5. Prasyarat Penataan Desa

    Sebagaimana telah disinggung di atas, penataan desa bukanlah hal yang mutlak. Penataan desa merupakan proses yang bersifat opsional, yang dapat dilakukan dengan memperhatikan prasyarat tertentu.

    Uraian tentang persyaratan penataan desa pada bagian ini akan disampaikan per poin. Namun demikian, poin-poin dalam uraian ini sedikit berbeda dengan poin-poin yang tercantum dalam ruang lingkup penataan desa sebagaimana dinyatakan pada pasal 7 ayat (4). Mengacu pada pasal-pasal yang mengatur tentang persyaratan penataan desa (Pasal 8-12), poin-poin yang akan diuraikan meliputi: a) pembentukan Desa; b) Pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis; c) penghapusan Desa; dan d) penggabungan Desa; dan e) perubahan status. Perubahan status dalam poin ini terbatas pada perubahan status Desa menjadi kelurahan atau sebaliknya. Sedangkan perubahan status Desa Adat menjadi Desa tidak diatur dalam bagian ini. Pada bagian ini juga tidak ada rincian pasal tentang penetapan Desa sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 4 poin e.

    Dari kelima poin yang disebutkan di atas, porsi uraian pasal yang mengatur tentang pembentukan Desa lebih besar jika dibandingkan dengan poin-poin lainnya.

    Daftar Isi :

    5.1. Pembentukan Desa
    5.2. Pembentukan Desa di Kawasan yang Bersifat Khusus dan Strategis
    5.3. Penghapusan Desa
    5.4. Penggabungan Desa
    5.5. Perubahan Status

    5.1. Pembentukan Desa

    Ketentuan yang ada dalam pasal 8 ini lebih banyak mengatur tentang pembentukan Desa baru. Pasal ini mengawali dengan ayat tentang pengertian pembentukan Desa. Pembentukan Desa sebagaimana dinyatakan pada Pasal 8 ayat (1) merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada. Pada bagian penjelasan disampaikan bahwa pembentukan Desa dapat berupa: a) pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih; b) penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau c) penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.

    Ayat 2 menekankan bahwa pembentukan Desa ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan enam aspek, yaitu : 1) prakarsa masyarakat desa; 2) asal usul; 3) adat istiadat; 4) kondisi sosial budaya masyarakat desa; 5) kemampuan desa; dan 6) potensi desa.

    Pasal 8
    (1)        Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada. (2)        Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa. (3)        Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a.       batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan; b.      jumlah penduduk, yaitu: i.      wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga; ii.      wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga; iii.      wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga; iv.      wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga; v.      wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga; vi.      wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga; vii.      wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga; viii.      wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan ix.      wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga. c.       wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah; d.      sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa; e.       memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung; f.        batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota; g.       sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan h.      tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4)        Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa. (5)        Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan. (6)        Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk. (7)        Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun. (8)        Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi.
    Penjelasan
    Ayat (1) Pembentukan Desa dapat berupa: a. pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih; b. penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau c. penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.   Ayat (2) Cukup jelas.   Ayat (3) Cukup jelas.   Ayat (4) Cukup jelas.   Ayat (5) Cukup jelas.   Ayat (6) Cukup jelas.   Ayat (7) Cukup jelas.   Ayat (8) Cukup jelas.

    Pembahasan di DPR

    Dari dokumentasi yang tersedia dapat diketahui, klausul tentang persyaratan pembentukan desa ini tidak terlalu mengemuka dalam proses pembahasan. Secara prinsip, rumusan yang diusulkan Pemerintah hampir tidak ada penolakan dari fraksi-fraksi di DPR. Namun demikian terjadi beberapa perubahan rumusan pada saat disahkan menjadi UU.

    Pada bagian awal tentang pembentukan desa, Pemerintah menyampaikan rumusan yang terdiri dari dua ayat sebagai berikut:

    1. Pembentukan desa sebagaimana dimaksud ... merupakan tindakan mengadakan desa baru di luar desa yang ada.
    2. Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    3. pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;
    4. penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau
    5. penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.

    Mengacu pada catatan DIM, pada awalnya fraksi-fraksi sepakat dengan rumusan ini. Namun demikian pada akhirnya ayat (2) disepakati tidak dijadikan norma tetapi dimasukkan sebagai penjelasan dari ayat (1).

    Klausul pada ayat (2) UU tidak berubah dari rumusan yang diusulkan oleh Pemerintah. Namun demikian FPKB mengusulkan adanya tambahan pertimbangan dalam pembentukan desa, yaitu kondisi lingkungan, geografis dan daya dukung. Rumusan pada ayat 3 ini juga hampir sama dengan rumusan yang diusulkan oleh Pemerintah, kecuali hanya persyaratan yang terkait dengan jumlah penduduk sebagaimana tercantum pada huruf b. Terkait dengan persyaratan jumlah penduduk dalam pembentukan desa, Pemerintah mengusulkan rumusan sebagai berikut:

    • Jawa dan Bali paling sedikit 5.000 jiwa atau 1.250 kepala keluarga;
    • Sumatera paling sedikit 3.000 jiwa atau 750 kepala keluarga;
    • Kalimantan dan Sulawesi paling sedikit 2.500 jiwa atau 625 kepala keluarga; dan
    • Nusa Tenggara, Maluku, Papua paling sedikit 1.000 jiwa atau 250 kepala keluarga.

    Tidak diketahui secara pasti dasar pemikiran yang digunakan untuk mengusulkan rumusan ini. Dalam Naskah Akademik, meskipun di dalamnya memuat materi tentang penataan desa tetapi juga tidak menjelaskan tentang persyaratan jumlah penduduk ini, sehingga tidak dapat dinilai apakah jumlah penduduk tersebut sudah cukup ideal bagi desa baru? Fraksi-fraksi di DPR dalam DIM sepakat dengan rumusan ini. Rapat-rapat kerja Pansus juga tidak membahas hal ini. Namun dalam catatan RUU yang disepakati hingga rapat Timus 3 Oktober 2013, rumusan tersebut telah berubah sesuai dengan rumusan pada UU yang disahkan, meskipun juga tidak ada catatan mengenai dasar pemikirannya.

    Ayat (3) huruf c hingga g dalam UU masih sama dengan rumusan usulan Pemerintah. Tambahan pada huruf h merupakan hasil penyerapan dari usulan dari FPKB. Rumusan yang diusulkan oleh FPKB adalah, “Tersedianya alokasi dana desa dan dana untuk penghasilan tetap dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintahan Desa yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota”. Rumusannya disempurnakan dan disepakati pada rapat Timus 5 September 2013.

    Ayat (4) juga tidak ada perubahan dari rumusan yang diusulkan oleh Pemerintah. Yang cukup mengalami perubahan adalah rumusan pada ayat 5 hingga 8. Ayat-ayat ini tidak ada dalam RUU usulan Pemerintah. Dalam DIM fraksi-fraksi juga tidak mencantumkan ketentuan ini. Ayat 5-8 ini pada dasarnya mengatur tentang desa persiapan sebelum ditetapkan desa baru secara permanen. Rumusan baru muncul setelah rapat Timus pada 5 September 2013, dan masih menyisakan catatan bahwa kata “persiapan” masih belum disepakati sampai ada penyesuaian lebih lanjut. Jika memperhatikan UU No. 23/2014, konsep desa persiapan ini hampir sama dengan daerah persiapan dalam proses pemekaran daerah.

    Tanggapan

    Jika memperhatikan pengertiannya pada pasal 8 ayat (1)[2], pembentukan desa ini lebih mengarah pada pengertian tentang pemekaran desa. Demikian juga memperhatikan persyaratan yang tercantum pada pasal 5-7[3] pembentukan desa sebagaimana dimaksud juga lebih dimaksudkan sebagai pemekaran desa. Namun jika memperhatikan penjelasannya[4], pembentukan desa juga dapat berupa penggabungan desa. Jika penggabungan desa dikategorikan sebagai pembentukan desa, agak sulit untuk mengimplementasikan pasal 5 hingga 7.

    Misalnya Desa A dan Desa B akan bergabung, desa mana yang dimaksud sebagai desa induk?, apakah Desa A atau Desa B? lalu apa kriterianya suatu desa dapat ditetapkan sebagai desa induk?, jika kemudian Desa A dan Desa B bergabung menjadi Desa C, menurut ketentuan ini Desa C tidak dapat langsung ditetapkan menjadi Desa, tetapi harus menjadi Desa Persiapan terlebih dahulu. Pada saat Desa C masih menjadi Desa Persiapan, apakah status Desa A dan Desa B masih tetap ada atau secara otomatis dihapus? Diperlukan ketentuan lebih lanjut untuk memperjelas dalam implementasinya kemudian.

    5.2. Pembentukan Desa di Kawasan yang Bersifat Khusus dan Strategis

    Pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis diatur pada pasal 13. Pasal ini terpisah dengan pasal 8 yang mengatur tentang persyaratan pembentukan desa. Karena bersifat pembentukan, maka penyajian pasal ini lebih di kedepankan, sehingga pembahasan pembentukan desa tersaji secara runut. Pasal 13 ini tidak menjelaskan mengenai prasyarat tertentu untuk membentuk desa yang berada di kawasan yang bersifat khusus dan strategis, maka persyaratan dalam pembentukan desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ini mengacu pada klausul umum yang mengatur persyaratan pembentukan desa, yaitu pasal 8.  
    Pasal 13
    Pemerintah memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional.
    Penjelasan
    Yang dimaksud dengan “kawasan yang bersifat khusus dan strategis” seperti kawasan terluar dalam wilayah perbatasan antarnegara, program transmigrasi, dan program lain yang dianggap strategis.
      Pembahasan di DPR Klausul ini terdapat dalam RUU Desa yang diajukan oleh Pemerintah. Sebagian besar fraksi sepakat dengan rumusan ini. Hanya FPPP yang mengusulkan perlunya mekanisme pembentukan desa yang diprakarsai oleh Pemerintah. Mekanisme sebagaimana dimaksud adalah: a) adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat; b) masyarakat mengajukan usul kepada BPD atau Kepala Desa untuk disetujui dalam Musyawarah Desa; c) usulan masyarakat yang telah disetujui dalam Musyawarah Desa diajukan oleh Kepala Desa kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/kota melalui Camat; d) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengadakan pengkajian dan analisis terhadap kelayakan usulan pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada huruf c; dan e) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan hasil pengkajian dan analisis sebagaimana dimaksud pada huruf d mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa Kepada DPRD Kabupaten/Kota guna mendapatkan persetujuan bersama. Tanggapan Jika dalam persyaratannya, klausul ini tidak memiliki kekhususan, tidak demikian dalam mekanisme pembentukannya. Mekanisme pembentukan desa kawasan khusus ini tidak mengikuti ketentuan umum sebagaimana diatur dalam pasal 14-17. Namun demikian, UU ini tidak mengatur secara spesifik tentang mekanisme pembentukan desa kawasan khusus tersebut. Oleh karena itu, tidak jelas pula dasar hukum yang dijadikan sebagai acuan penetapannya. Jika mengacu pada kaidah umum, pembentukan desa ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota. Ketiadaan aturan tentang mekanisme tersebut secara otomatis memberikan diskresi bagi pemerintah. Diskresi tersebut makin luas seiring dengan tidak adanya batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud “kawasan yang bersifat khusus dan strategis” bagi kepentingan nasional. Pemerintah dapat memberikan penafsiran secara sepihak tentang kawasan yang bersifat khusus dan strategis tersebut. Pada bagian penjelasan klausul ini hanya memberikan contoh bukan batasan. Diskresi pemerintah yang relatif luas ini hendaknya dapat dikelola dengan baik agar dalam implementasinya nanti dapat diselaraskan dengan aspirasi masyarakat setempat.

    5.3. Penghapusan Desa

    Klausul ini mengatur tentang Penghapusan Desa. Berdasarkan rumusannya, penghapusan desa dapat dilakukan jika ditemui salah satu atau dua alasan, yaitu 1) karena bencana alam; dan/atau 2) kepentingan program nasional yang strategis. Mekanismenya sendiri mengacu pada prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 14-17. Mengacu pada ketentuan tersebut, inisiatif penghapusan desa masih tetap berada di tangan pemerintah kabupaten/kota melalui penyusunan Rancangan Perda.
    Pasal 9
    Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis.
    Penjelasan
    Yang dimaksud dengan “program nasional yang strategis“ adalah antara lain program pembuatan waduk atau bendungan yang meliputi seluruh wilayah Desa.
    Pembahasan di DPR Dalam RUU usulan Pemerintah, yang dimaksud dengan penghapusan desa adalah tindakan pencabutan status desa yang ada. Selanjutnya dinyatakan, desa yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dicantumkan dalam persyaratan pembentukan desa (Pasal 8 ayat 3)[5]. Fraksi-fraksi di DPR tidak memberikan masukan terhadap rumusan Pemerintah ini. Sebagaimana tercantum dalam DIM, seluruh fraksi sepakat dengan rumusan pemerintah tersebut. Namun demikian, setelah disahkan menjadi UU, rumusan ini hilang dan diganti dengan rumusan yang substansinya berbeda. Rumusan sebagaimana tercantum dalam UU ini merupakan hasil keputusan rapat Timus tanggal 5 September 2013. Dengan rumusan sebagaimana yang tercantum dalam UU, maka klausul ini tidak dapat dijadikan dasar untuk mencabut status desa yang telah ada sebelumnya hanya karena tidak memenuhi persyaratan pembentukan desa. Berdasar pada klausul ini, maka desa hanya dapat dihapus jika memenuhi salah satu atau dua dari hal sebagaimana disebutkan dalam rumusan. Tanggapan Klausul ini masih kurang spesifik dalam memberikan alasan terhadap terjadinya proses penghapusan desa. Bencana alam itu sendiri semestinya tidak serta merta menyebabkan suatu desa dapat dihapus. Namun, dampak dari bencana alam yang menyebabkan hilangnya wilayah desa secara permanenlah semestinya yang dapat dijadikan alasan bagi penghapusan desa. Misalnya, desa yang terendam air laut secara permanen karena tsunami. Namun desa yang terkena bencana alam seperti tanah longsor atau banjir bandang tidak serta merta dapat dihapus sepanjang desa tersebut dapat direkonstruksi. Kedua, alasan tentang program nasional yang strategis juga memberikan diskresi yang relatif luas kepada pemerintah. Hal ini karena tidak ada batasan yang jelas tentang program nasional yang dimaksud. Pada bagian penjelasan pasal ini hanya disebutkan salah satu bentuk program nasional yang strategis yaitu waduk atau bendungan. Penjelasan ini tidak cukup dapat membatasi apa yang dimaksud dengan program nasional yang strategis tersebut. Dalam kaitan dengan penghapusan desa, tidak diatur lebih lanjut tentang kompensasi bagi warga yang desanya dihapus. Kompensasi semestinya tidak hanya terbatas pada ganti rugi secara personal. Kompensasi yang diberikan semestinya dilakukan secara kolektif kepada seluruh warga, misalnya dengan penempatan lokasi baru untuk dijadikan sebagai desa baru. Relokasi secara kolektif ini diharapkan dapat mempertahankan kesatuan masyarakat yang selama ini terjalin, termasuk mempertahankan kohesi di antara mereka.

    5.4. Penggabungan Desa

    Mengacu pada pasal 8 ayat 1, penggabungan desa merupakan bagian dari pembentukan desa. Tetapi ternyata penggabungan desa diatur khusus dalam pasal 10. Dengan demikian maka persyaratan sebagaimana dimaksud dalam klausul ini mengacu pada persyaratan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 8.
    Pasal 10
    Dua Desa atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
    Penjelasan
    Cukup jelas.
      Pembahasan di DPR Terkait dengan penggabungan desa, RUU Desa usulan Pemerintah memiliki rumusan, bahwa penggabungan desa dilaksanakan dengan ketentuan: a) dua desa atau lebih yang berdampingan dalam satu kecamatan dapat digabung menjadi desa baru berdasarkan kesepakatan desa yang bersangkutan; dan b) dua desa atau lebih yang berdampingan dapat bergabung menjadi desa berdasarkan kesepakatan desa yang bersangkutan. Mengacu pada DIM, sebagian fraksi sepakat dengan rumusan ini. Pada pembahasan di tingkat Raker rumusan ini juga tidak dipersoalkan. Namun dalam draf RUU yang dibahas hingga tanggal 12 September 2013, rumusan berubah menjadi:
    • Penggabungan atau pemekaran Desa Adat dapat dilakukan atas prakarsa dan kesepakatan antar Desa Adat.
    • Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan penggabungan atau pemekaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    Rumusan yang disepakati pada akhirnya hanya mengatur tentang desa saja karena pengaturan tentang penataan desa adat diatur pada bab lain UU Desa ini. Rumusan yang disahkan menambahkan ketentuan persyaratan dalam penggabungan desa.   Tanggapan Secara substansi, penggabungan desa merupakan bagian dari pembentukan desa sebagaimana diatur pada pasal 8. Sebab, pada penjelasan tentang pembentukan desa dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembentukan desa salah satunya adalah penggabungan desa. Oleh karena itu, prasyarat sebagaimana dimaksud pada rumusan dalam klausul ini mengacu pada persyaratan yang diatur pada pasal 8. Mengacu pada rumusan ini, poin penting basis pembentukan desa adalah kesepakatan desa yang bersangkutan. Namun demikian tidak ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur tentang mekanisme kesepakatan dimaksud, serta dalam bentuk apa kesepakatan tersebut ditetapkan. Mengacu pada pasal 55 UU Desa, bahwa salah satu fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa. Sehingga, dalam konteks ini jika ada kesepakatan Desa untuk menggabungkan diri maka mekanisme kesepakatan yang kemungkinan bisa dilakukan adalah dengan melakukan musyawarah BPD antar Desa. Terkait dengan mekanisme, penggabungan desa ini mengikuti kaidah sebagaimana diatur pasal 14-17. Mengacu pada ketentuan tersebut, penetapan penggabungan Desa didasarkan pada Perda Kabupaten/Kota.

    5.5. Perubahan Status

    Pengaturan tentang perubahan status dibagi menjadi dua, yaitu: 1) perubahan status desa menjadi kelurahan (Pasal 11); dan 2) perubahan kelurahan menjadi desa (Pasal 12). Mekanisme penetapannya, sebagaimana diatur pada pasal 14 ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota.

     

    Pasal 11
    (1)        Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Desa. (2)        Seluruh barang milik Desa dan sumber pendapatan Desa yang berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
    Penjelasan
    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota” adalah termasuk untuk memberikan dana purnatugas (pesangon) bagi Kepala Desa dan perangkat Desa yang diberhentikan sebagai akibat perubahan status Desa menjadi kelurahan.
    Pasal 12
    (1)         Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)         Kelurahan yang berubah status menjadi Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat Desa. (3)         Pendanaan perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
    Penjelasan
    Ayat (1) Yang dimaksud dengan “mengubah status kelurahan menjadi Desa” adalah perubahan status kelurahan menjadi Desa atau kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian tetap menjadi kelurahan. Hal tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk menyesuaikan adanya kelurahan yang kehidupan masyarakatnya masih bersifat perdesaan.   Ayat (2) Cukup jelas.   Ayat (3) Cukup jelas.

    Pembahasan di DPR

    Mengacu pada RUU yang diajukan Pemerintah, yang dimaksud dengan perubahan status adalah perubahan desa menjadi kelurahan, sedangkan perubahan kelurahan menjadi desa disebut sebagai “penyesuaian kelurahan”.

    Terhadap perubahan desa menjadi kelurahan, RUU versi Pemerintah mengajukan syarat sebagai berikut:

    1. luas wilayah tidak berubah;
    2. jumlah penduduk:
      • Jawa dan Bali paling sedikit 6.000 jiwa atau 1.500 kepala keluarga;
      • Luar Jawa dan Bali paling sedikit 3.000 jiwa atau 750 kepala keluarga;
    3. prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai;
    4. potensi ekonomi berupa jenis, jumlah usaha jasa dan produksi serta keanekaragaman mata pencaharian;
    5. kondisi sosial budaya masyarakat yang beranekaragam dan sekurang-kurangnya 70% (tujuh puluh per seratus) penduduknya mempunyai mata pencaharian non pertanian;
    6. meningkatnya volume pelayanan masyarakat;
    7. memiliki batas kelurahan yang dinyatakan dengan peta batas kelurahan; dan
    8. tersedianya dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota untuk pendanaan penyelenggaraan kelurahan.

    Persyaratan poin e mendapat perhatian Hary Priyono, wakil Kementerian Pertanian pada rapat RDPU tanggal 14 Juni 2012. Menurut Hary, ketentuan mengenai 70 persen penduduk yang mempunyai mata pencaharia non pertanian harus mengacu pada kriteria yang jelas. Menurutnya, pertanian tidak semata-mata hanya bercocok tanam. Dalam agribisnis, industri pengolahan produk-produk pertanian juga dapat dikategorikan sebagai mata pencaharian pertanian. Hary mempertanyakan apakah dengan klausul semacam itu menjadi seolah-olah penduduk yang tidak bercocok tanam termasuk memiliki mata pencaharian non-pertanian?

    Lebih lanjut Harry menyampaikan:

    “Oleh sebab itu kami mohon kiranya point e ini perlu dihapus sajalah, karena pemahaman pertanian, 70% sekurang-kurangnya ini seolah-olah bukan kegiatan pertanian. Kalau misalnya dia bakulan, komoditi pertanian, kemudian dia mengolah dari nanas menjadi dodol, bukankah itu juga usaha pertanian?”.

    Sedangkan terkait dengan persyaratan tentang mata pencaharian, perwakilan dari Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Suryokoco Suryoputro, pada RDPU 24 Mei 2012 meyampaikan bahwa perlu ada satu kesepahaman tentang desa itu apa, kota itu apa. Menurutnya, mata pencaharian penduduk menjadi penting untuk menjadi acuan suatu wilayah disebut sebagai desa atau bukan.

    Lebih lanjut Suryokoco menyampaikan:

    “Ketika kemudian akan menjadi kelurahan, ada aturannya bahwa minimal mereka sudah tidak lagi berprofesi sebagai petani atau buruh tani atau apapun, sekian persen, sehingga layak menjadi kelurahan, sehingga itu menjadi satu proses pelayanan administratif dan seterusnya. Oleh karenanya persyaratan untuk pembentukan desa, saya pikir itu perlu menjadi catatan dan kami usulkan untuk sekurang-kurangnya 50% penduduk bermata pencaharian pertanian”.

    Sedangkan dalam DIM sebenarnya fraksi-fraksi DPR tidak memberikan tanggapan terhadap persyaratan perubahan status ini. Namun demikian pada UU yang disahkan, rumusan ini sudah tidak ada lagi. Sehingga secara normatif, tidak ada persyaratan khusus dalam perubahan desa menjadi kelurahan selain adanya prakarsa Pemerintah Desa dan BPD melalui Musyawarah Desa. Mengacu pada proses pembahasan, tidak diketahui secara persis terkait dengan perubahan ini.

    Terkait dengan perubahan status desa menjadi kelurahan, RUU Pemerintah tidak merumuskan klausul tentang persyaratan. Di sana hanya dinyatakan bahwa perubahan status kelurahan menjadi desa dilaksanakan berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi karakteristik persyaratan yang ditentukan. Fraksi-fraksi di DPR dalam DIM yang dirumuskan menyatakan sepakat dengan rumusan usulan Pemerintah ini. Namun demikian terdapat perubahan substansi dari klausul tersebut setelah disahkan. Rumusan dalam UU yang disahkan menjadi lebih pasti, karena persyaratan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Tanggapan

    Mengacu pada rumusan pada pasal 11 dan 12 ini ada perbedaan prinsip antara perubahan status desa menjadi kelurahan dan perubahan status kelurahan menjadi desa. Pada perubahan status yang pertama, basis pelaksanaannya adalah prakarsa Pemerintah Desa dan BPD melalui Musdes (Musyawarah Desa)[6]. Ketentuan ini secara tersirat memberikan pengertian bahwa kewenangan untuk mengubah status memang sepenuhnya dimiliki Desa. Dari prakarsa inilah kemudian dilanjutkan dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU ini (Pasal 14-17). Sedangkan pada perubahan status yang ke dua, dimaknai bahwa basis pelaksanaannya berdasar pada inisiatif Pemerintah Kabupaten/Kota. Dari rumusan ini tampak bahwa kelurahan sebagai wilayah administrasi perpanjangan kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan status. Dengan mengacu pada kedua pasal ini (11 dan 12) sudah dapat terlihat tentang perbedaan kedudukan dan kewenangan antara desa dan kelurahan.

    Perbedaan lain, pada perubahan status desa menjadi kelurahan tidak diatur tentang kriteria tertentu sebagai persyaratannya. Sedangkan pada perubahan status kelurahan menjadi desa terdapat persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Perbedaan rumusan ini memunculkan kesan bahwa mengubah status desa menjadi kelurahan lebih mudah dibandingkan dengan sebaliknya.

    Update terbaru 14 June 2016.