5. Badan Permusyawaratan Desa

    Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah salah satu organ yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan desa. Organ ini adalah penyelenggara musyawarah desa. Pasal 1 angka 4 UU Desa menyebutkan BPD atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Materi mengenai BPD yang diatur dalam UU ini meliputi fungsi, keanggotaan, hak dan kewajiban, larangan, dan mekanisme pengambilan keputusan.

    Dalam tema ini akan dibahas aspek yang berkaitan dengan BPD dalam menjalankan perannya di Pemerintahan Desa, yaitu: fungsi; keanggotaan; hak dan kewajiban; dan larangan.

    Daftar Isi :

    5.1. Fungsi BPD
    5.2. Keanggotaan BPD
    5.3. Hak dan Kewajiban BPD
    5.4. Larangan BPD
    5.5. Mekanisme Pengambilan Keputusan BPD

    5.1. Fungsi BPD

    Dihubungankan dengan rumusan Pasal 1 angka 4 UU Desa, maka jelas disebutkan bahwa BPD adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Ia boleh disebut BPD, bisa juga menggunakan nama lain yang fungsinya sama. Fungsi BPD disebutkan dalam Pasal 55 UU Desa.

    Pasal 55
    Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi: a.         membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa b.        Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa c.         Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Penjelasan Umum UU Desa menjelaskan lebih lanjut mengenai BPD: ”Badan Permusyawaratan Desa merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah Desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi penyelenggaraan musyawarah desa”.

    Pembahasan di DPR

    Dalam proses awal masuknya RUU Desa ke DPR, Pemerintah secara tidak langsung mengakui bahwa BPD sudah diatur dalam perundang-undangan sebelumnya. Mengenai fungsi, misalnya, diatur dalam Pasal 209 UU No. 32/2004, yang menyebutkan ’BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung, dan menyalurkan aspirasi masyarakat’.

    Naskah Akademik RUU Desa menggunakan istilah Badan Perwakilan Desa yang menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan warga desa, fungsi legislasi, fungsi budgeting, dan fungsi pengawasan. Penyusun Naskah Akademik berharap BPD adalah lembaga yang bekerja penuh bukan sambilan. ”Jika BPD hanya sebagai pekerjaan sambilan, maka ia hanya didominasi oleh kelompok tokoh masyarakat dan PNS, yang berarti tidak mencerminkan keterwakilan banyak kelompok dalam desa. Desain yang full time itu juga sebagai respons dan persiapan untuk menghadapi banyaknya kewenangan dan perencanaan yang didesentralisasi ke desa”.

    Pada saat Naskah Akademik itu dituangkan ke dalam rumusan DIM, hanya ada dua fungsi BPD yaitu (a) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam rangka pelaksanaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa; dan (b) memberikan masukan, saran, dan penyempurnaan dalam perumusan regulasi yang ditetapkan oleh Kepala Desa. Tetapi dalam proses pembahasan DIM, Fraksi PPP mengusulkan penambahan fungsi lain yakni pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa. Bahkan usulan mengenai fungsi BPD terus berkembang. Fraksi Partai Gerindra mengusulkan fungsi tambahan antara lain membentuk panitia pemilihan Kepala Desa, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa, dan menyampaikan hasil pengawasan beserta rekomendasinya kepada pemerintah daerah yang diusulkan.

    Pada saat menyampaikan Keterangan Pemerintah di DPR atas RUU tentang Desa pada tanggal 2 April 2012, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan:

    Perubahan yang terkait dengan Badan Permusyawaratan Desa adalah lebih mendudukkan pada fungsi Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat”.

    Pandangan Fraksi Partai Golkar, seperti dibacakan Ali Wongso Sinaga, pada rapat 11 Desember 2013, mengapresiasi perubahan yang diusulkan pemerintah mengenai BPD. Bagi Golkar, penguatan BPD dan musyawarah desa adalah bagian dari penguatan demokrasi di desa.

    ”Penguatan demokrasi di perdesaan dengan keberadaan Musdes dan kewenangan Badan Permusyawaratan Desa sebagai wujud perwakilan masyarakat desa yang berfungsi untuk membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa”.

    Masuknya frasa ’atau yang disebut dengan nama lain’ dalam definisi BPD berkaitan dengan pembahasan di DPR, yang mengingatkan fakta lembaga-lembaga sejenis di sejumlah daerah yang sudah dikenal selama ini. Otto Syamsudin Ishak, anggota Komnas HAM selaku pakar yang diundang, dalam RDPU 28 Juni 2012, mengatakan:

    ”Karena, ini hal kedua, bahwa perkembangan antardesa itu kan tidak sama...seperti kita diskusi di Yogya ya kan, misalnya BPD, itu tidak masalah. Mereka evolusinya. Konfirmasinya itu mudah...dari lembaga genuine, asli desa terus jadi LMD, LKMD, itu gampang, begitu. Terus berubah lagi jadi BPD, gampang itu. Tapi kalau daerah-daerah, itu tidak mudah. Jadi ini juga harus dipertimbangkan, begitu. Karena itu fokus utamanya harus jelas”.

    Forum Wali Nagari (Forwana) Sumatera Barat juga meminta agar peran BPD tidak diamputasi karena akan menjadi penyeimbang atas kekuasaan Kepala Desa. H. Anwar Maksum, Ketua Forwana, menyampaikan pandangan dalam RDPU tanggal 10 Oktober 2012:

    ”Penguatan pemerintahan desa merupakan suatu keharusan dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat; sementara kami melihat dalam draf RUU yang ada sekarang dihilangkannya klausula pemerintah yang ini berarti Badan Permusyawaratan Desa atau BPD bukan lagi penyelenggara bagi pemerintahan desa bersama dengan Kepala Desa, dan memposisikan Kepala Desa sebagai penguasa tunggal bagi desa. RUU ini memposisikan BPD sebagai lembaga kemasyarakatan yang hanya berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi untuk masyarakat. Kondisi ini sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi di tingkat desa. Gambaran RUU ini seakan mengembalikan semangat UU No. 5 Tahun 1979 yang sentralistik”.

    Pada akhirnya, untuk mengatasi kekhawatiran amputasi kewenangan BPD, ditegaskan bahwa BPD adalah lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan (Pasal 1 angka 4). Pada Rapat Paripurna DPR 18 Desember 2013, Ketua Pansus RUU Desa, Akhmad Muqowwam, kembali menyinggung fungsi BPD sebagai ’badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa’.

    Tanggapan

    Seperti disebutkan dalam UU Desa, pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Pemerintahan itu dilaksanakan oleh pemerintah desa yang terdiri atas Kepala Desa (atau nama lain) dan perangkat desa. Tetapi ternyata, BPD juga dianggap sebagai lembaga yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan.

    Secara teoritik, pemerintahan memang bisa dilihat dalam arti luas dan arti sempit. Umumnya pemerintahan dalam arti luas merujuk pada trias politica Montesquieu, yakni Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Dalam arti luas pemerintahan mencakup pula DPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah presiden dan jajaran pemerintahannya.[12]

    Berkaitan dengan fungsi BPD, maka penting untuk membandingkan UU Desa dengan UU No. 32/2004. Pasal 209 UU No. 32/2004 hanya menyebutkan BPD berfungsi: (i) menetapkan aturan desa bersama Kepala Desa; dan (ii) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Sedangkan UU Desa menambahkan (iii) fungsi pengawasan, yaitu fungsi mengawasi kinerja Kepala Desa. Dalam naskah akademik disebutkan BPD memiliki fungsi legislasi, fungsi budgeting, dan fungsi pengawasan

    Nama yang dipilih oleh desa tidak harus BPD. Artinya, terbuka kemungkinan menggunakan nama lain sesuai dengan karakteristik desa bersangkutan. Pembentuk UU Desa lebih menitikberatkan pada fungsi permusyawaratan. Dalam dinamika pengaturan desa selama ini, nama yang digunakan memang berbeda untuk lembaga yang berfungsi sejenis.

    Tabel

    Perbandingan BPD dalam Perundang-Undangan

    UU No. 5/1979

    UU No. 22/1999 UU No. 32/2004 UU No. 6/2014
    Tidak mengenal lembaga legislatif desa. Hanya ada Lembaga Musyawarah Desa yang merupakan unsur pemerintah desa. Mengenal Badan Perwakilan Desa sebagai lembaga legislatif desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat. Bersama pemerintah desa membuat Perdes, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan melakukan fungsi pengawasan Mengenal Badan Permusyawaratan Desa; berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung, dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD di sini merujuk pada BPD yang disebut dalam UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mengenal Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan, yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

    5.2. Keanggotaan BPD

    Aspek lain yang diatur UU Desa adalah keanggotaan BPD, meliputi persyaratan anggota, jumlah, dan pimpinan. Prinsip utama yang dianut UU ini adalah anggota BPD berasal dari penduduk Desa bersangkutan. Keanggotaan BPD dijelaskan dalam pasal di bawah ini. Selain itu juga akan dibahas persyaratan dan penetapan anggota BPD.

    Pasal 56
    (1)     Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis; (2)     Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji; (3)     Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
    Penjelasan
    Ayat (1) Yang dimaksud dengan ’dilakukan secara demokratis’ adalah dapat diproses melalui pemilihan secara langsung dan melalui proses musyawarah perwakilan.   Ayat (2) Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.   Ayat (3) Cukup jelas.
    Pasal 57
    Persyaratan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah: a.       Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b.      Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; c.       Berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah; d.      Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; e.       Bukan sebagai perangkat pemerintah desa; f.        Bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa; dan g.       Wakil penduduk desa yang dipilih secara demokratis.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 58
    (1)         Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memerhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan keuangan desa; (2)         Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota; (3)         Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebelum memangku jabatannya bersumpah/berjanji secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk; (4)         Susunan kata sumpah/janji anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut: ”Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku anggota Badan Permusyawaratan Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pembahasan di DPR

    • Keanggotaan

    Ada perubahan rumusan UU Desa jika dibandingkan dengan rumusan UU No. 32/2004. Pasal 210 ayat (1) UU No. 32/2004 menyebutkan anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Kini, di UU Desa masuk klausul baru ’berdasarkan keterwakilan’, dan rumusan ’musyawarah dan mufakat’ diganti dengan ’dilakukan secara demokratis’.

    Merujuk sejarah pembentukan UU Desa ini, khusus mengenai klausula ’berdasarkan keterwakilan wilayah’ tak dibahas secara eksplisit dalam Naskah Akademik. Klausula ini baru muncul dalam DIM, yakni ketika terjadi perubahan rumusan keanggotaan. Semula rumusannya adalah ’anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat’. Fraksi PPP mengusulkan perubahan rumusan dengan memasukkan klausula ’berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara pemilihan langsung’.

    Komposisi keterwakilan yang berbeda diajukan Fraksi PDI Perjuangan. Selain utusan penduduk Desa, anggota BPD juga berasal dari ’utusan lembaga yang mewakili dan merepresentasikan lembaga masyarakat dan lembaga adat yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat’.

    Pasal 56 UU Desa ini termasuk yang dianggap perlu mendapat perhatian oleh Panja, selain rumusan tentang pengertian menteri, musyawarah Desa, dan keuangan Desa. Rumusan yang disepakati setelah melalui tim sinkronisasi dan tim perumus adalah sebagaimana hasil akhir dan diputuskan pada 11 Desember 2013. Pidato Ketua Pansus RUU Desa pada rapat Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2013 menegaskan kembali klausula tersebut, dengan mengatakan: ”RUU tentang Desa mengatur mengenai keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis”.

    Berkaitan dengan Pasal 56 tersebut, anggota DPR lebih banyak memperdebatkan rumusan masa keanggotaan seperti yang termuat dalam ayat (2) dan ayat (3). Masa jabatan anggota BPD dirujuk ke rumusan masa jabatan Kepala Desa.

    Sejak awal DIM memang ada perbedaan usulan. Pemerintah mengusulkan anggota BPD menjabat selama 6 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Fraksi Demokrat mengusulkan 10 tahun dengan hak perpanjangan 1 kali; Fraksi PPP mengusulkan masa jabatan 8 tahun dan dapat dipilih kembali. Rumusan yang dibawa Panja ke Pansus adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan 2 kali berikutnya. Parlemen menganggap masalah ini penting seperti diungkapkan Ketua Rapat, Achmad Muqowwam, dalam rapat 11 Desember 2013.

    Saya kira perbedaan angka itu membawa implikasi, salah paham. Jadi, karena itu, pilihan kata yang ada di sini adalah ’dapat dipilih kembali’. Sama dengan Kepala Desa. Saya kira, samain saja. Jadi, bunyinya adalah ayat (2)-nya saja: Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa adalah 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Mutatis mutandis, mengambil dari Kepala Desa”.

    Asal usul angka 3 kali sempat dipersoalkan Pimpinan Rapat Achmad Muqowwam karena menurut dia yang benar adalah 2 kali, seperti terungkap dalam memori rapat tertutup 11 Desember 2013.

    Ini rumusan darimana yang tadi 3 kali ini? Darimana, siapa yang membuat ini, yang 3 kali berturut-turut itu. Tidak ada 3 kali berturut-turut...Saya ingin koreksi. Yang berlaku adalah 39, coba 39, eh 56..coba yang Kepala Desa berapa?”

    ”Kalau begitu, ini yang ayat (2) dicopy paste ke dalam BPD. Selama diskusi tidak pernah ada kata 3. Ternyata ada rumusan baru....Masa keanggotaa Badan Permusyawaratan Desa adalah 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan. Kembali 2 itu”.

    • Persyaratan

    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur eksplisit syarat untuk jadi anggota BPD, dan menyerahkannya pada pengaturan daerah masing-masing. Sebaliknya, UU Desa menguraikan syarat-syarat yang harus dipenuhi.

    Usulan persyaratan anggota BPD ini datang dari Fraksi PPP pada saat penyusunan DIM. PPP meminta ada rumusan pasal baru dengan membandingkan rumusan syarat Kepala Desa. Dibandingkan dengan rumusan yang sudah ada dalam UU Desa, terdapat perbedaan dari yang diusulkan fraksi-fraksi DPR. Fraksi PPP mengusulkan usia minimal 21 tahun, dan tidak ada syarat pendidikan. Sementara UU Desa ini kemudian mensyaratkan minimal lulusan SMP/sederajat. Persyaratan anggota BPD ini dihubungkan dengan tugas-tugas mereka dalam rangka melaksanakan kepemerintahan desa (local governance).

    Ahli ekonomi, Prof. Erani Yustika, misalnya secara tak langsung menghubungkan kapasitas anggota lembaga-lembaga pemerintahan desa dengan penyusunan perekonomian desa. Kapasitas sumber daya manusia BPD sangat menentukan keseimbangan dalam proses pembahasan, misalnya, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPB Desa). Dalam RDPU tanggal 28 Juni 2012, Prof. Erani Yustika mengatakan:

    ”Dari situlah kemudian, nanti akan membentuk yang disebut local governance, lokal desa tadi. Tata kelola desa yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan untuk bisa melakukan beberapa hal yang mendasar bagi perubahan pembangunan ekonomi di desa itu. Itu kerangka pikirnya”.

    • Jumlah Anggota

    Substansi lain terkait keanggotaan adalah jumlah anggota BPD. Sesuai dengan rumusan Pasal 58, jumlah anggota BPD paling sedikit 5 orang dan paling banyak 9 orang, dan jumlahnya harus gasal. Jadi, pilihannya adalah 5, 7, atau 9 orang. Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih anggota BPD adalah wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Siapapun yang terpilih dan bagaimana keterwakilannya, surat pengangkatan mereka harus ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.

    Berkaitan dengan jumlah anggota BPD, sempat muncul gagasan anggotanya tetap 5 orang sebagaimana tertuang dalam DIM per Oktober 2012. Namun rupanya jumlah anggota BPD memantik perbedaan. Fraksi Partai Golkar mengusulkan agar jumlahnya dua orang dari masing-masing bagian wilayah desa agar lebih merepresentasikan masyarakat desa. Fraksi PDIP mengusulkan agar jumlah maksimal anggota BPD 10 orang dengan ketentuan 3 orang berasal dari wakil penduduk desa, dan 7 orang dari utusan lembaga-lembaga desa. Fraksi PPP menegaskan sebaiknya jumlah anggota BPD gasal, minimal 5 maksimal 11. Fraksi PPP pula yang menyinggung kembali keterwakilan perempuan, jumlah penduduk, dan keuangan desa sebagaimana dirumuskan Pasal 58 ayat (1) di atas. Fraksi PPP berpandangan 5 orang tidak cukup untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Tetapi mengenai jumlah maksimal, PPP telah berubah pandangan, sebagaimana disampaikan Dr. A.W. Thalib dalam Pendapat Akhir Mini Terhadap RUU Desa tanggal 11 Desember 2013. Ia mengatakan:

    ”Untuk mengawasi jalannya pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa yang keanggotaannya dipilih berdasarkan keterwakilan wilayah paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang. Pada prinsipnya BPD melakukan fungsi legislasi secara terbatas di tingkat pemerintahan desa”.

    Isu keterwakilan perempuan antara lain diangkat oleh Bina Desa. Direktur Bina Desa, Dwi Astuti, mempersoalkan naskah akademik yang sama sekali tak menyinggung keterwakilan perempuan, affirmative action. Padahal, menurut Dwi, perempuan punya kontribusi signifikan dalam pembangunan desa berkelanjutan. Ia mengatakan:

    “RUU Desa belum memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan. Ini karena tadi dari Naskah Akademiknya saja tidak dipotret begitu ya, tidak disinggung. Lalu, kalau kami lihat dari pasal per pasal itu tidak ada satu kalimat pun yang menyebut tentang perempuan”.

    Pada akhirnya naskah terakhir UU Desa memang memasukkan perempuan sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam keanggotaan BPD. Ini juga sejalan dengan Naskah Akademik yang menyebutkan BPD harus mencerminkan keterwakilan unsur-unsur dalam masyarakat. Bahkan Naskah Akademik secara khusus menyebut kuota 30 persen perempuan dari anggota BPD.

    Tanggapan

    Penetapan anggota BPD dilakukan melalui surat keputusan Bupati/Walikota (Pasal 58 ayat 2). Suatu keputusan adalah produk tindakan pemerintah yang bersifat beschiking, sehingga sangat mungkin digugat. Misalnya jika Bupati enggan mengeluarkan keputusan pengangkatan anggota BPD yang kurang disukai Bupati, baik karena alasan politik atau alasan lain.

    Kisruh pengangkatan BPD bukan tak mungkin bermuara ke pengadilan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya pernah memutus kasus yang relevan (Putusan No. 22/B/2014/PT.TUN.SBY). Putusan ini mengenai gugatan sembilan orang warga terhadap Bupati Gresik, Jawa Timur. Para penggugat menggugat Surat Keputusan Bupati Gresik tentang Penganggkatan Anggota BPD di salah satu desa di Kecamatan Wringinanom. Para penggugat mendalilkan Bupati tidak menjalankan asas-asas pemerintahan yang baik ketika menerbitkan surat keputusan tersebut. Pengadilan memang pada akhirnya menyatakan tidak menerima petitum gugatan, tetapi lebih karena melewati tenggat waktu mengajukan gugatan bukan karena materi gugatannya.

    Meskipun gugatan ini terjadi sebelum UU Desa dan putusan menyatakan tidak dapat menerima, tetapi kasusnya bisa dijadikan rujukan untuk pengaturan ke depan. Ini menunjukkan potensi kisruh pemilihan anggota BPD.

    5.3. Hak dan Kewajiban BPD

    Undang-Undang Desa bukan hanya mengatur hak dan kewajiban desa, tetapi juga hak dan kewajiban lembaga-lembaganya. Khusus mengenai hak dan kewajiban BPD, diatur dalam Pasal 61-63 UU Desa. Undang-Undang ini membedakan hak kelembagaan BPD dan hak personal pengurus-pengurusnya, serta kewajiban mereka.

    Pasal 61
    Badan Permusyawaratan Desa berhak: a.       Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa kepada pemerintah desa; b.      Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa; dan c.       Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
    Penjelasan
    Yang dimaksud dengan ’meminta keterangan’ adalah permintaan yang bersifat informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa, bukan dalam rangka laporan pertanggungjawaban Kepala Desa.
    Pasal 62
    Anggota Badan Permusyawaratan Desa Berhak: a.       Mengajukan usul rancangan Peraturan Desa; b.      Mengajukan pertanyaan; c.       Menyampaikan usul dan/atau pendapat; d.      Memilih dan dipilih; dan e.       Mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 63
    Anggota Badan Permusyawaratan Desa wajib: a.    Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memeliharan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; b.    Melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan pemerintahan desa; c.     Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat desa; d.    Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan; e.    Menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat desa; dan f.      Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pembahasan di DPR

    Masuknya hak dan kewajiban BPD dan anggotanya adalah usulan dari Fraksi PPP saat pembahasan DIM. Fraksi PPP mengusulkan tambahan pasal-pasal baru yang mengatur hak, kewajiban, dan larangan bagi BPD, sebagaimana halnya konsep hak, kewajiban, dan larangan bagi Kepala Desa. Usul FPPP tak banyak mengalami perubahan karena fraksi-fraksi lain juga tak berkeberatan.

    Salah satu yang sempat disinggung dalam pembahasan adalah hak mengajukan Rancangan Perdes. Frenadin Adegustara, pakar yang diundang dalam RDPU tanggal 27 Juni 2012 menyatakan:

    ”Kemudian yang menarik lagi adalah tatkala desa itu ada pemerintahan desa, kemudian ada muncul lagi Badan Permusyawaratan Desa ya. Dia representasinya dari penduduk desa seolah-olah legislatifnya desa. Tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk mengesahkan pembentukan peraturan perundang-undangan. Kalau begitu, apa demikian jelas bahwa makna daripada desa kita ya desa. Kita ini adalah desanya eksekutif ya karena peraturan desa yang dibuat itu cukup setelah mendengarkan paparan, masukan, selesai, langsung minta diajukan ke Bupati untuk disahkan. Selesai ya. Peran Badan Permusyawaratan ini apa, hanya memberikan pertimbangan?”

    Keseimbangan hak dan kewajiban antara BPD dan Kepala Desa dikemukakan Tri Ratnawati, pakar yang dihadirkan dalam RDPU tanggal 13 Juni 2012. Ia menjelaskan:

    ”Saya pernah riset di salah satu desa di Bantul dimana Kepala Desanya sampai stroke karena Badan Perwakilan Desa (BPD). Waktu itu kan BPD mempunyai hak untuk menjatuhkan Kepala Desa. Kasarnya seperti itu toh. Jadi, semacam blackmail, kemudian ada semacam cara-cara yang menurut saya tidak etis dilakukan oleh BPD terhadap Kepala Desa. ...Itu disembuhkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 yang menyangkut mengenai desa. Nah, saya berharap nanti adanya undang-undang baru ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang kontroversial lagi”.

    Dalam Pandangan Mini Fraksi PPP menegaskan bahwa RUU ini mengatur hak-hak dan kewajiban masyarakat secara seimbang, dan mendorong agar masyarakat ikut serta secara aktif dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah desa.

    Tanggapan

    Dimana ada hak, di situ ada kewajiban. BPD memiliki hak sekaligus kewajiban. Undang-Undang Desa membedakan antara hak yang melekat pada kelembagaan BPD dengan hak yang melekat pada masing-masing anggota BPD. Hak yang melekat pada kelembagaan pada dasarnya tak bisa diputuskan sendiri oleh satu orang ketua BPD, melainkan seluruh anggota BPD melalui mekanisme pengambilan keputusan. Pada prinsipnya hak BPD meliputi hak kontrol, hak meminta keterangan, hak menyatakan pendapat, dan hak finansial.

    Pada dasarnya hak kontrol (mengawasi penyelenggaraan pemerintahan) dan meminta keterangan dari pemerintah desa berkaitan erat dengan hak anggota BPD untuk menjalankan fungsi yang sama. Dalam UU ini dikenal hak meminta keterangan yang melekat pada lembaga BPD, dan hak mengajukan pertanyaan yang melekat pada personal anggota BPD. Hak menyatakan pendapat dapat disampaikan dalam forum permintaan keterangan yang sebelumnya digelar BPD. Artinya, BPD secara kelembagaan menggelar rapat terlebih dahulu dalam forum permintaan keterangan, dan di forum itulah anggota BPD mengajukan pertanyaan. Hal yang sama bisa disampaikan dalam forum musyawarah desa lainnya. Hak BPD menyampaikan pendapat tak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa, tetapi juga mengenai (a) pelaksanaan pembangunan desa; (b) pembinaan kemasyarakatan desa; dan (c) pemberdayaan masyarakat desa.

    Satu hal yang masih perlu diperjelas adalah hak anggota BPD menyampaikan pendapat di luar forum musyawarah desa. Apakah dimungkinkan anggota BPD mengajukan pertanyaan kepada kepala desa, misalnya, melalui surat tanpa melalui musyawarah desa? Namun secara pribadi anggota BPD berhak mengajukan suatu usul rancangan Peraturan Desa.

    5.4. Larangan BPD

    Selain hak dan kewajiban, anggota BPD dibebani sejumlah larangan yang sebagian besar isinya mirip dengan larangan bagi Kepala Desa. Sebagaimana rumusan dalam Pasal 64,

    Pasal 64
    Anggota Badan Permusyawaratan Desa dilarang: a.       Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat desa, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat desa; b.      Melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; c.       Menyalahgunakan wewenang; d.      Melanggar sumpah/janji jabatan; e.       Merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat desa; f.        Merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; g.       Sebagai pelaksana proyek desa; h.      Menjadi pengurus partai politik; dan/atau i.         Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.
    Penjelasan
    Cukup Jelas

     

    Pembahasan di DPR

    Saat menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU tentang Desa, April 2012, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sudah menyinggung tentang larangan-larangan bagi Kepala Desa dan BPD. Gamawan menyebutkan:

    Substansi mengenai penyelenggara pemerintah desa dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban Kepala Desa, larangan bagi Kepala Desa, pemberhentian dan pemilihan Kepala Desa, tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa”.

    Larangan yang paling mendapat sorotan dalam pembahasan di Senayan adalah menjadi pengurus partai politik (pembahasan mengenai larangan dapat dilihat pada bagian Kepala Desa).

    Tanggapan

    Larangan-larangan untuk BPD yang disebut dalam UU Desa sebenarnya berlebihan. Sebab, perundang-undangan lain juga telah melarang perbuatan-perbuatan tersebut dan mengkualifikasinya sebagai perbuatan pidana. Uniknya, tak ada klausul/norma dalam UU ini yang menyebutkan sanksi administratif terhadap anggota BPD tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana yang pasti, seperti halnya Kepala Desa dan perangkat desa. Anggota BPD juga bisa diberhentikan karena sebab-sebab yang ditentukan Pasal 76 PP No. 43 Tahun 2014 yaitu diberhentikan karena berakhir masa keanggotaan, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota BPD, dan melanggar larangan sebagai anggota BPD.

    Kendati demikian, jika merujuk pada Pasal 76 PP No. 43 Tahun 2014, anggota BPD diberhentikan oleh pimpinan BPD kepada Bupati atas dasar hasil musyawarah. Mekanisme penetapan pemberhentian ini penting dan lebih pas melibatkan forum musyawarah BPD. Sebab, jika pemberhentian hanya merujuk pada usulan pimpinan BPD, ada kemungkinan timbul konflik kepentingan. Misalnya, bagaimana jika pimpinan BPD secara bersama-sama melanggar larangan? Apakah dengan demikian mereka tak pernah bisa diusulkan untuk diberhentikan? Oleh karena itu, jalan keluar yang diberikan PP sudah pas.

    Satu hal yang patut ditegaskan adalah UU Desa tak melarang anggota BPD menjadi anggota partai politik. Sebab, merujuk pada Pasal 64 huruf h, yang dilarang adalah menjadi pengurus meskipun tak dijelaskan lebih lanjut oleh Undang-Undang ini pengurus tingkat apa yang dilarang, atau memang terlarang untuk semua tingkatan dan jenis jabatan dalam kepengurusan partai politik.

    5.5. Mekanisme Pengambilan Keputusan BPD

    Undang-Undang Desa juga mengatur struktur kepengurusan BPD dan mekanisme pemilihan anggotanya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 59. Normatifnya, untuk pertama kali, rapat pemilihan pimpinan BPD dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda.

    Menurut Pasal 59 ayat (1) pimpinan BPD terdiri atas 1 orang ketua, 1 orang wakil ketua, dan 1 orang sekretaris. Jika misalnya anggota BPD berjumlah 5, maka dua anggota yang tersisa berstatus anggota. Pimpinan dipilih dari dan oleh anggota BPD dalam rapat yang diadakan secara khusus. Rumusan lengkapnya adalah berikut:

    Pasal 59
    (1)         Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris; (2)         Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa secara langsung dalam rapat permusyawaratan desa yang diadakan secara khusus. (3)         Rapat pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 65 ayat (1)
    Mekanisme musyawarah Badan Permusyawaratan Desa sebaga berikut: a.       Musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa; b.      Musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dinyatakan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa; c.       Pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah guna mencapai mufakat; d.      Apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara; e.       Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam huruf d dinyatakan sah apabila disetujui oleh paling sedikit ½ (satu perdua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa yang hadir; dan f.        Hasil musyawarah Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan keputusan Badan Permusyawaratan Desa dan dilampiri notula musyawarah yang dibuat oleh sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas

    Pembahasan di DPR

    Tata cara pemilihan pemilihan anggota BPD disebut dalam Naskah Akademik, yaitu ’dipilih atau berdasarkan musyawarah secara berjenjang sesuai dengan adat istiadat dan tradisi setempat’.

    Pemerintah, melalui Mendagri Gamawan Fauzi menyampaikan usulan agar pemilihan pimpinan BPD dan mekanisme musyawarah desa dilakukan secara demokratis, sebagaimana pemilihan Kepala Desa. NAmun, Gamawan mempertanyakan demokratis seperti apa yang dimaksud. Agar kelak tidak menimbulkan perbedaan tafsir, UU Desa seharusnya menyebutkan ketentuan lebih lanjut, seperti disampaikan Gamawan dalam rapat 11 Desember 2013, berikut:

    Pemilihan Badan Musyawarah Desa, itu kan juga dipilih secara demokratis. Seperti apa? Apakah ini diatur oleh masing-masing kabupaten atau diatur dengan PP? Kalau dulu diatur dengan Perbup saja karena setiap daerah berbeda-beda. Makanya, apa yang disebut di sini, nanti pengaturannya PP, disebutkan di situ, bahwa nanti diatur dengan PP saja”.

    Anggota Fraksi Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu, punya pandangan berbeda. Ia mengusulkan agar masalah BPD diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) karena heterogenitas daerah. Seperti ia ungkapkan berikut ini:

    Sebenarnya, waktu perdebatan soal BPD, tata caranya memang hampir semua kabupaten/kota itu terutama yang basisnya provinsi, itu berbeda-beda Pak. Karena itu kemarin secara implisit sebenarnya diatur di Perda. Asumsi kita bukan di PP karena PP akan kesulitan melihat perbedaan-perbedaan tata cara pemilihan yang sudah berkembang pada saat sekarang ini. Kalau memang harus ditegaskan aturan lebih lanjut, menurut saya lebih tepat Perda, Pak”.

    Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat memasukkan pengaturan lebih lanjut mengenai BPD diatur lewat Perda sebagaimana tertuang dalam Pasal 65 ayat (2) berikut: ”Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah/Kota”.

    Mekanisme musyawarah BPD diatur sekilas dalam Pasal 65 ayat (1). Dalam proses pembahasan RUU tanggal 28 Juni 2012, pakar ekonomi, Prof. Erani Yustika sudah menyinggung mekanisme pengambilan keputusan BPD. Ia mengingatkan tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Prof. Erani Yustika mengatakan:

    ”Musyawarah BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya ½ ditambah 1 dari jumlah anggota BPD. Tidak ada satu pun klausul di situ yang menyebutkan partisipasi warga. Meskipun partisipasi warga di situ sebenarnya sudah bisa diwakili oleh BPD, tetapi itu jelas mereduksi dari apa yang menjadi norma, yang pernah menjadi community characteristic dari desa di masa lalu dengan institusi yang namanya, misalnya, Rembug Desa”.

    Tanggapan

    Musyawarah desa adalah forum penting untuk menentukan bagaimana pemerintahan diselenggarakan, apa saja prioritas pembangunan, dan ke arah mana desa akan dibawa. Keberhasilan penyelenggaraan musyawarah desa sangat ditentukan tata cara pengambilan keputusan di BPD. Undang-Undang Desa menentukan dengan jelas siapa pimpinan sidang dan siapa yang membuat notula rapat; bagaimana keabsahan pengambilan keputusan baik melalui musyawarah maupun voting; kehadiran anggota BPD; dan bentuk penetapan hasil musyawarah oleh BPD.

    Namun pengaturan Pasal 59 dan Pasal 65 UU Desa tidak menguraikan lebih lanjut kondisi tertentu jika pimpinan BPD tidak hadir, atau hanya dihadiri sekretaris dan anggota, apakah rapat semacam itu tetap sah atau tidak? Jika sekretaris BPD memimpin rapat, siapa yang bertugas membuat notula? Implementasi hasil musyawarah desa yang sudah ditetapkan sangat bergantung pada tingkat penerimaan dua pihak, yaitu kepala desa dan masyarakat desa. Dalam konteks inilah relevan apa yang dipersoalkan Prof. Erani dalam pembahasan di DPR, bahwa kehadiran warga masyarakat dalam rapat tetap dimungkinkan, walaupun pada hakikatnya mereka sudah diwakili oleh BPD.

    Pengaturan agar jumlah anggota BPD gasal (vide Pasal 58 ayat 1) sebenarnya penting untuk menutup peluang buntunya pengambilan keputusan. Jika jumlahnya genap dalam pengambilan keputusan secara voting ada kemungkinan deadlock alias tidak tercapai kata sepakat, sebagaimana syarat 50 plus 1 yang diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e UU Desa.

    Update terbaru 14 June 2016.