Catatan Kaki

    [1]Mr. R. Tresna. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Amsterdam-Jakarta: NV. W. Versluys, 1957, hal. 67-68.

    [2]HAW. Widjaja. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulati dan Utuh. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 7.

    [3]F. Sugeng Istanto. Beberapa Segi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia. Yogyakarta: Karyaputera, 1971, hal. 28.

    [4] Tentang perkataan “di lain-lain daerah jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri”. Ini tambahan diadakan berhubung dengan perkataan “mengatur rumah tangga daerahnja” dalam fatsal 2. Ketika kita merundingkan ini, kita menggambarkan daerah tersebut, tersusun menurut faham decentralisatie ­ wetgeving jang dulu, dengan mempunjai harta benda dan penghatsilan sendiri (eigen middelen). Dengan kefahaman itu nistjaya sukar sekali untuk merentjanakan budgetnya, djika andaikata daerah dibawahnya kabupaten, umpama assistenan atau Desa djuga dijadikan badan jang berautonomie dengan mempunyai “eigen middelen”. Nistjaja buat ketamsilan : djika Desa telah memungaut padjak kendaraan dan rooiver gunningen dalam Desa itu nistjaja saja Kabupaten tidak akan dapat memungut lagi padjak-padjak itu dari object dan subject yang sama. Dan lagi Pemerintah, pada waktu itu (seperti jang diutjapkan oleh Menteri Kehakiman Prof. Soepomo) berkeberatan, bahwa bangunan-bangunan (adatinstituten) jang masih dihargai oleh penduduk Desa, akan dihapuskan okeh bangunan baru ini. Maka dari sebab itu ­begitulah Prof. Soepomo– Sebelumnja hal ini harus diselidiki sedalam-dalamnja, sehingga kita dapat gambaran jang terang tentang keadaan diDesa-Desa. Baiklah kita selidiki soal ini, djangan sampai kecepatan untuk mengatur soal ini melahirkan akibat : kekalutan. Akan tetapi djika Rakjat memang menghendaki bangunan baru ini, maka mereka diberi kesempatan untuk mengusulkan hal itu kepada Menteri Dlam 7 Negeri. Seperti diatas telah diterangkan : Desa autonomie jang digambarkan ini berlainan dengan adatrechtelijke autonomi. (Pendjelasan UU. No 1 Tahun 1945 Bagian B huruf C)

    [5] “Daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dibedakan atas daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa” (Pasal 3 UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah).

    [6]HAW Widjaja, Op.cit.

    [7]R. Yando Zakaria. Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: ELSAM, 2000.

    [8]HAW Widjaja. Op.cit., hal.17

    [9]Hanif Nurkholis, “Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2016 tentang Desa,” makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Administrasi Negara di FISIP Universitas Negeri Padang, 13 November 2014, hal. 1.

    [10] Bhenyamin Hossein, “Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Penyelenggaraan Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Hubungan Kewenangan Antara Pusat dan Daerah)’, makalah pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Jakarta, 29-31 Mei 2006, hal. 2

    [11] Lihat pendapat/pandangan mini fraksi-fraksi dalam rapat 11 Desember 2013.

    [12] “…….pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Penjelasan Umum, bagian Dasar Pemikiran UU Desa).

     

    [13] Penyusunan DIM adalah bagian dari proses pembicaraan tingkat I dalam pembentukan Undang-Undang. Kegiatan lain pada tahapan ini adalah pengantar musyawarah dan penyampaian pendapat mini fraksi dan DPD. DIM memuat daftar inventaris masalah, usulan fraksi, dan rumusan yang disepakati. Jumlahnya biasanya sangat banyak sehingga proses pembahasan suatu RUU menggunakan pasal- per pasal dalam DIM akan memakan waktu yang relatif lama.

     

    [14] Pembentukan Undang-Undang yang socially responsible di Indonesia antara lain didorong oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Selama ini sifat dasar proses legislasi yang dominan lebih melihat legislasi sebagai (i) proses politik elit; (ii) proses teknokratis; atau (iii) proses politik publik. Menurut PSHK ketiga cara pandang ini hanya merekam sebagian episode saja dari keseluruhan proses pembentukan legislasi. Ketiga konsep ini lebih menekankan pada aspek formal procedural, sebaliknya pembentukan Undang-Undang yang soscially responsible mengacu pada suatu proses yang lebih luas, yakni proses kemasyarakatan (societal) yang melihat berbagai proses informal di ruang-ruang sosial sama pentingnya dengan proses formal di gedung-gedung pemerintahan. Lihat Bivitri Susanti (penyunting). Studi Tata Kelola Proses Legislasi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2008, hal. 132.

    [15]Tim Peneliti PSHK. Studi Tata Kelola Proses Legislasi. Jakarta: PSHK, USAID-Democratic Reform Support Program, 2008, hal.182

    [16] Ibid, hal. 186.

    [17] Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan ini menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan yuridis merupakan pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

    [18] Pola yang sama ditempuh pemerintah dalam mengatur lebih lanjut UU Pelayanan Publik, UU Administrasi Kependudukan, dan UU Keterbukaan Informasi Publik.

    Daftar Isi :

    Update terbaru 16 May 2016.