5. Pembangunan Kawasan Perdesaan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004) telah mengatur tentang pembangunan kawasan perdesaan. Hanya saja di dalam kedua rezim UU tersebut tidak secara detail membahas aturan mengenai pembangunan kawasan perdesaan. Undang-Undang No. 22/1999 tidak secara eksplisit disebut sebagai pembangunan kawasan perdesaan[3], sementara UU No. 32/2004 telah secara eksplisit mengatur pembangunan kawasan perdesaan yang menjadi bagian dari kerjasama antar desa, namun pengaturannya juga belum secara detail.
Berbeda dengan kedua rezim UU di atas, UU Desa, yang memiliki visi mewujudkan desa yang kuat, mandiri, sejahtera, dan demokratis, memberikan pengaturan yang cukup mengenai pembangunan kawasan perdesaan. Ketentuan mengenai pembangunan kawasan perdesaan diamanahkan dalam UU ini untuk diatur dalam Perda[4].
Pasal 83 |
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota.
(2) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. (3) Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
(4) Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa. (5) Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 84 |
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.
(2) Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa. (3) Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 85 |
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pembahasan di DPR
- Definisi dan Ruang Lingkup
Dalam Naskah Akademik RUU Desa, tidak ditemukan pembahasan secara khusus mengenai pembangunan kawasan perdesaan. Begitu pula di dalam dokumen DIM (Oktober 2012) tidak ada usulan perubahan dari fraksi-fraksi untuk Pasal 83 dan 84, yang dalam RUU pasal ini adalah Pasal 70 dan 71.
Rumusan RUU |
Pasal 70 |
1) Pemerintah menetapkan pedoman dan petunjuk teknis pembangunan kawasan perdesaan.
2) Gubernur sesuai dengan ketentuan pada ayat 91) melakukan pembinaan dan sosialisasi kepada kabupaten/kota di wilayahnya. 3) Bupati walikota melakukan pendataan dan identifikasi terhadap desa-desa yang dapat ditetapkan sebagai suatu kawasan pembangunan perdesaan. 4) Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ayat (3), Bupati/Walikota menyusun program yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan perdesaan. 5) Kawasan pembangunan peresaan ditetapkan dengan peraturan Bupati Walikota. |
Pasal 71 |
1) Pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kawasan.
2) Pembangunan kawasan perdesaan mencakup pembangunan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan infrastruktur. 3) Pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud ayat (2) masing-masing dilaksanakan oleh pemerintah desa. |
Seluruh Fraksi di DPR menyetujui rumusan pasal yang ada di dalam RUU. Perubahan yang diusulkan oleh fraksi-fraksi dalam DIM hanya terkait dengan penyesuaian nomor pasal. Sebelumnya, di dalam RUU Desa, pengaturan tentang pembangunan kawasan perdesaan terdiri dari 5 ayat, yang didalamnya termasuk pengaturan tentang Sistem Informasi Desa (SID). Namun, setelah proses pembahasan di DPR, pengaturan tentang pembangunan kawasan perdesaan menjadi 3 pasal, namun pengaturannya menjadi lebih detail dibandingkan RUU.
Terkait dengan proses pembahasan mengenai pembangunan kawasan perdesaan, dalam Rapat Kerja I RUU Desa tanggal 4 April 2012, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri menyampaikan pandangan pemerintah terhadap RUU Desa. Dalam pandangan pemerintah disebutkan bahwa pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, ditujukan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan program-program pembangunan desa yang terpusat dan bersifat seragam dengan pola “bantuan“ cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial yang beragam. Kekurang-jelasan pengaturan kewenangan dan kedudukan keuangan antara Kabupaten/Kota dan Desa mengakibatkan desa belum ditempatkan sebagai entitas yang mengelola sendiri perencanaan pembangunannya. Perencanaan pembangunan desa dan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan menjadi sebuah instrumen untuk merespon secara cepat, efisien dan efektif atas masalah dan kebutuhan yang berskala lokal.
Di dalam RUU Desa, ditegaskan bahwa perencanaan pembangunan desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan, sehingga program-program sektor yang masuk ke desa wajib disinkronisasikan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan desa. Sedangkan pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif. Ke depan diharapkan UU Desa dapat menjadikan desa sebagai subyek pembangunan yang mendasarkan pada perencanaan pembangunan yang berbasis potensi dan kearifan lokal.
Pada Rapat Kerja yang sama, DPD memberikan pendapatnya secara khusus mengenai pembangunan kawasan perdesaan. Menurut DPD, isu yang terkait dengan tata ruang, investasi, dan ekonomi politik tidak dibicarakan dalam RUU Desa versi Pemerintah. Cakupan dan orientasi pembangunan perdesaan juga kecil dan sempit yakni mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif. Di sisi lain RUU hanya berbicara tentang tata kelola dan relasi antara pemerintah, desa dan masyarakat, tetapi tidak berbicara tentang investasi masuk desa. Berikut adalah pandangan lengkap DPD tentang pembangunan kawasan perdesaan :
- Pembangunan perdesaan merupakan domain kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pengaturan pembangunan perdesaan oleh kabupaten/kota itu harus memperhatikan beberapa aspek: kepentingan masyarakat setempat, kewenangan desa, dana bagi hasil kepada desa, kelancaran pelaksanaan investasi, dan kelestarian lingkungan. Meskipun Pemda mempunyai kewenangan penuh atas investasi pembangunan perdesaan, tetapi tentu tidak boleh menabrak kepentingan masyarakat dan kewenangan desa. DPD juga merekomendasikan bahwa pembangunan perdesaan yang mengandung investasi SDA sebaiknya menggunakan model shareholding, dimana desa dan masyarakat setempat berpotensi juga sebagai shareholder, dan karena itu harus ada bagi hasil kepada desa.
- Meskipun pembangunan perdesaan merupakan domain kewenangan kabupaten/kota, tetapi posisi desa dan masyarakat setempat amat penting. Keputusan tentang izin investasi, misalnya, tidak bisa diputuskan langsung oleh kabupaten/kota. Tahap awal yang harus dilalui oleh musyawarah desa untuk mengambil keputusan, apakah investasi itu diterima atau ditolak. Dari sisi bisnis dan administrasi publik, proses ini tentu memperpanjang proses dan biasanya investor enggan untuk melakukan hal ini. Tetapi pengambilan keputusan melalui musyawarah desa selain sebagai bentuk rekognisi (pengakuan dan penghormatan) terhadap desa, sebenarnya juga memberikan keuntungan, keamanan dan kenyamanan bagi investor dalam jangka panjang, sekaligus menghindari konflik antara investor dan masyarakat setempat yang ternyata merugikan semua pihak. Keputusan musyawarah desa itu harus dihormati semua pihak, baik Pemda maupun investor. Jika musyawarah desa menyetujui investasi maka proses selanjutnya adalah pertemuan antara desa, pemda dan investor untuk membicarakan kemitraan dan shareholding. Jika semua ini telah disetujui dengan baik, pemda baru mengambil keputusan tentang izin. Tetapi kalau Musyawarah Desa menolak investasi maka proses selanjutnya tidak boleh dijalankan.
Menyikapi pandangan DPD, kemudian Pemerintah dalam Rapat Kerja II tanggal 15 Mei 2012 melalui juru bicaranya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, memberikan pandangannya sebagai berikut:
- Pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, ditujukan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan program-program pembangunan desa yang terpusat dan bersifat seragam dengan pola “bantuan” cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial yang beragam. Kekurangjelasan pengaturan kewenangan dan kedudukan keuangan antara kabupaten/kota dan desa mengakibatkan desa belum ditempatkan sebagai intensitas yang mengelola sendiri perencanaan pembangunannya.
- Perencanaan pembangunan desa dan perencanaan pembangunan kawasan perdesaan menjadi sebuah instrumen untuk merespon secara cepat, efisien dan efektif atas masalah dan kebutuhan yang berskala lokal dikaitkan dengan upaya percepatan pembangunan perdesaan dalam skala antara desa antara kecamatan dan bahkan antar kabupaten/kota.
- Di dalam RUU tentang Desa, ditegaskan bahwa perencanaan pembangunan desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan sehingga program-program sektor yang masuk ke desa wajib disinkronkan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan desa. Sedangkan pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif. Ke depan diharapkan Undang-undang tentang Desa dapat menjadikan desa sebagai subyek pembangunan yang mendasarkan pada perencanaan pembangunan yang berbasis potensi dan kearifan lokal.
Dalam RDPU yang diselenggarakan pada tanggal 13 Juni 2012, Prof. DR. Robert Z Lawang memberikan pandangannya terkait pembangunan kawasan perdesaan. Menurutnya, RUU ini masih perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pembangunan perdesaan sebagai intinya. Pembangunan kawasan perdesaan menjadi sangat penting. Karena itu perlu mengangkat status RUU lebih tinggi dibandingkan undang-undang lainnya, tidak sekedar perpanjangan dari UU No. 32 tahun 2004. Ia juga mengkritisi Pasal 70 (RUU) ini dengan menyatakan bahwa peran pemerintah, pemerintah provinsi, dan kabupaten terlalu dominan dalam pembangunan kawasan perdesaan. Berikut adalah pernyataan lengkap dari Prof. DR. RZ Lawang:
“….Pasal 70 dan seterusnya menyebutkan dengan jelas, peran Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten yang terlalu dominan. Mungkin dalam kebijakan pembangunan perdesaan selama ini, definisi pembangunan perdesaan sudah dikeluarkan oleh Pemerintah. Namun demikian, perlu ada satu peta tata ruang pembangunan sebagai blue print untuk desa-desa di Indonesia, sehingga desa itu mempunyai status permanen, dan peta itu disusun dalam satuan-satuan lebih kecil, sampai mungkin kalau perlu ke Letter C, sehingga orang desa dan Pemdes mengetahui dengan jelas status kawasan mereka, untuk satu pengembangan pembangunan pertanian. Dengan kata lain, RUU ini harus menempatkan pembangunan perdesaan sebagai inti, dan mengarahkan sektor-sektor pelaksana lainnya dari Pemerintah, akan fungsi mereka dalam pengembangan pertanian dan pengembangan sumber daya manusianya. Karena pembangunan kawasan Perdesaan itu menjadi sangat penting, perlu mengangkat RUU ini memiliki status yang lebih tinggi daripada undang-undang yang lainnya. Dan tidak sekedar perpanjangan dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 200-216. Dengan cara berpikir seperti itu, maka RUU ini perlu ditata kembali sedemikian, sehingga seluruh perhatian kita tercurah pada pembangunan desa, dengan fungsi sosial politik, ekonomi nasional, yang penting untuk masa depan Negara kita…”.
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan juga mengkritisi adanya pengaturan tentang pembangunan kawasan perdesaan dan pembangunan desa, yang disampaikannya pada Rapat Dengar Pendapat Umum tanggal 28 Juni 2012. Menurutnya, adanya pengaturan tentang pembangunan kawasan perdesaan dalam RUU Desa menjadikan RUU ini tidak jelas maksud dan tujuannya, apakah RUU ini nantinya menjadi RUU Desa dan Pembangunan Perdesaan atau RUU Pemerintahan Desa? Arya Hadi memberikan catatan bahwa sebaiknya RUU ini konsisten, apakah menjadi RUU Pemerintahan Desa, atau RUU Desa dan Pembangunan Perdesaan. Berikut ini pernyataan lengkap dari Arya Hadi Dharmawan:
”… kritik saya pada Bab XI dan seterusnya tentang kawasan perdesaan dan pembangunan desa. Saya berulangkali pada tahun 2007 dan 2008 kalau tidak salah, diundang selalu untuk membahas UU Pembangunan Desa, termasuk dengan DPD dan sebagainya yang kemudian UU itu almarhum, karena disana sebetulnya mendefinisikan desa sebagai spasial. Nah pertanyaannya adalah, ketika ini mulai dimasukkan, pasal-pasal pada bab pembangunan kawasan perdesaan ini dimasukkan ke dalam RUU Desa, ini kemudian ada inkonsistensi semangat dan roh, definis desa, antara yang ada pada Bab XI dan seterusnya itu dengan Bab Ketentuan Umum, No. 5 tadi. Desa di dalam RUU ini dimaknai sebagai satu kesatuan masyarakat hukum, tetapi ada pasal-pasal yang mengandaikan bahwa desa itu adalah kesatuan ruang, kesatuan spasial yang a human, begitu kira-kira. Yang bisa diatur-atur, diintegrasikan dan seterusnya. Saya ingin mengatakan bahwa masuknya pasal-pasal ini terutama Pasal 70-74, ini menjadikan RUU yang tadinya sudah kita katakan RUU Desa, menjadi RUU apa, begitu ya. Apakah ini RUU Desa dan Pembangunan Perdesaan? Tapi kalau itu yang kita namakan, kemudian hongnya atau domainnya, ini bukan di Kemendagri nanti, mungkin di Kemendagri dan PU, dan mungkin kementrian PDT. Nah, ini yang punya gawe yaitu Kemendagri bisa kemudian agak kaget begitu ya. Tapi saya tidak tahu apakah ini memang dari Kemendagri, saya tidak tahu. Tetapi sampai tahun 2009 – 2010 ketika saya terakhir ikut mengawal RUU Desa ini bersama-sama dengan kawan-kawan di Kemendagri, rasanya Bab XI tentang pembangunan desa dan kawasan perdesaan waktu itu tidak ada. Saya tidak tahu apa yang terjadi, kemudian ini muncul disini. Dalam catatan saya itu, saran yang saya berikan adalah sebaiknya kita konsisiten, apakah ini akan menjadi RUU Desa, RUU Pemerintahan Desa, atau RUU tentang Desa dan Pembangunan Perdesaan…”.
- Peran Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat
Tidak ada perdebatan signifikan dalam proses pembahasan Pasal 85 yang terkait dengan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan kawasan perdesaan. Di dalam RUU, pasal ini sebelumnya adalah Pasal 72, dengan rumusan pasal sebagai berikut:
- Pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif.
- Pelaksanaan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga wajib mengikutsertakan masyarakat desa yang bersangkutam dengan yang diwakili oleh pemerintah desa dan BPD.
Dalam DIM, seluruh Fraksi DPR menyetujui rumusan pasal ini. Usulan perubahan hanya pada point penyesuaian nomor pasal. Sementara dalam Rapat Kerja I RUU Desa, DPD memberikan perhatian khusus pada Pasal 72 ayat (2) dalam draft RUU. Menurut pandangan DPD, pengaturan pasal ini mengenai mekanisme keterlibatan masyarakat dan pemerintah desa belum cukup memadai untuk menjawab persoalan representasi desa dan proteksi desa dari investasi.
“…Di sisi lain RUU hanya berbicara tentang tata kelola dan relasi antara pemerintah, desa dan masyarakat, tetapi tidak berbicara tentang investasi masuk desa. Pasal 72 ayat 2 menegaskan: “Pelaksanaan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga wajib mengikutsertakan masyarakat desa yang bersangkutan yang diwakili oleh pemerintah desa dan BPD”. Mekanisme ini tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan representasi desa dan proteksi desa dari investasi. RUU Desa versi pemerintah sebenarnya mempunyai klausul tentang musyawarah desa tetapi institusi deliberatif ini tidak diposisikan sebagai wadah pengambilan keputusan tentang pembangunan perdesaan khususnya yang terkait dengan investasi”.
Terkait dengan izin investasi, Sutoro Eko juga memberikan pandangannya dalam RDPU yang diselenggarakan pada tanggal 12 Juni 2012. Menurutnya, ijin investasi yang masuk ke desa tidak bisa diputuskan sendiri oleh pemerintah, tapi harus ada persetujuan dari desa. Berikut penyataan lengkap Sutoro Eko:
“….kemudian yang ketiga, izin investasi yang masuk ke ranah desa tidak bisa diputuskan sendiri oleh pemerintah dengan cara-cara rente selama ini ya, tetapi butuh persetujuan awal dari desa. Nah persetujuan awal dari desa itu tidak cukup dengan rekomendasi kepala desa yang selama ini terjadi seperti itu. Jadi sebelum bupati mengeluarkan ijin itu ada rekomendasi dari kepala desa dan mohon maaf itu menjadi bagian dari perebutan rente selama ini. Oleh karena itu, di dalam usulan ini, perlu ada semacam institusi musyawarah desa yang mengambil keputusan secara kolektif untuk mengambil keputusan yang strategis termasuk investasi yang masuk desa, termasuk perubahan desa dan sebagainya. Jadi basis awalnya melalui musyawarah desa secara emansipatoris, secara partisipatoris..”.
Tanggapan
- Definisi dan Ruang Lingkup
Pembangunan kawasan perdesaan dalam Pasal 83 ayat (1) didefinisikan sebagai perpaduan pembangunan antar-Desa dalam satu kabupaten/kota. Sedangkan kawasan perdesaan sendiri dalam ketentuan umum UU Desa diartikan sebagai “ ….kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi”. Dengan tujuan sebagaimana tercantum dalam ayat (2) pasal ini.
Ruang lingkup pembangunan kawasan perdesaan diantaranya mengatur tentang penggunaan dan pemanfaatan lahan (pasal 83 ayat 1). Dengan diaturnya penggunaan dan pemanfaatan lahan bisa mengurangi mis-alokasi sumberdaya yang selama ini terjadi antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Keadaan yang selama ini terjadi adalah kurangnya investasi infrastruktur yang tercermin pada kurangnya fasilitas jasa umum di perdesaan. UU Desa dapat memaksa pemerintah untuk mengalokasikan dananya ke alokasi yang lebih produktif di perdesaan.
Rencana pembangunan kawasan perdesaan harus mengacu pada RPJMD Kabupaten/Kota dan dibahas bersama oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan pemerintah desa. Hal ini seperti dijelaskan dalam pasal 83 ayat (4) dan (5).
- Peran Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat Desa
Pasal 84 ayat (1) dan (2), ditegaskan bahwa pembangunan kawasan perdesaan yang terkait dengan pemanfaatan aset desa dan tata ruang desa wajib melibatkan pemerintah desa. Perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatannya sendiri harus merujuk pada hasil Musyawarah Desa. Secara eksplisit kedua pasal ini bertujuan memperkuat Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pembangunan serta menjadikan pemerintah desa sebagai subyek pembangunan.
Selain penguatan pemerintah desa, penguatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kawasan perdesaan juga menjadi perhatian UU Desa sebagaimana diatur dalam pasal 85. Pada pasal 85 Ayat (3) mewajibkan pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan yang berskala lokal desa diserahkan kepada pemerintah desa.
- Sinkronisasi pembangunan kawasan perdesaan dengan penataan ruang dan perlindungan lahan pertanian.
Pasal 83 ayat (3) huruf a menyebutkan penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang kabupaten/kota. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan kawasan perdesaan berkaitan erat dengan penataan ruang suatu wilayah yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Baik penataan ruang kawasan perdesaan yang ada dalam UU Penataan Ruang maupun pembangunan kawasan perdesaan yang ada dalam UU Desa memiliki tujuan yang sama, yakni pemberdayaan masyarakat desa. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya perencanaan pembangunan kawasan perdesaan perlu merujuk pada UU Penataan Ruang. Selain penataan ruang, pelaksanaan pembangunan kawasan juga perlu memperhatikan perlindungan lahan pertanian yang diatur dalam UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Pemerintah desa harus berperan aktif melindungi lahan pertanian yang dimiliki oleh warga agar tidak dialihfungsikan.
- Belum ada pengaturan tentang izin investasi yang masuk ke desa dalam pembangunan kawasan perdesaan.
Pasal 83-85 yang mengatur pembangunan kawasan perdesaan, tidak mengatur tentang izin investasi yang masuk ke desa. Padahal persoalan izin investasi yang masuk ke desa mengemuka pada saat pembahasan RUU di DPR. Sejumlah pakar seperti Sutoro Eko dan DPD mempersoalkan perlunya pengaturan mengenai ijin investasi yang masuk ke desa. Keputusan tentang izin investasi khususnya yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa diputuskan langsung oleh pemerintah kabupaten/kota. Izin yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak cukup dengan rekomendasi dari Kepala Desa. Musyawarah Desa harus dijadikan sebagai pengambilan keputusan tertinggi sebagai bentuk rekognisi (pengakuan) terhadap desa.
- Belum ada pengaturan mekanisme pelibatan masyarakat dan pemerintah desa dalam pengambilan keputusan pembangunan kawasan perdesaan.
Pasal 85 ayat (1) dan (2) menegaskan pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan mengikutsertakan masyarakat desa dan pemerintah desa. Melalui pasal ini, UU Desa memiliki semangat memperkuat masyarakat desa dengan memosisikan mereka sebagai subyek pembangunan. Akan tetapi, pengaturan mengenai bagaimana mekanisme pelibatan masyarakat dan pemerintah desa dalam pengambilan keputusan pembangunan kawasan perdesaan belum diatur secara jelas dalam pasal 85. Sementara, apabila merujuk pada Pasal 54 ayat (2), penetapan kawasan pembangunan perdesaan tidak secara eksplisit masuk dalam hal-hal strategis yang dibahas dalam Musyawarah Desa.
- Belum ada pengaturan batasan pembangunan kawasan perdesaan berskala lokal desa.
Dalam Pasal 85 ayat (3) ditegaskan bahwa pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa. Akan tetapi, penjelasan mengenai batasan pembangunan berskala lokal desa ini belum jelas diatur dalam Pasal 85 termasuk di dalam penjelasan UU Desa. Kondisi inilah yang perlu dipertimbangkan dalam aturan pelaksanaannya agar ketentuan ini bisa diterapkan.
Daftar Isi :