Kenaikan Dana Desa di APBN 2017 dan  Akuntabilitas Keuangan Desa
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Pemerintahan Jokowi memberikan kado Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-71 kepada seluruh Desa di Indonesia, yaitu menaikan alokasi Dana Desa di dalam Rancangan APBN 2017 sebesar 60 triliun, naik 3 kali lipat dibandingkan di tahun 2015 sebesar 20 triliun, dan naik  28% dibandingkan tahun  2016 yang sebesar Rp 46,96 triliun. Situasi ini unik, karena secara keseluruhan dana transfer untuk daerah turun di APBN 2017 menjadi Rp 760 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp 729 triliun di APBN P 2016.

Jika dibandingkan dengan roadmap Dana Desa 2015-2019 yang disusun oleh Kementerian Keuangan, maka alokasi Dana Desa sebesar Rp 60 triliun sebenarnya lebih rendah dari yang direncanakan untuk 2017, yaitu sebesar Rp 81 triliun. Meski demikian,  kenaikan tiga kali lipat dibandingkan alokasi 2015 merupakan satu hal yang patut disyukuri, yang menunjukkan komitmen dari Presiden Jokowi untuk melaksanakan amanat UU Desa, khususnya yang terkait dengan Dana Desa.

Antara Optimisme dan Pesimisme

Respons publik atas  hal ini dapat dibagi menjadi dua kubu, yaitu kubu pesimis dan kubu optimis. Kubu pesimis berpendapat bahwa kenaikan Dana Desa akan menaikkan potensi penyelewengan, terlebih di tahun 2017 ada hajatan Pilkada. Terlebih lagi kasus korupsi kepala desa sering dimuat di media. Contohnya, kasus korupsi enam kepala desa di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku (www.kompas.com, 12 Mei 2016). Ada juga kasus korupsi oknum kepala desa di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah yang merugikan negara senilai Rp 416 juta (www.okezone.com, 8 Juni 2016), korupsi oleh oknum kepala desa di  Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatra Utama (www.republik.co.id, 23 November 2015) dan masih banyak kasus lainnya. Situasi ini semakin menguatkan pandangan  bahwa penyaluran dana ke Desa akan meningkatkan potensi korupsi, Desa memang belum mampu mengelola  dana dan lain sebagainya.

Di sisi lain, kubu optimis memandang bahwa Desa harus diberi kesempatan untuk mengelola Dana, setelah sekian lama hanya menjadi penonton. Sebelum ada UU Desa,  Desa hanya mengusulkan kegiatan pembangunan melalui Musrenbang Desa tanpa ada kepastian usulan tersebut akan didanai atau tidak, yang sering dipelesetkan dari “bottom up” menjadi “mboten up”. Dengan adanya UU Desa, ada kepastian dana yang dikelola oleh Desa, sehingga Desa memiliki kesempatan untuk membangun dalam rangka mensejahterakan  warganya. Pandangan dua kubu ini perlu dijembatani, yaitu bagaimana Desa diberikan kepercayaan untuk bisa mengelola dana secara akuntabel.

Membangun Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa

Akuntabilitas pengelolaan keuangan desa adalah satu hal yang wajib untuk diupayakan karena hanya dengan pengelolaan keuangan desa yang akuntabel visi dari UU Desa akan tercapai. Di dalam proses pembahasan pasal 72 di DPR, terlihat jelas bagaimana para pemangku kepentingan mengkhawatirkan  keuangan desa tidak dikelola dengan baik yang dapat berujung dengan proses hukum bagi pengelolanya yaitu kepala desa dan perangkat desa dan sekaligus akan menjadikan visi UU Desa menjadi tidak tercapai.

Kekhawatiran dari para pemangku kepentingan ini perlu dipandang sebagai tantangan bagi kepala desa dan perangkat desa. Agar kepala desa dan perangkat desa dapat mengelola keuangan desa secara akuntabel, maka perlu disiapkan hal-hal berikut ini.

1.Integritas dari kepala desa dan perangkat desa.

Integritas adalah hal pertama yang harus dimiliki oleh kepala desa dan perangkat desa. Jika memiliki integritas yang baik, maka kepala desa dan perangkat desa akan memandang keuangan desa sebagai amanah yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan warga desa. Dengan demikian, kepala desa dan perangkat desa tidak memiliki pemikiran untuk menyalahgunakan dana  desa untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga.

Selain integritas, satu posisi penting di dalam pengelolaan keuangan desa, yaitu bendahara desa juga harus memiliki keberanian untuk ‘menolak’ perintah atasan (kepala desa) jika diminta untuk melakukan penyimpangan anggaran. Dengan integritas, maka kepala desa dan perangkat desa memiliki pengawasan mandiri yang berasal dari diri sendiri yang akan terus-menerus memberikan dukungan agar masing-masing individu menjalankan amanah dengan baik.

2. Tata kelola.

Hal kedua yang harus ada agar pengelolaan keuangan desa akuntabel adalah adanya sistem pengelolaan keuangan yang sederhana tapi kuat dan adanya transparansi pengelolaan keuangan di tingkat desa. Terkait sistem keuangan, dapat digunakan sistem pengelolaan keuangan yang telah disusun oleh pemerintah di dalam Permendagri No 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya (Permendagri No 37 tahun 2007), maka sistem baru lebih sederhana sehingga diharapkan bisa lebih mudah untuk dilaksanakan oleh kepala desa dan perangkat desa yang memiliki kapasitas yang beragam.

Satu hal penting yang terkait dengan pengelolaan keuangan desa adalah perlunya dibangun sistem pengendalian intern, yaitu mekanisme check and balances di dalam pengelolaan keuangan dimana ada pemisahan peran antara  yang menyetujui, membayarkan  dan mencatat. Di dalam Permendagri, Kepala Desa merupakan pihak yang memberikan persetujuan, sedangkan bendahara adalah pihak yang membayarkan dan pihak yang mencatat serta menyusun laporan tidak secara spesifik disebutkan.

Salah satu hal yang perlu dihindari di dalam pengelolaan keuangan desa adalah administrative trap, yaitu kecenderungan dari pengelola keuangan desa untuk mementingkan aspek administrasi (pemenuhan bukti-bukti keuangan dalam bentuk kuitansi, faktur, dsb) tanpa diimbangi dengan pengelolaan pelaksanaan kegiatan. Semestinya, administrasi keuangan kegiatan sejalan dengan pelaksanaan kegiatan, sehingga pengelola akan terhindar dari perbuatan pemalsuan bukti-bukti keuangan karena yang dilaporkan adalah pengeluaran riil.

Selain sistem keuangan, hal lain yang penting untuk dilaksanakan adalah transparansi pengelolaan keuangan desa oleh pengelola. Pengelola secara reguler perlu menginformasikan kepada warga terkait APBDesa,  berapa dana yang sudah diterima, berapa realisasi belanja, dan lain sebagainya. Transparansi akan meminimalisir peluang terjadinya penyimpangan dana. Inisiatif beberapa Desa untuk mempublikasikan APBDesa dalam bentuk poster dan  sosialisasi di masjid/tempat ibadah perlu diteruskan dan ditularkan ke desa lainnya.

3. Kapasitas SDM.

Agar pengelolaan keuangan desa dapat akuntabel, maka dibutuhkan pengelola yang kompeten. Dalam hal ini, pelatihan dan pendampingan  kepada kepala desa dan perangkat desa menjadi hal yang wajib untuk dilakukan, khususnya oleh tim kecamatan dan tim kabupaten. Perlu disadari bersama bahwa peningkatan kapasitas adalah suatu proses  yang membutuhkan waktu. Jika dikaitkan antara kapasitas dengan jumlah dana yang menjadi hak desa untuk dikelola, maka ada trade off yang harus dilakukan. Asas kehati-hatian (prudent) perlu dilaksanakan oleh Kabupaten yang memiliki kewenangan untuk mencairkan dana yang menjadi hak desa. Jika memang kapasitas SDM yang dimiliki belum memadai, maka lebih baik dana yang dicairkan dibawah nilai yang menjadi hak desa sembari kabupaten memberikan pemahaman kepada desa yang bersangkutan mengapa dana tidak bisa cair. Bisa jadi desa akan melakukan protes kepada kabupaten karena merasa haknya tidak dipenuhi. Namun, cara ini dipandang lebih aman untuk mencegah masalah-masalah penyimpangan dana yang bisa terjadi yang tentunya akan menghabiskan energi untuk memperbaiknya.

Selain itu, kabupaten juga perlu terus memberikan pendampingan sehingga jika kapasitas SDM desa tersebut meningkat maka secara otomatis dana yang bisa dicairkan juga akan meningkat. Di sisi lain, Kabupaten jangan sampai menahan hak desa dengan alasan SDM tidak kompeten.

4. Pengawasan warga

Salah satu katup pengaman untuk mencegah penyimpangan dana adalah pengawasan oleh warga. Oleh karena itu, jika kondisi warga cenderung cuek dan belum memiliki sikap peduli dan kritis mengawasi pengelolaan APBDes ini, maka Kabupaten perlu memiliki kegiatan khusus untuk meningkatkan partisipasi warga di dalam melakukan pengawasan.

Agar akuntabilitas pengelolaan keuangan Desa dapat terwujud, pemerintah kabupaten perlu mengambil inisiatif untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan agar alokasi Dana Desa yang sudah dianggarkan oleh pusat bisa benar-benar direalisasikan. Jangan sampai peluang Desa untuk mendapatkan dana lebih besar tidak bisa digunakan karena pemerintah kabupaten tidak optimal menjalankan perannya.


1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

FavoriteLoadingFavorit

Tentang penulis

Maya Rostanty

Maya Rostanty merupakan pegiat PATTIRO yang memiliki minat mendalami isu pengelolaan keuangan daerah