1. Pembangunan Desa

    Ketentuan Umum UU Desa mendefinisikan Pembangunan Desa adalah “upaya peningkatan  kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa”. Sedangkan tujuan pembangunan desa dinyatakan di dalam pasal 78 ayat (1), yaitu “meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan”. “Dalam pelaksanaannya pembangunan desa penting untuk mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial” sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 78 ayat (3).

    Berdasarkan pasal 78, tahapan-tahapan dalam pembangunan desa terdiri dari: (i) perencanaan pembangunan desa; (ii) pelaksanaan pembangunan desa; (iii) pengawasan dan pemantauan pembangunan desa.  Dokumen Rencana Pembangunan Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar penyusunan APB Desa. Penyusunan rencana desa itu dilakukan melalui Musrenbang Desa yang mengikutsertakan masyarakat.

    Pasal 78
    (1)         Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

    (2)         Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

    (3)         Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.

    Penjelasan
    Cukup Jelas

    Pembahasan di DPR

    Rumusan pasal 78 ini merupakan rumusan usulan dari Fraksi PDIP yang tercantum dari DIM. Dilihat dari DIM, pandangan fraksi-fraksi terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, yang Mengusulkan substansi  baru. Hal ini dilakukan oleh Fraksi PDIP, yang mencakup:

    • asas penyelenggaraan pembangunan perdesaan, dengan redaksional “Pembangunan perdesaan diselenggarakan dengan asas: a. Kebersamaan dan gotong royong; b. Efisiensi berkeadilan; c. berkelanjutan; d. berwawasan lingkungan; e. kemandirian; f. Kesetaraan; g. Kemanusiaan; h. Kebangsaan; i. Kekeluargaan; j. Bhineka tunggal ika; k. ketertiban dan kepastian hukum; l. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; m. Kreativitas; n. Kearifan lokal; o. Integratif; p. Transparansi; q. Akuntabilitas; r. Efektifitas; s. Responsif dan peran serta aktif; dan t. Tanggungjawab negara”.
    • tujuan dari pembangunan perdesaan, dengan redaksional “Pembangunan perdesaan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap menjamin terpeliharanya ada istiadat setempat”.
    • ruang lingkup pembangunan perdesaan, dengan redaksional “pembangunan perdesaan meliputi pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia perdesaan”.
    • tahapan pembangunan perdesaan, dengan redaksional “Pembangunan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 diselenggarakan melalui tahapan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. pengawasan; dan d. evaluasi.”
    • sistem informasi pembangunan perdesaan, dengan redaksional “informasi kegiatan seluruh tahapan pembangunan perdesaan memanfaatkan sistem informasi pembangunan perdesaan”.

    Kedua, yang Mengusulkan Tetap.  Beberapa fraksi, yaitu  Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PPP, Fraksi PKB dan Fraksi Gerindra menyetujui rumusan yang diajukan pemerintah, yaitu langsung mengatur tentang “Perencanaan”.

    Meski ada dua pendapat yang berbeda, namun, tidak ada perdebatan cukup signifikan dalam proses pembahasan tentang pasal 78 ini. Dari risalah sidang, ditemukan pembahasan mengenai hal ini pada RDPU yang diselenggarakan tanggal 14 Juni 2012, Hardisoesilo dari Fraksi Partai Golkar memberikan pandangannya bahwa prinsip yang ingin dibangun dari UU Desa adalah memperkuat pembangunan desa, dan memberikan kemandirian kepada desa sebagai basis pembangunan nasional. Berikut kutipan pendapat Hardisoesilo:

    “….Sekarang prinsip yang ingin kita bangun itu adalah, bagaimana kita memperkuat pembangunan desa, memberikan kemandirian kewenangan-kewenangan kepada desa, untuk sebagai basis pembangunan nasional. Jadi apakah dimungkinkan, menurut pertanian misalnya, kita soal irigasi desa itu tidak bagian dari program atau proyeknya kabupaten/kota, tapi kewenangannya diserahkan kepada desa. Kalau dia lewat desa, ya bisa kerja sama desa dan sebagainya. Jadi prinsip untuk kita bukan membangun desa, tapi desa membangun. Jadi betul-betul desa  memberikan wewenang. Prinsip daripada yang ingin dicapai dari undang-undang ini tampaknya demikian. Sehingga, mungkin banyak hal-hal yang sekarang ini menjadi bagian daripada kegiatan-kegiatan sektoral di desa, itu yang harus diubah pendekatannya. Dan kita ingin menetapkan bahwa didalam undang-undang ini arahnya demikian…”.

    Dalam forum yang sama, H. Darizal Basir dari Fraksi Partai Demokrat menekankan bahwa semangat UU Desa adalah desa membangun, bukan membangun desa.

    Perbandingan rumusan yang diajukan oleh F PDIP dengan rumusan yang disepakati adalah sebagai berikut:

    Rumusan yang disepakati Rumusan yang diajukan F PDIP
    (1)             Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan perdesaan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap menjamin terpeliharanya adat istiadat setempat.
    (2)  Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

     

    Pembangunan perdesaan sebagai-mana dimaksud dalam pasal 69 diselenggarakan melalui tahapan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. pengawasan; dan d. evaluasi
    (3)  Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.

     

    Pembangunan perdesaan diselenggarakan dengan asas: a. Kebersamaan dan gotong royong; b. Efisiensi berkeadilan; c. berkelanjutan; d. berwawasan lingkungan; e. kemandirian; f. Kesetaraan; g. Kemanusiaan; h. Kebangsaan; i. Kekeluargaan; j. Bhineka tunggal ika; k. ketertiban dan kepastian hukum; l. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; m. Kreativitas; n. Kearifan lokal; o. Integratif; p. Transparansi; q. Akuntabilitas; r. Efektifitas; s. Responsif dan peran serta aktif; dan t. Tanggungjawab negara

    Tanggapan

    Posisi pembangunan desa di dalam sistem perencanaan pembangunan nasional belum jelas. UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (selanjutnya disebut UU SPPN) merupakan landasan hukum yang berlaku yang mengatur mengenai pembangunan nasional, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Konstruksi yang digunakan di dalam UU SPPN adalah konstruksi desentralisasi, yang menempatkan Desa sebagai bagian dari kabupaten/kota, sehingga pengaturan di dalamnya hanya sampai di tingkat kabupaten/kota dan tidak secara spesifik mengatur Desa.

    Pertanyaannya, bagaimana posisi pembangunan desa di dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN)? Apakah merupakan bagian dari SPPN? Merujuk pada pendefinisian desa sebagai

    “……… kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal/usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia[1]

    maka desa merupakan bagian dari NKRI sehingga masuk di dalam ruang lingkup UU SPPN.  Sayangnya, tidak ada pasal maupun penjelasan di dalam UU Desa ini yang menegaskan bahwa pembangunan desa merupakan bagian dari pembangunan nasional sehingga mengikuti ketentuan peraturan perundangan terkait (yaitu UU SPPN) ataupun penegasan sebaliknya, yaitu pembangunan Desa diatur tersendiri dan tidak terkait dengan ketentuan undang-undang tersebut.

    Tahapan pembangunan desa tidak standar. Pasal 78 ayat 2 UU Desa menyebutkan bahwa “pembangunan desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan”. Sedangkan  tahapan  pembangunan di UU SPPN sebagaimana diatur dalam pasal 8 terdiri dari: (i) penyusunan rencana;  (ii) penetapan rencana;  (iii) pengendalian pelaksanaan rencana; dan  (iv) evaluasi pelaksanaan rencana. Tahapan yang disebutkan di dalam UU SPPN sesuai dengan tahapan di dalam siklus manajemen yaitu  adalah: perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi.  Akibatnya, di dalam pasal selanjutnya dari UU Desa yang membahas masing-masing tahapan terlihat ada missing link (bagian yang hilang) karena tidak ada pasal yang menjelaskan tentang evaluasi. Sementara pasal yang mengatur tentang pengawasan berisi bagaimana hak warga memperoleh informasi pembangunan, melakukan pengawasan dan melakukan pengaduan.  Tahapan evaluasi merupakan satu rangkaian dengan tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang dilaksanakan oleh internal pemerintah. Hasil dari evaluasi akan memberikan masukan atas proses perencanaan berikutnya. Sedangkan pengawasan adalah tindakan mengawasi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pihak di luar pemerintah (eksternal). Dengan demikian, terlihat jelas perbedaan antara evaluasi dengan pengawasan.

    Daftar Isi :

    Update terbaru 14 June 2016.