6. Peraturan Desa

    Peraturan Desa (Perdes) adalah produk pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang digunakan untuk menjadi acuan pelaksanaan pemerintahan desa. Peraturan desa dalam konteks ini adalah dalam pengertian luas karena meliputi juga peraturan Kepala Desa dan peraturan bersama Kepala Desa. Peraturan Desa diatur dalam dua pasal, yakni Pasal 69 dan 70, sebagaimana dirumuskan berikut.

    Daftar Isi :

    6.1. Eksistensi Peraturan Desa
    6.2. Partisipasi Publik dalam Pembuatan Perdes

    6.1. Eksistensi Peraturan Desa

    Peraturan Desa adalah jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan dan diterbitkan oleh organ pemerintahan desa. Kewenangan desa membuat peraturan merupakan perwujudan dari pemberian kekuasaan kepada desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. UU Desa mengatur jenis, persiapan pembuatan, dan mekanisme pembahasan Peraturan Desa.  
    Pasal 69
    (1)             Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa. (2)             Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (3)             Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. (4)             Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapat evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. (5)             Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota. (6)             Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya. (7)             Kepala Desa diberi waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi. (8)             Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya. (9)             Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa. (10)        Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa. (11)        Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh sekretaris Desa. (12)        Dalam pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 70
    (1)             Peraturan Bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerjasama antar-Desa. (2)             Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam kerjasama antar-Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas
    Penjelasan Umum UU Desa juga memuat secara khusus penjelasan mengenai Perdes. Disebutkan antara lain bahwa penetapan Perdes merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai produk hukum, Perdes tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, yaitu:
    1. Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
    2. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
    3. Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
    4. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan
    5. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.
    Sebagai produk politik Perdes diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan masyarakat. Masyarakat desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan BPD dalam proses penyusunan Perdes.   Pembahasan di DPR Rumusan tentang peraturan desa masuk dalam Naskah Akademik yang disusun Kementerian Dalam Negeri, dan kemudian diuraikan dalam Daftar Isian Masalah (DIM). Disebut dalam Naskah Akademik bahwa kewenangan menyusun Peraturan Desa (Perdes) adalah konsekuensi atas penetapan kewenangan yang melekat pada desa (kewenangan mengatur, mengurus, dan bertanggung jawab). Secara khusus fungsi regulasi itu melekat pada tugas Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Disebutkan dalam Naskah Akademik: “Sebagai konsekuensi atas penetapan kewenangan yang melekat pada desa, maka desa mempunyai kewenangan (mengatur, mengurus, dan bertanggung jawab) untuk menyusun peraturan desa. Peraturan desa disusun oleh Kepala Desa dan BPD sebagai kerangka kebijakan dan hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Penyusunan peraturan desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa, tentu berdasarkan kepada kebutuhan dan kondisi desa setempat, serta mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Jika pembentukan peraturan desa dihubungkan dengan wewenang, maka ketentuan Pasal 69-70 berhubungan langsung dengan Pasal 1 angka 7, Pasal 26 ayat (3) huruf b, dan Pasal 55 huruf a UU Desa. Pasal-pasal ini menggambarkan definisi dan kewenangan menyusun Peraturan Desa. Dalam DIM per Oktober 2012, Peraturan Desa diatur dalam bab tersendiri (Bab XVI) yang terdiri atas empat pasal (80-83). Tetapi setelah jadi, jumlahnya mengerucut menjadi dua pasal. Rumusan dalam RUU mengalami beberapa perubahan berkat usulan anggota Dewan. Poin-poin penting yang menimbulkan perdebatan adalah:
    1. Jenis–jenis Peraturan Desa (Pasal 69 ayat 1 UU Desa). Sebagian besar fraksi setuju dengan tiga jenis peraturan desa, yaitu Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa. Tetapi Fraksi PKB mengusulkan jenis lain yaitu: Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
    2. Partisipasi masyarakat. Pada dasarnya semua fraksi setuju masyarakat dilibatkan dalam pembentukan Peraturan Desa. Rumusan yang disetujui mayoritas dan akhirnya diangkat menjadi norma adalah Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat. Dalam proses pembahasan DIM, Fraksi Partai Golkar sempat mengusulkan ‘wajib memperhatikan aspirasi dan persetujuan masyarakat, baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis’.
    3. Evaluasi. Semua fraksi sepakat ada evaluasi Peraturan Desa oleh Bupati/waikota. Materi yang harus mendapat evaluasi dari kepala daerah adalah rancangan peraturan menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa. Awalnya, usulan Fraksi PDIP, PKS, PPP, PKB, Gerindra, dan Demokrat mengusulkan ‘pemanfaatan lahan’, tetapi kemudian berubah menjadi tata ruang dalam naskah UU Desa.
    Dewan Perwakilan Daerah, dalam Rapat Kerja di DPR pada 4 April 2012, melalui juru bicaranya Anang Prihantono, menyampaikan pandangan: “Melalui undang-undang ini harus tegas bahwa negara (pemerintah, kementerian, kepolisian, TNI, lembaga-lembaga negara, lembaga peradilan, lembaga perbankan, pemerintah daerah dan lain-lain) melakukan rekognisi terhadap desa. Baik institusi desa maupun produk politik-hukum desa seperti Peraturan Desa seharusnya diakui dan dihormati oleh sederet institusi-institusi negara tersebut”. Jika ditelusuri ke Naskah Akademik, ide Perdes dihubungkan dengan pemberian kewenangan mengatur, mengurus, dan bertanggung jawab. Jadi, Perdes adalah penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa, sesuai kebutuhan dan kondisi desa. Pemikiran pentingnya memberi desa kewenangan untuk membuat Perdes juga disampaikan pakar yang didatangkan, Arya Hadi Dharmawan. Dalam RDPU 8 Juni 2012, Arya menyampaikan pandangan bahwa pemberian kewenangan menyusun regulasi adalah konsekuensi logis dari posisi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Ia mengatakan: “Kalau kita mengatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum, maka konsekuensinya desa adalah menjadi hierarki pengambil keputusan hukum. Jadi, dia memproduksi undang-undang, setara undang-undang namanya Perdes. Tetapi persoalannya kemudian, ketika itu dilepaskan, pertanyaan ini pernah terjadi, ketika itu Mendagri Pak Mardiyanto sewaktu kami membahas RUU Desa, tiba-tiba ketika Pak Mardiyanto menjadi Menteri, saya masih ingat betul beliau di Sulawesi mengatakan, ‘RUU Desa ini akan memberikan peluang desa sebagai entitas pengambil keputusan hukum, karena dia kesatuan masyarakat hukum, otonomi tingkat III’”. Dalam RDPU berikutnya, tanggal 12 Juni 2012, Dewi Astuti, Direktur Bina Desa, mengeluhkan selama ini desa tak memiliki kewenangan mengatur sumber daya desa. Agar sumber daya desa dimaksimalkan, maka desa harus diberi kewenangan membuat peraturan. Ia mengatakan: “Desa tidak memiliki kewenangan dalam mengatur sumber daya di desa. Misalnya saja untuk kewenangan desa dalam membuat Perdes untuk melindungi sumber daya agrarianya…atau potensi sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politiknya ini. Kedudukan Perdes sangat rendah bahkan tidak jelas di dalam tata perundang-undangan kita. Perdes ini letaknya dimana karena setiap perdes harus dievaluasi oleh bupati atau alikota dan mendapat pengesahan dari bupati dan walikota dan bila perdes bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dapat dibatalkan”. Namun kewenangan membuat Perdes itu sempat dipertanyakan DR. Hanif Nurkholis, pakar yang diundang dalam RDPU tanggal 13 Juni 2012. Ia menghubungkan Perdes itu dengan posisi pemerintah desa, apakah lembaga masyarakat atau lembaga pemerintah. Hanif mengatakan: “Di situ ada juga yang di dalam pikiran saya sebagai disiplin administrasi negara. Itu juga ganjil, yaitu ada satu kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa sebagai lembaga masyarakat, yang bukan lembaga pemerintah, itu diberikan kewenangan untuk membuat regulasi, yaitu peraturan desa. Nah, regulasi itu yang bisa membuat adalah badan hukum publik, bukan lembaga masyarakat yang dikontrol negara seperti itu….Ini juga satu hal yang rancu”. Dalam rapat yang sama, Hanif juga menyampaikan pandangan mengenai problem yang mungkin terjadi mengenai materi muatan Perdes dihubungkan dengan kewenangan desa. Dosen Universitas Terbuka itu mengatakan: “Saya pernah mengatakan bahwa RUU Desa ini tidak akan pernah menyelesaikan persoalan karena sektoral sudah mengatur terlebih dahulu. Kalau desa berwenang mengatur hutan, hutan itu diatur Undang-Undang Kehutanan. Kalau desa sudah berwenang mengatur air, air udah diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004. Kalau desa ingin mengatur jalan, ada Undang-Undang Jalan dan seterusnya. Sehingga kami pernah mengatakan kewenangan desa ini jangan-jangan hanya pepesan kosong. Di-state oleh Undang-Undang, tapi tidak operasional. Pernah kami berdiskusi di Kemendagri, okelah kalau begitu kewenangannya yang kecil-kecil sajalah. Yang kecil-kecil itu apa? Pernah Pak Girsang, Direktur Pemerintahan Desa,’ ya pokoknya mengatur misalnya pagar desa, mengatur pelelangan desa, mengatur tentang pelabuhan desa yang kecil dan seterusnya. Tetapi persoalannya kemudian tidak sesederhana itu”. Kewenangan membuat Perdes akhirnya tetap dicantumkan bahkan dibuat dalam bab tersediri. Ia menjadi kewenangan yang diberikan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pasal 26 ayat (2) UU Desa menyebutkan: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang ..(d) menetapkan peraturan desa”. Demikian pula kewenangan BPD sebagaimana disebut pada Pasal 62 huruf a: “Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak mengajukan rancangan Peraturan Desa”. Sehubungan dengan pandangan-pandangan yang muncul dalam pembahasan, Mendagri Gamawan Fauzi pada rapat 15 Mei 2012 merespon, dan pada intinya menyatakan siapapun harus patuh pada undang-undang yang sudah ditetapkan dan diundangkan. “Pemerintah berpendapat bahwa suatu ketentuan yang telah ditetapkan dalam suatu Undang-Undang wajib dilaksanakan dan dipatuhi oleh semua instansi dan masyarakat”. Dalam Rapat Kerja 12 Desember 2012, pimpinan rapat Drs H. Ahmad Muqowwam menyampaikan bahwa Peraturan Desa dibuat dalam kluster tersendiri. Pemerintah menyatakan setuju pada sistem kluster untuk mempermudah pembahasan. Muqowwam menyatakan: “Penjelasannya adalah materi terkait dengan peraturan desa perlu dilakukan terpisah dari materi yang lain, karena memang saya kira ini hal yang menjadi penting, lebih-lebih kalau kita kaitkan dengan sistem pemerintahan”.   Tanggapan
    • Kedudukan Peraturan Desa sebagai Peraturan Perundang-Undangan
    Sebenarnya, Peraturan Desa bukan konsep baru yang hanya dikenal dalam UU Desa. Pasal 105 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebutkan kewenangan Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Tetapi tidak dijelaskan apa yang dimaksud Peraturan Desa, jenis-jenisnya, dan kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan mengenai evaluasi atau persetujuan, konsep UU No. 22 Tahun 1999 agak berbeda dengan UU Desa. Penjelasan Pasal 105 ayat (3) UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan “Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat”. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Desa menyebut dengan istilah keputusan desa. Salah satu masalah krusial adalah kedudukan Peraturan Desa sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan UU No. 10 Tahun 2004 dan –penggantinya—UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Catatan dalam DIM No. 403 juga menggambarkan kekhawatiran munculnya masalah di kemudian hari. “Merujuk pada Peraturan Desa yang pernah diakui dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun kemudian dihilangkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka diusulkan untuk ditinjau kembali Bab XIII tentang Peraturan Desa, karena apabila terdapat permasalahan atas perselisihan dan desa menggunakan dasar peraturan desa, maka dalam penyelesaian hukum keberadaan peraturan desa tidak akan memiliki landasan hukum, payung hukum yag berarti. Dan juga tidak ada kekuatan yang memaksa secara hukum harus dipatuhi atau ditegakkan”. Pencantuman kembali Peraturan Desa juga sempat disinggung dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN) pada Desember 2014. Pada dasarnya pencantuman kembali Peraturan Desa akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kedudukannya dalam tata urutan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya. Pertanyaan ini sejalan dengan rumusan Pasal 69 ayat (2) UU Desa: ‘Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi’. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, yang sudah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mencantumkan secara eksplisit Peraturan Desa sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang/Perppu, dan Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Peraturan Desa dalam konsep Undang-Undang No. 10/2004 itu adalah salah satu jenis Peraturan Daerah (Perda). Namun eksistensi Peraturan Desa dalam tata urutan peratuan perundang-undangan dihilangkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Meskipun dihilangkan, peraturan desa masih tetap punya payung hukum dalam UU No. 12 Tahun 2011, sebagaimana disebut dalam Pasal 8 berikut:
    • Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
    • Peraturan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
     
    • Materi Muatan
     Suatu peraturan perundang-undangan berisi materi muatan yang sesuai. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menganut asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas ini mengandung arti bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Bab VIII (Pasal 69-70) UU Desa tidak mengatur secara spesifik apa yang menjadi materi muatan setiap jenis Perdes yang disebut dalam Pasal 69 ayat (1). Sementara UU No. 12 Tahun 2011 sudah meniadakan Perdes dalam tata urutan perundangan-undangan, meskipun tetap diakui statusnya sebagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang sebelumnya – UU No. 10 Tahun 2004—yang mengakui perdes dalam hirarki perundang-undangan menegaskan ‘materi muatan peraturan desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi’ (Pasal 13). Masalahnya, UU tak menyebutkan lagi apa materi muatan perdes. Materi yang secara eksplisit disebut UU Desa untuk diatur dalam Perdes adalah BUM Desa (Pasal 88) dan APB Desa (Pasal 73). Peraturan Kepala Desa oleh UU Desa ditempatkan sebagai peraturan pelaksanaan Perdes. Sedangkan Peraturan Bersama Kepala Desa merupakan peraturan Kepala Desa dalam rangka kerjasama antardesa. Penjelasan lebih lanjut mengenai materi muatan setiap jenis Perdes tersebut ditemukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa yang terbit 31 Desember 2014. Adapun materi muatan setiap jenis peraturan berdasarkan Permendagri ini adalah:  
    Jenis Peraturan Materi Muatan
    Peraturan Desa Pelaksanaan kewenangan desa dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
    Peraturan Bersama Kepala Desa Materi kerjasama desa
    Peraturan Kepala Desa Materi pelaksanaan peraturan desa, peraturan bersama Kepala Desa dan tindak lanut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
    Sumber: Pasal 4 Permendagri No. 111 Tahun 2014.  
    • Pengujian Perdes
     Pasal 69 ayat (2) dan Penjelasan Umum UU Desa sudah menegaskan bahwa Perdes tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Atas dasar pelanggaran prinsip ini, siapapun pihak yang dirugikan bisa mengajukan permohonan pembatalan Perdes. Persoalannya, apakah dimungkinkan mengajukan hak uji materiil dan formil terhadap Perdes? Dalam bukunya Perihal Undang-Undang, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, mengkritik pencantuman Perdes sebagai Perda dalam UU No. 10 Tahun 2004. Ia menulis: “Dengan memasukkan Peraturan Desa atau peraturan lain yang setingkat dengan Peraturan Desa ke dalam pengertian peraturan perundang-undangan, berarti Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 itu memperlakukan Peraturan Desa itu sebagai peraturan yang sama-sama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan kepentingan di antara cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif, baik di tingkat daerah maupun pusat, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga politik. Pengujian undang-undang dan peraturan daerah itu harus dilakukan melalui mekanisme judicial review dengan melibatkan peranan hakim yang objektif dan imparsial sebagai pihak ketiga” (2006: 103-104). Dengan alur berpikir UU No. 10 Tahun 2004, dihubungkan dengan UU Desa, maka Peraturan Desa masuk kategori peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, sehingga yang berwenang mengujinya adalah Mahkamah Agung. Fraksi PKB memberi catatan khusus dalam DIM No. 404, sebagai berikut: “Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak menyebut Peraturan Desa, melainkan hanya Peraturan Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan Bersama Kepala Desa juga tidak dikenal. Ketentuan ini secara yuridis normatif sangat bertentangan dengan ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perumusan ini tidak mencerminkan asas hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan perumusan ini dapat ditafsirkan bahwa antara Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, memiliki kedudukan yang sama, sedangkan idealnya peraturan perundang-undangan harus mengandung asas hierarkis”. Pandangan yang memasukkan Peraturan Desa sebagai peraturan perundang-undangan yang bisa diuji ke Mahkamah Agung bukan tanpa masalah. Menurut Jimly Asshiddiqie (2006: 105-106), jika Peraturan Desa menjadi obyek judicial review di Mahkamah Agung, maka tak mungkin bagi MA menjalankan tugasnya dengan baik, karena jumlah desa mencapai ratusan ribu. “Sikap pembentuk UU No. 10 Tahun 2004 memasukkan Peraturan Desa dalam tata urutan perundang-undangan ‘sudah sangat berlebihan’. Menurut Jimly, harus ada jalan keluar agar beban perkara di MA tidak menumpuk. Ia mengusulkan executive preview, atau kontrol oleh lembaga atasan. Gagasan executive preview itu kemudian tercermin dalam Pasal 69 ayat (4) sampai ayat (8) UU Desa, berupa evaluasi oleh Bupati/Walikota, tetapi terbatas pada rancangan Peraturan Desa mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanda Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintaha desa. Dilihat dari rumusan Pasal 69-70 UU Desa, tidak ada penegasan apakah Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian terhadap Peraturan Desa, Peraturan Bersama Desa, dan Peraturan Kepala Desa. Para pembentuk Undang-Undang seharusnya sudah mengantisipasi itu dengan mengusulkan adanya Peraturan Pemerintah (PP). Pada DIM No. 414 ada rumusan Pasal 83 yang menyebutkan: ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan mekanisme penyusunan peraturan desa dan pengundangan dalam lembaran desa diatur dengan Peraturan Pemerintah’. Rumusan asli Pasal 83 ini kemudian tak termuat dalam Undang-Undang Desa. Tetapi mekanisme penyusunan Peraturan Desa dimuat dalam PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Implikasi yang terjadi di lapangan dengan adanya Perdes diungkapkan oleh pengajar perundang-undangan, B. Hestu Cipto Handoyo (2014: 167). Ia mengatakan dapat memahami bahwa perancangan peraturan tingkat daerah dan desa justru lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan dengan perancangan peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Perancangan peraturan tingkat daerah dan desa selain harus tetap memperhatikan teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, juga harus memperhatikan materi muatan yang akan diatur agar tidak melanggar perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak terjadi duplikasi pengaturan.

    6.2. Partisipasi Publik dalam Pembuatan Perdes

    Dalam setiap pembuatan kebijakan, partisipasi publik menjadi suatu keniscayaan. Partisipasi publik merupakan bagian dari pelaksanaan demokrasi di tingkat desa, sekaligus penerapan prinsip transparansi pembuatan kebijakan. Dalam konteks pembuatan peraturan perundang-undangan, partisipasi publik bersifat wajib meskipun implikasinya tak selalu berimbas pada pembatalan peraturan. UU Desa mengatur tentang konsultasi dan pemberian masukan dalam proses legislasi peraturan di tingkat desa.

     

    Pasal 69
    Ayat (9) Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
    Ayat (10) Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
    Penjelasan
    Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat desa. Masyarakat desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa.

    Penjelasan Umum juga menegaskan ‘Masyarakat desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa’.

    Pembahasan di DPR

    Peraturan Desa adalah produk hukum tingkat desa yang disetujui bersama oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Dalam proses pembuatan Peraturan Desa, UU Desa menyebutkan kewajiban mengkonsultasikan rancangannya kepada masyarakat desa. Pada saat konsultasi rancangan itu, masyarakat desa berhak memberikan masukan.

    Dalam proses pembahasan RUU Desa di DPR, isu partisipasi banyak disinggung. Regulasi tentang desa perlu dibuat sedemikian rupa sehingga bisa meningkatkan partisipasi masyarakat desa. Dalam Rapat Pansus 4 April 2012, Hj Mestariyani Habibie dari Fraksi Gerindra menyatakan:

    “Selain itu, yang tidak kalah pentingnya dengan menempatkan desa sebagai entitas subyek dari tata pemerintahan dan pembangunan kesejahteraan. Maka konsekuensi logis regulasi tentang desa juga harus memposisikan masyarakat desa sebagai subyek. Dalam konteks ini ….regulasi tentang desa harus mendorong partisipasi masyarakat desa dalam tata kelola pemerintahan desa dan pembangunan kesejahteraan dengan membuka ruang prakarsa yang berpijak pada local asset, yakni kelembagaan sosial yang sudah ada di desa”.

    Pemerintah, seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada Rapat Pansus tersebut juga punya pandangan yang sama:

    “Dengan adanya Undang-Undang tentang Desa diharapkan dapat meningkatkan peran aparat pemerintah desa dalam mendukung otonomi daerah, dan mewujudkan desa sebagai garda terdepan dalam pembangunan bangsa serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan”.

    Tanggapan

    Undang-Undang Desa memberikan hak kepada masyarakat untuk memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat menyampaikan masukan, maka secara normatif RUU Desa harus dapat diakses dengan mudah terutama oleh masyarakat yang memiliki kepentingan.

    Berdasarkan Pasal 96 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, masukan masyarakat dapat dilakukan melalui: Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU); kunjungan kerja; sosialisasi; dan beragam bentuk lain seperti seminar, lokakarya, dan diskusi.

    Undang-Undang Desa mewajibkan suatu rancangan Perdes dikonsultasikan kepada publik. Konsultasi publik itu adalah bagian dari asas partisipasi yang dianut Undang-Undang ini, yakni masyarakat turut berperan aktif dalam suatu kegiatan.

    Konsultasi publik itu sejalan dengan prinsip yang terkandung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini juga menjadikan konsultasi publik itu sebagai forum bagi warga masyarakat desa menyampaikan hak-haknya. Namun dalam Pasal 68 ayat (1) UU Desa tidak ada uraian spesifik mengenai hak masyarakat menyampaikan masukan dan saran atas Perdes. Norma yang terkandung lebih bersifat umum, sebagaimana disebut Pasal 68 ayat (1) huruf c: hak masyarakat antara lain ‘menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa’.

    Konsultasi publik pada saat penyusunan rancangan Perdes perlu dilakukan mengingat implementasi Perdes tak sekadar membutuhkan penempatan dalam Berita Desa, tetapi juga pengakuan langsung dari masyarakat. Sejatinya, pengakuan inilah yang jauh lebih penting.[13]

    Pengalaman pendampingan HuMA dalam penyusunan Perdes di Sulawesi Tengah menjelaskan lebih lanjut pentingnya konsultasi publik itu:

    Konsultasi publik dilakukan di tiap desa dengan mengundang masyarakat pada umumnya. Proses konsultasi publik dimulai dari tingkat dusun-dusun untuk memperoleh saran, masukan dan tanggapan. Setelah itu direvisi kembali sesuai masukan tiap dusun sebagai bahan konsultasi publik tingkat desa. Apabila dalam konsultasi tingkat desa, seluruh masyarakat yang mengikuti kegiatan konsultasi telah merasa cukup puas, maka draft peraturan desa dianggap telah final dan siap melangkah ke tahap sosialisasi”.[14]

    Skema pembahasan Rancangan Perdes berbasis partisipasi publik dapat digambarkan pada bagan berikut:

    diagram 4

    Setiap warga Desa berhak menyampaikan pendapat, masukan, saran, baik secara lisan maupun tertulis, untuk disampaikan dan dibahas dalam musyawarah Desa. Warga bisa menitipkan pendapat, saran dan masukan itu melalui wakil-wakilnya. Masyarakat Desa yang bisa menghadiri musyawarah Desa, adalah tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, nelayan, perajin, perempuan, pemerhati dan perlindungan anak, dan kelompok masyarakat miskin.

    Mengingat pentingnya peran Musdes dalam penyusunan Perdes isu-isu strategis, maka mekanisme penyampaian aspirasi masyarakat perlu dijabarkan lebih jauh agar memenuhi sejumlah kaedah, misalnya: (i) masyarakat sudah mendapatkan informasi yang cukup mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa; (ii) setiap warga telah mendapatkan perlakuan yang sama dan adil baik untuk tampil mewakili unsur-unsur masyarakat maupun untuk menyampaikan aspirasinya melalui para wakil terpilih; (iii) setiap warga bebas dari intimidasi dan tekanan dalam menyampaikan pendapat, baik sebelum proses maupun selama dan setelah proses musyawarah desa berlangsung. Poin terakhir ini penting agar jangan sampai warga desa dikriminalisasi oleh Kepala Desa atau Bupati/Walikota hanya gara-gara menyampaikan aspirasi, pendapat dan masukan. Dengan demikian harus ada garansi bahwa proses Musdes adalah proses yang bukan saja partisipatif dan dialogis, tetapi juga aman dari ancaman dan intimidasi.

    Berdasarkan analisis tersebut di atas ada beberapa hal krusial yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai Perdes.

    • Materi Muatan Perdes.

    UU Desa tidak merinci apa saja yang akan diatur dalam Perdes. Undang-Undang ini hanya menyebutkan penetapannya dilakukan oleh Kepala Desa dan BPD. Mengenai materi muatan, Pasal 69 ayat (4) menyebutkan materi tentang APBD, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintahan desa.

    Jika dirujuk pada konstruksi yang dibangun Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang, materi muatan Perdes adalah ‘seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi’.[15] Ini berarti materi muatan disesuaikan dengan urusan desa. Urusan desa bermula dari kewenangan desa. Pasal 19 UU Desa menjelaskan kewenangan desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan hak asal usul; (b) kewenangan lokal berskala desa; (c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan (d) kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan lebih lanjut mengenai poin (a) dan (c) diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa. Salah satu contoh Perdes yang diamanatkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) yang diamanatkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa.

    Pertanyaannya, apakah materi muatan yang bisa diatur desa adalah residu dari kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota? Jika ya, batasan-batasan residu apa yang menjadi kewenangan desa? Mengenai materi muatan ini juga sempat dipertanyakan dalam pembahasan di DPR. Sebab hampir semua urusan sudah diatur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 69 ayat (4) UU Desa, misalnya, menyebut tata ruang sebagai materi yang bisa diatur dalam Perdes. Bukankah sudah ada UU Penataan Ruang? Bagian mana dari tata ruang yang bisa diatur oleh Perdes? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan menjadi isu krusial dalam implementasi UU Desa.

    Pertanyaan ini juga senada dengan kekhawatiran Prof. Pratikno, yang diundang dalam RDPU tanggal 27 Juni 2012. Ia mengatakan:

    “Berikutnya tentang urusan pemerintahan. Saya tidak punya banyak komentar kecuali bahwa nampaknya undang-undang ini melanjutkan tradisi kita bahwa itu ada urusan-urusan yang konkuren itu ada resikonya. Resikonya itu pembagian urusan tidak jelas. Artinya, kalau ini kita tetapkan, saya usulkan bahwa pemerintah itu wajib membuat PP yang tegas dalam membagi suburusan. Jadi misalnya pendidikan itu yang nasional apa, yang provinsi apa, yang kabupaten apa, itu harus eksplisit, harus tegas”.

    Jawaban atas pernyataan tersebut sebenarnya sangat bergantung pada pembatasan yang dibuat oleh Bupati melalui Peraturan Bupati tentang kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Prinsipnya, desa tidak diperbolehkan mengatur dan mengurus urusan masyarakat yang tidak masuk dalam kewenangan desa.[16]

    Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa sebenarnya sudah berusaha menjawab pertanyaan tentang materi muatan. Tetapi potensi perbedaan tafsir mana yang menjadi wewenang desa dan wewenang pemerintahan kabupaten/kota masih ada.

    • Proses Pembentukan dan Pembatalan Perdes

    Isu krusial kedua sehubungan dengan Perdes adalah bagaimana proses pembentukan dan pembatalannya. Sebagai peraturan, Perdes harus dibentuk melalui mekanisme yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Rujukan utama pembentukan peraturan perundang-undangan adalah UU No. 12 Tahun 2011. Berdasarkan Undang-Undang ini, pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik memiliki asas-asas: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan.

    Mengenai lembaga pembentuk, UU Desa sudah menegaskan bahwa Perdes ditetapkan Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama BPD. Tentang siapa yang mengusulkan, UU Desa menganut prinsip yang sama dengan pembentukan Undang-Undang, boleh dari Kepala Desa (Pasal 26 ayat 3 huruf b), boleh juga diajukan oleh BPD (Pasal 62 huruf a). Jika dalam pembentukan perundang-undangan digunakan istilah ‘persetujuan bersama’, UU Desa menggunakan istilah ‘disepakati bersama’. Dalam proses pembentukan, masyarakat diberikan hak untuk berpartisipasi. Beban utama pembentukan Perdes tetap ada di tangan Kepala Desa (executive heavy) seperti terlihat dari sebutan Peraturan Kepala Desa, dan Peraturan Bersama Kepala Desa (Pasal 69 ayat 1), dan tidak disebut Peraturan BPD.

    Isu paling krusial dalam pembentukan Perdes sebagaimana terlihat dari proses pembentukan UU Desa adalah adalah sumber daya manusia, dalam arti kemampuan pemerintah desa dan BPD dalam drafting. Penyusun Naskah Akademik dan sejumlah pakar yang diundang ke DPR juga menyinggung masalah kapasitas sumber daya manusia penyusun Perdes. Jalan keluar yang diberikan oleh Undang-Undang adalah fasilitasi penyusunan oleh pejabat yang lebih tinggi. Siapakah mereka? Pasal 69 ayat (4) UU Desa memberikan wewenang kepada Bupati/Walikota melakukan ‘evaluasi’, sedangkan Pasal 84 ayat (4) PP No. 43 Tahun 2014 memberi hak ‘pengawasan dan pembinaan’ Perdes kepada Bupati/Walikota, dan Pasal 154 PP ini memberikan tugas kepada camat untuk ‘fasilitasi penyusunan Perdes dan Peraturan Kepala Desa’. Sedangkan Pasal 88 PP No. 43 Tahun 2014 menyebutkan pedoman teknis mengenai peraturan di desa diatur dengan Peraturan Menteri.

    Mengenai fasilitasi pembuatan Perdes, Naskah Akademik menyebutkan begini:

     “Fasilitasi pemerintah kabupaten terhadap penyusunan peraturan desa sangat diperlukan untuk mempermudah dan membangun kapasitas pemerintah desa atau menyusun Perdes yang baik. Pengawasan (supervisi) kabupaten terhadap peraturan desa sangat diperlukan agar Perdes tetap berjalan sesuai dengan norma-norma hukum, yakni tidak menyimpang dari peraturan di atasnya dan tidak merugikan kepentingan umum”.

    Keruwetan pembatalannya pun hampir sama. Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji semua jenis peraturan di bawah Undang-Undang. Secara sederhana, termasuk di sini peraturan desa. Jika ada warga atau pihak ketiga yang keberatan atas Perdes, ia bisa mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Agung. Tetapi peraturan pelaksanaan Undang-Undang Desa memberikan kewenangan pembatalan kepada Bupati/Walikota (Pasal 87 PP No. 43/2014). Dengan demikian, Bupati/Walikota bukan saja punya kewenangan preview (preventif), tetapi juga kewenangan review (represif) dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Parameter yang digunakan untuk membatalkan adalah bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tanpa batasan yang jelas, makna kepentingan umum seperti apa yag dimaksud bisa menjadi dasar yang memicu perbedaan tafsir di lapangan.

    • Jenis-Jenis Peraturan Desa

    Secara limitatif, Pasal 69 ayat (1) UU Desa menyebutkan Perdes terdiri atas:

    1. Peraturan Desa, yaitu peraturan yang dibuat dan disepakati bersama Kepala Desa dan BPD.
    2. Peraturan Bersama Kepala Desa, yaitu peraturan bersama Kepala Desa yang dibuat dalam rangka kerjasama antardesa.
    3. Peraturan Kepala Desa, yaitu peraturan teknis pelaksanaan Perdes yang dibuat oleh Kepala Desa.

    Berdasarkan ketentuan ini, kerjasama antardesa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa, bukan Peraturan Bersama Desa. Ini berarti seolah-olah kerjasama antardesa bisa dilakukan oleh Kepala Desa tanpa melibatkan BPD kedua desa. Bukankah dari sisi partisipasi dan dukungan, kedudukan Peraturan Bersama Desa lebih kuat dibanding peraturan Bersama Kepala Desa? Lalu, siapa yang membatalkan Peraturan Bersama Kepala Desa, apakah oleh Bupati/Walikota juga? Ingat, rumusan Pasal 87 PP No. 43/2014 hanya menyebutkan peraturan desa dan peraturan Kepala Desa, dan tak menyebut sama sekali peraturan bersama Kepala Desa.

    Bagaimana pula dengan Peraturan Tata Tertib Badan Permusyawaratan Desa yang disebut dalam Pasal 77 PP No. 43 Tahun 2014, apakah ini jenis peraturan perundang-undangan lain?

    Update terbaru 14 June 2016.