5.1. Pembentukan Desa

    Ketentuan yang ada dalam pasal 8 ini lebih banyak mengatur tentang pembentukan Desa baru. Pasal ini mengawali dengan ayat tentang pengertian pembentukan Desa. Pembentukan Desa sebagaimana dinyatakan pada Pasal 8 ayat (1) merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada. Pada bagian penjelasan disampaikan bahwa pembentukan Desa dapat berupa: a) pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih; b) penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau c) penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.

    Ayat 2 menekankan bahwa pembentukan Desa ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan enam aspek, yaitu : 1) prakarsa masyarakat desa; 2) asal usul; 3) adat istiadat; 4) kondisi sosial budaya masyarakat desa; 5) kemampuan desa; dan 6) potensi desa.

    Pasal 8
    (1)        Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada.

    (2)        Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.

    (3)        Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

    a.       batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;

    b.      jumlah penduduk, yaitu:

    i.      wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga;

    ii.      wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;

    iii.      wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga;

    iv.      wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;

    v.      wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;

    vi.      wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;

    vii.      wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;

    viii.      wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan

    ix.      wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.

    c.       wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;

    d.      sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;

    e.       memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;

    f.        batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota;

    g.       sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan

    h.      tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (4)        Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.

    (5)        Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan.

    (6)        Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk.

    (7)        Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun.

    (8)        Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi.

    Penjelasan
    Ayat (1)

    Pembentukan Desa dapat berupa:

    a. pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;

    b. penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau

    c. penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.

     

    Ayat (2)

    Cukup jelas.

     

    Ayat (3)

    Cukup jelas.

     

    Ayat (4)

    Cukup jelas.

     

    Ayat (5)

    Cukup jelas.

     

    Ayat (6)

    Cukup jelas.

     

    Ayat (7)

    Cukup jelas.

     

    Ayat (8)

    Cukup jelas.

    Pembahasan di DPR

    Dari dokumentasi yang tersedia dapat diketahui, klausul tentang persyaratan pembentukan desa ini tidak terlalu mengemuka dalam proses pembahasan. Secara prinsip, rumusan yang diusulkan Pemerintah hampir tidak ada penolakan dari fraksi-fraksi di DPR. Namun demikian terjadi beberapa perubahan rumusan pada saat disahkan menjadi UU.

    Pada bagian awal tentang pembentukan desa, Pemerintah menyampaikan rumusan yang terdiri dari dua ayat sebagai berikut:

    1. Pembentukan desa sebagaimana dimaksud … merupakan tindakan mengadakan desa baru di luar desa yang ada.
    2. Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    3. pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;
    4. penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau
    5. penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.

    Mengacu pada catatan DIM, pada awalnya fraksi-fraksi sepakat dengan rumusan ini. Namun demikian pada akhirnya ayat (2) disepakati tidak dijadikan norma tetapi dimasukkan sebagai penjelasan dari ayat (1).

    Klausul pada ayat (2) UU tidak berubah dari rumusan yang diusulkan oleh Pemerintah. Namun demikian FPKB mengusulkan adanya tambahan pertimbangan dalam pembentukan desa, yaitu kondisi lingkungan, geografis dan daya dukung. Rumusan pada ayat 3 ini juga hampir sama dengan rumusan yang diusulkan oleh Pemerintah, kecuali hanya persyaratan yang terkait dengan jumlah penduduk sebagaimana tercantum pada huruf b. Terkait dengan persyaratan jumlah penduduk dalam pembentukan desa, Pemerintah mengusulkan rumusan sebagai berikut:

    • Jawa dan Bali paling sedikit 5.000 jiwa atau 1.250 kepala keluarga;
    • Sumatera paling sedikit 3.000 jiwa atau 750 kepala keluarga;
    • Kalimantan dan Sulawesi paling sedikit 2.500 jiwa atau 625 kepala keluarga; dan
    • Nusa Tenggara, Maluku, Papua paling sedikit 1.000 jiwa atau 250 kepala keluarga.

    Tidak diketahui secara pasti dasar pemikiran yang digunakan untuk mengusulkan rumusan ini. Dalam Naskah Akademik, meskipun di dalamnya memuat materi tentang penataan desa tetapi juga tidak menjelaskan tentang persyaratan jumlah penduduk ini, sehingga tidak dapat dinilai apakah jumlah penduduk tersebut sudah cukup ideal bagi desa baru? Fraksi-fraksi di DPR dalam DIM sepakat dengan rumusan ini. Rapat-rapat kerja Pansus juga tidak membahas hal ini. Namun dalam catatan RUU yang disepakati hingga rapat Timus 3 Oktober 2013, rumusan tersebut telah berubah sesuai dengan rumusan pada UU yang disahkan, meskipun juga tidak ada catatan mengenai dasar pemikirannya.

    Ayat (3) huruf c hingga g dalam UU masih sama dengan rumusan usulan Pemerintah. Tambahan pada huruf h merupakan hasil penyerapan dari usulan dari FPKB. Rumusan yang diusulkan oleh FPKB adalah, “Tersedianya alokasi dana desa dan dana untuk penghasilan tetap dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintahan Desa yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota”. Rumusannya disempurnakan dan disepakati pada rapat Timus 5 September 2013.

    Ayat (4) juga tidak ada perubahan dari rumusan yang diusulkan oleh Pemerintah. Yang cukup mengalami perubahan adalah rumusan pada ayat 5 hingga 8. Ayat-ayat ini tidak ada dalam RUU usulan Pemerintah. Dalam DIM fraksi-fraksi juga tidak mencantumkan ketentuan ini. Ayat 5-8 ini pada dasarnya mengatur tentang desa persiapan sebelum ditetapkan desa baru secara permanen. Rumusan baru muncul setelah rapat Timus pada 5 September 2013, dan masih menyisakan catatan bahwa kata “persiapan” masih belum disepakati sampai ada penyesuaian lebih lanjut. Jika memperhatikan UU No. 23/2014, konsep desa persiapan ini hampir sama dengan daerah persiapan dalam proses pemekaran daerah.

    Tanggapan

    Jika memperhatikan pengertiannya pada pasal 8 ayat (1)[2], pembentukan desa ini lebih mengarah pada pengertian tentang pemekaran desa. Demikian juga memperhatikan persyaratan yang tercantum pada pasal 5-7[3] pembentukan desa sebagaimana dimaksud juga lebih dimaksudkan sebagai pemekaran desa. Namun jika memperhatikan penjelasannya[4], pembentukan desa juga dapat berupa penggabungan desa. Jika penggabungan desa dikategorikan sebagai pembentukan desa, agak sulit untuk mengimplementasikan pasal 5 hingga 7.

    Misalnya Desa A dan Desa B akan bergabung, desa mana yang dimaksud sebagai desa induk?, apakah Desa A atau Desa B? lalu apa kriterianya suatu desa dapat ditetapkan sebagai desa induk?, jika kemudian Desa A dan Desa B bergabung menjadi Desa C, menurut ketentuan ini Desa C tidak dapat langsung ditetapkan menjadi Desa, tetapi harus menjadi Desa Persiapan terlebih dahulu. Pada saat Desa C masih menjadi Desa Persiapan, apakah status Desa A dan Desa B masih tetap ada atau secara otomatis dihapus? Diperlukan ketentuan lebih lanjut untuk memperjelas dalam implementasinya kemudian.

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.