2. Kepala Desa

    Kepala Desa adalah salah satu unsur penyelenggara pemerintah desa. Unsur lain adalah Perangkat Desa. Dalam UU Desa, setidaknya ada 22 pasal yang mengatur tentang Kepala Desa, dengan beragam aspek yang diatur antara lain: (i) tugas, hak, dan wewenang Kepala Desa; (ii) akuntabilitas Kepala Desa; (iii) larangan bagi Kepala Desa (iv) pemilihan Kepala Desa; dan (v) pemberhentian Kepala Desa.

    Kepala Desa adalah organ utama pemerintahan desa yang memiliki tugas dan, hak, dan wewenang sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berikut ini. Tema ini akan menjelaskan, satu persatu aspek yang berkaitan dengan Kepala Desa.

    Daftar Isi :

    2.1. Tugas, Hak, dan Wewenang Kepala Desa
    2.2. Kewajiban dan Larangan Kepala Desa
    2.3. Pemilihan Kepala Desa
    2.4. Pemberhentian Kepala Desa
    2.5. Sanksi Kepala Desa

    2.1. Tugas, Hak, dan Wewenang Kepala Desa

    Secara eksplisit Pasal 26 ayat (1) mengatur empat tugas utama Kepala Desa yaitu: (i) Menyelenggarakan pemerintahan desa, (ii) Melaksanakan pembangunan desa, (iii) Melaksanakan pembinaan masyarakat desa; dan, (iv) Memberdayakan masyarakat desa. Dengan tugas yang diberikan, Kepala Desa diharapkan bisa membawa desa ke arah yang diharapkan oleh UU ini.

     

    Pasal 26
    Ayat (1) Kepala Desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Ayat (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang: a.        Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. b.       Mengangkat dan memberhentikan Kepala Desa. c.        Memegang kekuasaaan pengelolaan keuangan dan aset desa. d.       Menetapkan peraturan desa. e.        Menetapkan anggaran dan pendapatan belanja desa. f.         Membina kehidupan masyarakat desa g.        Membina ketentramana dan ketertiban masyarakat desa h.       Membina dan meningkatkan perekonimian desa serta mengintegrasikannya agar mencapai skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran desa. i.          Mengembangkan sumber pendapatan desa. j.          Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. k.        Mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat desa. l.          Memanfaatkan teknologi tepat guna. m.     Mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif. n.       Mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; o.       Melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Ayat (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak: a.        Mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa. b.       Mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa; c.        Menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan. d.       Mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan e.        Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat desa.
    Penjelasan
    Semua cukup Jelas kecuali Huruf c. Jaminan kesehatan yang diberikan kepada Kepala Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban: a.        Memegang teguh mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. b.        Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; c.         Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa; d.        Menaati dan menegaskkan peraturan perundang-undangan; e.         Melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender; f.          Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme; g.         Menjalin kerjasama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di desa; h.        Menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik; i.           Mengelola keuangan dan aset desa; j.           Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa; k.         Menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa; l.           Mengembangkan perekonomian masyarakat desa; m.      Membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat desa; n.        Memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa; o.        Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan memberikan informasi kepada masyarakat Desa; dan p.        Memberikan informasi kepada masyarakat desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pembahasan di DPR

    Pembahasan tentang Kepala Desa masuk di dalam rumusan Naskah Akademik RUU Desa. Disebutkan dalam Naskah Akademik, desa menjadi arena politik terdekat bagi relasi antara masyarakat dengan perangkat desa yang menjadi pemegang kekuasaan. Karena desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka Kepala Desa merupakan personifikasi dan representasi pemerintah desa. Tugas penting pemerintah desa adalah memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga.

    Di dalam DIM (Oktober 2012), pengaturan Kepala Desa masuk dalam Bagian Pemerintahan Desa, terdiri dari 19 Pasal (Pasal 22-40). Pengaturan tentang pemilihan Kepala Desa, pemberhentian Kepala Desa, BPD, dan Musyawarah Desa diatur dalam Bab tersendiri. Akan tetapi dalam UU Desa, pengaturan Pemerintahan Desa menjadi 42 pasal yang menggabungkan pengaturan tentang pemilihan Kepala Desa, pemberhentian Kepala Desa, BPD, dan Musyawarah Desa dalam satu bab, yaitu Bab V Penyelenggaraan Pemerintah Desa.

    Dalam proses pembahasan RUU di DPR, rumusan tentang Kepala Desa tidak banyak mengalami perubahan. Perubahan hanya berkisar pada penggantian istilah, perubahan nomor pasal, dan ada sedikit usulan penambahan pasal. Tidak ada perdebatan yang cukup signifikan dalam pembahasan Kepala Desa oleh fraksi-fraksi. Hanya ada beberapa point saja yang menjadi perdebatan, yaitu:

    a. Wewenang Kepala Desa mengangkat dan memberhentikan perangkat desa (pasal 26 ayat (2) huruf c). Dalam rumusan RUU, mengangkat dan memberhentikan perangkat desa menjadi hak Kepala Desa, bukan wewenang Kepala Desa. Akan tetapi, dalam UU ini hak Kepala Desa hanya mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa kepada Camat. Perdebatan masalah ini ada pada apakah pemberhentian dan pengangkatan perangkat desa harus disampaikan kepada Camat?. Sebagian besar fraksi setuju, tetapi Fraksi FPP menyatakan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa haruslah menjadi hak mutlak dari seorang Kepala Desa, agar Kepala Desa dapat memilih perangkat desa yang berkompeten dan mampu bekerjasama. Meskipun sebetulnya hal ini tidak bisa dilepaskan dengan kemungkinan adanya nepotisme dalam pengangkatan perangkat desa. Fraksi FPD mengusulkan perlunya dasar hukum yang dipegang oleh Kepala Desa ketika ia memberhentikan perangkat desa. Hal ini untuk menghindari kesewenang-wenangan Kepala Desa, misalnya hanya karena persoalan perbedaan pendapat.

    Dalam RDPU yang digelar pada tanggal 10 Oktober 2012, H Anwar Maksum dari Forum Wali Nagari Sumatera Barat (Forwana Sumbar) memberikan pandangannya bahwa kewenangan Kepala Desa dalam mengangkat dan memberhentikan perangkat desa telah diamputasi oleh RUU desa. Hal ini jelas bertentangan dengan kedudukan desa sebagai self company community yang diakui oleh RUU ini. Oleh karena itu, Forwana merekomendasikan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa menjadi kewenangannya Kepala Desa, bukan kewenangan Camat berdasarkan usulan Kepala Desa. Untuk menghindari kesewenang-wenangan Kepala Desa, maka perlu diatur tata cara pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa melalui PP.

    b. Wewenang Kepala Desa dalam menetapkan Perdes (pasal 26 ayat (2) huruf d). Di dalam RUU salah satu kewenangan Kepala Desa adalah menetapkan Peraturan Desa setelah dimusyawarahkan bersama dengan BPD. Fraksi FPD dan FPPP mengusulkan penetapan Perdes oleh Kepala Desa dilakukan setelah dimusyawarahkan dan disepakati bersama dengan BPD. Alasannya bahwa BPD merupakan representasi masyarakat desa, maka kebijakan dan keputusan Kepala Desa harus mendapat persetujuan BPD. Dalam UU Desa, usulan ini tidak masuk. Akan tetapi pasal 55, menyebutkan salah satu fungsi BPD adalah membahas dan menyepakati rancangan Perdes bersama Kepala Desa.

    Pada rapat kerja Pansus tanggal 11 Desember 2013, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memberikan pandangannya di dalam Pendapat Mini DPD terhadap RUU Desa mengenai perlunya pengaturan yang memberi kewenangan kepada lembaga kemasyarakatan untuk menyelesaikan pertikaian antar warga. Kewenangan komunitas tersebut berbeda dengan berbagai kewenangan pembinaan ketertiban dan ketenteraman oleh Desa atau kewenangan penyelesaian sengketa masyarakat oleh Kepala Desa yang merupakan perangkat birokrasi. Hal ini dimaksudkan agar permasalahan pelanggaran hukum ringan yang melibatkan warga dapat diselesaikan di level komunitas.

     

    Tanggapan

    Kepala Desa merupakan representasi pemerintah desa. Ia menjadi aktor penting dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, tugas, wewenang dan tanggungjawab Kepala Desa diatur secara detail dalam UU Desa. Semangat UU Desa menempatkan Kepala Desa bukan kepanjangan tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat. Kepala Desa harus mengakar dengan masyarakat, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Tugas Kepala Desa bukan sekadar menyelenggarakan pemerintahan desa, tetapi ia juga melakukan pemberdayaan kepada masyarakat desa.

    Dilihat dari konstruksi gabungan pemerintahan desa, sebagaimana disebut dalam Penjelasan Umum UU Desa, Kepala Desa menempati posisi sentral. Namun posisi sentral ini bukan tanpa tantangan jika dihubungkan dengan tugas, hak dan kewenangan yang dimilikinya. Misalnya, jika terjadi benturan kepentingan antara masyarakat desa dengan pemerintah kabupaten/kota, bagaimana Kepala Desa menempatkan posisi yang ideal? Apakah ia lebih memihak masyarakat desa atau sebaliknya?

    Tugas Kepala Desa dalam UU Desa diatur dalam pasal 26 ayat (1) disebutkan: “Kepala Desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa”.

    UU Desa ingin membedakan antara tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab Kepala Desa. Karena itu, dalam UU Desa pengaturan mengenai tugas, wewenang, hak, dan kewajiban Kepala Desa diatur secara detail. Hal ini berbeda dengan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang menggabungkan tugas dan kewajiban Kepala Desa diatur dalam satu pasal (pasal 101). Di UU No. 22/1999, terdapat 6 tugas dan kewajiban Kepala Desa, yaitu: 1) memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa; 2) membina kehidupan masyarakat desa; 3) membina perekonomian desa; 4) memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa; 5) mendamaikan perselisihan masyarakat di desa; dan 6) mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya. Beberapa tugas Kepala Desa yang ada dalam UU No. 22/1999 menjadi kewenangan Kepala Desa dalam UU Desa.

    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 22/1999 tidak mengatur secara detail mengenai pengaturan tentang Kepala Desa Pasal 208 menyebutkan: “Tugas dan kewajiban Kepala Desa dalam memimpin penyelenggaraan pemerintah desa diatur lebih lanjut dengan Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Tetapi, pengaturan lebih jauh tentang tugas dan kewajiban Kepala Desa dapat dilihat dalam PP No. 72/2005 tentang Desa.

    Wewenang Kepala Desa yang ada dalam UU Desa (pasal 26 ayat 2) dapat dibagi dalam empat fungsi, yaitu:

    1. Fungsi pemerintahan, meliputi: (i) memimpin penyelenggaraan pemerintahan Desa; (ii) mengangkat dan memberhentikan perangkat desa; (iii) memegang kekuasaaan pengelolaan keuangan dan aset desa; (iv) pemanfaatan teknologi tepat guna; dan (v) mengkordinasikan pembangunan desa secara partisipatif. Dua kewenangan terakhir ini sebetulnya menjadi cara Kepala Desa dalam penyelenggaraan pembangunan desa yang harus dilakukan secara partisipatif dan memanfaatkan teknologi tepat guna.
    2. Fungsi regulasi, meliputi (i) menetapkan APB Desa; dan (ii) menetapkan Perdes. Dalam melaksanakan kedua wewenang ini, Kepala Desa tidak bisa menetapkan sendiri APB Desa dan Perdes. Pembahasan dan penetapan Perdes dilakukan bersama dengan BPD (pasal 55 dan 69 UU Desa).
    3. Fungsi ekonomi, meliputi: (i) mengembangkan sumber pendapatan Desa; dan (ii) mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
    4. Fungsi sosial, meliputi: (i) membina kehidupan masyarakat Desa; (ii) mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa; dan (iii) membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa.

    Belasan kewenangan Kepala Desa dalam pasal 26 ayat (2) telah mendukung visi UU Desa yang ingin menciptakan desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi, ini sangat tergantung dari kinerja Kepala Desa itu sendiri. Sejauhmana ia dapat menggerakkan, memotivasi, berkomunikasi, merencanakan, dan melaksanakan pembangunan yang ada di lingkungannya. Oleh karena itu, kapasitas menjadi penting dimiliki oleh seorang Kepala Desa. Sayangnya, kapasitas Kepala Desa maupun perangkat desa tidak menjadi perhatian UU ini. Pasal 26 ayat (3) tentang hak Kepala Desa disebutkan: “dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak: a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa; b. Mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa; c. Menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan; d. Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat desa.

    Dalam klausul di atas tidak disebutkan bahwa peningkatan kapasitas menjadi bagian dari hak Kepala Desa. Padahal dalam rumusan Naskah Akademik RUU Desa, kapasitas perangkat desa menjadi salah permasalahan dari penyelenggaraan pemerintahan Desa. Selama ini Kepala Desa dan perangkat Desa tidak mendapatkan pendidikan dan latihan yang sistematis dan berkelanjutan seperti halnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pejabat yang lain. Tidak diaturnya peningkatan kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa, dapat menjadi hambatan untuk kinerja pemerintahan desa, karena rendahnya kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa.

    Mengenai kapasitas ini, Pasal 112 UU Desa memberikan tugas kepada Pemerintah, pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat desa antara lain dengan meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.

    Sutoro Eko (2013) membagi lima bentuk kapasitas Desa (termasuk di dalamnya Kepala Desa) yang perlu dikembangkan dalam rangka membangun otonomi desa. Pertama, kapasitas regulasi (mengatur), yaitu kemampuan pemerintah desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan Perdes berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Kedua, kapasitas ekstraksi, yaitu kemampuan mengumpulkan, mengerahkan, dan mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintah dan warga masyarakat desa. Ketiga, kapasitas distributif, yaitu kemampuan pemerintah desa membagi sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Keempat, kapasitas responsif, yaitu kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan. Kelima, kapasitas jaringan dan kerjasama, yaitu kemampuan mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraksi.

    2.2. Kewajiban dan Larangan Kepala Desa

    Dalam melaksanakan tugasnya pada pasal 26 ayat (1), yaitu menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, Kepala Desa mempunyai wewenang, hak, dan kewajiban, yang diatur pula dalam pasal 26, yaitu kewenangan diatur pada ayat (2); hak-hak yang timbul diatur pada ayat (3); dan kewajiban diatur pada ayat (4).

    Tampaknya pembentuk UU Desa membedakan antara kewajiban kepala desa dalam konteks khusus, yaitu menjalankan tugas yang diatur pasal 26 ayat (1) dan kewajiban dalam konteks melaksanakan tugas, kewenangan dan kewajiban secara umum. Karena itu, kepala desa selain memiliki kewajiban seperti yang diatur dalam pasal 26 ayat (4), juga memiliki kewajiban lain dan sanksinya yang diatur dalam pasal 27 dan pasal 28 berikut.

    Pasal 27
    Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib: a.         Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota b.        Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada Bupati/Walikota. c.         Memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan d.         Memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat desa setiap akhir tahun anggaran.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 28
    Ayat (1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (4) dan pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. Ayat (2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Sebagai kepala pemerintahan desa, Kepala Desa juga dibebani sejumlah larangan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 29 UU Desa berikut:

    Pasal 29
    Kepala Desa dilarang: a.       Merugikan kepentingan umum b.      Membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu. c.       Menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya. d.      Melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu; e.       Melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa; f.        Melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/ataujasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g.       Menjadi pengurus partai politik; h.      Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;

    i.         Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;

    j.         Ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah. k.       Melanggar sumpah/janji jabatan; dan l.         Meninggalkan tugas selama 30 hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pembahasan di DPR

    Dalam pembahasan pasal ini, terdapat beberapa poin saja yang menjadi perdebatan terkait kewajiban dan larangan yaitu:

    a. Pertanggungjawaban Kepala Desa (Pasal 27 UU Desa). Dalam RUU tidak disebutkan kepada siapa penyampaian laporan tahunan dan laporan akhir masa jabatan penyelenggaraan pemerintah desa disampaikan (pasal 24 ayat (3) huruf o). FPKB mengusulkan laporan disampaikan kepada masyarakat melalui BPD.

    Penyampaian dilakukan melalui musyawarah desa dan media komunikasi. FPHanura mengusulkan disampaikan kepada rakyat dan BPD. Di dalam DIM, ada usulan penyampaian laporan penyelenggaraan pemerintahan desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat 1 kali dalam setahun.

    Dalam Rapat Kerja Pansus tanggal 11 Desember 2013, Fraksi PPP melalui juru bicaranya AW. Thalib berpendapat, Kepala Desa diberikan kewenangan yang sangat luas dalam memimpin Desa. Dengan kewenangan yang sangat luas ini, maka ada kewajiban Kepala Desa untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan kepada bupati/walikota. Ini merupakan mekanisme yang akan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

    b. Larangan bagi Kepala Desa (pasal 29). Semua Fraksi menyetujui semua larangan bagi Kepala Desa yang ada di dalam rumusan RUU. Penolakan larangan bagi Kepala Desa, terutama larangan terlibat dalam kampanye Pemilu dan Pilkada, serta larangan menjadi pengurus partai politik, justru datang dari Kepala Desa. Hal ini dapat dilihat pada saat proses pembahasan RUU oleh Pansus ketika mereka melakukan audiensi RUU Desa tanggal 16 Mei 2012. Kepala Desa Nyerat, Sahim SP mengkritisi larangan Kepala Desa terlibat dalam kampanye Pemilu. Menurutnya, warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk ikut serta dalam Pemilu, yang mungkin dilarang adalah menjadi juru kampanye.

    Pendapat ini kemudian dijawab oleh Totok Daryanto (Ketua Pansus RUU Pemda) di forum yang sama. Menurut Totok, dalam UU Pemilu yang baru disahkan, Kepala Desa dilarang untuk terlibat dalam kampanye partai politik dan dilarang menjadi pengurus partai. Pertimbangan Pansus saat pembahasan RUU Pemda, bahwa Kepala Desa memiliki kedudukan yang lebih strategis dalam membangun demokrasi di Indonesia, sehingga perlu dijamin netralitasnya.

    Sebaliknya, PPP masih mempertanyakan rasio di balik larangan bagi Kepala Desa untuk ikut kampanye pemilu. Anggota Fraksi PPP, A.W. Thalib menyatakan:

    “Rancangan Undang-Undang ini telah lebih memerinci tugas, wewenang, hak, kewajiban, larangan, pemberhentian dan rehabilitasi Kepala Desa. Namun F-PPP tidak bisa memahami klausul mengenai larangan bagi Kepala Desa untuk ikut serta di dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden dan juga pemilihan kepala daerah. Juga untuk menjadi pengurus partai politik atau pengurus partai politik lokal. Kami berpendapat larangan ini telah melanggar hak-hak politik warga negara, karena ketentuan ini sangat diskriminatif, hanya diperuntukkan bagi Kepala Desa, tetapi tidak berlaku bagi presiden, gubernur, bupati ataupun walikota”.

     Tanggapan

    • Akuntabilitas Kepala Desa

    Pola pertanggungjawaban Kepala Desa dalam UU Desa kembali ke rezim UU No. 22/1999, yaitu langsung kepada Bupati, tidak melalui Camat. Dalam UU No. 22/1999 pasal 102 disebutkan Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD (Badan Perwakilan Desa)[4] dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Undang-Undang Pemda ini telah memberikan keleluasaaan kepada desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki pemerintahan sendiri. Pola pertanggungjawaban Kepala Desa bukan kepada Camat sebagai institusi yang berada di atasnya, dan hubungan kerja antara Camat dengan Kepala Desa bukan bersifat subordinasi.

    Hal ini berbeda dengan UU No. 32/2004, yang menggunakan statemen yang lebih halus yang menempatkan Camat dalam pola hubungan kerja dengan Kepala Desa. Dalam penjelasan umumnya disebutkan “Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat. Kepada BPD, Kepala Desa wajib menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertangungjawaban dimaksud”.

    Klausul di atas menegaskan bahwa akuntabilitas Kepala Desa yang diatur dalam UU No. 32/2004 bukan kepada rakyat, tetapi kepada Bupati/Walikota melalui Camat sebagai atasan. Dalam Naskah Akademik (NA) RUU Desa, bentuk akuntabilitas Kepala Desa yang ada dalam UU No. 32/2004 ini disebut sebagai pemindahan akuntabilitas “ke bawah” menjadi “ke atas” atau resentralisasi. Padahal dalam sebuah demokrasi, akuntabilitas pejabat politik seharusnya disampaikan kepada konstituen pemilihnya, karena Kepala Desa dipilih langsung oleh masyarakatnya.

    Undang-Undang Desa mengembalikan relasi Kepala Desa dengan Camat tidak lagi bersifat subordinasi, dimana pertanggungjawaban Kepala Desa langsung kepada Bupati/Walikota tidak melalui Camat. Dalam UU ini, akuntabilitas Kepala Desa diatur khusus di dalam pasal 27 dan 28. Pasal ini ingin menegaskan pentingnya akuntabilitas Kepala Desa sebagai penyelenggara pemerintahan, dan memberikan sanksi apabila Kepala Desa tidak melakukannya. Sanksi yang diberikan pun cukup tegas, yakni memberikan teguran sampai pemberhentian jabatan.

    Bentuk akuntabilitas dalam UU Desa ini mengatur kewajiban Kepala Desa menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, BPD, dan masyarakat desa sebagai konstituennya. Terdapat 2 jenis laporan yang harus disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati, yaitu (1) laporan penyelenggaraan pemerintah desa setiap akhir tahun anggaran; dan (2) laporan penyelenggaraan pemerintahan desa pada akhir masa jabatan. Selain itu, terdapat laporan yang harus disampaikan kepada BPD berupa laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan yang harus disampaikan setiap tahun (pada akhir tahun anggaran). Sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepala Desa kepada rakyat yang telah memilihnya, Kepala Desa juga menginformasikan penyelenggaraan pemerintahan desa melalui media yang mudah diakses oleh warga. Adanya pertanggungjawaban Kepala Desa kepada BPD (sebagai perwakilan rakyat) menunjukkan adanya hubungan check and balances antara Kepala Desa dengan BPD. Undang-Undang Desa hanya mengatur akuntabilitas yang sifatnya administratif. Karena itu, perlu dibuat mekanisme penyampaian laporan yang bukan sekadar formalitas.

    Akuntabilitas yang diwujudkan dalam bentuk laporan, menurut Sutoro Eko (2013) disebut sebagai pengertian akuntabilitas setelah tindakan, atau akuntabilitas ex post facto (J.M. Moncrieffe, 2011). Menurut Eko, akuntabilitas seperti ini sangat dominan digunakan di Indonesia dengan bentuk yang konkrit berupa LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban), dan LIPJ (Laporan Informasi Pertanggungjawaban) yang disampaikan oleh kepala daerah kepada publik/rakyat. Akuntabilitas seperti ini (setelah tindakan) lemah dari dua sisi. Pertama, dari sisi mekanisme dan waktu. Akuntabilitas hanya dilakukan setelah tindakan (ex post), atau sekadar memberikan jawaban. Kedua, Kepala Daerah (dalam hal ini Kepala Desa) dipilih oleh rakyat, tapi pertanggungjawabannya diberikan ke atas (Bupati).

    P. Schimitter (2004) membagi akuntabilitas dalam tiga dimensi waktu: sebelum (before), selama (during), dan sesudah (after). Akuntabilitas “sebelum” dan “selama” itu mempunyai kaitan langsung dengan representasi. Idealnya, partisipasi warga dilakukan dalam tiga dimensi waktu ini. Warga melakukan partisipasi sebelum kebijakan, menaruh perhatian terhadap proses penyusunan kebijakan, dan berkewajiban menjalankan kebijakan. Selama ini, partisipasi warga di level desa baru sebatas keterlibatan mereka dalam Musrenbang Desa. Itupun kadang hanya formalitas. Undang-Undang Desa telah menjamin partisipasi warga yang diatur dalam pasal 68 (pembahasan lebih lanjut tentang hal ini dibahas dalam Bab III).

    •  Larangan bagi Kepala Desa

    Larangan bagi Kepala Desa tidak diatur dalam UU No. 22/1999. Sementara itu, UU No. 32/2004 mengatur tapi tidak menjabarkan secara detail mengenai aturan larangan bagi Kepala Desa. Aturan mengenai hal ini dijabarkan dalam PP No. 72/2005. Sementara, UU Desa melarang Kepala Desa meninggalkan tugas selama 30 hari berturut-turut tanpa ada alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Aturan tentang hal ini tidak diatur dalam peraturan sebelumnya. Aturan ini menegaskan bahwa integritas dan akuntabilitas Kepala Desa menjadi sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintah desa.

    Kepala Desa dipilih langsung oleh rakyat Desa tidak berbasiskan partai politik. Oleh karena itu, Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan terlibat dalam kampanye Pemilu dan Pilkada. Undang-Undang Desa ini memosisikan Kepala Desa sebagai aktor demokrasi yang sangat strategis di level Desa, karena itu Kepala Desa perlu dijamin netralitasnya. Hal ini selaras dengan UU No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang menyebutkan bahwa dalam kampanye calon dilarang melibatkan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan (pasal 70 ayat (1) huruf c).

    2.3. Pemilihan Kepala Desa

    Berdasarkan konstruksi UU Desa, Kepala Desa dipilih dalam pemilihan, bukan ditunjuk oleh pejabat tertentu, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 31-39. Proses pemilihan itu dapat dipilah berdasarkan tahapan: sebelum pemilihan, saat pemilihan, dan setelah pemilihan. Juga pembahasan mengenai asas-asas atau prinsip pemilihan.

    Sub tema ini, akan menjelaskan pasal yang berkaitan dengan tahapan pemilihan Kepala Desa sebagaimana disebutkan diatas.

    a. Prinsip dan Sifat Pemilihan

    Pasal 31 dan Pasal 34 UU Desa telah mengatur secara tegas prinsip pemilihan Kepala Desa. Pertama, pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota. Kebijakan pemilihan Kepala Desa serentak ini ditetapkan dalam Perda. Kedua, Kepala Desa dipilih secara langsung oleh penduduk desa. Ketiga, pemilihan dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Rumusan mengenai prinsip-prinsip dan sifat pemilihan Kepala Desa adalah berikut:

    Pasal 31
    (1)         Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. (2)         Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (3)         Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 32
    Ayat (1) Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
    Penjelasan
    Pemberitahuan BPD kepala Kepala Desa tentang akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota
      Ayat (2) Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa. Ayat (3) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak memihak.
    Penjelasan
    Cukup jelas
      Ayat (4) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat desa.
    Penjelasan
    Yang dimaksud dengan tokoh masyarakat adalah tokoh keagamaan, tokoh adat, tokoh pendidikan, dan tokoh masyarakat lainnya.
    Pasal 33
    Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan: a.         Warga negara republik indonesia b.        Bertakwa kepada tuhan yang maha esa. c.         Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika; d.        Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; e.         Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar; f.          Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa; g.         Terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; h.        Tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara; i.           Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang; j.           Tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; k.         Berbadan sehat l.           Tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan m.      Syarat lain yang diatur dalam Peraturan Perda.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 34
    Ayat (1) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa; Ayat (2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; Ayat (3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan; Ayat (4) Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa. Ayat (5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas
      Ayat (6) Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
    Penjelasan
    Biaya pemilihan Kepala Desa yang dibebankan pada ABPD Kabupaten/Kota adalah untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan peralatan lainnya, honorarium panitia, dan biaya pelantikan.
    Pasal 35
    Penduduk desa sebagaimana dalam pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan suara pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai pemilih.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 36
    Ayat (1) Bakal calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan Kepala Desa; Ayat (2) Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat desa di tempat umum sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa. Ayat (3) Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    b. Pra-pemilihan

    Ada proses yang harus dilalui sebelum penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa dan melibatkan para pemangku kepentingan. Proses itu antara lain adalah:

    • Pemberitahuan akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa (pasal 32 ayat 1).
    • Pembentukan Panitia Pemilihan Kepala Desa (pasal 32 ayat 2 jo pasal 34 ayat 4).
    • Penjaringan calon oleh Panitia Pemilihan (pasal 34 ayat 5).
    • Penetapan balon Kepala Desa sebagai calon oleh panitia pemilihan, dan pengumumannya kepada masyarakat (pasal 36 ayat 1 dan 2).
    • Peluang masa kampanye bagi calon yang sudah ditetapkan (Pasal 36 ayat 3)

    c. Pemilihan

    Undang-Undang Desa menetapkan bahwa setiap penduduk yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah berhak untuk memilih pada hari H pemilihan Kepala Desa. Setiap penduduk yang mempunyai hak memilih datang sendiri ke tempat pemungutan suara dan menentukan pilihannya tanpa paksaan. Mekanisme pemilihan serentak tersebut masih akan ditetapkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah, sebagaimana disinggung pasal 31 ayat (3) berikut:

    Pasal 31
    Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
    Penjelasan
    Cukup jelas

     d. Pasca Pemilihan

    Ketentuan-ketentuan mengenai pascapemilihan Kepala Desa dituangkan dalam pasal 37-39. Pasal 37 lebih menekankan pada penentuan siapa yang terpilih dan mekanisme penyelesaian sengketa; pasal 38 mengatur tentang pelantikan; dan pasal 39 mengatur masa jabatan Kepala Desa. Rumusan lengkapnya sebagai berikut:

    Pasal 37
    Ayat (1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.
    Ayat (2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
    Ayat (3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada badan permusyawaratan desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    Ayat (4) Badan permusyawaratan desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
    Ayat (5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kepada desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk surat keputusan Bupati/Walikota.
    Ayat (6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
    Penjelasan ayat (1 – 6)
    Cukup Jelas
    Pasal 38
    Ayat (1) Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota.
    Ayat (2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji.
    Ayat (3) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
    Penjelasan ayat (1– 3)
    Cukup Jelas
    Pasal 39
    Ayat (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
    Penjelasan
    Yang dimaksud dengan terhitung sejak tanggal pelantikan adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa, maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun
    Ayat (2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
    Penjelasan
    Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan.

    Pembahasan di DPR

    Dalam DIM (Oktober 2012), Pemilihan Kepala Desa diatur sendiri dalam satu bab yang terdiri dari 5 pasal. Jumlah pasal bertambah menjadi 9 pasal berkat perdebatan fraksi-fraksi dengan beberapa usulan signifikan. Dalam UU Desa pengaturan tentang Pemilihan Kepala Desa menjadi bagian dari Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang diatur dalam pasal 31-39.

    Rumusan dalam RUU mengalami beberapa perubahan, terutama pengaturan tentang pemilihan Kepala Desa yang dilakukan secara serentak, biaya pemilihan Kepala Desa, dan masa jabatan Kepala Desa. Perubahan ini pula yang menjadi perdebatan fraksi-fraksi pada saat pembahasan. Berikut adalah point-point perubahan penting dalam pembahasan pemilihan Kepala Desa:

    1. Pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak (pasal 31 UU Desa). Di dalam RUU, tidak ada klausul mengenai pemilihan Kepala Desa secara serentak. Ini kemungkinan dipengaruhi kebijakan pilkada serentak, mengingat pembahasan RUU Desa dilakukan bersamaan dengan RUU Pemda dan RUU Pilkada.
    2. Biaya pemilihan Kepala Desa (pasal 34 ayat 6 UU Desa). Sebagian besar Fraksi setuju dengan draft RUU bahwa biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada APBDes. Akan tetapi FPPP mengusulkan biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada APBD, meliputi pengadaan surat suara, kotak suara, dan sarana dan prasarana pemilihan.
    3. Masa jabatan Kepala Desa (pasal 39 UU Desa). Dalam rumusan RUU, masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan. Dalam rumusan DIM, FPDIP, FPAN, dan Gerindra setuju dengan usulan RUU. FPD dan FPG mengusulkan masa jabatan Kepala Desa adalah 10 tahun dan dapat dipilih kembali 1 kali masa jabatan. Alasan FPD dan FPG mengusulkan 10 tahun untuk mempermudah proses di level perencanaan terutama dalam penyusunan RPJM (5 tahun). Dengan pembatasan hanya bisa dipilih kembali satu periode memberi ruang bagi regenarasi kepemimpinan, dan disaat yang sama Kepala Desa terpilih juga memiliki cukup waktu untuk merealisasikan program-program yang direncanakan. FPG berpendapat, usulan 10 tahun lebih untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat.

    Fraksi PPP mengusulkan jabatan Kepala Desa adalah 8 tahun dan dapat dipilih kembali hanya 1 kali masa jabatan. Lain lagi dengan Fraksi Partai Hanura yang mengusulkan jabatan Kepala Desa merujuk pada periodisasi jabatan politik pimpinan wilayah dari presiden sampai Bupati dan walikota, yakni 5 tahun.

    Dalam pendapat akhir mini tanggal 11 Desember 2011, Fraksi PKS memberikan pandangannya sebagai berikut:

    “Pasal 39 ayat 1 dan 2, tentang masa jabatan Kepala Desa kami mengusulkan perubahan sebagai berikut:

    • Kepala Desa memegang jabatan selama 8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. (2) Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 2 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.”.

    Ketua Pansus RUU Desa Budiman Sudjatmiko pada Rapat Kerja IV tanggal 11 Desember 2013, menyampaikan pandangan atau keputusan Pansus sebagai berikut:

    “Adapun mengenai jabatan Kepala Desa, yang tercantum di dalam Pasal 39, awalnya terdapat 2 alternatif rumusan, yaitu pasal 39 ayat (1), Kepala Desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Ayat (2), Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Adapun alternatif kedua adalah, Pasal 39 a. Kepala Desa memegang jabatan selama 8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Ayat (2), Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 2 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Pada akhirnya, tadi dicapai kesepahaman bahwa Pasal 39 itu memilih alternatif pertama”.

    Akhirnya dalam rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2013, keputusan masa jabatan Kepala Desa diputuskan menjadi 6 tahun dan dapat dipilih kembali selama 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Akhmad Muqowam:

    “....Kepala Desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, Kepala Desa dapat menjabat 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut”. Sementara itu, Fraksi PKB dalam rapat paripurna melalui juru bicaranya Abdul Kadir Karding memberikan catatan, PKB mengusulkan masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun. “....Kita setuju (disahkan), dengan harapan kesejahteraan segera tercapai. Namun Fraksi PKB perlu beri catatan, PKB mengusulkan agar masa jabatan kades 2 kali selama 8 tahun. Artinya, setiap kali 8 tahun,".

    Perdebatan mengenai masa jabatan Kepala Desa menyita perhatian para anggota Dewan, tetapi pada akhirnya yang disepakati adalah rumusan Pasal 39.

    Tanggapan

    Pemilihan Kepala Desa secara langsung dipilih oleh rakyat atau biasa disebut sebagai Pilkades, telah berlangsung sebelum adanya Pemilihan Kepala Daerah langsung. Aturan Pilkades bahkan telah diatur pada masa orde baru melalui UU No. 5/1979.

    Undang-Undang Desa mengatur pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak di kabupaten/kota dengan biaya yang dibebankan kepada APBD (Pasal 31). Di dalam Penjelasan Umum UU ini, dijelaskan bahwa pemilihan Kepala Desa secara serentak mempertimbangkan jumlah desa dan kemampuan biaya pemilihan yang dibebankan pada APBD kabupaten/kota sehingga dimungkinkan pelaksanaannya secara bergelombang. Sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan ini, maka akan ada Kepala Desa yang berhenti dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan. Oleh karena itu, dalam UU ini diatur mengenai pengisian jabatan Kepala Desa selama menunggu proses Pilkades diselenggarakan dan terpilihnya Kepala Desa yang baru.

    Terkait dengan biaya Pilkades, dalam UU No. 32/2004 tidak diatur mengenai biaya perhelatan Pilkades. Pengaturan biaya Pilkades diserahkan kepada daerah yang diatur melalui Perda. Pada prakteknya, ada daerah-daerah yang membebankan biaya Pilkades kepada para calon Kepala Desa, seperti yang terjadi di desa Curug Wetan, Kabupaten Tangerang. Biaya yang dibebankan ini meliputi semua tahapan Pilkades sampai pengadaan seragam panitia pemilihan. Tentu saja ini membebankan para calon Kepala Desa. Akibatnya, setiap perhelatan Pilkades tidak banyak warga yang mau mencalonkan diri sebagai Kepala Desa.

    Persyaratan untuk menjadi Kepala Desa diatur dalam Pasal 33 UU Desa. Salah satu persyaratan untuk menjadi Kepala Desa berpendidikan paling rendah sekolah menengah pertama. Persyaratan ini tidak berubah sejak zaman UU No. 5/1979. Padahal dalam RUU Desa, persyaratan untuk menjadi Kepala Desa diusulkan berpendidikan paling rendah sekolah menengah atas atau sederajat. Undang-Undang Desa tidak memberikan batasan usia bagi calon Kepala Desa.

    Pengaturan tentang masa jabatan Kepala Desa mengalami perubahan sesuai dengan rezim undang-undang yang berlaku. Undang-Undang No. 22/1999 mengatur masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun. Aturan ini tidak berubah dari rezim UU sebelumnya (UU No. 5/1979). Undang-Undang No. 32/2004 mengurangi masa jabatan Kepala Desa menjadi 6 tahun dan hanya dapat menjabat 1 kali masa jabatan berikutnya. Undang-Undang Desa kemudian memberikan kesempatan lebih lama kepada Kepala Desa untuk menjabat. Dalam UU ini disebutkan jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun dan dapat menjabat kembali paling banyak tiga kali masa jabatan berturut-turut atau tidak secara berturut-turut (Pasal 39 UU Desa).

    • Legitimasi Kepala Desa

    Kepala Desa memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat karena ia dipilih langsung oleh rakyat desa. Menurut Sutoro Eko (2013), legitimasi merupakan dimensi paling dasar dalam kepemimpinan Kepala Desa. Seorang Kepala Desa yang tidak legitimate, maka ia akan sulit mengambil keputusan fundamental. Kepala Desa akan mendapatkan legitimasi yang kuat apabila ia ditopang dengan modal politik yang kuat, yang berbasis pada modal sosial, bukan politik uang. Ongkos transaksi ekonomi pada saat Pilkades akan sangat rendah jika seorang calon Kepala Desa memilki modal sosial yang kaya dan kuat. Sebaliknya, transaksi ekonomi akan sangat tinggi untuk meraih kemenangan jika calon Kepala Desa tidak memiliki modal sosial yang kuat, menggunakan politik uang. Kepala Desa yang menang karena politik uang akan melemahkan legitimasinya. Sebaliknya Kepala Desa yang kaya modal sosial tanpa politik uang, maka akan memperkuat legitimasinya.

    Legitimasi yang kuat dari hasil modal sosial yang kuat pula, akan memunculkan kepemimpinanan Kepala Desa yang inovatif dan progresif. Ia akan mampu bekerja dengan mengedepankan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Transparansi dimaknai sebagai dibukanya akses informasi bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, pelayanan, dan keuangan desa. Transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai, disediakan untuk dipahami, dan dapat dipantau oleh masyarakat. Partisipasi dimaknai sebagai pelibatan warga dalam seluruh proses pengambilan keputusan, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Sedangkan akuntabilitas berarti Kepala Desa dapat mengemban amanah dengan baik, dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya, dan tidak melakukan penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat desa.

    Kepala Desa yang inovatif dan progresif dalam menjalankan roda pemerintahannya, akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari warga. Ketika ia akan mencalonkan kembali, ia telah memiliki modal sosial yang kaya dan kuat, sehingga akan mudah baginya untuk mendapatkan kembali jabatan sebagai Kepala Desa pada saat Pilkades berikutnya. Namun, mendapatkan posisi bagus di hadapan masyarakat tak menjamin Kepala Desa bisa bertakhta dengan baik selamanya. Misalnya, ketika ada konflik kepentingan tentang pembangunan antara masyarakat desa yang dipimpin Kepala Desa dengan Bupati/Walikota. Dalam hal ini Kepala Desa harus benar-benar bisa menempatkan dirinya dengan baik karena legitimasi Kepala Desa tak hanya dari penduduk desa melalui pemilihan langsung (vide Pasal 34 ayat 1), tetapi juga dari Bupati yang mengesahkan Kepala Desa terpilih (vide Pasal 37 ayat 5 UU Desa). Apalagi jika perselisihan, posisi Bupati sangat sentral. Untuk meminimalisasi peluang konflik karena pemilihan, pemerintah daerah kabupaten/kota diberi ruang untuk ‘menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa’ (vide Pasal 31 ayat 2 UU Desa).

    Salah satu isu krusial dalam pemilihan Kepala Desa adalah mekanisme penyelesaian perselisihan. Seperti halnya pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan kepala daerah pun potensial menimbulkan perselisihan antarcalon. Undang-Undang Desa tampaknya tak memasukkan pemilihan Kepala Desa baik ke dalam rezim pemilu maupun rezim pilkada, sehingga proses penyelesaiannya dibuat sesederhana mungkin. Pasal 37 ayat (6) hanya menyebutkan “Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5)”. Berarti paling lama 30 hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa (Pasal 37 ayat (5). Pertanyaan yang mesti dijawab, apakah mekanisme penyelesaian perselisihan itu menggunakan forum ajudikasi sebagaimana layaknya sengketa pemilu/pilkada, atau hanya melalui mediasi, atau malah sepenuhnya ditentukan oleh Bupati/Walikota tanpa perlu memanggil para pihak. Jika merujuk pada Pasal 37 ayat (5), pengesahan Kepala Desa terpilih dituangkan dalam SK Bupati/Walikota, sehingga proses penyelesaian hukumnya bisa bermuara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

    2.4. Pemberhentian Kepala Desa

    Kepala Desa dibebani banyak kewajiban dan larangan, yang berimplikasi pada resiko pemberhentian. Seorang Kepala Desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dan dapat menjabat maksimal 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Pengaturan mengenai pemberhentian Kepala Desa dirumuskan dalam Pasal 40-47 UU Desa.

    Berhentinya Kepala Desa disebabkan sebagaimana rumusan Pasal 40 ayat (1), jika penyebabnya diberhentikan diantaranya, tidak menjalankan tugas sebagai Kepala Desa atau dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun oleh pengadilan. Berikut adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan pemberhentian Kepala Desa.

    a. Berhenti dan Diberhentikan

     Konsep berhenti dan diberhentikan termasuk orang yang menetapkan pemberhentian itu dituangkan dalam Pasal 40.

    Pasal 40
    Ayat (1) Kepala Desa berhenti karena: a.              Meninggal dunia b.             Permintaan sendiri; atau c.              Diberhentikan
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Ayat (2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: a.         Berakhir masa jabatan b.         Tidak melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; c.          Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau d.         Melanggar larangan sebagai Kepala Desa.
    Penjelasan
    Huruf a Yang dimaksud dengan berakhirnya masa jabatan adalah apabila telah berakhir masa jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan harus dihentikan. Dalam hal belum ada calon terpilih dan belum dapat dilaksanakan pemilihan, diangkat pejabat. Huruf b Yang dimaksud dengan ‘tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap’ adalah apabila Kepala Desa menderita sakit yang mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
    Ayat (3) Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    b. Perkara Hukum dan Pemberhentian

    Sebagaimana halnya kepala daerah, ada kalanya Kepala Desa diberhentikan karena tersandung perkara hukum. Misalnya tersangkut perkara pidana korupsi bantuan sosial. Pasal 41-43 UU Desa telah memberikan dua norma penting, yaitu diberhentikan sementara saat masih berstatus tersangka[5], dan diberhentikan sementara saat sudah berstatus terdakwa[6].

    Pasal 41
    Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 42
    Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana makar terhadap keamanan negara.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Dalam dua kasus tersebut, Kepala Desa hanya diberikan status diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota hingga ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 43.

    Pasal 43
    Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan   yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Proses peradilan pidana tidak bisa diprediksi ujungnya, baik mengenai status akhir Kepala Desa maupun mengenai waktu yag dibutuhkan. Meskipun KUHAP menyebut asas peradilan cepat, murah, dan sederhana, namun tidak ada yang bisa memastikan kapan suatu putusan berkekuatan hukum tetap. Berkekuatan hukum tetap bisa terjadi pada tingkat pertama, banding, atau kasasi. Tidak ada pula yang bisa memprediksi apa putusan hakim, semua bergantung pada bukti-bukti yang diajukan. Oleh karena itu, Pasal 44 UU Desa telah membuat norma jika hakim membebaskan Kepala Desa, dan norma jika masa jabatannya belum/sudah berakhir.

    Pasal 44
    Ayat (1) Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui proses peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan putusan pengadilan diterima oleh Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala Desa yang bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa jabatannya.
    Penjelasan
    Apabila Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota harus merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan.

    c. Penjabat Kepala Desa

    Dalam hal Kepala Desa tersandung masalah hukum dan sudah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, UU Desa memperkenalkan istilah Penjabat Kepala Desa. Dari rumusan Pasal 45 di atas menjelaskan bahwa sekretaris desa bisa menjadi pelaksana tugas Kepala Desa, jika Kepala Desa tersandung perkara hukum dan oleh Bupati/Walikota diberhentikan sementara.

    Undang-Undang Desa ini memberikan dua alternatif pengisi jabatan Kepala Desa dilihat dari sisa waktu masa jabatan Kepala Desa tersebut. Jika sisa masa jabatan tidak lebih dari satu tahun, maka berlaku ketentuan Pasal 46.

    Pasal 45
    Ayat (2) Dalam hal Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, Sekretaris Desa melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 46
    Ayat (1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai Penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa.
    Penjelasan
    Yang dimaksud dengan ‘tidak lebih dari 1 (satu) tahun’ adalah 1 (satu) tahun atau kurang.
    Ayat (2) Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud Pasal 26.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Sebaliknya, jika sisa masa jabatan lebih dari satu tahun pengangkatan Penjabat Kepala Desa menggunakan rumusan Pasal 47 berikut:

    Pasal 47
    Ayat (1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai Penjabat Kepala Desa.
    Ayat (2) Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa.
    Penjelasan ayat (1-2)
    Cukup jelas
    Ayat (3) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui musyawarah desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
    Penjelasan
    Yang dimaksud dengan musyawarah desa adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh BPD khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu (bukan musyawarah Badan Permusyawaratan Desa), yaitu mulai dari penetapan calon, pemilihan calon dan penetapan calon terpilih.
    Ayat (4) Musyawarah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Ayat (5) Kepala Desa yang dipilih melalui musyawarah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.
    Penjelasan
    Masa jabatan Kepala Desa yang dipilih melalui musyawarah desa terhitung sejak yang bersangkutan dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
    Ayat (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai musyawarah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Sebenarnya pengangkatan Penjabat Kepala Desa bukan hanya terjadi saat Kepala Desa tersandung masalah hukum. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 mengatur kemungkin pengangkatan Penjabat Kepala Desa persiapan oleh Bupati/Walikota saat awal-awal pembentukan desa (Pasal 12).

    Pembahasan di DPR

    Bagian tentang pemberhentian Kepala Desa ini sudah muncul dalam RUU Desa. Hal tersebut juga disinggung dalam naskah akademik yang diserahkan pemerintah kepada DPR. Pasal ini merupakan bagian dari Bab tentang Penyelenggara Pemerintahan Desa, dimana salah satunya berkaitan dengan Kepala Desa atau disebut dengan nama lain sebagai kepala pemerintahan Desa.

    Pembahasan pasal tentang pemberhentian kepala desa sudah muncul sejak RDPU tanggal 24 Mei 2012. Namun dalam rapat tersebut pembahasannya masih dijadikan satu dalam pembahasan mengenai penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Substansi dalam pembahasan tersebut meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa; tugas, wewenang, hak dan kewajiban desa; larangan bagi Kepala Desa; pemberhentian dan pemilihan Kepala Desa; tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa; dan Badan Permusyawaratan Desa.

    Selanjutnya Pembahasan tentang Pemberhentian Kepala Desa ini muncul kembali dalam Rapat RDPU tanggal 7 Juni 2012 antara Pansus UU Desa dengan sejumlah pemangku kepentingan. Dalam rapat tersebut, Hasto Wiyono dari STPMD APMD menyampaikan pandangan antara lain:

    “Kemudian yang berikutnya mengenai susunan dan tata pemerintahan desa. Untuk susunan, saya kira sudah kita kenal sampai sekarang ya ada Kepala Desa, kemudian ada perangkat desa. Nah, dalam hal ini kami mengusulkan Badan Permusyawaratan Desa itu diubah menjadi Badan Perwakilan Desa karena memang itu adalah representasi dari masyarakat. Itu menjadi suatu institusi demokrasi bagi masyarakat dan juga dengan adanya Badan Perwakilan Desa, ini berarti ada cek and balances terhadap Kepala Desa. Namun demikian, yang kami usulkan bukan badan perwakilan desa atau BPD versi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dapat menjatuhkan atau dapat memberhentikan Kepala Desa. Jadi dalam konteks ini BPD atau Badan Perwakilan Desa itu sama dengan Badan Permusyawaratan Desa yang kita kenal sekarang. Dia punya hak untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Desa, jadi tidak langsung punya kewenangan untuk memberhentikan.”

    Idham Arsyad dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mempertanyakan pemberhentian Kepala Desa oleh Bupati. Konsep pelibatan Bupati ini terkesan tidak sejalan dengan otonomi asli desa dan menunjukkan bahwa pemerintah terkesan tidak sepenuhnya rela memberikan otonomi asli kepada desa. Idham mengatakan:

    “........Yang lain saya mau sebutkan sebagai pemandangan umum, saya kira juga belum menjelaskan posisinya dengan baik tentang beberapa persoalan-persoalan yang sering mengemuka kalau kita bicara tentang desa yaitu soal otonomi asli desa, sehingga apa yang sering kita kemukakan dulu bahwa ini adalah pemberian setengah hati saya kira masih dilanjutkan spirit-nya di dalam RUU-nya Pak ya? Dimana kita lihat misalnya nampak jelas bahwa ini adalah birokratisasi Pemerintahan desa kalau kita lihat RUU-nya atau desa sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah. Darimana saya melihatnya? Misalnya contoh Pasal 16 ayat (1) mengenai kewenangan desa. Itu sebenarnya masih tersirat bahwa tidak ada kerelaan penuh dari pemerintah untuk kemudian memberikan satu otonomi asli kepada desa atau misalnya Pasal 24 ayat (3), dimana pemberhentian Kepala Desa itu masih oleh Bupati.”

    Masukan atas pasal pemberhentian Kepala Desa muncul dalam audiensi Pansus RUU Desa dengan perangkat desa di Lombok pada tanggal 6 Mei 2012. Disampaikan oleh Kepala Desa Nyerat, Lombok, Sahim SP:

    “...Berikutnya pada Pasal 26 ayat (2) huruf a. yang katanya di sini “tidak dapat melaksanakan tugas berkelanjutan atau berhalangan secara berturut-turut selama 6 bulan”. Ya, kalau penyakit dan segala macam itu datang dari Allah, tidak ada yang menginginkan sebuah penyakit mungkin oleh seluruh kita semua yang hadir di sini. Kalau penyakit itu misalkan bisa berobat kadang-kadang kan bisa sampai dalam kurun waktu 1 tahun mungkin bisa kita terima, tetapi kalau 6 bulan ketika rekaqn-rekan saya sakit, lalu diberhentikan karena keadaan sakit, mungkin terlalu sakit. Orang sakit akan lebih sakit lagi. Ini-ini mohon menjadi pertimbangan paling tidak 1 tahun karena jabatankan 6 tahun di draft ini, tetapi belum sampai masa jabatan, belum sampai sana. Paling tidak mohon 1 tahun pada Pasal 26 ini pemberhentian Kepala Desa.”

    Pada audiensi tersebut juga muncul masukan Nanang Samodra dari Partai Demokrat. Ia mengatakan antara lain:

    “....Ada beberapa hal ingin saya comment yaitu di Pasal 21 tadi disebutkan di ayat (3) hak Kepala Desa. Pengusulan, Pengangkatan dan pemberhentiannya saya setuju langsung ke Bupati melalui camat. Kemudian masalah larangan Kepala Desa, saya juga setuju. Mestinya Kepala Desa sama dengan pejabat politik yang lain tidak dibeda-bedakan. Kemudian masalah berhalangan, juga ini kita pelajari, nanti kita Tanya ahlinya, Tanya dokter, Tanya tim ahli, tim kesehatan sampai berapa idealnya, sehingga pemerintahan itu bisa berjalan dengan baik. Jangan sampai ganti-ganti nanti salah nanti, tetapi prinsipnya kita harus melihat kondisi sakitnya. Sakit piak-piak apa sakit bener?”

    Tanggapan

    Sebagaimana diuraikan diatas, Kepala Desa bisa berhenti atau diberhentikan, baik karena faktor-faktor alamiah seperti meninggal dunia atau berakhir masa jabatannya, atau karena faktor non-alamiah seperti tersandung masalah hukum. Pemberhentian Kepala Desa tidak disinggung secara khusus dalam UU No. 32/2004. Ketentuan lebih detil dirumuskan dalam Pasal 17 PP No. 72/2005 tentang Desa. Rumusan Pasal 40-47 UU Desa hampir sama persis dengan rumusan Pasal 17-21 PP No. 72/2005. Memang, kalau ditelusuri lebih detil lagi ada perbedaan rumusan. Misalnya, perbandingan Pasal 17 ayat (1) dan (2) PP dengan Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU Desa. Berdasarkan PP, Kepala Desa berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Rumusan yang sama ditemukan pada Pasal 40 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2004. Tetapi coba perhatikan ayat berikutnya dalam tabel berikut.

    PP No. 72 Tahun 2005 UU Desa
    Kepala Desa diberhentikan karena: a.       Berakhir masa jabatannya; b.       Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan; c.       Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Desa; d.       Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan; e.       Tidak melaksanakan kewajiban Kepala Desa; atau f.        Melanggar larangan bagi Kepala Desa. Kepala Desa diberhentikan karena: a.       Berakhir masa jabatannya; b.       Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan; c.       Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau d.      Melanggar larangan sebagai Kepala Desa.

    Dari tabel di atas tampak jelas salah satu perbedaan syarat diberhentikan. Justeru menjadi pertanyaan mengapa dalam UU Desa seseorang yang belum memenuhi syarat calon Kepala Desa bisa diberhentikan sebagai Kepala Desa. Bukankah jika ia tak memenuhi syarat, maka ia tidak akan mungkin lolos seleksi pencalonan Kepala Desa? Apakah ada kesalahan penormaan dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c UU Desa?

    Rumusan Pasal 42 UU Desa juga patut diberikan catatan kritikal karena tampaknya hanya mengambil begitu saja (copy paste ) rumusan Pasal 31 ayat 1 UU No. 32/2004 dan Pasal 19 PP No. 72/2005. Pasal 42 tersebut menyebutkan jenis-jenis tindakan pidana tertentu yang memungkinkan seorang Kepala Desa diberhentikan sementara dari jabatannya, yaitu:

    • Tindak pidana korupsi
    • Terorisme
    • Makar
    • Tindak pidana terhadap keamanan negara.

    Tindak pidana korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana terorisme diatur antara lain dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, dan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Makar diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 KUHP. Makar sendiri sebenarnya termasuk salah satu jenis tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 104-128 KUHP).

    Penjelasan pasal ini tak memberikan penjelasan lebih lanjut apakah jenis tindak pidana ini bersifat limitatif. Demikian pula PP No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa yang memuat klausul pemberhentian Kepala Desa (Pasal 54-60) tak disinggung lagi jenis tindak pidana yang bisa membuat Kepala Desa diberhentikan sementara. Jika asumsi awal perumusan norma ini adalah tindak-tindak pidana yang masuk kategori extraordinary crime atau kejahatan yang sangat berat, maka rumusan keempat jenis tindak pidana tadi tidak mencukupi. Tindak pidana pencucian uang, pembalakan hutan, dan illegal fishing sudah secara umum diterima sebagai kejahatan yang sangat berat dampaknya. Perusakan hutan, misalnya, jelas-jelas disebut sebagai ‘kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi dan lintas negara’ (Konsiderans dan Penjelasan Umum UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan).

    Selain itu, hasil pemeriksaan Inspektorat Daerah tak bisa dijadikan sepenuhnya dasar untuk memberhentikan Kepala Desa. Misalnya, ada tuduhan bahwa Kepala Desa melakukan perbuatan asusila dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, sehingga si perempuan hamil. Berbekal laporan masyarakat, inspektorat melakukan pemeriksaan dan dari hasil pemeriksaan itu Bupati/Walikota mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian Kepala Desa. Kasus semacam ini pernah terjadi dan berujung ke pengadilan. Kepala Desa menolak pemberhentian dan melawan pengangkatan seorang Penjabat Kepala Desa. Kepala Desa beralasan tuduhan perbuatan asusila itu tak pernah dibuktikan secara hukum. Surat BPD juga menyatakan Kepala Desa bersih. Pengadilan tingkat pertama menolak gugatan Kepala Desa, tetapi pengadilan tinggi mengabulkan gugatan itu dan membatalkan SK Bupati. Pada tingkat peninjauan kembali (PK) langkah Bupati ditolak karena bukti-bukti baru yang disampaikan tak memenuhi kualifikasi novum (Putusan MA No. 14 PK/TUN/2012). Perkara ini menunjukkan bahwa alasan-alasan pemberhentian Kepala Desa masih perlu dijabarkan lebih detil agar di kemudian hari tidak terlalu menimbulkan persoalan.

    2.5. Sanksi Kepala Desa

    Pengaturan sanksi untuk Kepala Desa justru diatur dalam pasal-pasal sebelum pasal yang mengatur pemilihan dan pemberhentian Kepala Desa. Ada rumusan yang mengatur sanksi untuk Kepala Desa, yaitu Pasal 28 dan Pasal 30. Pasal 28 mengatur sanksi untuk Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban yang diatur Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27; sedangkan Pasal 30 mengatur sanksi untuk Kepala Desa yang melanggar larangan-larangan yang disebut dalam Pasal 29. Rumusan kedua pasal ini adalah sebagai berikut.

    Pasal 28
    (1)       Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis; (2)       Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 30
    (1)         Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. (2)         Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pembahasan di DPR

    Tidak banyak catatan yang bisa dilacak mengenai pembahasan tentang sanksi. Dari dokumen pembahasan rapat 12 Desember 2012, tercatat pimpinan rapat Akhmad Muqowwam menyebutkan sanksi saat membahas kluster pembahasan. Sanksi dimasukkan dalam kluster ketujuh, seperti ia katakan:

    Ketujuh adalah pembinaan dan pengawasan serta ketentuan sanksi. Ada di dalam Bab XV dan Bab XVI yang penjelasannya adalah bahwa substansi pembinaan dan pengawasan dan ketentuan sanksi adalah dua hal yang berbeda dijadikan satu cluster, karena muatan pasalnya. Jadi pada kuantitas sedikit”.

    Dalam DIM per Oktober 2012, bab mengenai sanksi memang masih tercantum, berisi tiga pasal (87-89). Rumusan tentang sanksi dalam RUU tentang Desa sebagaimana disebut dalam DIM pada dasarnya hanya mengenal sanksi administrasi berupa teguran, pemberhentian sementara, dan pemberhentian. Hanya, dalam RUU disebut kemungkinan Kepala Desa memperbaiki diri. Misalnya rumusan berikut: “Kepala Desa yang dikenakan sanksi pemberhentian sementara ….dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari tidak melakukan perbaikan, maka dikenakan sanksi pemberhentian”. Bahkan RUU kemudian memuat klausula tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa yang melakukan kejahatan.

    Tanggapan

    Penerapan sanksi administrasi adalah salah satu bentuk tindakan pemerintahan yang didasarkan pada kewenangan administrasi yang khas karena tidak diperlukan prosedur peradilan dalam menerapkannya dan bersifat sepihak.[7] Memberhentikan seorang pejabat adalah salah satu bentuk sanksi administrasi tersebut, selain yang sudah berkembang saat ini.[8]

    Sanksi administratif untuk Kepala Desa dibedakan atas dua jenis kategori perbuatan, yaitu:

    1. Sanksi karena tidak melaksanakan kewajiban; dan
    2. Sanksi karena melanggar larangan.

    Merujuk Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 UU Desa, Kepala Desa memiliki 20 kewajiban, dan tidak boleh melanggar 12 larangan. Secara normatif, pemberian sanksi ini dipandang sebagai bagian dari pembinaan dan pengawasan. Pasal 115 huruf m UU Desa menyebutkan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota meliputi antara lain: ‘memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan’. Rumusan senada juga disebut dalam Pasal 101 PP No. 72/2005 tentang Desa, bahwa dalam rangka pembinaan dan pengawasan, pemerintah kabupaten/kota berhak antara lain ‘memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan’.

    Ancaman sanksi administratif bagi Kepala Desa ini juga dikenakan kepada perangkat desa (lihat Pasal 52 UU Desa).

    Undang-Undang Desa tidak mengatur sama sekali ketentuan sanksi dalam bab terpisah sebagaimana umumnya undang-undang. Memang, tidak ada kewajiban untuk membuat aturan sanksi tersebut. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga tak memuat sanksi. Tetapi UU Desa mengatur banyak kewajiban dan larangan yang pada dasarnya bersifat yuridis dan diancam pidana dalam perundang-undangan lain. Misalnya, larangan menerima uang, barang atau jasa dari pihak ketiga yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya berkaitan dengan UU No. 31 Tahun 1999, yang telah diperbaiki dengan UU No. 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, ada rumusan-rumusan kewajiban yang tak memiliki parameter yang jelas agar seseorang bisa dikenakan sanksi administratif. Misalnya, melanggar kewajiban ‘meningkatkan kesejahteraan masyarakat’.

    Berdasarkan penelusuran pada DIM RUU Desa (per Oktober 2012) dibandingkan dengan naskah UU Desa ternyata ada satu bagian penting yang hilang, yaitu bagian tindakan penyidikan. Penelusuran pada salinan pembahasan juga tak banyak membantu. Menteri Gamawan Fauzi menyinggungnya saat rapat kerja 15 Mei 2012 seperti penggalan kalimat berikut:

    “Berkaitan dengan pandangan DPD-RI mengenai pemerintahan desa, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa….(a) substansi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, tugas, wewenang, hak dan kewajiban Kepala Desa, larangan bagi Kepala Desa, pemberhentian dan pemilihan Kepala Desa, tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa”.

    Naskah awal RUU Desa khususnya Pasal 33 yang mengatur tindakan penyidikan, merumuskan norma sebagai berikut:

    • Tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atas permintaan pihak yang berwenang;
    • Dalam hal persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota tidak terbit dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilanjutkan;
    • Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
    1. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan.
    2. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati; dan
    3. Disangka melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

    Jika ditelusuri lebih lanjut, rumusan Pasal 33 RUU tersebut khususnya ayat 3 huruf c yang akhirnya dituangkan dalam Pasal 42 UU Desa.

    Salah satu pertanyaan penting yang mungkin muncul di lapangan nanti adalah tentang sanksi administratif bagi Kepala Desa. Sanksi administratif dalam rumusan UU Desa bermuara pada pemberhentian. Sebenarnya sanksi administratif tak hanya bermuara pada pemberhentian tetapi juga kemungkinan sanksi lain seperti denda administratif. Jika Kepala Desa melanggar Pasal 26 ayat (4) huruf p UU Desa, misalnya, sanksinya bukan mengarah pada pemberhentian tetapi pada kemungkinan membayar denda jika terbukti ia sengaja tidak memberikan informasi publik kepada pemohon (PP No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik).

    Selain itu, parameter untuk mengukur pelanggaran sejumlah kewajiban tidak jelas. Beberapa larangan bagi Kepala Desa itu bahkan sangat bersifat pidana ketimbang pelanggaran administratif. Melakukan korupsi, misalnya. Argumentasi ini bisa terbantahkan jika ada klausula/norma yang menyebutkan sanksi administratif itu tidak menghapus pertanggungjawaban pidana.

    Update terbaru 14 June 2016.