Mencermati  Pengaturan BUMDesa  Dalam Pemanfataan Ekonomi Dan Sosial
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Beberapa desa di Indonesia telah menjalankan BUM Desa sebelum UU Desa lahir, bahkan sebelum mengenal BUM Desa, desa-desa sudah melakukan usaha-usaha yang berskala desa. Desa-desa di Jawa juga sudah lama menjalankan usaha desa sebelum mengenal BUMDes. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya, banyak desa telah mengembangkan usaha desa baik yang berorientasi bisnis sosial maupun ekonomi kreatif. Hampir semua desa di perkotaan (urban village) di empat kabupaten (Sleman, Bantul, Kulon Progro, dan Gunung Kidul) umumnya memiliki ruko yang disewakan kepada pelaku ekonomi. Hasil persewaan ini sangat signifikan sebagai PADes, yang tentu jumlahnya jauh lebih besar dari alokasi dana pemerintah, yang mereka gunakan untuk menopang kesejahteraan perangkat desa, membangun fasilitas publik maupun mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat.[1]

Semangat baru pengaturan BUM Desa. Pengaturan ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU 6/2014), dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (PP 43/2014) dan perubahannya PP 47 Tahun 2015 dan Permendesa No.4 Tahun 2015. Tatanan hukum keberadaan BUM Desa sebagai upaya strategis dalam mewujudkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi dan pembangunan yang berorientasi pada masyarakat desa Salah satu perwujudannya adalah adanya klausul BUM Desa didirikan dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyong bahkan BUM Des dapat berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum yang di dalam penjelasannya tidak dapat disamakan dengan CV, PT dan Koperasi. Namun demikian, mencermati regulasi tersebut masih ditemukan hal yang perlu diperhatikan untuk dipertimbangkan seraya mendukung konstruksi BUM Desa demi pengelolaan yang efektif dan efisien. Beberapa hal yang perlu dicermati.

Pendirian dan Pembentukan organ BUM Desa. Pendirian BUM Desa telah diatur baik dalam regulasi tersebut diatas, melalui musyawarah desa dan ditetapkan melalui Peraturan Desa. Namun dalam regulasi tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pemilihan organ BUM Desa. Dalam pasal 132 ayat 6 PP 43 menjelaskan secara umum bahwa pemberhentian dan pengangkatan pelaksana operasional merupakan kewenangan kepala desa, sementara dalam Permendesa No.4 tidak dijelaskan secara rinci bahasan dalam musyawarah desa yang berkaitan dengan organisasi pengelola BUM Desa. Melihat regulasi ini akan terjadi kewenangan yang kuat oleh kepala desa dalam memilih, mengangkat dan memberhentikan pelaksana operasional BUM Desa.

Perlunya penegasan dalam mekanisme pemilihan dan pengangkatan pelaksana operasional yang akan mengelola BUM Desa yang berorientasi dalam mensejahterakan masyarakat desa. Panduan dalam pemilihan pengurus BUM Des penting dikeluarkan baik oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah dalam rangka menyaring dan menentukan pemilih, dengan memperhatikan kondisi desa di Indonesia. Hal ini untuk menghindari terjadinya polarisasi ditengah masyarakat sehingga berdampak pada kemunduran BUM Desa.

BUM Desa sebagaimana diatur merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa (Pasal 1 butir 6 UU 6/2014). Untuk menjalankan usahanya BUM Desa mempunyai organ pengelola yang terdiri dari, Penasihat, Pelaksana Operasional dan Pengawas, dengan perannya masing-masing. Keaktifan dalam menjalankan usaha-usaha BUM Desa ada pada pelaksana operasional semisal menjalankan usaha perantara (brokering), usaha bersama (holding), bisnis sosial (social business), bisnis keuangan (financial business) dan perdagangan (trading), bisnis penyewaan (renting) dan usaha lainnya yang berorientasi mencari keuntungan yang sejalan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa berdasarkan potensi ekonomi yang ada.

Disamping mencari keuntungan, tetapi apabila terjadi kerugian pada BUM Desa dengan serta merta regulasi (PP 43 pasal 139) membebankan tanggungjawab kepada pelaksana operasional tanpa memperhatikan ihwal realita usaha yang dilakukan yang berpeluang merugi (resiko), sementara dalam pengambilan kebijakan menentukan usaha berdasarkan AD/ART BUM Desa yang telah disepakati melalui Musdes. Dalam PP 43 ditemukan terdapat perbedaan pertanggungjawaban kedua organ BUM Desa atas kerugian yang dialami. Oleh PP 43 penasihat sama sekali tidak diatur mengenai pertanggungjawabnya atas kerugian BUM Desa.

Sedangkan dalam penerimaan modal, sumber dana, keuntungan, dan pelaksanaan BUM Desa tidak serta merta ditentukan mutlak oleh pelaksana operasional akan tetapi dibahas dan disetujui oleh pemerintah desa. Dengan melihat kewajiban penasihat, kendati pun tidak secara aktif mengelola BUM Desa sebagaimana pelaksana operasional, penasihat memiliki andil dalam arah kepengurusan BUM Desa melalui pemberian nasihat dan saran kepada pelaksana operasional. Oleh karenanya, peran penasihat juga menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari topik mempertanggungjawabkan kerugian BUM Desa.

Ketentuan dalam PP 43 tersebut diperjelas, setelah dikeluarkannya Permendesa yang lebih lugas ihwal pengaturan mengenai apabila terjadi kerugian yang dialami oleh BUM Desa, maka hal ini akan menjadi tanggungjawab BUM Desa secara organisasi (pasal 27/Permendesa No.4). Artinya bila terjadi kerugian maka akan menjadi beban organisasi pengelola BUM Desa yang terdiri dari penasihat, pelaksana operasional dan pengawas. Dari dua regulasi turunan UU ini akan menjadi perdebatan, jika dikemudian terjadi kerugian (kepailitan) dalam BUM Desa. Hanya saja melihat posisi penasihat (ex-officio), tidak ideal untuk dimintai pertanggungjawaban layaknya pengurus operasional, sebab tugas utamanya sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan desa justru akan terganggu. Maka pada bagian ini, posisi penasihat menemukan pertimbangan untuk melibatkan dan menempatkan orang eksternal dari organisasi pemerintahan desa.

Pengaturan posisi penasihat BUMDesa mengandung resiko, pengaturan posisi penasihat yang ada saat ini sebagai legal hazard (peluang risiko) yang bertendensi menjadikan BUM Desa sebagai alat kepentingan politik. Dalam PP 43 peran penasihat diantaranya melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada pelaksana operasional dalam menjalankan kegiatan pengurusan dan pengelolaan usaha Desa. Namun peran “pengawasan” tersebut hilang dalam Permendesa No.4, dengan penambahan posisi pengawas dalam organ BUM Desa. Namun perubahan ini tidak serta meniadakan peran pengawasan dari penasihat. Pasal 11 point c Permendesa No.4 menyebut penasihat mempunyai berkewajiban mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUM Desa. Pengendalian disini dimaknai sebagai pengendalian strategis (strategic control), karena pengendalian teknis yang adalah tugas tersendiri dari pelaksana operasional. Jadi, alih-alih tidak lagi bertugas melakukan pengawasan, yang ada justru penasihat mengendalikan BUM Desa. Dengan begitu, juga ada konsekuensi logis antara tugas penasihat dan pertanggungjawabannya bila BUM Desa merugi.

Sementara, jika kita melihat peran penasihat sebagai pengawas, itu masih kuat dimiliki oleh penasihat (ex-officio) kepala desa melalui kewajiban pengendalian pelaksanaan pengelolaan BUM Desa. Namun tak tersentuh oleh pertangungungjawaban apabila keadaan BUM Desa merugi. Ketentuan ini akan semakin kuat memupuk kekuasaan yang dominan pada kepala desa. Sehingga bisa menjadikan BUM Desa sebagai kasir untuk diarahkan untuk memenuhi kepentingan politik kepala desa dan memperkuat kekuasaan lainnya.

Pengawas dan mekanisme pengawasan yang dilakukan, dalam PP 43 yang menjadi pengawas diperankan oleh penasihat (ex-officio) kepala desa. Kendati dalam Permendesa No. 4 peran pengawas lebih diperjelas dan bukan penasihat ex officio (kepala desa), namun tidak menyebutkan unsur yang menjadi pengawas BUM Desa, apakah representasi dusun sebagaimana perwakilan BPD atau seperti apa? Disisi lain pengaturan pengawasan dalam Permendesa tidak secara jelas mengatur tentang waktu pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja BUM Desa. Dalam Permendesa sebatas mengatur tentang pemilihan dan pengangkatan struktur pengawas, penetapan kebijakan dan pelaksanaan pemanatau dan evaluasi, namun tidak dijelaskan bagaimana mekanisme pemilihan dilakukan. Menurut Sondang P. Siagian pengawasan merupakan proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Artinya peran pengawas harus terlibat dalam proses perencanaan tidak hanya sebatas pelaksanaannya saja.

Menurut Rimawan pengawasan di perlukan karena adanya potensi moral hazard (penyelewengan/penyalahgunaan) oleh para pelaku ekonomi yang tentunya berdampak negatif terhadap perekonomian. Teori ekonomi menunjukkan bahwa  moral hazard disebabkan oleh adanya asymmetric information. Assymetric information menyebabkan dua hal, yaitu moral hazard dan adverse selection (kesalahan memilih). Assymetric information adalah kondisi dimana informasi tidak tersebar merata antar pelaku ekonomi[2].

Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban BUM Desa. Susunan kepengurusan organ BUM Desa sebagaimana Permendesa No. 4 pasal 16, organ BUM Desa dipilih oleh masyarakat desa melalui Musyawarah Desa[3], dalam hal pertanggungjawaban pengelolaan BUM Desa pelaksana operasional menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada kepala desa (ex-officio) yang dengan perannya turut bertanggungjawab atas pelaksanaan BUM Desa selain bagian dari organ BUM Desa, juga penasihat memiliki peran mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUM Desa. Sementara kewajiban kepala desa mempertanggungjawabkan tugas pembinaan kepada BPD. Sedangkan masyarakat selaku pemilih organ BUM Desa, sebatas menerima laporan perkembangan unit usaha yang dijalankan oleh pelaksana operasional BUM Desa. Jika melihat hal ini, maka tidak ada pertanggungjawaban murni kepada publik (publik accountability) yang harus dilakukan oleh organ BUM Desa, kepada masyarakat selaku pemilih ataupun kepada BPD sebagai representasinya. maka perlu dipertegas pola pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pelaksana operasional dalam mengelola BUM Desa, dan pertanggungjawaban organ BUM Desa apabila merugi.

Bentuk badan hukum BUM Desa dalam menjalankan usaha. Dalam ketiga regulasi diatas telah menjelaskan bahwa BUM Desa merupakan badan usaha yang secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa dibentuk berdasarkan Peraturan Desa, BUM Desa dapat mendirikan unit-unit usaha yang berbadan hukum dan bisa menjalankan usahanya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini memunculkan pertanyaan dimana batasan pembeda antara BUM Desa berbadan hukum dan tanpa badan hukum. Unit-unit usaha dapat berupa pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.

Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam. BUM Desa dalam pelaksanaan kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Modal usaha BUM Desa terdiri dari penyertaan modal desa yang bersumber dari hibah dari pihak swasta, bantuan pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota dan kerjasama usaha dan asset desa. Semua modal tersebut disalurkan melalui mekanisme APB Desa, dan penyertaan modal lainnya bersumber dari masyarakat desa yang berasal dari tabungan masyarakat dan atau simpanan masyarakat, hal ini dapat dikatakan bahwa peran BUM Desa sama seperti Bank.

Relevansinya pada bentuk hukum dan kewenangan BUM Desa dalam menjalankan usaha-usahanya. khususnya mengenai kredit, pinjaman dan lain sebagainya yang jatuh tempo, mengingat memiliki fungsi komersial. Sementara BUM Desa bisa diajukan kepailitannya oleh kepala desa, hal ini akan menjadi pertimbangan yang panjang pihak ketiga untuk menjalin hubungan kontraktual. Melihat UU 37 tentang Kepailitan dan PKPU telah menyebutkan debitor dan kreditor memiliki hak yang sama untuk permohonan pailit ke pengadilan niaga.

Perlunya kejelasan mekanisme pembagian alokasi hasil usaha BUM Desa, Pembagian hasil usaha BUM Desa merupakan pembeda BUM Desa dengan badan usaha lain yang sejenis, mengingat BUM Desa mempunyai tujuan salah satunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai badan usaha yang modal usahanya tersumber dari pihak lain, dalam setiap regulasi diatas belum menjelaskan bagaimana mekanisme pembagiannya. Permendesa mekanisme pembagian diatur dalam Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) BUM Desa, tidak dijelaskan panduan dalam besaran alokasi bagi hasil bagi BUM Desa. Hal ini akan mendorong AD/ART menjadi bancakan para elit yang memberikan dana penyertaan modal dengan berbagai dalih.

BUM Desa merupakan wadah yang produktif dalam mendorong pemberdayaan potensi ekonomi di desa selain itu keberadaanya akan dapat membuka lapangan pekerjaan. Hal tersebut menandakan dibutuhkan pula konstruksi pengelola yang baik, konstruksi yang mendukung efisiensi, agar olehnya terjewantahkan asas kemandirian dalam pembangunan desa. Termasuk dalam hal memaknai musyawarah desa sebagai forum tertinggi dalam pengambilan keputusan ditingkat desa, sehingga tidak ada kekuasaan mutlak dalam pengelolaan BUM Desa, demi mengawal hakikat BUM Desa yang menempatkan masyarakat desa sebagai pemilik manfaat.

Dilain sisi, bahwa prioritas BUM Desa ada pada kemanfaatan ekonomi, di samping kemanfaatan sosial, namun aspek hukum harus menjadi pijakan. Tidak semata mengejar kemanfaatan hanya karena spirit baru, walau memang karena itu. Namun perlu untuk mengetahui aturan untuk memahami konstruksi sekaligus alternatif di dalamnya. Ketidaktuntasan regulasi, butuh diletakkan dalam logika Hukum yang melengkap usaha menata BUM Desa.

[1] Sutoro Eko dan Tim FPPD, Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan, Policy Paper, 2013.

[2] Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua”. Kencana. Jakarta. 2011. hlm. 214

[3] Lihat Permendesa No. 2 Tahun 2015, Bab I pasal 3 ketentuan umum .


1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 4.50 out of 5)
Loading...

FavoriteLoadingFavorit

Tentang penulis