1. Lingkup Kedudukan Desa

    Posisi pemerintah Desa dalam konstelasinya dengan praktik desentralisasi dan otonomi daerah baru terlihat secara jelas setelah terbitnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi menurut UU ini berhenti pada level pemerintah kabupaten/kota, dan memosisikan pemerintah Desa sebagai bagian dari pemerintah kabupaten/kota sebagaimana tersurat pada pasal 200 ayat (1) yang berbunyi antara lain “dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat dibentuk pemerintahan desa …”. sehingga Desa merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten/kota. Dengan kata lain, pemerintah desa adalah subsistem dari pemerintah kabupaten/kota.

    Dalam menjalankan pemerintahannya, Desa lebih banyak menjalankan tugas pembantuan daripada menjalankan urusan desanya sendiri. Berangkat dari kehendak untuk menempatkan Desa pada posisi yang mandiri, terbitlah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa).

     

    Pasal 5
    Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota
    Penjelasan
    Desa yang berkedudukan di wilayah   Kabupaten/Kota dibentuk dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

     

     Pembahasan di DPR

    Penyebutan kedudukan desa ditemui dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksi-fraksi yang dihimpun oleh Sekretariat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Desa (Oktober 2012). Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan ketentuan tentang Kedudukan dan Karakteristik Desa. Selanjutnya, PKS mengusulkan, pada bagian tentang Kedudukan Desa dengan redaksi (1) Negara mengakui dan menghormati Desa atau yang disebut nama lain…. dst; dan (2) Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam wilayah Kabupaten/Kota.

    Dalam RUU yang dirumuskan Pemerintah, tidak dicantumkan bagian khusus tentang Kedudukan Desa, meskipun RUU mencantumkan klausul yang berbunyi “Di daerah kabupaten/kota dibentuk desa yang pengelolaannya berbasis masyarakat”. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 2 dan menjadi bagian dari Ketentuan Umum. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat kerja dengan Pansus DPR pada 4 April 2012 juga menyatakan bahwa secara umum pengaturan tentang desa mencakup enam hal yang salah satunya adalah kedudukan desa. Menurut Gamawan, desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan daerah dan nasional. Bentuk desa dalam RUU ini adalah sebagai local-self community, yang dimaknai bahwa semua pelaksanaan tugas pelayanan adalah berbasis masyarakat. Dari sini dapat dimaknai bahwa sejatinya Pemerintah menyadari betul tentang pentingnya pengaturan kedudukan desa. Rumusan kedudukan desa sebagaimana yang ada sekarang ini merupakan hasil dari kesepakatan rapat Tim Perumus (Timus) tanggal 28 Juni 2013.

    Gambaran tentang kedudukan desa sendiri sudah dinyatakan dalam UU lain, yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Wilayah Negara. Pada Bab II (Pembagian Wilayah Negara) UU tersebut dinyatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi yang kemudian dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Daerah kabupaten dan kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Klausul ini sejatinya menekankan pada hal pembagian wilayah secara geografis saja, bukan menyangkut pembagian pemerintahan.

    Sedangkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri tidak secara spesifik mengatur tentang kedudukan desa. Bab XI UU itu hanya menggambarkan tentang kedudukan pemerintah desa terhadap pemerintah kabupaten/kota, sebagaimana tercantum dalam Pasal 200 ayat (1) yang berbunyi “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa.” Dari rumusan ini dapat dimaknai bahwa kedudukan pemerintah desa merupakan bagian dari pemerintah kabupaten/kota. Namun demikian, subyek dalam klausul tersebut bukanlah desa atau pemerintah desa melainkan pemerintah daerah.

    Dalam pembahasan RUU Desa, terkait dengan “kedudukan Desa” antara Delegasi Pemerintah dan Pansus RUU Desa, ada hal fundamental terkait pembahasan ini yang diawali oleh pertanyaan dari Ketua Pansus RUU Desa Bapak Ahmad Muqowam, menanyakan pada Delegasi Pemerintah. “Jadi tolong pemerintah jelaskan ke kami tentang kedudukan desa di hadapan Negara, dalam hal ini di hadapan Pemerintah!“. Dari pertanyaan itulah muncul perdebatan panjang tentang kedudukan desa. Ada dua Pasal UUD 1945 yang menjadi pangkal perdebatan berkaitan dengan kedudukan desa yaitu: pasal 18 ayat 7 “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang” dan ini yang diusung di dalam Ampres (Amanat Presiden) RUU Desa yang diajukan Pemerintah kepada DPR RI, dan pasal 18 b ayat 2, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dan sepanjang masih hidup dan sesuai dengan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. yang diatur di dalam undang-undang”.

    Pansus RUU Desa meminta Pasal 18 B ayat (2) diutamakan, sedangkan Delegasi Pemerintah meminta Pasal 18 ayat 7 didahulukan. Jika Pasal 18 B ayat (2) didahulukan maka bobot desa sebagai komunitas akan lebih dominan, sebaliknya jika Pasal 18 ayat 7 didahulukan maka desa sebagai subordinasi pemerintah kabupaten/kota akan lebih dominan. Dari perdebatan ini ada kompromi yang kemudian melahirkan pasal 5 di Undang-Undang Desa, yaitu desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Ini otomatis mengubah cara pengaturan sebelumnya, dimana desa itu support dari pemerintah kabupaten/kota. [1]

    Jika merunut pada proses pembahasan RUU Desa dan mengacu pada UU Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang desa sebelumnya, kedudukan Desa tidak diatur secara khusus. Kedudukan Desa merupakan gagasan baru dalam UU Desa. Dengan adanya klausul ini, maka memperjelas posisi/relasi desa terhadap pemerintahan di atasnya.

    Mengacu pada klausulnya, posisi Desa semata-mata hanya bagian kewilayahan dari suatu daerah yang disebut kabupaten atau kota. Posisi ini diperkuat juga dengan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang juga meletakkan Desa semata-mata bagian kewilayahan dari suatu daerah yang disebut dengan kecamatan. Kedua UU tersebut tidak mendudukkan Desa sebagai bagian dari pemerintahan di atasnya. Ketentuan ini tentu saja cukup maju jika dibandingkan dengan yang diatur oleh UU No. 32/2004 yang belum secara jelas menempatkan posisi atau kedudukan Desa.

    Tanggapan

    • Pengaruh Kedudukan Desa terhadap Kewenangan

    Kedudukan Desa dalam rumusan Pasal 5 UU No. 6/2014 merupakan bagian dari kompromi atas perdebatan mengenai Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. UU No. 6/2014 telah menempatkan desa berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Kompromi tentang landasan konstitusional kedudukan desa memunculkan aturan tentang asas rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi melahirkan pengakuan terhadap keanekaragaman kultural, sedangkan subsidiaritas terkait dengan relasi hubungan antara negara dengan desa setelah didudukkan, dimana negara tidak lagi mengontrol desa secara penuh tapi harus memosisikan desa itu sanggup mengelola dirinya sendiri.[2]

    • Kedudukan Desa Sebagai Subyek Pembangunan

    Pengaturan tentang kedudukan Desa, menjadikan Desa tidak ditempatkan sepenuhnya sebagai subordinasi pemerintahan kabupaten/kota. Perubahan kedudukan Desa dari UU No. 22/1999, UU No. 32/2004 dan UU No 6/2014 bertujuan agar Desa bukan lagi obyek pembangunan tetapi menjadi subyek pembangunan. Konstruksi pemerintahan desa yang dianut dalam UU Desa adalah konstruksi gabungan. Penjelasan Umum UU Desa menyebutkan secara tegas: “Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat”[3]. Ringkasnya, asas rekognisi dan subsidiaritas telah mengubah pendekatan kontrol/pengendalian negara terhadap Desa dan menempatkan Desa sebagai subyek pembangunan.

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.