Arah Pendampingan  Desa
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Riuh rendah rekrut ulang pendamping desa eks PNPM belum juga mereda. Walau persoalan ini pernah dibawa dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. DPR pun memahami penjelasan Menteri terkait pendamping desa, bahkan meminta mempertimbangkan satu desa satu tenaga pendamping dengan memprioritaskan sumber daya manusia di desa/kecamatan setempat (@RPR_RI, 18/4). Rekrutmen ini menandai babak baru pendampingan desa. Pemerintah dan para pemangku kepentingan harus mampu mendefinisikan kemenangan desa seperti apa yang akan dicapai dengan pendampingan ini. Tanpa orientasi yang jelas, arah pendampingan hanya akan mengulang kebiasaan lama dan bahkan seperti menyerahkan diri menjadi korban “tragedi evaluasi tanpa indikator”.

Persepsi publik atas pelaksanaan UU Desa menjadi sekedar dana desa dan rekrutmen pendamping.  Mengapa hal itu terjadi? Besarnya dana desa yang digelontorkan menjadi magnet perhatian publik; tahun 2016 ini dana desa meningkat menjadi 46,9 trilyun rupiah, dari 20,7 trilyun pada 2015. Jumlah ini akan naik hingga setiap desa rata-rata mendekati 1 milyar. Jumlah sebaran penerima yang menjangkau 74.754 desa juga menjadi faktor penarik lainnya.

Proporsi dana desa juga masih mendasarkan pada formula yang belum memenuhi rasa keadilan, yakni 90% dibagi rata dan 10% saja yang mengikuti formula berdasarkan kriteria: angka kemiskinan, jumlah penduduk, luas wilayah dan kondisi geografis. Jika formulanya diubah secara ekstrim 90% dengan formula berkeadilan dan 10% dibagi secara merata, dibutuhkan sekitar 900 trilyun rupiah agar jumlah terkecil penerimaan desa mencapai satu milyar rupiah (Erani, 2016).

Hebohnya rekrutmen pendamping desa, karena melibatkan banyak orang. Pada April 2016, sebanyak 30.589 orang bekerja sebagai pendamping; terdiri dari 9.540 pendamping eks PNPM (1.305 tenaga ahli kabupaten dan 8.235 pendamping desa); dan hasil rekrutmen terbuka tahun 2015 sebanyak 21.049 (1.237 tenaga ahli, 13.836 pendamping desa yang ditempatkan di kecamatan, dan 14.516 pendamping lokal di desa). Tahun 20016 sebanyak 19.096 akan segera direkrut secara terbuka (Kemendesa, 2016).

Potret Galau Desa Kita

Sampai pada titik ini, kita layak merenung: betulkah dan desa dan pendampingan memang menjadi tujuan utama yang akan diraih?  Pasal 4 UU Desa menyebut 9 tujuan pengaturan desa, yaitu: (a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas keberagaman desa (desa adat), (b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan, (c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat, (d) mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat, (e) membentuk Pemerintahan Desa yang professional, efisien, dan efektif, terbuka serta bertanggung jawab, (f) meningkatkan pelayanan publik, (g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat, (h) memajukan perekonomian masyarakat serta mengatasi kesenjangan pembangunan, dan (i) memperkuat masyarakat sebagai subjek pembangunan.

Tujuan ini nyaris tidak terdengar ketika dihadapkan dengan isu dana desa dan rekrutmen pendamping. Padahal itulah yang semestinya diperjuangkan dan diwujudkan dalam pendampingan desa. Sekedar merefleksikan potret kondisi desa dari Indeks Desa Membangun (IDM) yang dikembangkan Kementerian Desa. Tahun 2015, baru terdapat 174 (0,24%) desa dengan status mandiri dari 73.709 desa yang diukur. Sisanya berada pada status desa sangat tertinggal 13.453 desa (18,25%), desa tertinggal 33.592 desa (45,57%), desa berkembang 22.882 desa (31,04%), serta desa maju 3.608 desa (4,89%).

Desa sangat tertinggal dan desa tertinggal (63,82%) situasinya sangat rentan dan membutuhkan pendekatan kebijakan afirmatif, khusus dan tidak seragam karena kompleksitas masalah yang dihadapi. Situasi desa berkembang (31,04%) terkait dengan kerentanan jika ada goncangan ekonomi, bencana alam maupun konflik sosial akan jatuh menjadi desa tertinggal; Desa ini juga berada pada tangga transisi menuju desa maju dalam pengelolaan potensi, informasi/ nilai, inovasi/ prakarsa, dan kewirausahaan. Sementara desa maju (4,89%) situasinya sudah mampu mengelola daya ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi secara berkelanjutan menuju desa mandiri. Pengukuran ini didasarkan pada 3 dimensi yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi (Kemendesa, 2015). Dalam versi capaian hasil pembangunan desa, BAPPENAS mengeluarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) dengan 5 dimensi yaitu pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, aksesibilitas/ transportasi, pelayanan umum dan penyelenggaraan pemerintahan. Hasilnya 3,92% berstatus desa mandiri; 68,86% desa berkembang, dan 27,22% desa tertinggal dari 74.093 desa (Bappenas, 2015).

 

Sembilan Agenda Strategis Kemenangan Desa

Keresahan lebih dari 300 kelompok masyarakat sipil, organisasi profesi, kelompok akademisi, pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa atas penyederhanaan persepsi publik tentang UU Desa dituangkan dalam Konsensus Rembug Nasional Desa Membangun Indonesia pada Desember 2015. Mereka berkomitmen mewujudkan 9 agenda strategis, yang menjadi penanda kemenangan desa yaitu: (a) pembaruan agraria dan penataan ruang yang berkeadilan sebagai landasan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa; (b) Keadilan sosial ekologis untuk menjamin keselamatan masyarakat dan keberlanjutan kawasan pedesaan; (c) transformasi perekonomian Desa melalui Lumbung Ekonomi Desa yang meningkatkan partisipasi masyarakat dalam produksi, distribusi, dan melindungi sumber daya ekonomi Desa; (d) partisipasi masyarakat yang berkualitas dan demokratis untuk melahirkan kepemimpinan muda desa; (e) mewujudkan desa inklusi, yang menyentuh dan memberikan manfaat kepada kelompok masyarakat terpinggirkan, kelompok perempuan, kelompok minoritas, serta kelompok difabel, (f) pengakuan, pemajuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat; (g) menjamin akses perempuan desa terhadap sumber daya; (h) pelayanan publik dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Desa; dan (i) penyediaan dan pemenuhan sistem informasi desa berbasis teknologi informasi secara merata dan berkeadilan.

Konstruksi Desa menurut UU Desa sendiri tidak memposisikan Pemerintah Desa sebagai sentral kekuasaan, tetapi memberikan afirmasi kepada warga untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Masyarakat diberi hak untuk aktif mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas baik melalui lembaga formal seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Kemasyarakatan maupun forum deliberatif Musyawarah Desa (MUSDES). Bahkan Kepala Desa diwajibkan menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada BPD dan Masyarakat Desa, serta harus pro-aktif memberikan informasi publik.

Arah Pendampingan Desa

Dua tahun pelaksanaan UU Desa, inisiatif partisipasi masyarakat ini tidak muncul dari warga masyarakat sendiri secara masif, tetapi justru karena kebaikan Kepala Desa yang reformis atau dimandatkan oleh aturan untuk melibatkan masyarakat. Lalu arah kemajuan yang bagaiman yang harus dikerjakan para pendamping?

Partisipasi aktif warga menjadi salah satu penanda kemenangan desa, dan mestinya dimotori oleh pendampingan. Disinilah arah baru pendampingan desa, memberdayakan masyarakat yang pro aktif untuk mengakselerasi peran masyarakat dalam mewujudkan desa yang transparan dan akuntabel serta pembangunan inklusif. Pendampingan juga tidak monopoli pemerintah tapi juga dibuka kepada pihak ketiga seperti lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan serta perusahaan, sehingga pendamping desa harus bersinergi.

Orientasi yang jelas ini bukan saja akan membantu pendamping memahami arah kerja profesionalnya sekaligus membangun sinergi aksi dengan pihak lain, namun juga menghindarkan dari “tragedi evaluasi tanpa indikator”, terutama pada tahun-tahun politik.

Ahmad Rofik, Pegiat PATTIRO, Anggota Kelompok Kerja Masyarakat Sipil Desa Membangun Indonesia, Pengurus Ikatan Keluarga Alumni UNS Solo Raya, Dept. Pemberdayan Pedesaan;


1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

FavoriteLoadingFavorit

Tentang penulis

Ahmad Rofik

Senior Program Manager di PATTIRO