3. Kewenangan Desa

    UU Pemerintahan Daerah yang lama (UU No. 32/2004) pada Pasal 206 hanyalah membagi kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa. Berdasarkan ketentuan ini dapat dilihat bahwa titik berat UU No. 32/2004 tidak secara spesifik memberikan perhatian kepada kewenangan desa, tetapi lebih memberikan titik tekan pada pembagian urusan pemerintahan saja.

    Sedangkan pembagian urusan pemerintahan yang berlaku saat ini, dan relasinya dengan kewenangan desa, dapat dilihat dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa urusan pemerintah dibagi menjadi tiga yakni urusan absolut, urusan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan absolut adalah urusan yang hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; urusan konkuren adalah urusan pemerintah pusat yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah; dan urusan pemerintahan umum adalah urusan yang dijalankan kewenangannya oleh Presiden. Dalam semesta pembagian urusan ini, Desa dapat menjalankan urusan konkuren yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan gubernur jika yang memberikan tugas adalah pemerintah provinsi dan peraturan bupati/walikota jika yang memberikan tugas adalah pemerintah kabupaten/kota.

     

    Pasal 18
    Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
    Penjelasan
    Yang dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa” adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Pasal 19
    Kewenangan Desa meliputi:

    a.       kewenangan berdasarkan hak asal usul;

    b.      kewenangan lokal berskala Desa;

    c.       kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota; dan

    d.      kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Penjelasan
    Huruf a: Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa.

    Huruf b: Yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakarsa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa.

    Huruf c: Cukup Jelas

    Huruf d: Cukup Jelas

    Pasal 20
    Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
    Penjelasan
    Cukup Jelas
    Pasal 21
    Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa.
    Penjelasan
    Cukup Jelas
    Pasal 22
    Ayat (1)

    Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

    Ayat (2)

    Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.

    Penjelasan
    Ayat (1): Cukup Jelas

    Ayat (2): Cukup Jelas

    Pembahasan di DPR

    Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang mewakili pemerintah dalam rapat Pansus 4 April 2012, dalam rangka menunjang kemandirian Desa maka Desa perlu diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.

    Menurut RUU Pemerintah, kewenangan Desa meliputi dua hal, yakni (1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa dan kewenangan lokal berskala Desa yang diakui kabupaten/kota. Terhadap kewenangan ini, Desa berhak mengatur dan mengurusnya; dan (2) kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa sebagai lembaga dan kepada Kepala Desa sebagai Penyelenggara Pemerintah Desa dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap pelaksanaan kewenangan ini, Desa hanya memiliki kewenangan mengurus atau melaksanakan, sehingga pembiayaan yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan tersebut menjadi beban bagi pihak yang melimpahkan kewenangan.

    Namun demikian, RUU Pemerintah tidak menjabarkan bentuk-bentuk kewenangan yang dijalankan oleh Desa. Terhadap draf RUU Pemerintah yang masih dianggap kurang lengkap ini, beberapa fraksi di DPR kemudian mengusulkan berbagai rumusan. Sebagaimana ditemukan dalam DIM, Fraksi PKS mengusulkan kewenangan Desa untuk mengelola sumber daya Desa. Sedangkan Fraksi PKB mengusulkan bentuk kewenangan yang lebih lengkap, dimana Desa diberikan kewenangan dalam dua hal: yakni (1) Bidang Pemerintahan. Dalam hal ini Desa memiliki kewenangan untuk memilih kepala desa, menetapkan BPD dan perangkat desa lainnya, membentuk peraturan desa, membentuk struktur organisasi perangkat desa; mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan; dan mengelola kelembagaan desa; (2) Bidang Perencanaan dan Pembangunan. Dalam bidang ini Desa memiliki kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengembangkan pembangunan di wilayahnya; mengelola dan memanfaatkan kekayaan desa untuk kesejahteraan masyarakat; dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan desa.

    Fraksi PKB juga tidak sepakat dengan usulan Pemerintah terkait dengan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dilimpahkan ke Desa. Menurut Fraksi PKB, kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada Desa bukanlah kewenangan karena Desa hanya mengurus atau melaksanakan saja, tidak bersifat mengatur. PKB mengusulkan klausul ini dihapus, sehingga kewenangan Desa adalah kewenangan asal usul dan kewenangan berskala desa.

    Fraksi PPP mengusulkan penambahan kewenangan Desa Adat, dengan bunyi rumusan “Desa adat mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan berdasarkan hukum adat yang selaras dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya diusulkan, kewenangan Desa adat meliputi: (a) Mengatur dan melaksanakan sistem pemerintahan berdasarkan hukum adat setempat; (b) Mengatur dan mengelola sumber daya alam yang dikuasai berdasarkan hukum adat, yang meliputi tanah kas desa, tanah ulayat, hutan adat dan sumber daya alam lainnya; (c) Melaksanakan hukum adat setempat; (d) Melestarikan nilai-nilai sosial budaya setempat; (e) Mengelola dan melestarikan sumber daya alam yang dikuasai berdasarkan hukum adat; dan (f) Menyelesaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat setempat dalam wilayahnya yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia.

    Rapat Tim Perumus (Timus) Pansus RUU Desa pada 12 September 2013 menyepakati rumusan menjadi “Kewenangan Desa/Desa Adat mencakup kewenangan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan berdasarkan prakarsa masyarakat, asal usul, dan adat istiadat setempat.” Rumusan ini masih mencantumkan Desa Adat, sehingga dalam rumusan turunannya, terdapat dua ruang lingkup kewenangan, yaitu ruang lingkup kewenangan Desa dan Desa Adat.

    Tidak diketahui secara pasti mengapa pada rumusan yang disahkan menjadi UU, kewenangan Desa Adat tidak dicantumkan. Mengacu pada proses ini, maka dapat dimaknai bahwa kewenangan yang dimaksud pada bagian ini adalah khusus untuk Desa dan bukan Desa Adat. Sedangkan Kewenangan Desa Adat dalam UU ini secara khusus diatur pada Bab XIII pasal 103 UU Desa.

    Tanggapan

    Tujuan pengaturan kewenangan desa yang berdasarkan pada asas rekognisi dan asas subsidaritas adalah untuk pencapaian kemandirian desa agar masyarakat desa menjadi subyek pembangunan. Selain itu diharapkan Desa bisa berperan dalam perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteran masyarakat.

    Undang-Undang Desa adalah hasil dari evaluasi terhadap implementasi atas UU No. 32/2004 yang belum memberikan kejelasan tentang kewenangan Desa. Dalam Naskah Akademik RUU Desa (Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri, 2007) dinyatakan bahwa dalam mengatur tentang Desa, UU No. 32/2004 mengandung ambivalensi. Di satu sisi, ia mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal usul. Di sisi lain, ia memposisikan Desa sebagai subsistem dari pemerintah kabupaten/kota, karena konsepsi dasar yang dianut UU ini menempatkan otonomi hanya berhenti di kabupaten/kota. Kewenangan yang dimiliki oleh Desa menurut UU No. 32/2004 adalah kewenangan kabupaten/kota yang dilimpahkan kepada Desa.

    Pencantuman klausul khusus tentang Kewenangan Desa pada UU Desa ini seakan ingin memberikan kejelasan terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Desa. Jika dicermati, keberadaan klausul khusus ini juga masih menyisakan ambivalensi. Hal ini terlihat jelas pada Pasal 19 huruf (c) dan (d), dimana kewenangan Desa merupakan limpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dan Daerah, meskipun Desa juga diberikan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa (huruf (a) dan (b). Dalam bagian ini tampak pula bahwa ternyata kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan desa bukan hanya kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang dimiliki oleh Desa, namun juga pelaksanaan kewenangan berdasarkan pada penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang ditugaskan kepada Desa (lihat pasal 22). Selain dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan yang bersifat penugasan lainnya adalah dalam hal pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Terhadap kewenangan-kewenangan ini, Desa tidak memiliki hak untuk mengatur (membuat regulasi), tetapi hanya mengurus, sebagaimana dinyatakan pada bagian terdahulu. Selain dalam UU Desa, pelimpahan kewenangan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada Desa juga dimandatkan dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    • Potensi Tarik-Menarik Kewenangan

    Ada perdebatan pemberian kewenangan pada Desa antara kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan berdasarkan lokal berskala desa dan kewenangan berdasarkan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dengan ketentuan peraturan perundang –undangan. Artinya, Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa) pada satu sisi bertugas untuk menjalankan kewenangan desa, sedangkan pada sisi lain bertugas menjalankan penugasan dari pemerintah kabupaten/kota. Konstruksi ini berpotensi menjadi unsur yang memperkuat Desa dan sekaligus sebagai unsur yang memperlemah Desa. Hal ini bisa memunculkan dominasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota pada penentuan skala prioritas pembangunan Desa. Misalnya Desa lebih banyak melaksanakan urusan yang ditugaskan dari pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dibandingkan kewajiban pemerintah Desa dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa dan hal ini bisa jadi menghambat pertumbuhan kemandirian Desa.

    • Kewenangan Asal-usul dan Kewenangan Lokal Skala Desa

    Kewenangan Desa berdasarkan asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa bukanlah kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah, bukan juga sisa (residu) yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 tentang Desa. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis kewenangan itu diakui dan ditetapkan langsung oleh UU Desa. Namun demikian mekanisme penetapan kewenangan desa tidak diatur secara rinci. Pasal 20 UU Desa menyebutkan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.

    • Peran Pemerintah Desa dalam Menjalankan Kewenangan

     Berkaitan dengan kewenangan ini, Bhenyamin Hoessein (disertasi 1993), menjelaskan bahwa pengaturan dapat diartikan sebagai kewenangan “…untuk menciptakan norma hukum tertulis yang berlaku umum dan mengenai hal yang abstrak”; sementara pengurusan sebagai kewenangan “…untuk melaksanakan dan menerapkan norma hukum umum dan abstrak kepada situasi konkrit”. Dengan kata lain, pengaturan berkaitan dengan kewenangan membentuk kebijakan (rules making), sementara pengurusan dengan kewenangan melaksanakannya (rules application).

    Mengikuti pengertian di atas, maka pemerintahan yang memiliki sekaligus kewenangan pengaturan dan pengurusan (sendiri) dapat dipandang sebagai pemerintahan otonom (Bhenyamin: 2001). Kedua istilah tersebut secara bersama-sama merupakan padanan Bahasa Indonesia untuk istilah Bahasa Inggris ‘self-governance’.

    Berkaitan dengan kewenangan pemerintah, Barton (2000) menyebutkan bahwa dalam ekonomi pasar yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis, hanya ada dua alasan bagi pemerintah untuk masuk ke dalam aktivitas masyarakat, yaitu: keadilan sosial (social equity) dan kegagalan pasar. Berdasarkan alasan-alasan itu, secara garis besar peran pemerintah dengan kebijakan publiknya adalah melakukan koreksi kegagalan pasar untuk memperbaiki efisiensi produksi, yakni:

    • Peran alokasi sumber daya. Hal ini mencakup soal penentuan ukuran absolut dan relatif pemerintah dalam perekonomian (keseimbangan sektor publik dan sektor swasta) dan penyediaan barang-barang publik serta pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
    • Peran regulator. Hal ini mencakup undang-undang dan tata tertib yang dibutuhkan masyarakat termasuk undang-undang yang mengatur dunia bisnis yang memadai untuk memfasilitasi aktivitas bisnis dan hak-hak kepemilikan pribadi.
    • Peran kesejahteraan sosial, yang mencakup kebijakan-kebijakan yang mendorong pemerataan sosial di negara yang bersangkutan seperti perpajakan, jaminan sosial dan penyediaan sejumlah barang publik campuran bagi masyarakat

    Pasal 78 UU Desa mengatur bahwa pembangunan desa bertujuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, meningkatkan kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan. Lebih lanjut pencapaian tujuan tersebut diselenggarakan melalui: (a) pemenuhan kebutuhan dasar, (b) pembangunan sarana dan prasarana desa, (c) pengembangan potensi ekonomi lokal, serta (d) pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

    • Kewenangan Desa dalam Subyek Pembangunan

    Berdasarkan pandangan teoritis tentang pemerintahan (Barton, 2000), kewenangan normatif, tujuan dan cara mencapai tujuan yang diatur dalam Undang-Undang Desa diturunkan dalam enam peran atau fungsi derivatif pemerintahan desa, yakni:

    • Mengelola pelayanan dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa untuk mengelola pelayanan dasar yang berada di dalam lingkup kewenangannya, seperti ketersediaan layanan pendidikan anak usia dini, bantuan transportasi ke sekolah, dan sistem desa siaga.
    • Mengelola pelayanan administrasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola pelayanan administrasi, baik administrasi kependudukan maupun beberapa administrasi perizinan yang berada dalam kewenangannya.
    • Menyediakan infrastruktur dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola penyediaan infrastruktur dasar desa, seperti air bersih, irigasi tersier, jalan desa, listrik desa, polindes, sarana pendidikan anak usia dini, kantor desa, dan sarana olah raga.
    • Memperkuat kelembagaan ekonomi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam memperkuat keberadaan lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti mendorong keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dalam pengelolaan infrastruktur dasar dan penguasaan sumber daya alam lokal, dan penguatan daya tawar kolektif.
    • Memperkuat kelembagaan sosial. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam memperkuat keberadaan lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti memperkuat organisasi sosial seperti posyandu, lembaga amil zakat, penanganan bencana, dan resolusi konflik.
    • Membuat regulasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola proses pembuatan regulasi sebagai salah satu bentuk kebijakan publik, termasuk di dalamnya merevitalisasi aturan-aturan yang bersumber dari adat istiadat.

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.