Klaster 1: Kedudukan dan Kewenangan Desa
Pembahasan tentang Desa tidak dapat dilepaskan dari proses reformasi yang bergulir sejak 1998. Sebagai evaluasi terhadap Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, pemerintahan di awal era reformasi melahirkan kebijakan yang mendorong terciptanya desentralisasi secara hakiki, dalam arti daerah diberikan otonomi lebih luas untuk menjalankan urusannya sendiri, alih-alih hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Hal ini dilakukan melalui terbitnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Selain mengatur tentang desentralisasi pemerintahan daerah, UU No. 22/1999 ini juga memberikan porsi cukup banyak terhadap tatakelola pemerintahan Desa, yaitu Desa diberi keleluasaan untuk mengatur pemerintahannya sendiri dan mengembangkan proses demokratisasi.
Namun demikian, UU No. 22/1999 belum mengatur secara jelas posisi Desa dalam relasinya dengan pemerintah di atasnya, yakni pemerintah kabupaten/kota. Undang-Undang ini hanya mengatur tentang kewenangan Desa yang mencakup: a) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; b) kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat; dan c) tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
Selanjutnya lahir UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No. 22/1999 yang memosisikan pemerintah Desa sebagai bagian dari pemerintah kabupaten/kota, sehingga kedudukan desa dalam UU No. 32/2004 berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki Desa. Desa hanya menjalankan kewenangan dari pemerintahan di atasnya, bukan melaksanakan kewenangan yang berdasar pada kebutuhan Desa.
Lalu, bagaimana posisi Desa dalam konstelasi desentralisasi menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa? Apakah pemerintah Desa tidak lagi menjadi bagian dari subsistem pemerintahan kabupaten/kota, sehingga memiliki kewenangan yang luas daripada sekadar perpanjangan tangan pemerintah kabupaten/kota? Untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan itu, maka pada pembahasan ini, akan ditelusuri bagian-bagian dari UU Desa yang mengatur kedudukan (dan jenis) Desa, kewenangan Desa, tujuan pengaturan tentang Desa dan asas-asas pengaturan tentang Desa.
Daftar Isi :
1. Lingkup Kedudukan Desa
Posisi pemerintah Desa dalam konstelasinya dengan praktik desentralisasi dan otonomi daerah baru terlihat secara jelas setelah terbitnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi menurut UU ini berhenti pada level pemerintah kabupaten/kota, dan memosisikan pemerintah Desa sebagai bagian dari pemerintah kabupaten/kota sebagaimana tersurat pada pasal 200 ayat (1) yang berbunyi antara lain “dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat dibentuk pemerintahan desa ...”. sehingga Desa merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten/kota. Dengan kata lain, pemerintah desa adalah subsistem dari pemerintah kabupaten/kota.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Desa lebih banyak menjalankan tugas pembantuan daripada menjalankan urusan desanya sendiri. Berangkat dari kehendak untuk menempatkan Desa pada posisi yang mandiri, terbitlah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa).
Pasal 5 |
Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota |
Penjelasan |
Desa yang berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota dibentuk dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
Pembahasan di DPR
Penyebutan kedudukan desa ditemui dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksi-fraksi yang dihimpun oleh Sekretariat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Desa (Oktober 2012). Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan ketentuan tentang Kedudukan dan Karakteristik Desa. Selanjutnya, PKS mengusulkan, pada bagian tentang Kedudukan Desa dengan redaksi (1) Negara mengakui dan menghormati Desa atau yang disebut nama lain.... dst; dan (2) Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam wilayah Kabupaten/Kota.
Dalam RUU yang dirumuskan Pemerintah, tidak dicantumkan bagian khusus tentang Kedudukan Desa, meskipun RUU mencantumkan klausul yang berbunyi “Di daerah kabupaten/kota dibentuk desa yang pengelolaannya berbasis masyarakat”. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 2 dan menjadi bagian dari Ketentuan Umum. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat kerja dengan Pansus DPR pada 4 April 2012 juga menyatakan bahwa secara umum pengaturan tentang desa mencakup enam hal yang salah satunya adalah kedudukan desa. Menurut Gamawan, desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan daerah dan nasional. Bentuk desa dalam RUU ini adalah sebagai local-self community, yang dimaknai bahwa semua pelaksanaan tugas pelayanan adalah berbasis masyarakat. Dari sini dapat dimaknai bahwa sejatinya Pemerintah menyadari betul tentang pentingnya pengaturan kedudukan desa. Rumusan kedudukan desa sebagaimana yang ada sekarang ini merupakan hasil dari kesepakatan rapat Tim Perumus (Timus) tanggal 28 Juni 2013.
Gambaran tentang kedudukan desa sendiri sudah dinyatakan dalam UU lain, yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Wilayah Negara. Pada Bab II (Pembagian Wilayah Negara) UU tersebut dinyatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi yang kemudian dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Daerah kabupaten dan kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Klausul ini sejatinya menekankan pada hal pembagian wilayah secara geografis saja, bukan menyangkut pembagian pemerintahan.
Sedangkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri tidak secara spesifik mengatur tentang kedudukan desa. Bab XI UU itu hanya menggambarkan tentang kedudukan pemerintah desa terhadap pemerintah kabupaten/kota, sebagaimana tercantum dalam Pasal 200 ayat (1) yang berbunyi “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa.” Dari rumusan ini dapat dimaknai bahwa kedudukan pemerintah desa merupakan bagian dari pemerintah kabupaten/kota. Namun demikian, subyek dalam klausul tersebut bukanlah desa atau pemerintah desa melainkan pemerintah daerah.
Dalam pembahasan RUU Desa, terkait dengan “kedudukan Desa” antara Delegasi Pemerintah dan Pansus RUU Desa, ada hal fundamental terkait pembahasan ini yang diawali oleh pertanyaan dari Ketua Pansus RUU Desa Bapak Ahmad Muqowam, menanyakan pada Delegasi Pemerintah. “Jadi tolong pemerintah jelaskan ke kami tentang kedudukan desa di hadapan Negara, dalam hal ini di hadapan Pemerintah!“. Dari pertanyaan itulah muncul perdebatan panjang tentang kedudukan desa. Ada dua Pasal UUD 1945 yang menjadi pangkal perdebatan berkaitan dengan kedudukan desa yaitu: pasal 18 ayat 7 “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang” dan ini yang diusung di dalam Ampres (Amanat Presiden) RUU Desa yang diajukan Pemerintah kepada DPR RI, dan pasal 18 b ayat 2, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dan sepanjang masih hidup dan sesuai dengan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. yang diatur di dalam undang-undang”.
Pansus RUU Desa meminta Pasal 18 B ayat (2) diutamakan, sedangkan Delegasi Pemerintah meminta Pasal 18 ayat 7 didahulukan. Jika Pasal 18 B ayat (2) didahulukan maka bobot desa sebagai komunitas akan lebih dominan, sebaliknya jika Pasal 18 ayat 7 didahulukan maka desa sebagai subordinasi pemerintah kabupaten/kota akan lebih dominan. Dari perdebatan ini ada kompromi yang kemudian melahirkan pasal 5 di Undang-Undang Desa, yaitu desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Ini otomatis mengubah cara pengaturan sebelumnya, dimana desa itu support dari pemerintah kabupaten/kota. [1]
Jika merunut pada proses pembahasan RUU Desa dan mengacu pada UU Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang desa sebelumnya, kedudukan Desa tidak diatur secara khusus. Kedudukan Desa merupakan gagasan baru dalam UU Desa. Dengan adanya klausul ini, maka memperjelas posisi/relasi desa terhadap pemerintahan di atasnya.
Mengacu pada klausulnya, posisi Desa semata-mata hanya bagian kewilayahan dari suatu daerah yang disebut kabupaten atau kota. Posisi ini diperkuat juga dengan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang juga meletakkan Desa semata-mata bagian kewilayahan dari suatu daerah yang disebut dengan kecamatan. Kedua UU tersebut tidak mendudukkan Desa sebagai bagian dari pemerintahan di atasnya. Ketentuan ini tentu saja cukup maju jika dibandingkan dengan yang diatur oleh UU No. 32/2004 yang belum secara jelas menempatkan posisi atau kedudukan Desa.
Tanggapan
- Pengaruh Kedudukan Desa terhadap Kewenangan
Kedudukan Desa dalam rumusan Pasal 5 UU No. 6/2014 merupakan bagian dari kompromi atas perdebatan mengenai Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. UU No. 6/2014 telah menempatkan desa berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Kompromi tentang landasan konstitusional kedudukan desa memunculkan aturan tentang asas rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi melahirkan pengakuan terhadap keanekaragaman kultural, sedangkan subsidiaritas terkait dengan relasi hubungan antara negara dengan desa setelah didudukkan, dimana negara tidak lagi mengontrol desa secara penuh tapi harus memosisikan desa itu sanggup mengelola dirinya sendiri.[2]
- Kedudukan Desa Sebagai Subyek Pembangunan
Pengaturan tentang kedudukan Desa, menjadikan Desa tidak ditempatkan sepenuhnya sebagai subordinasi pemerintahan kabupaten/kota. Perubahan kedudukan Desa dari UU No. 22/1999, UU No. 32/2004 dan UU No 6/2014 bertujuan agar Desa bukan lagi obyek pembangunan tetapi menjadi subyek pembangunan. Konstruksi pemerintahan desa yang dianut dalam UU Desa adalah konstruksi gabungan. Penjelasan Umum UU Desa menyebutkan secara tegas: “Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat”[3]. Ringkasnya, asas rekognisi dan subsidiaritas telah mengubah pendekatan kontrol/pengendalian negara terhadap Desa dan menempatkan Desa sebagai subyek pembangunan.
2. Jenis Desa
Desa, atau sebutan lain yang sangat beragam di Indonesia, pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri disebut dengan self-governing community.[4] Dilihat dari sisi peran dan fungsinya, Desa bisa dikategorikan ke dalam tiga jenis. Pertama, Desa Adat (self governing community). Desa jenis ini adalah embrio (cikal-bakal) desa di Nusantara, berbasis pada suku (genealogis) dan mempunyai batas-batas wilayah; memiliki otonomi asli, struktur/sistem pemerintahan asli menurut hukum adat, dan menghidupi masyarakat sendiri secara komunal. Kedua, Desa Otonom (local self government). Ciri desa ini adalah berkurangnya pengaruh adat di desa. Desa ini mempunyai otonomi dan kewenangan dalam hal perencanaan, pelayanan publik, keuangan (melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa), serta mempunyai sistem demokrasi lokal. Ketiga, Desa Administratif, yang mempunyai batas-batas wilayah yang jelas; dan berada dalam subsistem dari pemerintah kabupaten/kota. Desa ini sering disebut sebagai the local state government. Otonomi desa jenis ini sangat terbatas dan tidak jelas.
Pasal 6 |
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat. (2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. |
Penjelasan |
Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Bagi yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. |
Pembahasan di DPR
Pada Rapat kerja terbuka tanggal 12 Desember 2012, antara Pansus RUU Desa DPR, DPD dan Pemerintah, fraksi-fraksi DPR menyepakati pembahasan Bab II masuk dalam klaster-2.
“Lalu yang kedua adalah cluster penataan desa, kewenangan desa, hak dan kewajiban masyarakat dan desa. Itu memuat Bab I, Bab II, Bab III dan Bab IV. Ada di situ adalah penjelasannya substansi di penataan desa bisa dibahas bersama dengan substansi kewenangan desa, serta hak dan kewajiban masyarakat desa, karena pasal yang mengatur terkait kewenangan desa serta hak dan kewajiban masyarakat dan desa hanya sedikit, sehingga pembahasannya bisa digabung di dalam cluster dua ini”.
Dalam Rapat Kerja Pansus RUU Desa tanggal 4 April 2012, Anang Prihantono (DPD) mengusulkan tentang keragaman Desa yang menjadi cikal bakal dalam undang-undang.
“DPD RI mengambil posisi pada opsi yang kedua daripada opsi pertama. DPD mengusulkan dua tipe desa yang didasarkan pada kuat-lemahnya pengaruh adat, yakni Desa dan Desa Adat. Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adat, adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah dan susunan pemerintahan asli yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan/atau adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan/atau kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat dan asal usul yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perbedaan mendasar antara desa dan desa adat terletak pada asas pengaturan, kewenangan serta bentuk dan susunan pemerintahan. Kedua tipe sama-sama memiliki otonomi, tetapi ada kesamaan dan perbedaannya:
- Desa adat adalah desa yang masih memperoleh pengaruh adat secara kuat, sementara pengaruh adat dalam desa relatif lemah.
- Desa adat dan desa sama-sama memiliki hak kewenangan asal-usul, tetapi asal-usul dalam desa adat lebih dominan dibandingkan di desa.
- Desa adat mengutamakan asas rekognisi (pengakuan dan penghormatan), sementara desa mengutamakan asas subsidiarity (penetapan kewenangan berskala lokal desa).
- Pemerintahan (beserta lembaga dan perangkat) desa adat menggunakan susunan asli (asal-usul), sementara desa menggunakan susunan modern seperti yang selama ini kita kenal.
- Keduanya sama-sama menjalankan pemerintahan umum yang ditugaskan oleh negara dan juga sama-sama memperoleh alokasi dana desa (ADD). ”
Pengaturan jenis desa tidak tercantum sama sekali dalam RUU versi Pemerintah dan pandangan awal pemerintah di dalam rapat Pansus. Ketentuan ini baru muncul pada dokumen DIM usulan Fraksi PKS. Dalam usulannya PKS menyatakan bahwa Jenis Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat, dimana Desa menjalankan urusan tugas pembantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sedangkan Desa Adat menjalankan urusan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat.
Hasil rapat pembahasan oleh Timus pada 4 Juli 2013 menghasilkan rumusan sebagaimana yang tercantum dalam UU ini.
Tanggapan
Keanekaragaman Desa memiliki makna bahwa istilah Desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, seperti Nagari, Negeri, Kampung, Pekon, Lembang, Pamusungan, Huta, Bori atau Marga. Hal ini berarti bahwa pola penyelenggaraan Pemerintahan Desa akan menghormati sistem nilai yang berlaku dalam adat istiadat dan budaya masyarakat setempat, sekaligus tetap menjunjung sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara tidak mengurus desa adat, kecuali memberikan pelayanan publik pada warga. Desa adat mempunyai otonomi secara sendirian, tidak ada pembagian kekuasaan dari negara dan tidak membantu Negara. Negara hanya mengakui kedudukan, kewenangan asli dan kekayaan desa adat.
Walaupun banyak istilah yang digunakan dalam pengertian desa namun dalam UU Desa, jelas disebutkan bahwa hanya ada dua tipe desa yaitu: Desa dan Desa Adat dengan ketentuan bahwa penyebutan Desa Adat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.
3. Kewenangan Desa
UU Pemerintahan Daerah yang lama (UU No. 32/2004) pada Pasal 206 hanyalah membagi kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa. Berdasarkan ketentuan ini dapat dilihat bahwa titik berat UU No. 32/2004 tidak secara spesifik memberikan perhatian kepada kewenangan desa, tetapi lebih memberikan titik tekan pada pembagian urusan pemerintahan saja.
Sedangkan pembagian urusan pemerintahan yang berlaku saat ini, dan relasinya dengan kewenangan desa, dapat dilihat dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa urusan pemerintah dibagi menjadi tiga yakni urusan absolut, urusan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan absolut adalah urusan yang hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; urusan konkuren adalah urusan pemerintah pusat yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah; dan urusan pemerintahan umum adalah urusan yang dijalankan kewenangannya oleh Presiden. Dalam semesta pembagian urusan ini, Desa dapat menjalankan urusan konkuren yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan gubernur jika yang memberikan tugas adalah pemerintah provinsi dan peraturan bupati/walikota jika yang memberikan tugas adalah pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 18 |
Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. |
Penjelasan |
Yang dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa” adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
Pasal 19 |
Kewenangan Desa meliputi: a. kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. kewenangan lokal berskala Desa; c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota; dan d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Penjelasan |
Huruf a: Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa. Huruf b: Yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakarsa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Huruf c: Cukup Jelas Huruf d: Cukup Jelas |
Pasal 20 |
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa. |
Penjelasan |
Cukup Jelas |
Pasal 21 |
Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa. |
Penjelasan |
Cukup Jelas |
Pasal 22 |
Ayat (1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Ayat (2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai biaya. |
Penjelasan |
Ayat (1): Cukup Jelas Ayat (2): Cukup Jelas |
Pembahasan di DPR
Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang mewakili pemerintah dalam rapat Pansus 4 April 2012, dalam rangka menunjang kemandirian Desa maka Desa perlu diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Menurut RUU Pemerintah, kewenangan Desa meliputi dua hal, yakni (1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa dan kewenangan lokal berskala Desa yang diakui kabupaten/kota. Terhadap kewenangan ini, Desa berhak mengatur dan mengurusnya; dan (2) kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa sebagai lembaga dan kepada Kepala Desa sebagai Penyelenggara Pemerintah Desa dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap pelaksanaan kewenangan ini, Desa hanya memiliki kewenangan mengurus atau melaksanakan, sehingga pembiayaan yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan tersebut menjadi beban bagi pihak yang melimpahkan kewenangan.
Namun demikian, RUU Pemerintah tidak menjabarkan bentuk-bentuk kewenangan yang dijalankan oleh Desa. Terhadap draf RUU Pemerintah yang masih dianggap kurang lengkap ini, beberapa fraksi di DPR kemudian mengusulkan berbagai rumusan. Sebagaimana ditemukan dalam DIM, Fraksi PKS mengusulkan kewenangan Desa untuk mengelola sumber daya Desa. Sedangkan Fraksi PKB mengusulkan bentuk kewenangan yang lebih lengkap, dimana Desa diberikan kewenangan dalam dua hal: yakni (1) Bidang Pemerintahan. Dalam hal ini Desa memiliki kewenangan untuk memilih kepala desa, menetapkan BPD dan perangkat desa lainnya, membentuk peraturan desa, membentuk struktur organisasi perangkat desa; mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan; dan mengelola kelembagaan desa; (2) Bidang Perencanaan dan Pembangunan. Dalam bidang ini Desa memiliki kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengembangkan pembangunan di wilayahnya; mengelola dan memanfaatkan kekayaan desa untuk kesejahteraan masyarakat; dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan desa.
Fraksi PKB juga tidak sepakat dengan usulan Pemerintah terkait dengan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dilimpahkan ke Desa. Menurut Fraksi PKB, kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada Desa bukanlah kewenangan karena Desa hanya mengurus atau melaksanakan saja, tidak bersifat mengatur. PKB mengusulkan klausul ini dihapus, sehingga kewenangan Desa adalah kewenangan asal usul dan kewenangan berskala desa.
Fraksi PPP mengusulkan penambahan kewenangan Desa Adat, dengan bunyi rumusan “Desa adat mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan berdasarkan hukum adat yang selaras dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya diusulkan, kewenangan Desa adat meliputi: (a) Mengatur dan melaksanakan sistem pemerintahan berdasarkan hukum adat setempat; (b) Mengatur dan mengelola sumber daya alam yang dikuasai berdasarkan hukum adat, yang meliputi tanah kas desa, tanah ulayat, hutan adat dan sumber daya alam lainnya; (c) Melaksanakan hukum adat setempat; (d) Melestarikan nilai-nilai sosial budaya setempat; (e) Mengelola dan melestarikan sumber daya alam yang dikuasai berdasarkan hukum adat; dan (f) Menyelesaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat setempat dalam wilayahnya yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia.
Rapat Tim Perumus (Timus) Pansus RUU Desa pada 12 September 2013 menyepakati rumusan menjadi “Kewenangan Desa/Desa Adat mencakup kewenangan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan berdasarkan prakarsa masyarakat, asal usul, dan adat istiadat setempat.” Rumusan ini masih mencantumkan Desa Adat, sehingga dalam rumusan turunannya, terdapat dua ruang lingkup kewenangan, yaitu ruang lingkup kewenangan Desa dan Desa Adat.
Tidak diketahui secara pasti mengapa pada rumusan yang disahkan menjadi UU, kewenangan Desa Adat tidak dicantumkan. Mengacu pada proses ini, maka dapat dimaknai bahwa kewenangan yang dimaksud pada bagian ini adalah khusus untuk Desa dan bukan Desa Adat. Sedangkan Kewenangan Desa Adat dalam UU ini secara khusus diatur pada Bab XIII pasal 103 UU Desa.
Tanggapan
Tujuan pengaturan kewenangan desa yang berdasarkan pada asas rekognisi dan asas subsidaritas adalah untuk pencapaian kemandirian desa agar masyarakat desa menjadi subyek pembangunan. Selain itu diharapkan Desa bisa berperan dalam perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteran masyarakat.
Undang-Undang Desa adalah hasil dari evaluasi terhadap implementasi atas UU No. 32/2004 yang belum memberikan kejelasan tentang kewenangan Desa. Dalam Naskah Akademik RUU Desa (Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri, 2007) dinyatakan bahwa dalam mengatur tentang Desa, UU No. 32/2004 mengandung ambivalensi. Di satu sisi, ia mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal usul. Di sisi lain, ia memposisikan Desa sebagai subsistem dari pemerintah kabupaten/kota, karena konsepsi dasar yang dianut UU ini menempatkan otonomi hanya berhenti di kabupaten/kota. Kewenangan yang dimiliki oleh Desa menurut UU No. 32/2004 adalah kewenangan kabupaten/kota yang dilimpahkan kepada Desa.
Pencantuman klausul khusus tentang Kewenangan Desa pada UU Desa ini seakan ingin memberikan kejelasan terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Desa. Jika dicermati, keberadaan klausul khusus ini juga masih menyisakan ambivalensi. Hal ini terlihat jelas pada Pasal 19 huruf (c) dan (d), dimana kewenangan Desa merupakan limpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dan Daerah, meskipun Desa juga diberikan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa (huruf (a) dan (b). Dalam bagian ini tampak pula bahwa ternyata kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan desa bukan hanya kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang dimiliki oleh Desa, namun juga pelaksanaan kewenangan berdasarkan pada penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang ditugaskan kepada Desa (lihat pasal 22). Selain dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan yang bersifat penugasan lainnya adalah dalam hal pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Terhadap kewenangan-kewenangan ini, Desa tidak memiliki hak untuk mengatur (membuat regulasi), tetapi hanya mengurus, sebagaimana dinyatakan pada bagian terdahulu. Selain dalam UU Desa, pelimpahan kewenangan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada Desa juga dimandatkan dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Potensi Tarik-Menarik Kewenangan
Ada perdebatan pemberian kewenangan pada Desa antara kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan berdasarkan lokal berskala desa dan kewenangan berdasarkan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dengan ketentuan peraturan perundang –undangan. Artinya, Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa) pada satu sisi bertugas untuk menjalankan kewenangan desa, sedangkan pada sisi lain bertugas menjalankan penugasan dari pemerintah kabupaten/kota. Konstruksi ini berpotensi menjadi unsur yang memperkuat Desa dan sekaligus sebagai unsur yang memperlemah Desa. Hal ini bisa memunculkan dominasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota pada penentuan skala prioritas pembangunan Desa. Misalnya Desa lebih banyak melaksanakan urusan yang ditugaskan dari pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dibandingkan kewajiban pemerintah Desa dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa dan hal ini bisa jadi menghambat pertumbuhan kemandirian Desa.
- Kewenangan Asal-usul dan Kewenangan Lokal Skala Desa
Kewenangan Desa berdasarkan asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa bukanlah kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah, bukan juga sisa (residu) yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 tentang Desa. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis kewenangan itu diakui dan ditetapkan langsung oleh UU Desa. Namun demikian mekanisme penetapan kewenangan desa tidak diatur secara rinci. Pasal 20 UU Desa menyebutkan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
- Peran Pemerintah Desa dalam Menjalankan Kewenangan
Berkaitan dengan kewenangan ini, Bhenyamin Hoessein (disertasi 1993), menjelaskan bahwa pengaturan dapat diartikan sebagai kewenangan "...untuk menciptakan norma hukum tertulis yang berlaku umum dan mengenai hal yang abstrak"; sementara pengurusan sebagai kewenangan "...untuk melaksanakan dan menerapkan norma hukum umum dan abstrak kepada situasi konkrit". Dengan kata lain, pengaturan berkaitan dengan kewenangan membentuk kebijakan (rules making), sementara pengurusan dengan kewenangan melaksanakannya (rules application).
Mengikuti pengertian di atas, maka pemerintahan yang memiliki sekaligus kewenangan pengaturan dan pengurusan (sendiri) dapat dipandang sebagai pemerintahan otonom (Bhenyamin: 2001). Kedua istilah tersebut secara bersama-sama merupakan padanan Bahasa Indonesia untuk istilah Bahasa Inggris ‘self-governance’.
Berkaitan dengan kewenangan pemerintah, Barton (2000) menyebutkan bahwa dalam ekonomi pasar yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis, hanya ada dua alasan bagi pemerintah untuk masuk ke dalam aktivitas masyarakat, yaitu: keadilan sosial (social equity) dan kegagalan pasar. Berdasarkan alasan-alasan itu, secara garis besar peran pemerintah dengan kebijakan publiknya adalah melakukan koreksi kegagalan pasar untuk memperbaiki efisiensi produksi, yakni:
- Peran alokasi sumber daya. Hal ini mencakup soal penentuan ukuran absolut dan relatif pemerintah dalam perekonomian (keseimbangan sektor publik dan sektor swasta) dan penyediaan barang-barang publik serta pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
- Peran regulator. Hal ini mencakup undang-undang dan tata tertib yang dibutuhkan masyarakat termasuk undang-undang yang mengatur dunia bisnis yang memadai untuk memfasilitasi aktivitas bisnis dan hak-hak kepemilikan pribadi.
- Peran kesejahteraan sosial, yang mencakup kebijakan-kebijakan yang mendorong pemerataan sosial di negara yang bersangkutan seperti perpajakan, jaminan sosial dan penyediaan sejumlah barang publik campuran bagi masyarakat
Pasal 78 UU Desa mengatur bahwa pembangunan desa bertujuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, meningkatkan kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan. Lebih lanjut pencapaian tujuan tersebut diselenggarakan melalui: (a) pemenuhan kebutuhan dasar, (b) pembangunan sarana dan prasarana desa, (c) pengembangan potensi ekonomi lokal, serta (d) pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
- Kewenangan Desa dalam Subyek Pembangunan
Berdasarkan pandangan teoritis tentang pemerintahan (Barton, 2000), kewenangan normatif, tujuan dan cara mencapai tujuan yang diatur dalam Undang-Undang Desa diturunkan dalam enam peran atau fungsi derivatif pemerintahan desa, yakni:
- Mengelola pelayanan dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa untuk mengelola pelayanan dasar yang berada di dalam lingkup kewenangannya, seperti ketersediaan layanan pendidikan anak usia dini, bantuan transportasi ke sekolah, dan sistem desa siaga.
- Mengelola pelayanan administrasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola pelayanan administrasi, baik administrasi kependudukan maupun beberapa administrasi perizinan yang berada dalam kewenangannya.
- Menyediakan infrastruktur dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola penyediaan infrastruktur dasar desa, seperti air bersih, irigasi tersier, jalan desa, listrik desa, polindes, sarana pendidikan anak usia dini, kantor desa, dan sarana olah raga.
- Memperkuat kelembagaan ekonomi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam memperkuat keberadaan lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti mendorong keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dalam pengelolaan infrastruktur dasar dan penguasaan sumber daya alam lokal, dan penguatan daya tawar kolektif.
- Memperkuat kelembagaan sosial. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam memperkuat keberadaan lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti memperkuat organisasi sosial seperti posyandu, lembaga amil zakat, penanganan bencana, dan resolusi konflik.
- Membuat regulasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola proses pembuatan regulasi sebagai salah satu bentuk kebijakan publik, termasuk di dalamnya merevitalisasi aturan-aturan yang bersumber dari adat istiadat.
4. Asas Pengaturan Desa
Dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang sebagian besarnya mengatur tentang pemerintahan daerah, maka secara spesifik tidak mencantumkan asas pengaturan desa, selain hanya mencantumkan asas penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan demikian, asas pengaturan desa merupakan klausul baru dalam UU Desa, meskipun tidak berada pada Bab tersendiri tentang Asas tetapi menjadi bagian dari Bab I tentang Ketentuan Umum.
Asas merupakan dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Dalam UU Desa pengaturan desa memiliki 13 prinsip yang mesti dijadikan perhatian oleh para pemangku kepentingan dalam memberikan pengaturan desa. Prinsip-prinsip pengaturan desa lebih dikedepankan agar dapat tercapai tujuan dari terbitnya UU ini.
Pasal 3 |
Pengaturan Desa berasaskan: a. rekognisi; b. subsidiaritas; c. keberagaman; d. kebersamaan; e. kegotongroyongan; f. kekeluargaan; g. musyawarah; h. demokrasi; i. kemandirian; j. partisipasi; k. kesetaraan; l. pemberdayaan; dan m. keberlanjutan. |
Penjelasan |
Asas pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah: 1) rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul; 2) subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa; 3) keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 4) kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun desa; 5) kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa; 6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat desa; 7) musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan; 8) demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin; 9) kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri; 10) partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan; 11) kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran; 12) pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa; dan 13) keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa. |
Pembahasan di DPR
Asas pengaturan desa secara eksplisit tidak tercantum dalam RUU Desa yang diusulkan Pemerintah. Hal inilah yang kemudian dicermati oleh DPD RI dalam rapat Pansus 4 April 2012. “RUU Desa usulan Pemerintah tidak secara eksplisit menegaskan tentang asas pengaturan desa yang menjadi dasar untuk penentuan kedudukan, kewenangan, susunan pemerintahan dan selanjutnya, meskipun dalam konsideran menimbang (lihat butir a) maupun Batang Tubuh (lihat Pasal 3) ditegaskan ‘mengakui dan menghormati’ tetapi ada beberapa titik kelemahan,” ungkap juru bicara DPD RI, Anang Prihantoro.
Kelemahan dimaksud antara lain, pertama, tidak menyampaikan landasan filosofis dan landasan konseptual mengenai konsep ‘mengakui dan menghormati’, sekaligus tidak menyampaikan tentang subyek/obyek apa yang ‘diakui dan dihormati’ berkenaan dengan kesatuan masyarakat adat. Kedua, konsep ’mengakui dan menghormati’ tidak dijadikan sebagai asas yang dijabarkan dalam bab tersendiri. Hal ini menunjukkan kemunduran sebab UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebenarnya telah menegaskan tentang asas otonomi asli dan keanekaragaman, sementara RUU Desa usulan pemerintah tidak menyantumkan asas otonomi asli itu dan keanekaragaman di dalam norma batang tubuh. Asas keanekaragaman hanya dijabarkan dalam penjelasan. Ketiga, RUU Desa tidak menegaskan pengakuan dan penghormatan yang dilakukan oleh negara terhadap Desa atau nama lain. Pengakuan dan penghormatan itu malah didelegasikan kepada pemerintahan daerah. Tidak ada penegasan bahwa seluruh institusi negara harus memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap Desa, baik dari institusi maupun produk politik-hukum desa. Berdasarkan pandangan itu, DPD RI berpendapat bahwa pengakuan dan penghormatan tersebut secara konseptual merupakan asas rekognisi. Asas rekognisi harus diakui oleh negara, bukan melimpahkan pengakuan asas tersebut kepada pemerintah kabupaten/kota.
Fraksi PKS sebagaimana disampaikan dalam DIM mengusulkan bagian baru yang mengatur tentang Asas dan Tujuan. Menurut PKS, asas pengaturan Desa dalam UU ini adalah rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kemandirian, demokrasi, partisipasi, pemberdayaan, serta kesejahteraan dan keadilan.
Rumusan Pasal 2 UU Desa, yang merupakan norma umum pengaturan asas, tidak tercantum baik dalam RUU Pemerintah maupun DIM DPR. Klausul ini merupakan ketentuan baru hasil dari pembahasan rapat Timus tanggal 27 Juni 2013. Ketentuan ini untuk mempertegas bahwa pengaturan tentang Desa harus tetap berbingkai pada asas-asas dasar NKRI.
Tanggapan
Meskipun secara eksplisit UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mensyaratkan pencantuman asas pada peraturan perundang-undangan yang dibentuk, namun secara prinsip, asas merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah peraturan/perundang-undangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa arti dari asas salah satunya adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Sebagaimana makna katanya, maka asas dalam UU adalah sesuatu yang dijadikan dasar pijakan dalam mengimplementasikan UU tersebut.
Mengacu pada 13 asas dalam UU Desa jelas memperlihatkan bahwa tidak ada satupun pencantuman tentang asas tugas pembantuan, desentralisasi atau dekonsentrasi dari pemerintah pusat/daerah. Seluruh asas yang dicantumkan, sepenuhnya murni mencerminkan kemandirian desa. Dengan acuan asas ini, maka dalam implementasinya, UU Desa semestinya menempatkan desa pada posisi yang mandiri dan bertumpu pada proses demokrasi lokal tanpa intervensi oleh siapapun, termasuk pemerintahan di atasnya.
5. Tujuan Pengaturan Desa
Dalam UU Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004), tidak mencantumkan tujuan pengaturan Desa, karena pengaturan tentang Desa hanya menjadi bagian terkecil dari hal yang diatur dalam kedua UU tersebut. Tujuan pengaturan Desa sebagaimana tercantum pada pasal 4 UU Desa merupakan ketentuan baru, meskipun penempatannya tidak pada bagian khusus tentang tujuan, tetapi bagian dari Bab tentang Ketentuan Umum.
Ketentuan tentang tujuan pengaturan Desa memperkuat posisi Desa dalam kerangka NKRI serta memperjelas tugas, peran dan fungsi Desa dalam mengelola desa, menjalankan pemerintahan desa dan memberikan pelayanan bagi masyarakatnya guna tercapainya cita-cita bersama mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan terbitnya UU ini, pemerintah Desa dalam hal mengatur desa tidak akan terlepas dari tujuan pengaturan desa dan menjadikannya dasar dalam melaksanakan pembangunan desa.
Pasal 4 |
Pengaturan Desa bertujuan: a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan. |
Penjelasan |
Cukup jelas |
Pembahasan di DPR
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam paparannya di depan rapat Pansus pada 4 April 2012 menyatakan bahwa “UU Desa bertujuan hendak mengangkat Desa pada posisi subyek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Selain itu, pengaturan desa juga akan menentukan format desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal. Penguatan kemandirian desa melalui Undang-Undang tentang Desa sebenarnya juga menempatkan Desa sebagai subyek pemerintahan dan pembangunan yang betul-betul berangkat dari bawah (bottom-up)”. Namun entah mengapa, Pemerintah luput mencantumkan klausul tentang Tujuan dalam draf RUU-nya.
DPD RI menilai tujuan UU Desa sebenarnya secara implisit telah dituangkan dalam konsideran menimbang bagian kedua pada draf RUU Pemerintah. Namun demikian tujuan tersebut masih dangkal. Oleh karena itu DPD RI berpendapat bahwa serangkaian tujuan pengaturan desa meliputi: a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang telah ada sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) memberikan pengakuan dan penghormatan atas keberagaman jenis desa atau yang disebut dengan nama lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia; c) memberikan kejelasan kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia; d) memberikan jaminan terhadap desa dalam pelaksanaan pembangunan nasional demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; e) memberdayakan prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset-aset lokal; f) membentuk pemerintahan desa yang profesional, efektif dan efisien, transparan, serta akuntabel; g) meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat guna perwujudkan kesejahteraan masyarakat; dan h) meningkatkan ketahanan sosial-budaya masyarakat guna mewujudkan masyarakat yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional.
Tujuan sebagaimana diusulkan oleh DPD RI ini selaras juga dengan klausul yang diusulkan oleh Fraksi PKS sebagaimana tertuang dalam DIM.
Rumusan tujuan sebagaimana yang disahkan menjadi UU ini merupakan rumusan yang disepakati oleh rapat Timus tanggal 28 Juni 2013, dimana isinya kurang lebih sama dengan yang diusulkan oleh DPD dan Fraksi PKS. Hanya pada bagian akhir ketentuan ini ditambahkan klausul baru, yaitu “memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan”.
Tanggapan
Mengacu pada UU No. 12/2011, bahwa asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan salah satunya adalah adanya kejelasan tujuan, maka draft RUU Desa usulan Pemerintah yang hanya mencantumkan secara implisit pada bagian konsideran, dapat dianggap belum dapat memenuhi asas ini. Pencantuman tujuan dalam UU Desa meskipun tidak dicantumkan pada bagian tersendiri, dapat memberikan arah bagi semua pihak yang terlibat dalam implementasi UU ini.
Mencermati klausul yang tercantum pada bagian ini, tujuan UU Desa sudah sangat komprehensif. Undang-Undang ini memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap keberagaman desa, serta adat istiadat yang berkembang di desa. Undang-Undang ini juga memberikan peluang bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat di desa karena mendorong peran serta masyarakat dalam turut terlibat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Posisi Desa juga semakin kuat karena UU Desa ini juga bertujuan untuk memperkuat masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan.
Undang-Undang Desa telah mencantumkan tujuan sebagaimana termaktub pada Pasal 4, sehingga implementasi UU ini dikatakan berhasil jika mencapai kondisi-kondisi sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 4 tersebut. Demikian sebaliknya, dikatakan gagal jika kondisi-kondisi itu tidak tercapai. Dengan demikian, klausul ini merupakan indikator utama bagi keberhasilan implementasi UU Desa.