Kampung Terisolir Di Pinggir Ibukota Jakarta
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Berjarak 63 kilometer dari Istana Presiden Republik Indonesia yang berlokasi di Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

Terdapat sebuah kampung yang terisolir dari keramaian Ibukota. Kampung Mulyasari, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, merupakan salah satu gambaran ketimpangan sosial yang terjadi antara DKI Jakarta dan Kabupaten Bogor.

Satu-satunya akses menuju kampung yang terbentuk pada 2011 silam ini adalah melalui Desa Cibadak dan membelah hutan di pegunungan Pancaniti.

Jalan setapak yang terbuat dari bebatuan cadas dan tanah, meruapakan akses yang dibuka secara mandiri oleh warga yang merupakan warga exodus dari Kampung Gunung Sanggar.

Menurut sejarahnya. Kampung Mulyasari terbentuk karena sebanyak 28 KK yang tinggal di Kampung Gunung Sanggar, terkena bencana longsor.

Pemerintah Kabupaten Bogor pun, menunjuk Gunung Hanggawong sebagai lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat relokasi warga terdampak longsor.

Warga yang menilai tidak adanya keseriusan dari pemerintah untuk membantu relokasi. Serta lokasi yang ditunjuk dinilai masih rawan bencana. Akhirnya warga memilih untuk pindah ke sebuah perkebunan kopi dan pisang yang dimiliki oleh Perhutani.

Warga pun mengumpulkan uang untuk membayar uang ganti rugi hak perkebunan dan mendirikan sebuah kampung anyar.

“Kami pindah kesini sekitar 2011. Uang yang berhasil kami kumpulkan, sekitar Rp12 juta. Setelah melihat lokasi yang cukup aman dari bencana, warga yang lain akhirnya berbondong-bondong ikut pindah ke sini,” kata ketua RT05 RW01, Kampung Mulyasari, Rahmat (23), kepada Metropolitan, saat ditemui di rumahnya.

Kampung yang berdiri diatas lahan milik perhutani ini, memiliki masalah serius, yaitu minimnya MCK. Dari 61 rumah ocean park bsd warga, dimana 70 persennya masih berbentuk rumah panggung. Hanya ada 10 rumah saja yang memiliki kamar mandi dan WC yang layak.

Ramlan (35), merupakan salah satu dari sekian banyak warga yang harus berbagi toilet dan kamar mandi dengan warga lainnya. Bapak dari enam orang anak tersebut, mengaku, sebelumnya sudah pernah mengajukan program jambanisasi ke pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor.

Namun karena masalah hak tanah yang dimiliki oleh Perhutani, program yang sudah diharapkan berjalan sejak 2013 silam tersebut, masih belum bisa terealisasi sampai saat ini.

“Jadi sejauh ini, program pemerintah yang masuk ke kampung kami hanya rutilahu. Itupun hanya tiga rumah,” terangnya.

Sebelum mendapatkan aliran listrik di awal 2019. Selama enam tahun, warga tinggal dengan diterangi lampu petromax. Di 2017, akhirnya pemasangan penerangan melalui tenaga surya masuk ke kampung Mulyasari. Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, dibarengi dengan pembangunan ponpes melalui dana CSR.

Setiap harinya, Ramlan bekerja sebagai pekebun di ladang kopi yang berada di kaki gunung Pancaniti. Kopi yang dipanen setahun sekali tersebut, memiliki nama Kopi Luwak Pancaniti Mulyasari. Selain memanen kopi, buah alpukat juga menjadi sumber pendapatan bagi para warga.

Karena beban kerja yang begitu berat setiap harinya, membuat banyak warga yang menjadi pekebun di Kampung Mulyasari, mengidap penyakit turun berok atau hernia.

Selain itu, penyakit lambung juga menjadi penyakit yang paling banyak diidap oleh warga yang terpinggirkan dari pesatnya pembangunan di Kabupaten Bogor ini.

Fasilitas kesehatan seperti rumah sakit yang paling dekat dari Kampung Mulyasari adalah RSUD Cileungsi dan RSUD Cibinong, atau RS swasta di Citeureup dan Sentul.

“Untuk ibu-ibu yang mau melahirkan, biasanya diurus sama mak berang (dukun beranak),” jelas Ramlan.

Pengamat pembangunan desa, dari Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB, Sofyan Syaf, mengatakan, kalau kasus Kampung Mulyasari akan sangat berdampak kepada status Kabupaten Bogor yang saat ini sedang mengejar status kabupaten termaju.

Kehadiran Kampung Mulyasari ini menurut Sofyan, harus menjadi fokus utama Bupati Bogor, untuk menghilangkan cap kampung terisolir di Kabupaten Bogor. Salah satu caranya, Sofyan menerangkan kalau untuk pendidikan aparatur desa sangat penting.

“Dalam pelaksanaan pembangunan yang dirancang didalam APBDes, para aparatur desa harus menilai kebutuhan masyarakatnya,” terangnya.

Cap sebagai kampung terisolir pun dibantah oleh Sekretaris Desa Sukamulya, Didin. Menurutnya, dengan bisa dilaluinya akses menuju kampung Mulyasari, sudah menghilangkan stigma kampung terisolir. Walaupun hanya bisa dilintasi oleh kendaraan roda dua.

Pada 2020 nanti, ia menjelaskan rencana pembangunan sudah disiapkan oleh Pemerintah Desa Sukamulya, yaitu pembangunan jembatan Cinangsi, jembatan Cilingga, Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) satu unit dan jalan lingkungan satu titik.

Sedangkan untuk akses warga yang biasa dilalui melalui kampung Cibadak, Desa Cibadak, belum bisa dibangun karena tidak masuk didalam perencanaan pembangunan 2020.

“Akses jalanya lewat Kampung Cisoro, melalui jembatan Cinangsi dan Cilingga,” jelas Didin saat dihubungi Metropolitan.


1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

FavoriteLoadingFavorit

Tentang penulis