5.2. Keanggotaan BPD
Aspek lain yang diatur UU Desa adalah keanggotaan BPD, meliputi persyaratan anggota, jumlah, dan pimpinan. Prinsip utama yang dianut UU ini adalah anggota BPD berasal dari penduduk Desa bersangkutan. Keanggotaan BPD dijelaskan dalam pasal di bawah ini. Selain itu juga akan dibahas persyaratan dan penetapan anggota BPD.
Pasal 56 |
(1) Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis;
(2) Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji; (3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. |
Penjelasan |
Ayat (1) Yang dimaksud dengan ’dilakukan secara demokratis’ adalah dapat diproses melalui pemilihan secara langsung dan melalui proses musyawarah perwakilan.
Ayat (2) Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 57 |
Persyaratan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah:
a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; c. Berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah; d. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; e. Bukan sebagai perangkat pemerintah desa; f. Bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa; dan g. Wakil penduduk desa yang dipilih secara demokratis. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pasal 58 |
(1) Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memerhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan keuangan desa;
(2) Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota; (3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebelum memangku jabatannya bersumpah/berjanji secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk; (4) Susunan kata sumpah/janji anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut: ”Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku anggota Badan Permusyawaratan Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pembahasan di DPR
- Keanggotaan
Ada perubahan rumusan UU Desa jika dibandingkan dengan rumusan UU No. 32/2004. Pasal 210 ayat (1) UU No. 32/2004 menyebutkan anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Kini, di UU Desa masuk klausul baru ’berdasarkan keterwakilan’, dan rumusan ’musyawarah dan mufakat’ diganti dengan ’dilakukan secara demokratis’.
Merujuk sejarah pembentukan UU Desa ini, khusus mengenai klausula ’berdasarkan keterwakilan wilayah’ tak dibahas secara eksplisit dalam Naskah Akademik. Klausula ini baru muncul dalam DIM, yakni ketika terjadi perubahan rumusan keanggotaan. Semula rumusannya adalah ’anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat’. Fraksi PPP mengusulkan perubahan rumusan dengan memasukkan klausula ’berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara pemilihan langsung’.
Komposisi keterwakilan yang berbeda diajukan Fraksi PDI Perjuangan. Selain utusan penduduk Desa, anggota BPD juga berasal dari ’utusan lembaga yang mewakili dan merepresentasikan lembaga masyarakat dan lembaga adat yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat’.
Pasal 56 UU Desa ini termasuk yang dianggap perlu mendapat perhatian oleh Panja, selain rumusan tentang pengertian menteri, musyawarah Desa, dan keuangan Desa. Rumusan yang disepakati setelah melalui tim sinkronisasi dan tim perumus adalah sebagaimana hasil akhir dan diputuskan pada 11 Desember 2013. Pidato Ketua Pansus RUU Desa pada rapat Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2013 menegaskan kembali klausula tersebut, dengan mengatakan: ”RUU tentang Desa mengatur mengenai keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis”.
Berkaitan dengan Pasal 56 tersebut, anggota DPR lebih banyak memperdebatkan rumusan masa keanggotaan seperti yang termuat dalam ayat (2) dan ayat (3). Masa jabatan anggota BPD dirujuk ke rumusan masa jabatan Kepala Desa.
Sejak awal DIM memang ada perbedaan usulan. Pemerintah mengusulkan anggota BPD menjabat selama 6 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Fraksi Demokrat mengusulkan 10 tahun dengan hak perpanjangan 1 kali; Fraksi PPP mengusulkan masa jabatan 8 tahun dan dapat dipilih kembali. Rumusan yang dibawa Panja ke Pansus adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan 2 kali berikutnya. Parlemen menganggap masalah ini penting seperti diungkapkan Ketua Rapat, Achmad Muqowwam, dalam rapat 11 Desember 2013.
”Saya kira perbedaan angka itu membawa implikasi, salah paham. Jadi, karena itu, pilihan kata yang ada di sini adalah ’dapat dipilih kembali’. Sama dengan Kepala Desa. Saya kira, samain saja. Jadi, bunyinya adalah ayat (2)-nya saja: Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa adalah 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Mutatis mutandis, mengambil dari Kepala Desa”.
Asal usul angka 3 kali sempat dipersoalkan Pimpinan Rapat Achmad Muqowwam karena menurut dia yang benar adalah 2 kali, seperti terungkap dalam memori rapat tertutup 11 Desember 2013.
”Ini rumusan darimana yang tadi 3 kali ini? Darimana, siapa yang membuat ini, yang 3 kali berturut-turut itu. Tidak ada 3 kali berturut-turut…Saya ingin koreksi. Yang berlaku adalah 39, coba 39, eh 56..coba yang Kepala Desa berapa?”
”Kalau begitu, ini yang ayat (2) dicopy paste ke dalam BPD. Selama diskusi tidak pernah ada kata 3. Ternyata ada rumusan baru….Masa keanggotaa Badan Permusyawaratan Desa adalah 6 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan. Kembali 2 itu”.
- Persyaratan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur eksplisit syarat untuk jadi anggota BPD, dan menyerahkannya pada pengaturan daerah masing-masing. Sebaliknya, UU Desa menguraikan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Usulan persyaratan anggota BPD ini datang dari Fraksi PPP pada saat penyusunan DIM. PPP meminta ada rumusan pasal baru dengan membandingkan rumusan syarat Kepala Desa. Dibandingkan dengan rumusan yang sudah ada dalam UU Desa, terdapat perbedaan dari yang diusulkan fraksi-fraksi DPR. Fraksi PPP mengusulkan usia minimal 21 tahun, dan tidak ada syarat pendidikan. Sementara UU Desa ini kemudian mensyaratkan minimal lulusan SMP/sederajat. Persyaratan anggota BPD ini dihubungkan dengan tugas-tugas mereka dalam rangka melaksanakan kepemerintahan desa (local governance).
Ahli ekonomi, Prof. Erani Yustika, misalnya secara tak langsung menghubungkan kapasitas anggota lembaga-lembaga pemerintahan desa dengan penyusunan perekonomian desa. Kapasitas sumber daya manusia BPD sangat menentukan keseimbangan dalam proses pembahasan, misalnya, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPB Desa). Dalam RDPU tanggal 28 Juni 2012, Prof. Erani Yustika mengatakan:
”Dari situlah kemudian, nanti akan membentuk yang disebut local governance, lokal desa tadi. Tata kelola desa yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan untuk bisa melakukan beberapa hal yang mendasar bagi perubahan pembangunan ekonomi di desa itu. Itu kerangka pikirnya”.
- Jumlah Anggota
Substansi lain terkait keanggotaan adalah jumlah anggota BPD. Sesuai dengan rumusan Pasal 58, jumlah anggota BPD paling sedikit 5 orang dan paling banyak 9 orang, dan jumlahnya harus gasal. Jadi, pilihannya adalah 5, 7, atau 9 orang. Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih anggota BPD adalah wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Siapapun yang terpilih dan bagaimana keterwakilannya, surat pengangkatan mereka harus ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.
Berkaitan dengan jumlah anggota BPD, sempat muncul gagasan anggotanya tetap 5 orang sebagaimana tertuang dalam DIM per Oktober 2012. Namun rupanya jumlah anggota BPD memantik perbedaan. Fraksi Partai Golkar mengusulkan agar jumlahnya dua orang dari masing-masing bagian wilayah desa agar lebih merepresentasikan masyarakat desa. Fraksi PDIP mengusulkan agar jumlah maksimal anggota BPD 10 orang dengan ketentuan 3 orang berasal dari wakil penduduk desa, dan 7 orang dari utusan lembaga-lembaga desa. Fraksi PPP menegaskan sebaiknya jumlah anggota BPD gasal, minimal 5 maksimal 11. Fraksi PPP pula yang menyinggung kembali keterwakilan perempuan, jumlah penduduk, dan keuangan desa sebagaimana dirumuskan Pasal 58 ayat (1) di atas. Fraksi PPP berpandangan 5 orang tidak cukup untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Tetapi mengenai jumlah maksimal, PPP telah berubah pandangan, sebagaimana disampaikan Dr. A.W. Thalib dalam Pendapat Akhir Mini Terhadap RUU Desa tanggal 11 Desember 2013. Ia mengatakan:
”Untuk mengawasi jalannya pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa yang keanggotaannya dipilih berdasarkan keterwakilan wilayah paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang. Pada prinsipnya BPD melakukan fungsi legislasi secara terbatas di tingkat pemerintahan desa”.
Isu keterwakilan perempuan antara lain diangkat oleh Bina Desa. Direktur Bina Desa, Dwi Astuti, mempersoalkan naskah akademik yang sama sekali tak menyinggung keterwakilan perempuan, affirmative action. Padahal, menurut Dwi, perempuan punya kontribusi signifikan dalam pembangunan desa berkelanjutan. Ia mengatakan:
“RUU Desa belum memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan. Ini karena tadi dari Naskah Akademiknya saja tidak dipotret begitu ya, tidak disinggung. Lalu, kalau kami lihat dari pasal per pasal itu tidak ada satu kalimat pun yang menyebut tentang perempuan”.
Pada akhirnya naskah terakhir UU Desa memang memasukkan perempuan sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam keanggotaan BPD. Ini juga sejalan dengan Naskah Akademik yang menyebutkan BPD harus mencerminkan keterwakilan unsur-unsur dalam masyarakat. Bahkan Naskah Akademik secara khusus menyebut kuota 30 persen perempuan dari anggota BPD.
Tanggapan
Penetapan anggota BPD dilakukan melalui surat keputusan Bupati/Walikota (Pasal 58 ayat 2). Suatu keputusan adalah produk tindakan pemerintah yang bersifat beschiking, sehingga sangat mungkin digugat. Misalnya jika Bupati enggan mengeluarkan keputusan pengangkatan anggota BPD yang kurang disukai Bupati, baik karena alasan politik atau alasan lain.
Kisruh pengangkatan BPD bukan tak mungkin bermuara ke pengadilan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya pernah memutus kasus yang relevan (Putusan No. 22/B/2014/PT.TUN.SBY). Putusan ini mengenai gugatan sembilan orang warga terhadap Bupati Gresik, Jawa Timur. Para penggugat menggugat Surat Keputusan Bupati Gresik tentang Penganggkatan Anggota BPD di salah satu desa di Kecamatan Wringinanom. Para penggugat mendalilkan Bupati tidak menjalankan asas-asas pemerintahan yang baik ketika menerbitkan surat keputusan tersebut. Pengadilan memang pada akhirnya menyatakan tidak menerima petitum gugatan, tetapi lebih karena melewati tenggat waktu mengajukan gugatan bukan karena materi gugatannya.
Meskipun gugatan ini terjadi sebelum UU Desa dan putusan menyatakan tidak dapat menerima, tetapi kasusnya bisa dijadikan rujukan untuk pengaturan ke depan. Ini menunjukkan potensi kisruh pemilihan anggota BPD.
Daftar Isi :