Sulitnya Bertani di Kertasari
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
Jam menunjukan pukul 12.30, saat belasan perempuan paruh baya mulai menuruni bukit curam disekitar lereng gunung Wayang. Jas hujan plastik rona-warni dengan caping bambu begitu perbedaan nyata terlihat diantara coklatnya tanah perkebunan yg belum ditanami.

sekali waktu mereka tertawa terbahak-bahak, paras lugunya mengisyaratkan kesederhanaan. tetapi wajah lugu itu tidak cukup kuat buat menutupi kesulitan yg menderanya.

Perlahan langkah mereka terhenti di sebuah kolam air daerah pembersihan mobil. Satu persatu jas hujan serta sepatu boot yang mereka kenakan mulai ditanggalkan, mereka pun mulai membersihkan diri usai bekerja pada kebun sayur.

perempuan tua dengan tinggi 150 centimeter dengan wajah yang berkeriput tampak diantara wanitaperempuan bercaping itu. Ditubuhnya yg mungil serta bungkuk, melekat sebuah tas kanvas berwarna hitam yg berisi bekal makanan. Namanya Enyah (60), perempuan yg sudah mendekati usia senja itu bekerja sebagai buruh tani di kebun kentang di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung.

telah 10 tahun Enyah bekerja menjadi buruh tani, yakni sejak suaminya tewas. friksi ekonomi membuatnya terus bertahan menjadi buruh kasar pada kebun. Setiap hari beliau bekerja mulai pukul 6.30 pagi hingga 12 siang. buat mengubah keringatnya itu, beliau di beri upah Rp.18.000/hari. pada rumahnya yg sebagian akbar masih terbuat asal bilik bambu, Enyah tinggal bersama seseorang cucu wanita. ketika ini cucunya sudah kelas tiga di Madrasyah Tsanawiyah, serta berencana unuk melanjutkan ke Madrasah Aliyah. tetapi beliau resah, karena upah yg diperolehnya tidak relatif buat membiayainya.

“Jangankan buat bayar masuk Aliyah, buat makan dan bekal cucu sehari-hari saja uangnya telah habis. Sebenarnya sudah cape kerja begini tapi mau gimana lagi,” Ucap Enyah.

Nasib yang hampir sama terjadi pada Imah (46). Disalah satu gudang penampungan kentang desa Cibeureum, beliau tampak sedang memilah-milah kentang yg baru saja dipanen. Sayuran itu dipilah dan dikelompokan berdasarkan ukurannya. Menyortir yang akan terjadi panen adalah rutinitas imah buat mencukupi kebutuhan sehar-hari sejak ditinggal suaminya. menggunakan upah sebanyak Rp 14.000/hari imah permanen gigih menjalani hidupnya dan tinggal pada tanah carik desa.

“Meski punya anak anak yg sudah bekerja, saya enggak mau bikin capek, karena mereka juga punya famili yang wajib dipenuhi kebutuhannya” cerita Imah

syarat warga yg menjadi buruh pada wilayah yang berada pada sebelah timur ibukota Kabupaten Bandung ini, sebenarnya tidak jauh tidak sinkron dengan rakyat yg memiliki lahan dengan kategori kecil. Ongkos pengelolaan huma pertanian yg tak sebanding dengan harga jual menghasilkan para petani acap kali merugi.

seperti yg diungkapkan Maman (77) keliru seorang Petani pada daerah Cibeureum Kertasari. Dirinya pernah membeli bibit Wortel menggunakan harga Rp. 1.000, tetapi selesainya panen harga jual wortel hanya Rp 500/ Kilo Gram. Maman jua menyebutkan bahwa melalui tanah seluas dua.000 meter persegi dirinya menanam wortel menggunakan biaya enam sampai tujuh juta. menggunakan modal sebanyak itu, Maman dapat memperoleh keutungan dua sampai empat juta rupiah per trend.

namun, sering ketidakberuntungan menghampiri Maman, meski beliau serta istrinya Imah (68) telah memiliki pengalaman bertani selama 50 tahun, tetapi tetap saja tidak berdaya menghadapi kenaikan ongkos pengolahan lahan yg tidak berbanding lurus menggunakan harga yang akan terjadi pertanian seperti harga kentang dan wortel anjlok sebagai akibatnya kesulitan buat menutupi kapital bertani.

aku pernah nombok malahan rugi dua kali lipat, untuk kembali kapital aja tidak ada, petani mungil seperti aku , Jika akibat panen sedikit menguntungkan, lebihnya dipergunakan buat makan dan keperluan sehari hari, akan tetapi kalo rugi selain buat modal, buat makan aja minjem berasal bandar” cerita Maman. namun menggunakan syarat mirip itu maman permanen bertahan. Ketiadaan kapital dan keterampilan lain mengakibatkan bertani pilihan satu-satunya. Terpenuhinya kebutuhan primer serta melanjutkan roda kehidupan telah relatif baginya.

Enyah dan Imah merupakan gambaran asal sekitar 10.391 buruh tani yg terdapat pada wilayah Kertasari. Faktor pendidikan dan minimnya lapangan pekerjaaan menghasilkan poly masyarakat yg terpaksa menjadi buruh tani serta berada pada garis ekonomi bawah. Kemampuan bertani para rakyat di Kertasari terganjal sang keterbatasan huma sebagai akibatnya kebanyakan warga bekerja pada huma milik orang lain.

kondisi pada atas diakui sang Ayi Iskandar ketua desa (Kades) Tarumajaya, Kecamatan Kertasari. Menurutnya, syarat huma yg tidak seimbang sebab dilingkupi sang perkebunaan dan hutan milik Perhutani membentuk kepemilikan lahan sang masyarakat sangat minim. Selain itu Ayi juga menyebutkan bahwa hambatan petani di daerah Kertasari tidak hanya menghadapi fluktuatifnya harga yang akan terjadi pertanian namun juga dalam hal minimnya kapital dan belum siapnya pasar.

Pinjaman KUT (Kredit usaha Tani) pun pernah pada rasakan para petani, tetapi bukannya untung, rugi mendera sebab banjirnya sayuran dipasaran yg mengakibatkan harga sayuran menjadi jatuh.

Hal ini dipersulit oleh belum adanya bank yg berani menyampaikan pinjaman bonus pada pertanian berskala kecil, tentu saja para petani terjebak di pinjaman simpel yang sebenarnya tidak lunak. Kemudahan dalam menerima kapital buat biaya operasional pertanian harus dibayar mahal menggunakan cara menyerahkan harga yang akan terjadi panen kepada pihak lain.

dari Kades Ayi, kapital memang sebagai ganjalan petani pada desanya. Ketiadaan modal menghasilkan petani kecil harus meminjam uang buat bertani. selesainya panen hutang itu dibayarkan sehingga yang akan terjadi panennya tidak seberapa, bahkan kadang masih tersisa hutang.

tidak heran yang akan terjadi panen dipergunakan buat membayar hutang karena polanya seperti itu setiap animo pada sini, gali lobang tutup lobang” celoteh Ayi.

kondisi kebalikannya terjadi pada petani berskala besar di daerah Kertasari, hanya saja jumlahnya sedikit sekali. modal yang kuat dan pengetahuan yg mumpuni menjadi faktor yg membentuk para petani besar dihampiri keberuntungan serta nasib baik.

seperti yang terjadi di Ujang Tatang (45), menurutnya agar pertanian selalu mujur harus ditunjang oleh dua hal yaitu kapital serta pengetahuan bertani. “wajib terdapat dua tidak boleh satu, tanpa adanya kapital – pengetahuan yg dimiliki tidak akan jalan, kebalikannya tanpa pengetahuan – kapital yg kita punya akan sia sia” kentara Ujang.

Ujang artinya salah satu orang yang beruntung karena pernah menerima training pertanian serta acara PHT (Pengendalian Hama Terpadu) sebagai anjuran asal pemerintah. Hanya saja biaya pelatihan yang ditanggung pemerintah menghasilkan tidak semua orang bisa mengikutinya. namun Ujang mengakui, ilmu yg diperolehnya selama berada di daerah pembinaan, selalu dia telurkan ke petani lain di wilayah Kertasari.

untuk modal bertani berdasarkan ujang, hal itu bergantung di jenis tumbuhan apa yang akan di garap. Jika menanam kentang pada tanah satu hektar, modal yg dimuntahkan artinya 74 juta. Nominal itu belum termasuk pestisida, upah buruh tani, serta porto distribusi. bila panen mencapai 20 ton, maka akibat kotor asal kentang bisa mencapai 100 juta. pada setahun terakhir, cara bertani Ujang sudah lebih terbaru. beliau menciptakan greenhouse di belakang rumahnya, yakni bangunan berkontruksi baja ringan menggunakan atap dan dinding tembus cahaya. huma dalam bentuk seperti ini dapat memanipulasi kondisi lingkungan.

Cara pengelolaannya berbeda dengan lahan konvensional, tetapi hasil panen yg diperoleh dapat lebih optimal. “saya membentuk Greenhouse ini baru setahun serta satu-satunya di wilayah Kertasari. buat lahan seluas 600meter gini bikinnya 250juta. akan tetapi hasilnya lumayan, bisa setara bahkan lebih dibanding lahan biasa yang dua hektar,” terang Ujang. sekarang ini greenhouse miliknya digunakan untuk pembibitan kentang dan menanam beberapa sayuran buat keperluan impor. Bertani pada dalamnya bisa menekan penggunaan pestisida yg berlebihan.

menurut pengakuan para petani pada Kertasari, eksistensi bandar sangat membantu keberlangsungan mereka pada mengelola huma. Jika ada porto mendadak mirip membeli pestisida, kapital membeli bibit, serta menampung hasil panen, bandarlah yg pertama dihubungi. tetapi, kompetisi yg terjadi antar bandar kadangkala merugikan petani. mirip membeli akibat panen menggunakan sistem tebas atau ijon. menurut pengakuan Ayi Sobarudin (43), keliru seseorang masyarakat yg berprofesi menjadi bandar, eksistensi bandar bandar lain membentuk dirinya harus pandai dalam meprediksi yang akan terjadi panen petani.

menggunakan sistem tebas kita tidak selalu untung karena kita jua spekulasi, saat hasilnya lebih ya laba , waktu kurang ya resiko, kalo buat persoalan harga kita susah nentuin, sebab bergantung di pasar serta bandar besar , ”tegas Ayi.

donasi dari sektor pertanian nasional terhadap Produk Domestik Bruto yg mencapai 243,82 triliun di triwulan pertama tahun 2013 sepertinya tidak dibarengi dengan kesejahteraan para pelakunya. seperti model yg terjadi di wilayah harga sepeda polygon Kertasari yg secara umum dikuasai penduduknya berada pada garis ekonomi menegah ke bawah. dari Budhi Gunawan, pengamat sosial dan lingkungan wajib ada perombakan secara holistik buat merubah iklim pertanian yg tidak berpihak di petani kecil. Keberhasilan sebuah pembangunan merupakan waktu berhasil membangun kesejahteraan rakyat.


1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

FavoriteLoadingFavorit

Tentang penulis