Tantangan Bertani Organik di Desa Linggamukti
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
Sebagian besar rakyat desa Linggamukti, Purwakarta bermata pencaharian menjadi petani yang membuat padi, palawija serta teh. tetapi, mereka menyadari bahwa yang akan terjadi produksi padinya menurun. warga juga enggan buat berubah menjadi petani organik menggunakan berkata bahwa dulu pernah menerima training serta menerima alat pencacah daun untuk membentuk pupuk, tetapi tidak terdapat follow-up sebagai akibatnya petani tidak melaksanakannya.

Berkaca berasal syarat ini, Tim Dosen acara Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) yang terdiri dari Yanuarita Hendrani, Siwi Nugraheni, Noknik Karliya, serta Masniarita Pohan menyelenggarakan pembinaan bertani organik dengan metode System of Rice Intensification (SRI). aktivitas yg terselenggara berafiliasi menggunakan Aliansi Organis Indonesia (AOI) ini mendapat dukungan asal Astra melalui acara Astra Kampung Berseri yg difasilitasi oleh forum Penelitian dan pengabdian masyarakat (LPPM) Unpar. kegiatan ini juga menyertakan mahasiswa kelas Pemberdayaan warga menggunakan harapan mahasiswa tidak hanya mengerti duduk perkara pemberdayaan rakyat secara teoritis, tetapi mereka juga melihat langsung syarat dan persoalan yang ada pada rakyat pedesaan.

seperti sudah banyak diketahui, pertanian organik artinya cara bertani tanpa memakai pupuk dan pestisida kimia. Hal ini bukan sesuatu yang mudah mengingat semenjak revolusi hijau di akhir tahun 60-an, petani dimudahkan buat menerima varietas bibit serta pupuk serta pestisida kimia. oleh sebab itu harga sepatu nike di awal training, para petani peserta training diajak berdiskusi dan menelaah apa yang salah dengan cara bertani yg mereka praktekkan sebagai akibatnya produksi menurun. Tanah telah sangat murah hati memberi makan bagi manusia, binatang serta makhluk hidup lain; tetapi apa yang telah kita lakukan terhadap tanah? Dahulu orang tua mereka dengan tanpa memberi pupuk kimia dengan simpel menerima 8 ton padi per hektar, kata mereka. namun kini mereka hanya menerima 5 ton per hektar.

Memberi pupuk kimia serta pestisida itu sama saja dengan memberi racun ke tanah, istilah pelatih. Mereka mencoba membuka mata para petani menggunakan beberapa pengujian tanah. Pertama dibandingkan cacing yg diberi pupuk kimia dan yang diberi pupuk organic. Ternyata yg diberi pupuk kimia tewas. ke 2, sebab setiap makhluk hayati butuh elektrolit, dibandingkan tanah dengan pupuk kimia serta tanah organic yg dibawa pelatih yg telah diberi air. menggunakan memakai kabel serta lampu, ditunjukkan bahwa tanah organic memberi cahaya lampu yang lebih terperinci.

Ketiga, tanah dengan diberi banyak sekali pupuk kimia dan tanah organik dibandingkan pada hal kemudahannya menyerap serta menahan air. Diantara yang diberi pupuk kimia, ada yg airnya sulit meresap sebab pupuk mengikat tanah sedemikian sebagai akibatnya sebagai seperti tanah liat. terdapat jua yang meresap terlalu cepat seperti air dituang ke pasir. Tanah yang baik menghasilkan air turun serta meresap perlahan-lahan sebagai akibatnya mampu dipergunakan lebih baik oleh tanaman dan tanaman tidak butuh air terlalu poly.

Pengujian keempat ihwal kesuburan tanah. Tanah yg diambil dari sawah petani dan tanah organic dimasukkan dalam kantung plastic panjang dan diisi air kemudian dikocok. sehabis beberapa usang mirip terlihat dalam gambar sebelah kanan, tanah dari sawah petani airnya terpisah serta lebih bening menggunakan lapisan humus tipis pada atas. Tanah organic airnya keruh dengan lapisan humus yang lebih tebal pada atas.

Penggunaan pupuk dan pestisida kimia menghasilkan tanah kehilangan poly unsur hara dan mikroorganisme yg diperlukan tanaman. pelatihan berikutnya adalah membentuk pupuk organic asal material yang terdapat di kurang lebih lokasi. Material yg dibutuhkan antara lain kecambah (taoge), air beras, akar alang-alang, gula merah, rebung, bonggol pisang, daun lamtoro, kotoran binatang, serta bahan lain yg mudah dihasilkan di lingkungan desa. Bahan-bahan organic tadi harus didekomposisikan dahulu dengan bantuan mikroorganisme lokal (MOL) yang juga bisa mereka untuk sendiri.

pada atas kertas pertanian organik tampaknya simpel dilakukan, tetapi prakteknya akan poly tantangan yang harus diatasi. Selain norma bertani konvensional yg sudah bertahun-tahun yang butuh ketika buat berubah, bertani organik membutuhkan tenaga dan ketekunan ekstra. Belum lagi kendala cuaca serta sistem ijon yang telah usang berlangsung di desa ini. asal sekitar 30 petani yang mengikuti training, semuanya ingin belajar bertani organik. Mengingat hambatankendala yang dihadapi, tim akan memulai dengan beberapa petani terpilih.


1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

FavoriteLoadingFavorit

Tentang penulis