Desa Sebelum Masa Kemerdekaan
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Desa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal sejumlah manusia yang berhak mengatur dirinya sendiri, merupakan organisasi masyarakat hukum paling tua, mendahului masyarakat hukum sebelum negara ini merdeka. Desa mengandung unsur asli sebagai warisan nenek moyang dengan beragam budaya yang menghiasinya. Upaya mengatur dan menyelenggarakan desa ditandai dengan penentuan kepala atau pimpinan desa mereka sendiri. Corak yang beragam dalam menentukan kepala atau pimpinan desa menjadi ciri khas kepala desa di Indonesia.

Bentuk Pertama. Sebagai kumpulan manusia dari satu keturunan yang sama dalam satu desa akan menimbulkan satu genealogische rechtgeemnshcap dimana tanah menjadi milik bersama dan kepala desa terdiri dari orang-orang tua yang sepanjang adat berhak menjadi kepala Desa secara turun menurun. Sistem ini tidaklah banyak menimbulkan masalah sebab yang mengatur dan membimbing adalah para sesepuh mereka dan memiliki hubungan keluarga yang jelas. Desa-desa di Sumater Utara misalnya di Tanah Karo dinamakan Kesain, di Tapanuli Utara dinamakan Huta atau Marga adalah contoh genelogi masih dijunjung. Norma-norma adat mengatur kehidupan masyarakat desa dari sejarah turun menurun dari mulai hukum tatapraja, perkawinan, perceraian, pembagian tanah, waris, sampai hukum adat pidana yang mengandung sanksi siksaan fisik karena kasus pembunuhan dan perzinahan. Contoh desa dengan tipe seperti ini merupakan bentuk desa asli sebelum Belanda datang.  Masih ada sebagian hukum adat yang sampai sekarang masih berjalan terhadap persoalan tanah yang dinamakan tanah ulayat (besshikkingrecht). Tanah ulayat menjadi salah satu keistimewaan suatu locale rechtgemeenschappen.

Bentuk Kedua. Ketika luas tanah desa sudah tidak mencukupi jumlah penduduk desa, maka penduduk akan membuka kampung baru termasuk membuka lahan pertanian di sana. Hubungan desa baru (anak ni huta) dengan huta lama terus berjalan sesuai hukum adat kampung asal. Bentuk desa ini adalah suatu genealogische locale rechtgeemnshcap yang diperkembangkan.

Bentuk Ketiga. Beberapa golongan penduduk berasal dari suku berbeda bertempat tinggal bersama dalam satu desa yang baru. Permasalahannya karena desa tersebut milik raja atau sebutan lain untuk penguasa wilayah, maka kepala desa memiliki kedudukan tidak lebih dari pengurus kekayaan raja yaitu membagi-bagikan tanah kepada penduduk, mengutip hasil pertanian/hutan/kebun dan kekayaan di desa tersebut, upati dst yang akan diserahkan kepada kerajaan. Desa menjadi desa administratif dari kerajaan. Kebudayaan yang berkembang dilatarbelakangi semangat feodalisme yang menyusup dengan kebudayaan luar sebagai daerah pinggir laut.

Dari ketiga bentuk, corak dan warna desa ditentukan peranan kepemilikan tanah. Pemberian tanah kepada pihak luar tidak dibenarkan dan sangat dibatasi. Penduduk desa akan sangat memperhitungkan perkembangan dan pertambahan jumlah penduduknya. Sehingga kepemilikan tanah oleh pihak luar untuk daerah dengan adat istiadat yang masih kuat hampir tidak terjadi. Dan pada jaman kerajaan, penjualan tanah secara besar-besaran tidak dibenarkan karena prinsip utama adalah bahwa tanah untuk rakyat desa dan sekitarnya.

Pada jaman penjajahan, banyak ahli pemerintahan desa yang terkenal diantaranya Prof. C. Van Vollenhoven (Belanda).  Mr. Herman Warner Mutinge (Belanda) adalah ahli yang melaporkan kepada Luittenant Raffles (Inggris) bahwa terdapat desa-desa dengan tiga bentuk tersebut pada 14 Juli 1817. Oleh Raffles (Inggris) ditetapkan bahwa pengangkatan Kepala Desa berdasarkan pilihan penduduk desa termasuk membuat aturan bahwa tiap-tiap penduduk berhak memilih Kepala Desa. Laporan Mutinge menjadi alasan bagi Commissarissen General Belanda menerbitkan Staatsblad tahun 1918 No.13, bahwa adat lama yang memberi hak kepada penduduk desa untuk memilih kepala desa berlaku terus. Dalam Staatsblad  tahun 1907 No, 212 aturan pemilihan kepala desa diperbaharui dan diberi syarat baru yang  tidak mengurangi kebebasan penduduk desa untuk memilih. Pengaruhnya bahwa penduduk desa hampir selalu mentaati kepala desanya. Situasi ini sangat bermanfaat bagi Belanda untuk memerintahkan penduduk desa tanpa mencampuri urusan internal Pemerintahan Desa melalui Kepala Desa. Diantaranya ketika memerintahkan tanam paksa (dwang cultuur), penarikan pajak dan kepentingan Pemerintahan Belanda lainnya.

Meskipun pada jaman Raffles telah ada ‘landdelijke stelsel’ namun Van den Bosch yang kemudian mengembangkan menjadi ‘cultuurstelsel’ dan melalui Regeringreglement 1854 pasal 71 kedudukan desa ditetapkan secara juridis prinsipil. Pasal ini yang menetapkan bahwa Desa (Inlandshe Gemeenten) atas pengesahan Kepala Desa (residen) berhak memilih kepalanya dan memerintah desanya sendiri dan kepala desa diserahkan hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal atau Kepala-Kepala Daerah. Selanjutnya untuk Pulau Jawa dan Madura lahir peraturan  yang mengatur pemerintahan dan rumah tangga desa dengan nama Gemeente Ordonantie (Stbl 1906 No.83) sedangkan wilayah diluar Pulau Jawa dan Madura lahirlah Gemeente Ordonantie Buitengewesten (Stbl 490 tahun 1938). Perbedaan utama dua ordonansi yang hampir bersamaan waktunya tersebut hanya pada hal-hal khusus di daerah seperti tanah bengkok yang ada di pulau Jawa dan diluar jawa tidak ada. Secara umum kedua ordonansi  mengatur susunan organisasi rumah tangga, tugas dan kewajiban serta wewenang dan kekuasaan pemerintahan desa, kepala desa dan pamong desa termasuk wewenang masyarakat desa untuk memilih kepala desa sesuai adat istiadat setempat, wewenang melakukan pelayanan umum, wewenang medebewind dan administrasi desa.

Namun kedua ordonansi tidak berlaku untuk daerah Indlandsche Zelfbesturen, dimana daerah telah diikat Politik Kontrak Jangka Panjang dan Pendek dengan Pemerintah Belanda seperti Kesultanan Yogya dan Surakarta (Pulau Jawa), termasuk seperti Kesultanan Kualuh, Bilah, Pane, Kota Pinang, Asahan, Serdang, Deli, Langkat (Pulau Sumatera). Daerah tersebut memiliki aturan sendiri tentang pemerintahan desa. Khusus untuk daerah dengan huta  dan lain-lain yang memiliki hukum adat dan harta benda sendiri, ruang lingkup desa dibentuk dengan IGOB seperti di Tapanuli yang dinamakan nagari. Pemberlakuan hukum adat ditekankan tidak bertentangan dengan kepentingan umum nagari.

Sumber:  CST Kansil, SH. Desa Kita: Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa, 1988


1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

FavoriteLoadingFavorit

Tentang penulis