desa dan masa keanggotaan BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih atau diangkat kembali untuk 1 kali periode. Perubahan yang terkait dengan BPD adalah lebih mendudukkan pada fungsi BPD sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut sebagai tindak lanjut hasil Musyawarah Desa yang merupakan forum tertinggi musyawarah yang berfungsi untuk membahas, mendiskusikan dan mengkoordinasikan program-program strategis yang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa dan BPD. Program-program strategis dimaksud termasuk proses penyusunan  perencanaan pembangunan desa dan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan”. Dalam kesempatan yang sama, DPD juga menyampaikan pandangannya mengenai pemerintahan desa bahwa ”DPD RI berpendapat bahwa pengaturan tentang pemerintah desa harus bisa mengakomodasi:
    1. Penghormatan dan pengakuan atas keragaman (kebhinekaan) bentuk dan susunan pemerintahan desa-desa di Indonesia karena sejarah menunjukkan bahwa format pengaturan yang sentralistik dan seragam justru berakibat pada marginalisasi desa dan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal dalam tata pemerintahan desa.
    2. Walaupun keragaman susunan pemerintahan desa dihormati dan diakui, namun dalam undang-undang perlu diatur asas-asas tata kelola pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan desa yang demokratis  bisa diwujudkan dengan melembagakan partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Esensi dari tata pemerintahan yang demokratis adalah mendekatkan pemerintahan pada warganya.
    3. RUU Desa bukan semata-mata mengatur pemerintah desa melainkan sistem pemerintahan desa. Undang-Undang Desa perlu memperjelas sistem Pemerintahan desa, yang meliputi susunan atau struktur pemerintahan desa, tugas pokok dan fungsi dari kelembagaan pemerintahan desa serta pola relasinya.
    4. Pemerintahan desa yang demokratis hanya terbangun apabila ada saluran dari warga untuk ikut terlibat dalam proses politik-pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Keterlibatan warga dalam proses politik pemerintahan desa bukan hanya dalam konteks artikulasi dan agregasi aspirasi warga, melainkan bagian dari keikutsertaan dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan desa melalui keterlibatan itu juga sebagai upaya membangun “check and balances” dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan demikian salah satu indikator dari pemerintahan yang demokratis adalah keberadaan dan berfungsinya  lembaga perwakilan politik warga seperti BPD.
      Selain BPD, DPD RI juga mengusulkan desa membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa, atau nama lain, sebagai wadah tertinggi untuk pengambilan keputusan desa yang bersifat strategis. Keputusan desa yang bersifat strategis mencakup: rencana pembangunan jangka menengah desa; investasi yang masuk desa; pengembangan kawasan perdesaan; pembentukan, penggabungan, pemekaran atau perubahan status desa. Selain itu, DPD mengusulkan musyawarah desa dalam hal ini bukan pemegang kedaulatan rakyat desa, bukan juga sebagai institusi yang permanen, tetapi sebagai forum pengambilan keputusan strategis yang mengikat bagi pemerintah dan warga desa. Penyelenggaraan musyawarah desa untuk pengambilan keputusan strategis dimaksudkan untuk menghindari bias elit yang dilakukan oleh kepala desa, sekaligus pelibatan warga masyarakat guna memberikan perlindungan terhadap aset-aset strategis desa. Jika desa akan mengambil keputusan strategis, maka BPD berwenang membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa. Sudir dari Parade Nusantara mengatakan dalam RDPU I RUU Desa bahwa: “Yang memutuskan Undang-undang Desa, DPR RI- nya. Jadi anggota DPR RI periode masa lalu, mengganggap rakyat desa, pemegang terbesar saham mayoritas bangsa ini, hanya penumpang gelap saja. Tidak patutkah komunitas rakyat desa yang 78% dari keseluruhan penduduk negeri ini mendapatkan Undang-undang Desa sendiri, yang tentu di dalamnya adalah mengatur tentang Pemerintahan Desa. Itu saja yang bisa kami sesuaikan rohnya, agar menjadi semangat kepada seluruh Bapak-Bapak anggota RUU Desa ini, yaitu satu, untuk memutuskan Undang-undang Desa ditahun ini, untuk memutuskan Undang-undang Desa ditahun ini.  Yang kedua, memberi nyawa yang sehat, yaitu antara kewajiban, hak dan kewenangan. Bapak bisa mengacu konsideran dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (1) a dan b, silakan nanti Bapak pelajari, tentu Bapak sudah lebih ahli dan memahami itu semua”.   Pada RDPU III RUU Desa, perwakilan dari ADEKSI menyampaikan masukannya mengenai pemerintahan desa adat bahwa “Undang-undang No. 32 harus mempertegas otonomi asli sebagai prinsip Pemerintah Desa. Otonomi asli berarti identik dengan  kesatuan masyarakat hukum adat, kalau Desa Adat, berarti desa bukan unit administrasi atau satuan daripada Pemerintahan. Ini juga sensitive, ada di beberapa daerah dengan  karakteristik khusus karena masyarakat adatnya masih sangat kuat. Ini seringkali juga terjadi persoalan. Ini supaya, mohon maaf sekali karena ini sifatnya masukan umum, kami mohon kiranya Pansus dapat memperhatikan ini”. Dalam RDPU IV RUU Desa, Hasto Wiyono dari APMD menyampaikan pandangannya mengenai pemerintahan desa, yaitu: ” Kemudian yang berikutnya mengenai susunan dan tata pemerintahan desa. Untuk susunan, saya kira sudah kita kenal sampai sekarang ya ada kepala desa, kemudian ada perangkat desa, nah dalam hal ini kami mengusulkan Badan Permusyawaratan Desa itu diubah menjadi Badan Perwakilan Desa karena memang itu adalah representasi dari masyarakat. Itu menjadi suatu institusi demokrasi bagi masyarakat dan juga dengan adanya Badan Perwakilan Desa, ini berarti ada check and balances terhadap kepala desa. Namun demikian, yang kami usulkan bukan badan perwakilan desa atau BPD versi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dapat menjatuhkan atau dapat memberhentikan kepala desa. Jadi dalam konteks ini BPD atau Badan Perwakilan Desa itu sama dengan Badan Permusyawaratan Desa yang kita kenal sekarang. Dia punya hak untuk mengusulkan pemberhentian kepala desa, jadi tidak langsung punya kewenangan untuk memberhentikan”. Dalam RDPU VI RUU Desa, Sutoro Eko perwakilan dari IRE menyampaikan pandangannya bahwa: “usulan kami ada dua tipe yang generik, ada desa dan Desa Adat, tetapi juga ada pengecualiannya ya. Pengecualiannya itu ternyata ada sejumlah daerah yang sudah melakukan integrasi, misalnya Sumatera Barat itu antara adat dan nagari antara desa dan adat itu diintegrasikan dalam, dalam satu wadah nagari. Keyakinan mereka itu diikat dengan hukum adat, hukum agama dan hukum negara, maka disebut sebagai tali tigo sapilin ya, tiga yang diikat menjadi satu. Kemudian juga di Maluku itu ada integrasi juga, tetapi juga ada pola yang sifatnya ko eksistensi atau saling melengkapi seperti halnya terjadi di Bali antara Desa Adat dan desa dinas itu saling melengkapi. Oleh karena itu, ini perlu ada pola pengaturan yang lebih jelas ini secara makro bisa kita buat dan perbedaan utama antara Desa Adat dan desa itu terutama pada susunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Desa Adat itu kita berikan rekognisi untuk menggunakan susunan asli juga proses pemerintahannya”. Pada kesempatan yang sama Yando Zakaria juga menyampaikan pandangan Perhimpunan KARSA, yang menyatakan bahwa: “Khusus untuk permasalahan penyelenggaraan pemerintahan nasional di tingkat desa, KARSA mengusulkan model optional bahwa penyelenggaraan pemerintahan nasional, jadi artinya karena desa diakui asal-usul, maka salah satu kewenangan desa adalah menyelenggarakan pemerintahan nasional dalam konteks desa. Mau disebut dengan pemerintahan desa oke begitu ya, tetapi intinya adalah bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa di tingkat desa yang beragam itu, maka mungkin kita membutuhkan sebuah kebijakan yang memfasilitasi keberagaman itu. Kami mengusulkan model optional tiga. Dalam konteks tertentu, dalam konteks Desa Adat tertentu seperti Minangkabau, Bali dan mungkin sebagian dari Kalimantan bisa menyelenggarakan pemerintahan nasional di tingkat desa dengan model kita sebut saja desa asli atau Desa Adat. Akui, berikan kewenangan apa yang harus mereka kerjakan sebagai-bagian dari sistem pemerintahan di Indonesia itu. Kurang lebih ini terjadi dalam praktek sudah ada sebenarnya ya yang paling persis sebenarnya adalah Badui. Minangkabau sama Bali masih fifty-fifty. Jadi bisa saja model pertama model pemerintahan asli. Oke nagari saya akui kamu sebagai nagari, organisasinya saya akui, ulayatnya saya akui, norma-normamu saya akui bahkan pengadilanmu saya akui dalam konteks desanya itu, tetapi sebagai-bagian Negara Republik Indonesia ini anda punya kewajiban menyelenggarakan kegiatan pemerintahan. Apa itu? Bisa kita rinci ke belakang. Yang kedua, desa asli Indonesia juga sudah berubah banyak percampuran-percampuran, maka opsi yang kedua adalah sistem sebut saja desa praja, desa otonom dan lain sebagainya. Kurang lebih seperti desa yang kita kenal sekarang. Ada pemerintahan desa, ada pemilihan, ada BPD dan macam-macam itu dan yang ketiga perlu Bapak ingat-ingat juga tadi saya katakan ada desa asli Indonesia yang memang scope of kontrol management-nya itu sangat terbatas seperti saya katakan Mentawai tadi mungkin juga sebagian besar wilayah Papua. Akan sangat terlalu berat bagi mereka untuk menjalankan sebuah sistem pemerintahan desa praja bahkan tidak mungkin menyelenggarakan sistem pemerintahan tadi, maka harus ada yang ketiga yaitu sistem pemerintahan desa administrative. Seperti halnya kurang lebih kelurahan sekarang artinya apa? Karena sesuatu dan lain hal Negara ini mewajibkan ada suatu sistem pemerintahan di wilayah yang remote-remote itu untuk melakukan pelayanan-pelayanan publik begitu”. Dalam naskah akademik RUU Desa dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi pilihan Desa yang beragam maka pengaturan tentang kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintah desa dibuat beragam juga pilihannya. Pada Penjelasan Umum UU Desa disebutkan bahwa Desa  atau  yang  disebut  dengan  nama  lain mempunyai karakteristik  yang  berlaku  umum  untuk  seluruh Indonesia,  sedangkan  desa adat atau  yang  disebut  dengan  nama  lain  mempunyai  karakteristik  yang berbeda dari desa pada umumnya,  terutama karena kuatnya pengaruh adat  terhadap sistem pemerintahan lokal,  pengelolaan  sumber  daya  lokal,  dan kehidupan  sosial  budaya masyarakat desa. Desa adat  pada prinsipnya merupakan warisan  organisasi kepemerintahan masyarakat  lokal  yang dipelihara  secara  turun-temurun  yang  tetap  diakui  dan  diperjuangkan  oleh  pemimpin  dan  masyarakat  desa adat agar  dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan  identitas  sosial budaya  lokal. Desa adat memiliki hak asal usul  yang  lebih dominan  daripada hak asal usul Desa,  karena sejak awal Desa Adat lahir  sebagai komunitas asli yang ada di  tengah masyarakat. Desa adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan  identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul. Dalam pembahasan di DPR RI, ketentuan mengenai pemerintahan desa adat tidak diatur dalam rumusan RUU Desa versi Pemerintah. Ketentuan mengenai pemerintahan Desa Adat ini diatur dalam RUU Desa versi Timus dalam Pasal 66 (Keputusan Timus, Kamis 26 September 2013) disetujui sesuai dengan rumusan baru, Pasal 67 (Keputusan Timus, Kamis 26 September 2013), dan Pasal 68 (Keputusan Timus, Kamis 26 September 2013).   Tanggapan Dalam Penjelasan UU Desa dijelaskan bahwa dengan ditetapkannya masyarakat hukum adat menjadi desa adat, maka ada suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yaitu fungsi pemerintahan (local self goverment). Untuk menjalankan fungsi pemerintahan itu maka ada syarat mutlak yang harus dipenuhi yaitu adanya wilayah dengan batas yang jelas, adanya pemerintahan, dan ada perangkat lain serta ditambah dengan salah satu pranata lain dalam kehidupan masyarakat hukum adat seperti perasaan bersama, harta kekayaan dan pranata pemerintah adat. Fungsi pemerintahan ini dijalankan untuk mewujudkan atau menjalankan kewenangan desa adat yang berdasarkan hak asal usul, namun dalam menjalankannya tentu sangat diharuskan adanya suatu tata lembaga pemerintahan desa adat yang baik, seperti kepala desa adat, BPD dan  sebagainya atau yang dikenal dengan pemerintahan desa adat. Pemerintahan desa adat inilah yang nantinya menjalankan kewenangan desa adat seperti:
    1. pengaturan dan  pelaksanaan  pemerintahan berdasarkan susunan asli;
    2. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
    3. pelestarian nilai sosial budaya desa adat;
    4. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah yang selaras dengan  prinsip  hak  asasi  manusia  dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
    5. penyelenggaraan sidang  perdamaian  peradilan  desa adat sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan;
    6. pemeliharaan ketenteraman  dan  ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan  hukum adat yang berlaku di desa adat; dan
    7. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.
    Jimly Asshidiqqie juga menegaskan bahwa di samping persoalan status hukum pemerintahan desa dan desa adat itu sebagai badan hukum, yang juga penting mendapatkan perhatian adalah soal keseragaman versus keanekaragaman bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa dan desa adat. Adanya undang-undang yang mengatur pemerintahan desa dari dulu sampai sekarang selalu cenderung menyeragamkan. Sejak Pemerintahan Hindia Belanda sampai Pemerintahan Indonesia merdeka, kecenderungan penyeragaman (uniformitas) selalu menjadi arah kebijakan oleh pemerintah pusat. Para  pejabat  di  tingkat  pusat,  siapapun  mereka,  apakah  penjajah  atau  pemerintahan bangsa  sendiri,  selama mereka  berpikir  dalam  perspektif  kekuasaan  yang  terpusat  pada  negara (state  centered),  pasti  berusaha  untuk  menyeragamkan.  Pertimbangan  penyeragaman  itu  dapat dikatakan  wajar mengingat  para  perencana  dan  perumus  kebijakan  duduk  di  atas  singgasana, tidak bertitik tolak dari gagasan tentang perspektif masyarakat secara partisipatoris. Dalam buku ini, perspektif  yang dianjurkan  justru  adalah perspektif dari bawah, yaitu perspektif masyarakat madani  yang  memandang  struktur  organisasi  negara  justru  sebagai  sarana  atau  alat  untuk membangun kemajuan bangsa. Dalam perspektif masyarakat, negara hanyalah merupakan salah satu  aktor  saja dalam upaya membangun pencerahan dan pencerdasan peradaban bangsa. Tiga aktor  yang  sama-sama  perlu  digerakkan  secara  simultan  dalam  upaya membangun  peradaban bangsa adalah negara, masyarakat madani, dan korporasi dunia usaha.[20] Jika  kita menggunakan  perspektif  yang  demikian, maka  niscaya  desa  dan  pemerintahan Desa di  seluruh  Indonesia  tidak perlu  seragam, Desa hanya memerlukan status yang pasti kepada pemerintahan desa,  terutama desa- desa adat sebagai badan hukum dengan misi utama di bidang sosial ekonomi dan sosial budaya. Bagaimana struktur pemerintahannya hendak diatur,  lebih  baik  diserahkan  kepada  kebutuhan  praktik  setempat  dengan  otonomi masing-masing  untuk  mengatur  dirinya  sendiri  sesuai  dengan  tradisi  hukum  adatnya  masing-masing. Jika desa adat diberi ruang kreatifitas untuk berbeda-beda, desa dan pemerintahan desa administrasi  sebenarnya  juga  dapat  diberi  kebebasan  untuk  mengatur  dirinya  sendiri  sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, struktur pemerintahan desa pantai, pasti tidak perlu sama dengan struktur pemerintahan desa di gunung-gunung dan di daerah-daerah persawahan, dan sebagainya. Tradisi budaya  setempat  yang mengenal aneka  ragam  struktur kelembagaan desa,  juga haruslah dibiarkan  atau  diberi  kesempatan  untuk  berkembang  tanpa  harus  dipaksa  untuk menyesuaikan diri  dengan  struktur  pemerintahan  desa  seperti  yang  diasumsikan  sebagai  sesuatu  yang  ideal  di mata  para  perumus  kebijakan  nasional  dalam  Undang-Undang,  Peraturan  Pemerintah,  atau Peraturan Menteri.[21]

    3.4. Peraturan Desa Adat

    Penetapan desa adat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi desa adat. Peraturan desa adat dalam pasal 100 dengan jelas tentang peraturan desa adat yang harus sesuai dengan hukum adat dan norma adat istiadat. Sedangkan Pasal 111 ayat (1) menegaskan UU Desa Pasal 96 sampai Pasal 110 hanya berlaku untuk desa adat, sedangkan Pasal 111 ayat (2) menegaskan ketentuan tentang desa berlaku juga untuk desa adat selagi tidak tidak diatur dalam ketentuan khusus desa adat.  
    Pasal 110
    Peraturan  Desa  Adat  disesuaikan  dengan  hukum  adat dan  norma  adat  istiadat  yang  berlaku  di    Desa  Adat sepanjang  tidak  bertentangan  dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Penjelasan.
    Cukup jelas
    Pasal 111
    (1)    Ketentuan  khusus  tentang  Desa  Adat  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 110 hanya berlaku untuk Desa Adat. (2)    Ketentuan  tentang  Desa  berlaku  juga  untuk  Desa Adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang Desa Adat.
    Penjelasan.
     Cukup jelas
      Pembahasan di DPR Ketentuan mengenai peraturan desa adat tidak terlalu banyak dibahas. Dalam RDPU IV RUU Desa, DPR RI mendapat masukkan dari Zubar Kristian, Ketua Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur UKSW Salatiga, yang menyampaikan 14 isu yang sudah dibahas diantaranya adalah ”Yang keenam adalah masuknya peraturan desa ke dalam Undang-Undang Desa. Kalau kita bicara mengenai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 atau yang sudah diperbaiki tentang Pembentuan Peraturan Perundang-undangan, peraturan desa ini belum mendapatkan tempat di sana, padahal semangatnya adalah kalau kita lihat semangat di RUU Pemerintahan Desa adalah memberikan otonomi kepada desa. Bicara otonomi kalau kita tarik secara analogis bahwa kota kabupaten itu memiliki perda. Bagaimana dengan kedudukan desa yang dia juga memiliki BPD. Ini menjadi tantangan Anggota Dewan, tantangan DPRD terkait dengan kedudukan Perdes dalam hirarkis peraturan perundang-undangan”. Ketentuan mengenai peraturan desa adat tidak diatur didalam RUU Desa yang diinisiasi oleh Pemerintah. Ketentuan ini muncul dan dibahas dalam RUU Timus Pasal 73 yang berbunyi : “Peraturan desa adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Dengan catatan agar Pasal 73 diberikan Penjelasan: “Peraturan desa adat dapat disebut dengan nama lain”. Norma adat istiadat seperti kebiasaan tidak harus tertulis, tetapi peraturan desa atau yang disebut dengan nama lain harus secara tertulis. Ketentuan pasal ini disetujui pada keputusan, Rabu 2 Oktober 2013: Disetujui sesuai dengan rumusan baru. Sedangkan ketentuan Pasal 111 UU Desa, awalnya tidak diatur dalam RUU Desa yang diinisiasi oleh Pemerintah dan RUU Desa Timus, namun pada akhirnya Pasal 111 ini muncul di UU Desa tanpa diketahui risalah pembahasannya, mengapa Pasal 111 ini harus ada.   Tanggapan Merujuk kepada pendapat Jimly Asshidiqqie pada pembahasan sebelumnya, Pemerintah tidak bisa melakukan penyeragaman sistem pemerintahan desa adat dengan desa biasa. Akan tetapi pemerintah  harus memberikan pemberian status pasti kepada pemerintahan desa, terutama desa-desa adat sebagai badan hukum dengan misi utamanya adalah di bidang sosial ekonomi dan sosial budaya.[22] Mengenai sistem pemerintahan dan struktur lembaga pemerintahan desa adat, lebih baik diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat desa adat sesuai dengan kebutuhan praktik setempat dengan otonominya masing-masing untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan tradisi hukum adatnya masing-masing. Termasuk di dalamnya peraturan desa adat. Dengan adanya ketentuan mengenai peraturan desa adat dalam UU Desa, maka ini menunjukan bahwa peraturan desa adat termasuk sebagai bagian pengertian peraturan perundang-undangan. Peraturan desa adat termasuk sebagai bagian peraturan perundang-undangan menjadi suatu crucial point yang harus dibahas lebih lanjut. Karena peraturan desa adat merupakan produk hukum dari masyarakat desa adat, dan keberadaan desa adat sudah diakui oleh konstitusi negara Indonesia.
    Update terbaru 14 June 2016.