6. Peraturan Desa
Peraturan Desa (Perdes) adalah produk pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang digunakan untuk menjadi acuan pelaksanaan pemerintahan desa. Peraturan desa dalam konteks ini adalah dalam pengertian luas karena meliputi juga peraturan Kepala Desa dan peraturan bersama Kepala Desa. Peraturan Desa diatur dalam dua pasal, yakni Pasal 69 dan 70, sebagaimana dirumuskan berikut.
Daftar Isi :
6.1. Eksistensi Peraturan Desa
Pasal 69 |
(1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa. (2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (3) Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. (4) Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapat evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. (5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota. (6) Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya. (7) Kepala Desa diberi waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi. (8) Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya. (9) Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa. (10) Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa. (11) Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh sekretaris Desa. (12) Dalam pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 70 |
(1) Peraturan Bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerjasama antar-Desa. (2) Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam kerjasama antar-Desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
- Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
- Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
- Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
- Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan
- Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.
- Jenis–jenis Peraturan Desa (Pasal 69 ayat 1 UU Desa). Sebagian besar fraksi setuju dengan tiga jenis peraturan desa, yaitu Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa. Tetapi Fraksi PKB mengusulkan jenis lain yaitu: Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
- Partisipasi masyarakat. Pada dasarnya semua fraksi setuju masyarakat dilibatkan dalam pembentukan Peraturan Desa. Rumusan yang disetujui mayoritas dan akhirnya diangkat menjadi norma adalah Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat. Dalam proses pembahasan DIM, Fraksi Partai Golkar sempat mengusulkan ‘wajib memperhatikan aspirasi dan persetujuan masyarakat, baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis’.
- Evaluasi. Semua fraksi sepakat ada evaluasi Peraturan Desa oleh Bupati/waikota. Materi yang harus mendapat evaluasi dari kepala daerah adalah rancangan peraturan menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa. Awalnya, usulan Fraksi PDIP, PKS, PPP, PKB, Gerindra, dan Demokrat mengusulkan ‘pemanfaatan lahan’, tetapi kemudian berubah menjadi tata ruang dalam naskah UU Desa.
- Kedudukan Peraturan Desa sebagai Peraturan Perundang-Undangan
- Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
- Peraturan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
- Materi Muatan
Jenis Peraturan | Materi Muatan |
Peraturan Desa | Pelaksanaan kewenangan desa dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi |
Peraturan Bersama Kepala Desa | Materi kerjasama desa |
Peraturan Kepala Desa | Materi pelaksanaan peraturan desa, peraturan bersama Kepala Desa dan tindak lanut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. |
- Pengujian Perdes
6.2. Partisipasi Publik dalam Pembuatan Perdes
Dalam setiap pembuatan kebijakan, partisipasi publik menjadi suatu keniscayaan. Partisipasi publik merupakan bagian dari pelaksanaan demokrasi di tingkat desa, sekaligus penerapan prinsip transparansi pembuatan kebijakan. Dalam konteks pembuatan peraturan perundang-undangan, partisipasi publik bersifat wajib meskipun implikasinya tak selalu berimbas pada pembatalan peraturan. UU Desa mengatur tentang konsultasi dan pemberian masukan dalam proses legislasi peraturan di tingkat desa.
Pasal 69 |
Ayat (9) Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa. |
Ayat (10) Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa. |
Penjelasan |
Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat desa. Masyarakat desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa. |
Penjelasan Umum juga menegaskan ‘Masyarakat desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa’.
Pembahasan di DPR
Peraturan Desa adalah produk hukum tingkat desa yang disetujui bersama oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Dalam proses pembuatan Peraturan Desa, UU Desa menyebutkan kewajiban mengkonsultasikan rancangannya kepada masyarakat desa. Pada saat konsultasi rancangan itu, masyarakat desa berhak memberikan masukan.
Dalam proses pembahasan RUU Desa di DPR, isu partisipasi banyak disinggung. Regulasi tentang desa perlu dibuat sedemikian rupa sehingga bisa meningkatkan partisipasi masyarakat desa. Dalam Rapat Pansus 4 April 2012, Hj Mestariyani Habibie dari Fraksi Gerindra menyatakan:
“Selain itu, yang tidak kalah pentingnya dengan menempatkan desa sebagai entitas subyek dari tata pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan. Maka konsekuensi logis regulasi tentang desa juga harus memposisikan masyarakat desa sebagai subyek. Dalam konteks ini ….regulasi tentang desa harus mendorong partisipasi masyarakat desa dalam tata kelola pemerintahan desa dan pembangunan kesejahteraan dengan membuka ruang prakarsa yang berpijak pada local asset, yakni kelembagaan sosial yang sudah ada di desa”.
Pemerintah, seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada Rapat Pansus tersebut juga punya pandangan yang sama:
“Dengan adanya Undang-Undang tentang Desa diharapkan dapat meningkatkan peran aparat pemerintah desa dalam mendukung otonomi daerah, dan mewujudkan desa sebagai garda terdepan dalam pembangunan bangsa serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan”.
Tanggapan
Undang-Undang Desa memberikan hak kepada masyarakat untuk memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat menyampaikan masukan, maka secara normatif RUU Desa harus dapat diakses dengan mudah terutama oleh masyarakat yang memiliki kepentingan.
Berdasarkan Pasal 96 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, masukan masyarakat dapat dilakukan melalui: Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU); kunjungan kerja; sosialisasi; dan beragam bentuk lain seperti seminar, lokakarya, dan diskusi.
Undang-Undang Desa mewajibkan suatu rancangan Perdes dikonsultasikan kepada publik. Konsultasi publik itu adalah bagian dari asas partisipasi yang dianut Undang-Undang ini, yakni masyarakat turut berperan aktif dalam suatu kegiatan.
Konsultasi publik itu sejalan dengan prinsip yang terkandung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini juga menjadikan konsultasi publik itu sebagai forum bagi warga masyarakat desa menyampaikan hak-haknya. Namun dalam Pasal 68 ayat (1) UU Desa tidak ada uraian spesifik mengenai hak masyarakat menyampaikan masukan dan saran atas Perdes. Norma yang terkandung lebih bersifat umum, sebagaimana disebut Pasal 68 ayat (1) huruf c: hak masyarakat antara lain ‘menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa’.
Konsultasi publik pada saat penyusunan rancangan Perdes perlu dilakukan mengingat implementasi Perdes tak sekadar membutuhkan penempatan dalam Berita Desa, tetapi juga pengakuan langsung dari masyarakat. Sejatinya, pengakuan inilah yang jauh lebih penting.[13]
Pengalaman pendampingan HuMA dalam penyusunan Perdes di Sulawesi Tengah menjelaskan lebih lanjut pentingnya konsultasi publik itu:
“Konsultasi publik dilakukan di tiap desa dengan mengundang masyarakat pada umumnya. Proses konsultasi publik dimulai dari tingkat dusun-dusun untuk memperoleh saran, masukan dan tanggapan. Setelah itu direvisi kembali sesuai masukan tiap dusun sebagai bahan konsultasi publik tingkat desa. Apabila dalam konsultasi tingkat desa, seluruh masyarakat yang mengikuti kegiatan konsultasi telah merasa cukup puas, maka draft peraturan desa dianggap telah final dan siap melangkah ke tahap sosialisasi”.[14]
Skema pembahasan Rancangan Perdes berbasis partisipasi publik dapat digambarkan pada bagan berikut:
Setiap warga Desa berhak menyampaikan pendapat, masukan, saran, baik secara lisan maupun tertulis, untuk disampaikan dan dibahas dalam musyawarah Desa. Warga bisa menitipkan pendapat, saran dan masukan itu melalui wakil-wakilnya. Masyarakat Desa yang bisa menghadiri musyawarah Desa, adalah tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, nelayan, perajin, perempuan, pemerhati dan perlindungan anak, dan kelompok masyarakat miskin.
Mengingat pentingnya peran Musdes dalam penyusunan Perdes isu-isu strategis, maka mekanisme penyampaian aspirasi masyarakat perlu dijabarkan lebih jauh agar memenuhi sejumlah kaedah, misalnya: (i) masyarakat sudah mendapatkan informasi yang cukup mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa; (ii) setiap warga telah mendapatkan perlakuan yang sama dan adil baik untuk tampil mewakili unsur-unsur masyarakat maupun untuk menyampaikan aspirasinya melalui para wakil terpilih; (iii) setiap warga bebas dari intimidasi dan tekanan dalam menyampaikan pendapat, baik sebelum proses maupun selama dan setelah proses musyawarah desa berlangsung. Poin terakhir ini penting agar jangan sampai warga desa dikriminalisasi oleh Kepala Desa atau Bupati/Walikota hanya gara-gara menyampaikan aspirasi, pendapat dan masukan. Dengan demikian harus ada garansi bahwa proses Musdes adalah proses yang bukan saja partisipatif dan dialogis, tetapi juga aman dari ancaman dan intimidasi.
Berdasarkan analisis tersebut di atas ada beberapa hal krusial yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai Perdes.
- Materi Muatan Perdes.
UU Desa tidak merinci apa saja yang akan diatur dalam Perdes. Undang-Undang ini hanya menyebutkan penetapannya dilakukan oleh Kepala Desa dan BPD. Mengenai materi muatan, Pasal 69 ayat (4) menyebutkan materi tentang APBD, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintahan desa.
Jika dirujuk pada konstruksi yang dibangun Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang, materi muatan Perdes adalah ‘seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi’.[15] Ini berarti materi muatan disesuaikan dengan urusan desa. Urusan desa bermula dari kewenangan desa. Pasal 19 UU Desa menjelaskan kewenangan desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan hak asal usul; (b) kewenangan lokal berskala desa; (c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan (d) kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan lebih lanjut mengenai poin (a) dan (c) diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa. Salah satu contoh Perdes yang diamanatkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) yang diamanatkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa.
Pertanyaannya, apakah materi muatan yang bisa diatur desa adalah residu dari kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota? Jika ya, batasan-batasan residu apa yang menjadi kewenangan desa? Mengenai materi muatan ini juga sempat dipertanyakan dalam pembahasan di DPR. Sebab hampir semua urusan sudah diatur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 69 ayat (4) UU Desa, misalnya, menyebut tata ruang sebagai materi yang bisa diatur dalam Perdes. Bukankah sudah ada UU Penataan Ruang? Bagian mana dari tata ruang yang bisa diatur oleh Perdes? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan menjadi isu krusial dalam implementasi UU Desa.
Pertanyaan ini juga senada dengan kekhawatiran Prof. Pratikno, yang diundang dalam RDPU tanggal 27 Juni 2012. Ia mengatakan:
“Berikutnya tentang urusan pemerintahan. Saya tidak punya banyak komentar kecuali bahwa nampaknya undang-undang ini melanjutkan tradisi kita bahwa itu ada urusan-urusan yang konkuren itu ada resikonya. Resikonya itu pembagian urusan tidak jelas. Artinya, kalau ini kita tetapkan, saya usulkan bahwa pemerintah itu wajib membuat PP yang tegas dalam membagi suburusan. Jadi misalnya pendidikan itu yang nasional apa, yang provinsi apa, yang kabupaten apa, itu harus eksplisit, harus tegas”.
Jawaban atas pernyataan tersebut sebenarnya sangat bergantung pada pembatasan yang dibuat oleh Bupati melalui Peraturan Bupati tentang kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Prinsipnya, desa tidak diperbolehkan mengatur dan mengurus urusan masyarakat yang tidak masuk dalam kewenangan desa.[16]
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa sebenarnya sudah berusaha menjawab pertanyaan tentang materi muatan. Tetapi potensi perbedaan tafsir mana yang menjadi wewenang desa dan wewenang pemerintahan kabupaten/kota masih ada.
- Proses Pembentukan dan Pembatalan Perdes
Isu krusial kedua sehubungan dengan Perdes adalah bagaimana proses pembentukan dan pembatalannya. Sebagai peraturan, Perdes harus dibentuk melalui mekanisme yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Rujukan utama pembentukan peraturan perundang-undangan adalah UU No. 12 Tahun 2011. Berdasarkan Undang-Undang ini, pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik memiliki asas-asas: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan.
Mengenai lembaga pembentuk, UU Desa sudah menegaskan bahwa Perdes ditetapkan Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama BPD. Tentang siapa yang mengusulkan, UU Desa menganut prinsip yang sama dengan pembentukan Undang-Undang, boleh dari Kepala Desa (Pasal 26 ayat 3 huruf b), boleh juga diajukan oleh BPD (Pasal 62 huruf a). Jika dalam pembentukan perundang-undangan digunakan istilah ‘persetujuan bersama’, UU Desa menggunakan istilah ‘disepakati bersama’. Dalam proses pembentukan, masyarakat diberikan hak untuk berpartisipasi. Beban utama pembentukan Perdes tetap ada di tangan Kepala Desa (executive heavy) seperti terlihat dari sebutan Peraturan Kepala Desa, dan Peraturan Bersama Kepala Desa (Pasal 69 ayat 1), dan tidak disebut Peraturan BPD.
Isu paling krusial dalam pembentukan Perdes sebagaimana terlihat dari proses pembentukan UU Desa adalah adalah sumber daya manusia, dalam arti kemampuan pemerintah desa dan BPD dalam drafting. Penyusun Naskah Akademik dan sejumlah pakar yang diundang ke DPR juga menyinggung masalah kapasitas sumber daya manusia penyusun Perdes. Jalan keluar yang diberikan oleh Undang-Undang adalah fasilitasi penyusunan oleh pejabat yang lebih tinggi. Siapakah mereka? Pasal 69 ayat (4) UU Desa memberikan wewenang kepada Bupati/Walikota melakukan ‘evaluasi’, sedangkan Pasal 84 ayat (4) PP No. 43 Tahun 2014 memberi hak ‘pengawasan dan pembinaan’ Perdes kepada Bupati/Walikota, dan Pasal 154 PP ini memberikan tugas kepada camat untuk ‘fasilitasi penyusunan Perdes dan Peraturan Kepala Desa’. Sedangkan Pasal 88 PP No. 43 Tahun 2014 menyebutkan pedoman teknis mengenai peraturan di desa diatur dengan Peraturan Menteri.
Mengenai fasilitasi pembuatan Perdes, Naskah Akademik menyebutkan begini:
“Fasilitasi pemerintah kabupaten terhadap penyusunan peraturan desa sangat diperlukan untuk mempermudah dan membangun kapasitas pemerintah desa atau menyusun Perdes yang baik. Pengawasan (supervisi) kabupaten terhadap peraturan desa sangat diperlukan agar Perdes tetap berjalan sesuai dengan norma-norma hukum, yakni tidak menyimpang dari peraturan di atasnya dan tidak merugikan kepentingan umum”.
Keruwetan pembatalannya pun hampir sama. Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji semua jenis peraturan di bawah Undang-Undang. Secara sederhana, termasuk di sini peraturan desa. Jika ada warga atau pihak ketiga yang keberatan atas Perdes, ia bisa mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Agung. Tetapi peraturan pelaksanaan Undang-Undang Desa memberikan kewenangan pembatalan kepada Bupati/Walikota (Pasal 87 PP No. 43/2014). Dengan demikian, Bupati/Walikota bukan saja punya kewenangan preview (preventif), tetapi juga kewenangan review (represif) dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Parameter yang digunakan untuk membatalkan adalah bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tanpa batasan yang jelas, makna kepentingan umum seperti apa yag dimaksud bisa menjadi dasar yang memicu perbedaan tafsir di lapangan.
- Jenis-Jenis Peraturan Desa
Secara limitatif, Pasal 69 ayat (1) UU Desa menyebutkan Perdes terdiri atas:
- Peraturan Desa, yaitu peraturan yang dibuat dan disepakati bersama Kepala Desa dan BPD.
- Peraturan Bersama Kepala Desa, yaitu peraturan bersama Kepala Desa yang dibuat dalam rangka kerjasama antardesa.
- Peraturan Kepala Desa, yaitu peraturan teknis pelaksanaan Perdes yang dibuat oleh Kepala Desa.
Berdasarkan ketentuan ini, kerjasama antardesa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa, bukan Peraturan Bersama Desa. Ini berarti seolah-olah kerjasama antardesa bisa dilakukan oleh Kepala Desa tanpa melibatkan BPD kedua desa. Bukankah dari sisi partisipasi dan dukungan, kedudukan Peraturan Bersama Desa lebih kuat dibanding peraturan Bersama Kepala Desa? Lalu, siapa yang membatalkan Peraturan Bersama Kepala Desa, apakah oleh Bupati/Walikota juga? Ingat, rumusan Pasal 87 PP No. 43/2014 hanya menyebutkan peraturan desa dan peraturan Kepala Desa, dan tak menyebut sama sekali peraturan bersama Kepala Desa.
Bagaimana pula dengan Peraturan Tata Tertib Badan Permusyawaratan Desa yang disebut dalam Pasal 77 PP No. 43 Tahun 2014, apakah ini jenis peraturan perundang-undangan lain?