2.4. Pemberhentian Kepala Desa
Kepala Desa dibebani banyak kewajiban dan larangan, yang berimplikasi pada resiko pemberhentian. Seorang Kepala Desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dan dapat menjabat maksimal 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Pengaturan mengenai pemberhentian Kepala Desa dirumuskan dalam Pasal 40-47 UU Desa.
Berhentinya Kepala Desa disebabkan sebagaimana rumusan Pasal 40 ayat (1), jika penyebabnya diberhentikan diantaranya, tidak menjalankan tugas sebagai Kepala Desa atau dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun oleh pengadilan. Berikut adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan pemberhentian Kepala Desa.
a. Berhenti dan Diberhentikan
Konsep berhenti dan diberhentikan termasuk orang yang menetapkan pemberhentian itu dituangkan dalam Pasal 40.
Pasal 40 |
Ayat (1)
Kepala Desa berhenti karena: a. Meninggal dunia b. Permintaan sendiri; atau c. Diberhentikan |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Ayat (2)
Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: a. Berakhir masa jabatan b. Tidak melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau d. Melanggar larangan sebagai Kepala Desa. |
Penjelasan |
Huruf a
Yang dimaksud dengan berakhirnya masa jabatan adalah apabila telah berakhir masa jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan harus dihentikan. Dalam hal belum ada calon terpilih dan belum dapat dilaksanakan pemilihan, diangkat pejabat. Huruf b Yang dimaksud dengan ‘tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap’ adalah apabila Kepala Desa menderita sakit yang mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya. |
Ayat (3)
Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
b. Perkara Hukum dan Pemberhentian
Sebagaimana halnya kepala daerah, ada kalanya Kepala Desa diberhentikan karena tersandung perkara hukum. Misalnya tersangkut perkara pidana korupsi bantuan sosial. Pasal 41-43 UU Desa telah memberikan dua norma penting, yaitu diberhentikan sementara saat masih berstatus tersangka[5], dan diberhentikan sementara saat sudah berstatus terdakwa[6].
Pasal 41 |
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 42 |
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana makar terhadap keamanan negara. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Dalam dua kasus tersebut, Kepala Desa hanya diberikan status diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota hingga ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 43.
Pasal 43 |
Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Proses peradilan pidana tidak bisa diprediksi ujungnya, baik mengenai status akhir Kepala Desa maupun mengenai waktu yag dibutuhkan. Meskipun KUHAP menyebut asas peradilan cepat, murah, dan sederhana, namun tidak ada yang bisa memastikan kapan suatu putusan berkekuatan hukum tetap. Berkekuatan hukum tetap bisa terjadi pada tingkat pertama, banding, atau kasasi. Tidak ada pula yang bisa memprediksi apa putusan hakim, semua bergantung pada bukti-bukti yang diajukan. Oleh karena itu, Pasal 44 UU Desa telah membuat norma jika hakim membebaskan Kepala Desa, dan norma jika masa jabatannya belum/sudah berakhir.
Pasal 44 |
Ayat (1)
Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui proses peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan putusan pengadilan diterima oleh Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala Desa yang bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa jabatannya. |
Penjelasan |
Apabila Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota harus merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan. |
c. Penjabat Kepala Desa
Dalam hal Kepala Desa tersandung masalah hukum dan sudah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, UU Desa memperkenalkan istilah Penjabat Kepala Desa. Dari rumusan Pasal 45 di atas menjelaskan bahwa sekretaris desa bisa menjadi pelaksana tugas Kepala Desa, jika Kepala Desa tersandung perkara hukum dan oleh Bupati/Walikota diberhentikan sementara.
Undang-Undang Desa ini memberikan dua alternatif pengisi jabatan Kepala Desa dilihat dari sisa waktu masa jabatan Kepala Desa tersebut. Jika sisa masa jabatan tidak lebih dari satu tahun, maka berlaku ketentuan Pasal 46.
Pasal 45 |
Ayat (2)
Dalam hal Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, Sekretaris Desa melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 46 |
Ayat (1)
Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai Penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa. |
Penjelasan |
Yang dimaksud dengan ‘tidak lebih dari 1 (satu) tahun’ adalah 1 (satu) tahun atau kurang. |
Ayat (2)
Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud Pasal 26. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Sebaliknya, jika sisa masa jabatan lebih dari satu tahun pengangkatan Penjabat Kepala Desa menggunakan rumusan Pasal 47 berikut:
Pasal 47 |
Ayat (1)
Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai Penjabat Kepala Desa. |
Ayat (2)
Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa. |
Penjelasan ayat (1-2) |
Cukup jelas |
Ayat (3)
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui musyawarah desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. |
Penjelasan |
Yang dimaksud dengan musyawarah desa adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh BPD khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu (bukan musyawarah Badan Permusyawaratan Desa), yaitu mulai dari penetapan calon, pemilihan calon dan penetapan calon terpilih. |
Ayat (4)
Musyawarah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Ayat (5)
Kepala Desa yang dipilih melalui musyawarah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan. |
Penjelasan |
Masa jabatan Kepala Desa yang dipilih melalui musyawarah desa terhitung sejak yang bersangkutan dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk. |
Ayat (6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai musyawarah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Sebenarnya pengangkatan Penjabat Kepala Desa bukan hanya terjadi saat Kepala Desa tersandung masalah hukum. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 mengatur kemungkin pengangkatan Penjabat Kepala Desa persiapan oleh Bupati/Walikota saat awal-awal pembentukan desa (Pasal 12).
Pembahasan di DPR
Bagian tentang pemberhentian Kepala Desa ini sudah muncul dalam RUU Desa. Hal tersebut juga disinggung dalam naskah akademik yang diserahkan pemerintah kepada DPR. Pasal ini merupakan bagian dari Bab tentang Penyelenggara Pemerintahan Desa, dimana salah satunya berkaitan dengan Kepala Desa atau disebut dengan nama lain sebagai kepala pemerintahan Desa.
Pembahasan pasal tentang pemberhentian kepala desa sudah muncul sejak RDPU tanggal 24 Mei 2012. Namun dalam rapat tersebut pembahasannya masih dijadikan satu dalam pembahasan mengenai penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Substansi dalam pembahasan tersebut meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa; tugas, wewenang, hak dan kewajiban desa; larangan bagi Kepala Desa; pemberhentian dan pemilihan Kepala Desa; tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa; dan Badan Permusyawaratan Desa.
Selanjutnya Pembahasan tentang Pemberhentian Kepala Desa ini muncul kembali dalam Rapat RDPU tanggal 7 Juni 2012 antara Pansus UU Desa dengan sejumlah pemangku kepentingan. Dalam rapat tersebut, Hasto Wiyono dari STPMD APMD menyampaikan pandangan antara lain:
“Kemudian yang berikutnya mengenai susunan dan tata pemerintahan desa. Untuk susunan, saya kira sudah kita kenal sampai sekarang ya ada Kepala Desa, kemudian ada perangkat desa. Nah, dalam hal ini kami mengusulkan Badan Permusyawaratan Desa itu diubah menjadi Badan Perwakilan Desa karena memang itu adalah representasi dari masyarakat. Itu menjadi suatu institusi demokrasi bagi masyarakat dan juga dengan adanya Badan Perwakilan Desa, ini berarti ada cek and balances terhadap Kepala Desa. Namun demikian, yang kami usulkan bukan badan perwakilan desa atau BPD versi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dapat menjatuhkan atau dapat memberhentikan Kepala Desa. Jadi dalam konteks ini BPD atau Badan Perwakilan Desa itu sama dengan Badan Permusyawaratan Desa yang kita kenal sekarang. Dia punya hak untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Desa, jadi tidak langsung punya kewenangan untuk memberhentikan.”
Idham Arsyad dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mempertanyakan pemberhentian Kepala Desa oleh Bupati. Konsep pelibatan Bupati ini terkesan tidak sejalan dengan otonomi asli desa dan menunjukkan bahwa pemerintah terkesan tidak sepenuhnya rela memberikan otonomi asli kepada desa. Idham mengatakan:
“……..Yang lain saya mau sebutkan sebagai pemandangan umum, saya kira juga belum menjelaskan posisinya dengan baik tentang beberapa persoalan-persoalan yang sering mengemuka kalau kita bicara tentang desa yaitu soal otonomi asli desa, sehingga apa yang sering kita kemukakan dulu bahwa ini adalah pemberian setengah hati saya kira masih dilanjutkan spirit-nya di dalam RUU-nya Pak ya? Dimana kita lihat misalnya nampak jelas bahwa ini adalah birokratisasi Pemerintahan desa kalau kita lihat RUU-nya atau desa sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah. Darimana saya melihatnya? Misalnya contoh Pasal 16 ayat (1) mengenai kewenangan desa. Itu sebenarnya masih tersirat bahwa tidak ada kerelaan penuh dari pemerintah untuk kemudian memberikan satu otonomi asli kepada desa atau misalnya Pasal 24 ayat (3), dimana pemberhentian Kepala Desa itu masih oleh Bupati.”
Masukan atas pasal pemberhentian Kepala Desa muncul dalam audiensi Pansus RUU Desa dengan perangkat desa di Lombok pada tanggal 6 Mei 2012. Disampaikan oleh Kepala Desa Nyerat, Lombok, Sahim SP:
“…Berikutnya pada Pasal 26 ayat (2) huruf a. yang katanya di sini “tidak dapat melaksanakan tugas berkelanjutan atau berhalangan secara berturut-turut selama 6 bulan”. Ya, kalau penyakit dan segala macam itu datang dari Allah, tidak ada yang menginginkan sebuah penyakit mungkin oleh seluruh kita semua yang hadir di sini. Kalau penyakit itu misalkan bisa berobat kadang-kadang kan bisa sampai dalam kurun waktu 1 tahun mungkin bisa kita terima, tetapi kalau 6 bulan ketika rekaqn-rekan saya sakit, lalu diberhentikan karena keadaan sakit, mungkin terlalu sakit. Orang sakit akan lebih sakit lagi. Ini-ini mohon menjadi pertimbangan paling tidak 1 tahun karena jabatankan 6 tahun di draft ini, tetapi belum sampai masa jabatan, belum sampai sana. Paling tidak mohon 1 tahun pada Pasal 26 ini pemberhentian Kepala Desa.”
Pada audiensi tersebut juga muncul masukan Nanang Samodra dari Partai Demokrat. Ia mengatakan antara lain:
“….Ada beberapa hal ingin saya comment yaitu di Pasal 21 tadi disebutkan di ayat (3) hak Kepala Desa. Pengusulan, Pengangkatan dan pemberhentiannya saya setuju langsung ke Bupati melalui camat. Kemudian masalah larangan Kepala Desa, saya juga setuju. Mestinya Kepala Desa sama dengan pejabat politik yang lain tidak dibeda-bedakan. Kemudian masalah berhalangan, juga ini kita pelajari, nanti kita Tanya ahlinya, Tanya dokter, Tanya tim ahli, tim kesehatan sampai berapa idealnya, sehingga pemerintahan itu bisa berjalan dengan baik. Jangan sampai ganti-ganti nanti salah nanti, tetapi prinsipnya kita harus melihat kondisi sakitnya. Sakit piak-piak apa sakit bener?”
Tanggapan
Sebagaimana diuraikan diatas, Kepala Desa bisa berhenti atau diberhentikan, baik karena faktor-faktor alamiah seperti meninggal dunia atau berakhir masa jabatannya, atau karena faktor non-alamiah seperti tersandung masalah hukum. Pemberhentian Kepala Desa tidak disinggung secara khusus dalam UU No. 32/2004. Ketentuan lebih detil dirumuskan dalam Pasal 17 PP No. 72/2005 tentang Desa. Rumusan Pasal 40-47 UU Desa hampir sama persis dengan rumusan Pasal 17-21 PP No. 72/2005. Memang, kalau ditelusuri lebih detil lagi ada perbedaan rumusan. Misalnya, perbandingan Pasal 17 ayat (1) dan (2) PP dengan Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU Desa. Berdasarkan PP, Kepala Desa berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Rumusan yang sama ditemukan pada Pasal 40 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2004. Tetapi coba perhatikan ayat berikutnya dalam tabel berikut.
PP No. 72 Tahun 2005 | UU Desa |
Kepala Desa diberhentikan karena:
a. Berakhir masa jabatannya; b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan; c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Desa; d. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan; e. Tidak melaksanakan kewajiban Kepala Desa; atau f. Melanggar larangan bagi Kepala Desa. |
Kepala Desa diberhentikan karena:
a. Berakhir masa jabatannya; b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan; c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau d. Melanggar larangan sebagai Kepala Desa. |
Dari tabel di atas tampak jelas salah satu perbedaan syarat diberhentikan. Justeru menjadi pertanyaan mengapa dalam UU Desa seseorang yang belum memenuhi syarat calon Kepala Desa bisa diberhentikan sebagai Kepala Desa. Bukankah jika ia tak memenuhi syarat, maka ia tidak akan mungkin lolos seleksi pencalonan Kepala Desa? Apakah ada kesalahan penormaan dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c UU Desa?
Rumusan Pasal 42 UU Desa juga patut diberikan catatan kritikal karena tampaknya hanya mengambil begitu saja (copy paste ) rumusan Pasal 31 ayat 1 UU No. 32/2004 dan Pasal 19 PP No. 72/2005. Pasal 42 tersebut menyebutkan jenis-jenis tindakan pidana tertentu yang memungkinkan seorang Kepala Desa diberhentikan sementara dari jabatannya, yaitu:
- Tindak pidana korupsi
- Terorisme
- Makar
- Tindak pidana terhadap keamanan negara.
Tindak pidana korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana terorisme diatur antara lain dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, dan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Makar diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 KUHP. Makar sendiri sebenarnya termasuk salah satu jenis tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 104-128 KUHP).
Penjelasan pasal ini tak memberikan penjelasan lebih lanjut apakah jenis tindak pidana ini bersifat limitatif. Demikian pula PP No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa yang memuat klausul pemberhentian Kepala Desa (Pasal 54-60) tak disinggung lagi jenis tindak pidana yang bisa membuat Kepala Desa diberhentikan sementara. Jika asumsi awal perumusan norma ini adalah tindak-tindak pidana yang masuk kategori extraordinary crime atau kejahatan yang sangat berat, maka rumusan keempat jenis tindak pidana tadi tidak mencukupi. Tindak pidana pencucian uang, pembalakan hutan, dan illegal fishing sudah secara umum diterima sebagai kejahatan yang sangat berat dampaknya. Perusakan hutan, misalnya, jelas-jelas disebut sebagai ‘kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi dan lintas negara’ (Konsiderans dan Penjelasan Umum UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan).
Selain itu, hasil pemeriksaan Inspektorat Daerah tak bisa dijadikan sepenuhnya dasar untuk memberhentikan Kepala Desa. Misalnya, ada tuduhan bahwa Kepala Desa melakukan perbuatan asusila dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, sehingga si perempuan hamil. Berbekal laporan masyarakat, inspektorat melakukan pemeriksaan dan dari hasil pemeriksaan itu Bupati/Walikota mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian Kepala Desa. Kasus semacam ini pernah terjadi dan berujung ke pengadilan. Kepala Desa menolak pemberhentian dan melawan pengangkatan seorang Penjabat Kepala Desa. Kepala Desa beralasan tuduhan perbuatan asusila itu tak pernah dibuktikan secara hukum. Surat BPD juga menyatakan Kepala Desa bersih. Pengadilan tingkat pertama menolak gugatan Kepala Desa, tetapi pengadilan tinggi mengabulkan gugatan itu dan membatalkan SK Bupati. Pada tingkat peninjauan kembali (PK) langkah Bupati ditolak karena bukti-bukti baru yang disampaikan tak memenuhi kualifikasi novum (Putusan MA No. 14 PK/TUN/2012). Perkara ini menunjukkan bahwa alasan-alasan pemberhentian Kepala Desa masih perlu dijabarkan lebih detil agar di kemudian hari tidak terlalu menimbulkan persoalan.
Daftar Isi :