1. Lingkup dan Asas
Dalam konsepsi UU No. 32 Tahun 2004, khususnya pasal 200, pemerintahan Desa adalah bagian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota. Namun UU itu dan UU No. 5/1979, tak memberikan penjelasan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pemerintahan Desa. Hal berbeda terlihat dari UU Desa yang sudah memberikan definisi tentang pemerintahan Desa. Pemerintah Desa pada dasarnya lebih merujuk pada organ, sedangkan pemerintahan desa lebih merujuk pada fungsi.[1] Pemerintahan Desa mencakup fungsi regulasi/kebijakan, fungsi pelayanan dan fungsi pemberdayaan.
Undang-Undang Desa memperjelas asas penyelenggaraan pemerintahan Desa yang menjadi prinsip/nilai dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa. Asas itu dijelaskan dalam pasal berbeda yang terdapat dalam Bab V tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Banyaknya pasal yang mengatur tentang pemerintah Desa dapat dipahami karena pemerintah Desa menjadi representasi penyelenggara urusan pemerintahan (top-down) sekaligus menjembatani kepentingan masyarakat setempat (bottom up).
Pasal 1 angka 2 |
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 1 angka 3 |
Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Penyelenggaraan pemerintahan Desa dalam konteks ini meliputi Desa dan Desa Adat. Pemerintah desa adalah Kepala Desa atau dengan sebutan lain dan perangkat desa. Pengaturan mengenai lingkup dan asas dirumuskan dalam Pasal 23-25 berikut:
Pasal 23 |
Pemerintahan desa diselenggarakan oleh pemerintah desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 24 |
Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas:
a. Kepastian hukum; b. Tertib penyelenggaraan pemerintahan; c. Tertib kepentingan umum; d. Keterbukaan; e. Proporsionalitas f. Profesionalitas g. Akuntabilitas h. Efektivitas dan efisiensi i. Kearifan lokal; j. Keberagaman; dan k. Partisipatif. |
Penjelasan |
a. Kepastian hukum; yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan desa.
b. Tertib penyelenggaraan pemerintahan; yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara pemerintahan desa. c. Tertib kepentingan umum; yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. d. Keterbukaan; yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan. e. Proporsionalitas; yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan pemerintahan desa. f. Profesionalitas; yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. g. Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai peraturan perundang-undangan. h. Efektivitas dan efisiensi. Efektif berarti setiap kegiatan yang dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat desa. Efisien berarti setiap kegiatan yang dilaksanakan harus tepat sesuai dengan rencana dan tujuan. i. Kearifan lokal; mengandung arti bahwa dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa. j. Keberagaman; berarti penyelenggaraan pemerintahan desa tidak boleh mendiskriminasi kelompok tertentu. k. Partisipatif; berarti penyelenggaraan pemerintahan desa mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat desa. |
Pasal 25 |
Pemerintah desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat desa atau yang disebut dengan nama lain. |
Penjelasan |
Penyebutan nama lain untuk Kepala Desa dan perangkat desa dapat menggunakan penyebutan di daerah masing-masing. |
Konstruksi pemerintahan Desa yang dianut dalam UU Desa adalah konstruksi gabungan. Penjelasan Umum Undang-Undang ini menyebutkan secara tegas: “Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat”.
Pembahasan Di DPR
Argumentasi pengaturan tentang pemerintahan Desa dan asas-asasnya dirumuskan panjang lebar dalam Naskah Akademik RUU Desa. Disebutkan antara lain bahwa Desa sebagai miniatur negara Indonesia menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat Desa). Pemerintahan Desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang sederhana. Birokrat desa yang disebut dengan perangkat desa membantu Kepala Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Saat menyampaikan Keterangan Pemerintah atas RUU Desa, 2 April 2012, Menteri Dalam Negeri menyinggung apa saja yang diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Gamawan mengatakan:
“Substansi mengenai penyelenggara pemerintahan desa dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, tugas, wewenang, hak dan kewajiban Kepala Desa; larangan bagi Kepala Desa; pemberhentian dan pemilihan Kepala Desa, tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa”.
Pemerintahan desa menjadi salah satu hal yang mendapat perhatian utama bagi DPR/DPD saat menyampaikan pendapat mini atas naskah RUU tentang Desa. Bahkan saat awal-awal pembahasan bersama, pertanyaan penting yang dikemukakan oleh Ketua Pansus RUU Desa kepada pemerintah adalah tentang kedudukan desa di hadapan negara (pemerintah).
DPR/DPD menginginkan pemerintahan desa yang kuat sebagai implikasi pengaturan diri sendiri. Mewakili DPD, Jacob Jack Ospara menegaskan:
“Pemerintahan desa yang kuat bukan dalam pengertian bentuk pemerintahan yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), namun bentuk pemerintaha desa dengan tata pemerintahan yang demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa/Badan Musyawarah serta elemen masyarakat setempat”.
Para pembentuk UU Desa menginginkan gambaran Desa yang modern dan pengelolaannya profesional di satu sisi, dan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional di sisi lain. Pandangan Fraksi PPP seperti disampaikan A.W. Thalib merepresentasikan harapan itu:
“Dalam pandangan Fraksi PPP, sebagaimana draft RUU Desa bahwa tujuan pengaturan dalam RUU tersebut mencakup 5 (lima) hal yaitu…kedua, keinginan membentuk pemerintan desa yang modern, yaitu profesional, efisien dan efektif, terbuka dan bertanggung jawab. Pada sisi lain, desa tetap memelihara sistem nilai lokal tetapi di sisi lainnya desa harus mampu mengikuti arah perkembangan zaman”.
Mengenai asas penyelenggaraan pemerintahan Desa, naskah RUU antara lain merumuskan bahwa ‘Dalam pelaksanaan tugasnya, pemerintah desa berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara’ yaitu kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Jumlah asas ini telah berkembang dari tujuh asas yang disebut dalam Naskah Akademik yaitu asas kepastian hukum, tertib kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Rasio pengaturan asas penyelenggaraan pemerintahan diuraikan dalam Naskah Akademik, yaitu:
“Sebagai konsekuensi pilihan desa yang beragam, maka pengaturan tentang kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa dibuat beragam juga pilihannya. Namun demikian UU ini perlu merumuskan standar norma yang bisa dipakai sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa”.
Tanggapan
UU Desa mengatur dan membedakan asas pengaturan Desa (pasal 3) dan asas penyelenggaraan pemerintahan Desa. Seperti disebutkan dalam Naskah Akademik, asas penyelenggaraan pemerintahan Desa dibuat sebagai standar norma yang bisa dipakai dalam iklim keberagaman penyelenggaraan pemerintahan desa. Prinsip keberagaman itu memang diakomodasi baik dalam pengaturan desa maupun penyelenggaraan pemerintahan Desa meskipun dalam konteks berbeda. Dalam pengaturan Desa, asas keberagaman itu mengandung arti pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, keberagaman itu mengandung arti penyelenggaraan pemerintahan Desa yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Konsep keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa bisa ditarik ke dalam landasan konstitusional. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan ‘setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’. Larangan melakukan diskriminasi itu juga kemudian dituangkan antara lain dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pada tataran normatif, larangan berlaku diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa itu dituangkan dalam ketentuan yang memungkinkan setiap warga negara dipilih menjadi atau memilih pemerintah Desa. Pasal 68 UU Desa mengatur sejumlah norma yang memberi hak kepada semua warga desa untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil, punya hak menyampaikan saran dan berpartisipasi, serta mendapatkan informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pengaturan hak-hak masyarakat desa di satu sisi, dan pengaturan kaedah norma bagi pemerintah Desa di sisi lain dimaksudkan agar terselenggara tata pemerintahan Desa yang baik. Demi mencapai tujuan itu, penyelenggaraan pemerintahan Desa harus didasarkan pada asas-asas yang sudah diterima secara umum. Undang-Undang ini hanya mengatur sebagian kecil saja asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik karena faktanya, baik dalam doktrin maupun yurisprudensi, asas-asas umum pemerintahan yang baik itu telah berkembang.[2]
Sebagian besar dari asas tersebut sebenarnya sudah termuat dalam UU No. 32/2004. Hanya asas kearifan lokal, asas keberagaman, dan asas partisipatif yang benar-benar baru dalam UU Desa. Kearifan lokal mengandung arti bahwa dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa. Evaluasi Peraturan Desa (Perdes), pembentukan Desa, dan pemberian wewenang dan kewajiban pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa. Sedangkan asas partisipasi dirumuskan dalam banyak peraturan perundang-undangan.
Sebagai pengakuan terhadap prinsip keberagaman, UU Desa mengizinkan Desa menggunakan sebutan selain Kepala Desa, sesuai dengan bahasa dan adat istiadat setempat. Desa adat tertentu bisa saja menggunakan sebutan lokal, tetapi kedudukan yang bersangkutan tetap sebagai Kepala Desa. Apalagi Pasal 111 ayat (2) UU Desa sudah menegaskan ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk desa adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang desa adat. Seberagam apapun pemerintahan Desa, UU Desa sudah menggariskan bahwa pemerintahan desa tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bingkai ini dirumuskan dalam norma kewajiban dan sumpah para penyelenggara pemerintahan desa.
Adapun karakter atau sifat pemerintahan Desa yang hendak dituju lewat pengaturan UU Desa dapat digambarkan pada bagan berikut.

Dirangkum dari Penjelasan Umum UU Desa
Konstruksi pemerintahan desa yang dianut dalam UU Desa adalah konstruksi gabungan, yakni konstruksi yang timbul akibat pertarungan pandangan antara DPR/DPD dan pemerintah mengenai basis konstitusional yang dipakai. Pansus RUU Desa meminta Pasal 18B ayat (2) yang dikedepankan, sedangkan delegasi Pemerintah menginginkan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945 yang didahulukan. Jika Pasal 18B ayat (2) dikedepankan maka bobot desa sebagai komunitas akan lebih dominan. Sebaliknya, jika Pasal 18 ayat (7) yang didahulukan maka desa sebagai subordinasi pemerintahan kabupaten/kota akan lebih dominan. Konstruksi gabungan ini dapat dibaca dalam Penjelasan Umum UU Desa: “Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat”.[3]
Daftar Isi :