Klaster 2: Penataan Desa

    Penataan Desa sebagaimana dimaksud dalam UU Desa (UU No. 6/2014) merupakan proses-proses pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status dan penetapan Desa. Meskipun secara substansi hal ini pernah diatur dalam UU yang mengatur tentang desa yang berlaku sebelumnya, namun penggunaan istilah “penataan” baru muncul pada UU Desa ini.

    UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa menyatakan bahwa ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada bagian khusus yang mengatur tentang desa juga mencantumkan ketentuan tentang pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa. Menurut UU No. 22/1999 ini, ketiga hal tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Demikian juga pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tentang pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa. UU No. 32/2004 ini menambahkan pengaturan tentang perubahan status kelurahan menjadi desa, sehingga substansi tentang penataan desa bukan hal yang baru diatur dalam tata hukum kita.

    Dalam Undang-Undang Desa, jika dibandingkan dengan UU sebelumnya, penataan Desa dirumuskan dalam klausul yang lebih rinci. Pemerintah, sebagai pengusul rancangan UU Desa ini menyatakan bahwa perubahan mendasar yang diatur dalam regulasi ini adalah persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang diperketat. Hal ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam rapat kerja dengan Pansus RUU Desa pada tanggal 4 April 2012. Lebih lanjut Menteri menyatakan, pengetatan ini dilakukan untuk mengantisipasi pemekaran desa yang semakin hari semakin tidak terkontrol.

    Penataan Desa dalam UU Desa ini dicantumkan pada Bab III. Dari 11 pasal yang ada, penataan Desa dapat diuraikan menjadi beberapa sub tema yang terdiri dari: 1) Pemerintah Sebagai Subyek Penataan Desa; 2) Evaluasi sebagai Basis Penataan Desa; 3) Tujuan Penataan Desa; 4) Ruang Lingkup Penataan Desa; 5) Prasyarat dalam Penataan Desa; dan 6) Mekanisme Penataan Desa.

     

    Daftar Isi :

    1. Pemerintah Sebagai Subyek Penataan Desa
    2. Evaluasi Penataan Desa
    3. Tujuan Penataan Desa
    4. Ruang Lingkup Penataan
    5. Prasyarat Penataan Desa
    6. Mekanisme Penataan Desa
    7. Penutup
    Catatan Kaki

    1. Pemerintah Sebagai Subyek Penataan Desa

    Jika memperhatikan pasal-pasal yang mengatur tentang mekanisme penataan desa dalam UU ini (pasal 14-17), terlihat jelas bahwa penataan desa menjadi kewenangan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Pasal 14 pada intinya menyatakan bahwa :

    1. Penataan desa ditetapkan oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota. Sebelum disahkan, Rancangan Perda harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Gubernur, dimana mekanisme evaluasinya diatur dalam Pasal 15 dan 16.
    2. Setelah lolos evaluasi, Gubernur harus memberikan nomor registrasi dan Pemerintah Pusat melalui Menteri yang menangani Desa memberikan kode Desa. Setelah itu Perda dapat diundangkan. Pemerintah Pusat juga dapat memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional (pasal 13).

    Pasal 7 ayat (1) ini merupakan penegasan terhadap peran pemerintah sebagai pelaksana atau subyek penataan Desa sebagaimana diuraikan di atas. Mengacu pada pasal ini dan pasal 13-17, penataan Desa hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.

    Pasal 7
    (1)        Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas.

    Pembahasan di DPR

    Klausul ini tidak terdapat dalam RUU yang diusulkan Pemerintah. RUU Pemerintah pada bagian Penataan Desa langsung dibuka dengan klausul tentang tujuan, yang berbunyi: “Untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintah desa dilakukan penataan desa”. Fraksi-fraksi di DPR juga tidak mengusulkan rumusan ini dalam DIM. Dalam rapat-rapat kerja antara Pemerintah dan Pansus, pembahasan klausul ini juga tidak mengemuka.

    Rumusan ini diketahui muncul pada draf RUU yang telah dibahas sampai dengan rapat Timus tanggal 3 Oktober 2013, namun demikian tidak ditemukan catatan yang menunjukkan adanya argumentasi yang mendasari munculnya ketentuan tersebut.

    Tanggapan

    Pemerintah memang memiliki otoritas untuk melakukan penataan desa. Namun demikian, karena dalam klausul ini digunakan kata “dapat” maka otoritas tersebut tidak bersifat mutlak, tetapi bersyarat. Ketentuan tentang persyaratan penataan desa diuraikan pada Pasal 8-12.

    2. Evaluasi Penataan Desa

    Pasal 7 ayat 2 UU Desa secara tersirat menyatakan bahwa proses penataan Desa didasarkan pada hasil evaluasi terhadap tingkat perkembangan Pemerintahan Desa. Evaluasi atau proses penilaian sebagaimana dimaksud didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Evaluasi dilakukan terhadap perkembangan pemerintah Desa dalam mencapai tujuan desa, hasil yang diperoleh digunakan sebagai input dalam melakukan penataan desa.

    Pengaturan tentang evaluasi perkembangan pemerintah desa ini merupakan hal baru jika dibandingkan dengan UU yang pernah ada sebelumnya. Bahkan dalam UU No. 23/2014 pada bagian yang mengatur tentang Penataan Daerah juga tidak mencantumkan pasal khusus tentang evaluasi dalam proses penataan daerah, terlebih evaluasi bagi perkembangan pemerintahan desa. Keberadaan pasal ini menjadi bagian pekerjaan rutin pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam mendorong pemerintah desa sesuai yang diharapkan oleh UU ini.

    Pasal 7
    (2)    Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Penjelasan
    Cukup jelas.

     

     Pembahasan di DPR

    Rancangan UU yang disusun oleh Pemerintah tidak mencantumkan klausul ini. Rumusan ini juga tidak disampaikan fraksi-fraksi di DPR dalam DIM-nya. Rumusan ini muncul pada draf RUU yang dibahas hingga rapat Timus 5 September 2013, meskipun tidak ada catatan argumentasi yang mendasari klausul tersebut.

    Tanggapan

    Klausul ini tidak secara spesifik menyebutkan siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi. Namun demikian, dalam rumusannya, klausul ini masih mengacu pada Pasal 7 ayat (1), dimana pada pasal dan ayat tersebut menyebutkan tentang pelaku penataan desa yaitu pemerintah. Dengan demikian, semestinya evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ini dilakukan oleh pemerintah sebagai pelaksana penataan desa. Jika prakarsa penataan desa berasal dari pemerintah kabupaten/kota, maka evaluasi dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Namun jika prakarsa muncul dari pemerintah pusat, maka evaluasi dilakukan oleh pemerintah pusat.

    Norma dalam klausul ini menyatakan, evaluasi didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu evaluasi yang dilakukan semestinya benar-benar mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik itu terkait tata cara atau prosedur, maupun penetapan parameter dan indikator-indikator penilaian. Ketentuan ini diharapkan dapat menghasilkan evaluasi yang objektif.

    Sebagai sebuah norma yang telah ditetapkan dalam UU, dokumen hasil evaluasi semestinya menjadi bagian yang tidak terpisah dengan dokumen yang sah terkait dengan penataan desa. Pemerintah kabupaten/kota yang memprakarsai penataan desa hendaknya melampirkan dokumen evaluasi tersebut pada rancangan Perda yang dirumuskan. Sebagai bentuk akuntabilitas, dokumen hasil evaluasi tersebut hendaknya dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.

    3. Tujuan Penataan Desa

    Tujuan penataan desa masih menjadi bagian dari pasal 7, pasal pembuka pada bagian Penataan Desa. Norma ini menjadi arah dalam proses penataan desa, sehingga dalam pelaksanaannya nanti, penataan desa semestinya diorientasikan untuk mencapai hal-hal sebagaimana dicantumkan dalam rumusan ini. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota perlu memperhatikan tujuan dari penataan desa sehingga kebutuhan akan mewujudkan pasal 7 ayat 3 ini menjadi jelas dalam pelaksanaannya. Searah dengan itu, tujuan penataan desa ini menjadi penting pegangan dalam memaksimalkan fungsi-fungsi pemerintahan desa.
    Pasal 7
    (3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a.         mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa; b.        mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa; c.         mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; d.        meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan e.         meningkatkan daya saing Desa.
    Penjelasan
    Cukup jelas.
      Pembahasan di DPR Tujuan penataan desa secara spesifik disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri pada rapat kerja dengan Pansus DPR 4 April 2012, dimana disebutkan bahwa penataan desa bertujuan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya saing Desa. Pada RUU Pemerintah, tujuan penataan desa ditempatkan pada bagian awal Bab. RUU Pemerintah menempatkannya pada dua ayat, dimana dinyatakan sebagai berikut:
    • Untuk mewujudkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah desa dilakukan penataan desa.
    • Penataan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
    1. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat;
    2. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
    3. meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan desa;
    4. meningkatkan daya saing desa.
      Pemerintah tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa rumusan seperti ini yang diusulkan. Naskah Akademik RUU juga tidak memberikan elaborasi lebih lanjut tentang tujuan-tujuan dimaksud. Namun jika dicermati, poin-poin tujuan ini hampir sama dengan tujuan Penataan Daerah pada UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU No. 23/2014 itu dinyatakan, Penataan Daerah ditujukan untuk: a) mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; b) mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat; c) mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; d) meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; e) meningkatkan daya saing nasional dan daya saing Daerah; dan f) memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya Daerah. Rumusan yang disepakati dalam UU tidak jauh berbeda dengan rumusan yang diusulkan Pemerintah. Rumusan dalam UU merupakan penggabungan dua ayat dari rumusan yang diusulkan Pemerintah.  Tanggapan Norma ini memang tidak memberikan mandat apapun kepada pemrakarsa penataan desa. Namun demikian, klausul ini hendaknya tidak dinilai sebagai sekadar rumusan yang bersifat normatif. Dengan adanya norma ini, hendaknya pemrakarsa penataan desa dapat melakukan kajian terhadap dampak positif dari proses penataan desa. Pemrakarsa penataan mestinya dapat merumuskan argumentasi yang meyakinkan, bahwa dengan adanya penataan desa maka akan terwujud efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan desa, dan meningkatkan daya saing desa. Berkaca pada pengalaman selama ini, para pemrakarsa pemekaran wilayah selalu berargumentasi bahwa pemekaran dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan meningkatan kesejahteraan penduduk setempat. Namun demikian, argumentasi ini seringkali tidak didukung dengan data-data yang relevan, sehingga seringkali pemekaran yang dilakukan justru tidak mencapai tujuan dimaksud. Temuan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2008[1] menunjukkan, selama kurang lebih lima tahun pemekaran, kinerja pelayanan publik daerah otonomi baru belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena pengelololaan dan penggunaan dana belum dijalankan secara efektif, tidak tersedianya tenaga layanan publik dan belum optimalnya pemanfaatan pelayanan publik. Kesejahteraan masyarakat juga sulit ditingkatkan, akibat dari pertumbuhan ekonomi yang rendah. Rendahnya pertumbuhan ekonomi ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta rendahnya dukungan pemerintah untuk mendorong investasi publik. Norma ini hendaknya dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi “berbasis dampak”, dimana indikator penilaian didasarkan pada poin-poin sebagaimana dicantumkan dalam klausul ini. Evaluasi ini dapat membatalkan penataan desa yang telah ditetapkan. Jadi, pemerintah dapat membatalkan penetapan penataan desa jika dalam evaluasinya dihasilkan bahwa penataan desa tidak mencapai tujuan sebagaimana dimaksud.

    4. Ruang Lingkup Penataan

    Pada bagian pendahuluan diatas telah disinggung sedikit tentang ruang lingkup penataan desa. Secara lebih lengkap tentang, ruang lingkup penataan desa sebagaimana dimaksud dalam UU Desa dicantumkan pada Pasal 7 ayat (4). Uraian tentang maksud, prasyarat dan mekanisme tiap-tiap lingkup penataan desa diuraikan pada pasal-pasal selanjutnya.

    Pasal 7
    (4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.         pembentukan; b.        penghapusan; c.         penggabungan; d.        perubahan status; dan e.         penetapan Desa.
    Penjelasan
    Huruf a Cukup jelas.   Huruf b Cukup jelas.   Huruf c Cukup jelas.   Huruf d Yang dimaksud dengan “perubahan status” adalah perubahan dari Desa menjadi kelurahan dan perubahan kelurahan menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa.   Huruf e Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

     

    Pembahasan di DPR

    Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dalam rapat kerja dengan Pansus DPR pada 4 April 2012 secara tersirat menyatakan bahwa penataan desa merupakan proses pembentukan, pemekaran dan perubahan status kelurahan menjadi desa.

    Dalam RUU Desa yang diusulkan, Pemerintah menyampaikan bahwa ruang lingkup penataan desa meliputi: a) pembentukan desa; b) penghapusan desa; c) penggabungan desa; d) perubahan status desa; dan e) penyesuaian kelurahan.

    Terhadap rumusan Pemerintah tersebut, Fraksi PPP sebagaimana tercantum dalam DIM berpendapat bahwa penataan desa harus dibagi menjadi Desa dan Desa Adat. Atas dasar ini, maka Fraksi PPP mengusulkan rumusan baru pada tiap poin penataan. Setelah poin ‘pembentukan desa’, ada poin baru yaitu ‘pengukuhan desa adat’, setelah poin ‘penggabungan desa’ ada poin lagi tentang ‘pengukuhan desa adat’, dan setelah poin ‘perubahan status desa’, ada poin baru lagi yaitu ‘perubahan status desa adat’.

    Fraksi PDIP mengusulkan penambahan klausul baru yaitu “Klasifikasi Desa”. Selanjutnya usulan FPDIP tersebut dirumuskan dalam rumusan sebagai berikut:

    (1) Dalam rangka penataan desa, desa diklasifikasikan menjadi:

    1. desa adat;
    2. desa otonom;
    3. desa administratif.

    (2) Pengklasifikasian desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

    Fraksi PDIP berpendapat bahwa rumusan tersebut merujuk pada Pasal 18B UUD 1945, yaitu, pertama, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Kedua, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Jadi pada intinya, beberapa fraksi tersebut mengusulkan untuk memasukkan klausul tentang penataan terhadap desa adat.

    Fraksi PKB mengusulkan ketentuan tentang “penyesuaian kelurahan” dihapus karena pemerintah tidak menguraikan mekanisme dan kriteria persyaratannya.

    Melalui rapat Timus sampai pada 5 September 2013, rumusan tentang ruang lingkup penataan desa disepakati menjadi:

    1. a) pembentukan;
    2. b) penghapusan;
    3. c) penggabungan; dan
    4. d) perubahan status.

    Dari kesepakatan Timus tersebut, rumusan kemudian disempurnakan dengan menambahkan satu poin tentang “penetapan desa” (poin e).

    Rumusan pemerintah terkait dengan ruang lingkup penataan desa hanya terfokus pada Desa. Sementara pada UU yang disahkan, penataan desa juga menyinggung tentang Desa Adat. Pada UU yang disahkan, dua poin terakhir yaitu poin d dan pon e menyinggung tentang Desa Adat. Disebutkan dalam penjelasan poin d, bahwa yang dimaksud perubahan status, selain perubahan Desa menjadi kelurahan atau sebaliknya, juga menyangkut perubahan Desa Adat menjadi desa. Pada penjelasan poin e tentang “penetapan Desa” dinyatakan, “Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” Namun demikian, ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan kedua poin tersebut tidak dicantumkan pada bagian ini, tetapi dijabarkan dalam Bab XIII UU Desa yaitu tentang Ketentuan Desa Adat.

    Tanggapan

    Ciri khusus yang membedakan ruang lingkup penataan desa pada UU Desa dan UU sebelumnya (UU No. 5/1979/, UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004) adalah adanya poin baru tentang penataan desa adat (poin d dan poin e). Pengaturan tentang desa adat dalam bagian penataan ini mengisyaratkan bahwa UU ini konsisten untuk mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang selama ini ada.

    5. Prasyarat Penataan Desa

    Sebagaimana telah disinggung di atas, penataan desa bukanlah hal yang mutlak. Penataan desa merupakan proses yang bersifat opsional, yang dapat dilakukan dengan memperhatikan prasyarat tertentu.

    Uraian tentang persyaratan penataan desa pada bagian ini akan disampaikan per poin. Namun demikian, poin-poin dalam uraian ini sedikit berbeda dengan poin-poin yang tercantum dalam ruang lingkup penataan desa sebagaimana dinyatakan pada pasal 7 ayat (4). Mengacu pada pasal-pasal yang mengatur tentang persyaratan penataan desa (Pasal 8-12), poin-poin yang akan diuraikan meliputi: a) pembentukan Desa; b) Pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis; c) penghapusan Desa; dan d) penggabungan Desa; dan e) perubahan status. Perubahan status dalam poin ini terbatas pada perubahan status Desa menjadi kelurahan atau sebaliknya. Sedangkan perubahan status Desa Adat menjadi Desa tidak diatur dalam bagian ini. Pada bagian ini juga tidak ada rincian pasal tentang penetapan Desa sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 4 poin e.

    Dari kelima poin yang disebutkan di atas, porsi uraian pasal yang mengatur tentang pembentukan Desa lebih besar jika dibandingkan dengan poin-poin lainnya.

    6. Mekanisme Penataan Desa

    Bagian ini merupakan pasal-pasal yang menguraikan tentang prosedur atau mekanisme penetapan penataan desa. Pasal 14 menguraikan tentang ruang lingkup penataan desa. Penataan desa yang diatur dengan mekanisme ini adalah bentuk-bentuk penataan desa sebagaimana dimaksud pasal 8 (pembentukan desa), pasal 9 (penghapusan desa), pasal 10 (penggabungan desa), pasal 11 (perubahahan desa menjadi kelurahan) dan pasal 12 (perubahan kelurahan menjadi desa). Pembentukan desa pada kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 13 berada di luar ketentuan tentang mekanisme ini.

    Pasal 14
    Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
    Penjelasan
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    (1)        Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur. (2)        Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan.
    Penjelasan
    Cukup Jelas
    Pasal 16

    (1)        Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah.

    (2)        Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.

    (3)        Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.

    (4)        Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.

    (5)        Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

    Penjelasan
    Cukup jelas
    Pasal 17

    (1)        Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri.

    (2)        Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.

    Penjelasan
    Ayat (1) Cukup jelas.   Ayat (2) Pembuatan peta batas wilayah Desa harus menyertakan instansi teknis terkait.

    Pembahasan di DPR

    Pemerintah mengusulkan agar ketentuan lebih lanjut tentang penataan desa diatur dengan peraturan pemerintah. DIM fraksi DPR menyepakati usulan ini, namun seiring dengan rapat-rapat pembahasan, ketentuan tentang penataan desa diarahkan untuk dimasukkan ke dalam klausul-klausul pada UU. Pembahasan rapat Timus hingga 3 Oktober 2013 telah menghasilkan rumusan tentang mekanisme penataan desa. Rumusan sebagaimana dimaksud secara substansi sama dengan rumusan yang disahkan menjadi UU. Perbedaannya, pada rumusan hasil Timus ini memasukkan perubahan status desa adat menjadi desa.

    Dalam merumuskan klausul mekanisme penetapan Perda ini, Timus mengadopsi rumusan pada Pasal 185 UU No. 32/2004 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.

    Tanggapan

    Mekanisme yang diatur dalam Pasal 14-17 ini telah dapat menggambarkan proses penetapan desa secara berjenjang dari pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Jika mengacu pada klausul ini maka proses penataan desa akan terkoordinasikan antara pemerintah pusat dan daerah, baik terkait dengan prosedur maupun data. Praktik yang dijalankan sebelumnya, sebagaimana seringkali dilansir oleh Kemendagri, proses pemekaran desa yang dilakukan terkesan tak terkendali. Pemerintah daerah tidak pernah melaporkan desa pemekaran kepada Kemendagri, sehingga Kemendagri tidak mengetahui data desa yang dimekarkan. Selain itu, desa pemekaran juga tidak mendapatkan kode desa dari Mendagri[7].

    7. Penutup

    UU Desa telah mengatur secara rinci Penataan Desa pada Bab III yang berjumlah 11 pasal yang diuraikan menjadi beberapa tema dan sub tema yang terdiri dari: 1) Pemerintah Sebagai Subyek Penataan Desa; 2) Evaluasi sebagai Basis Penataan Desa; 3) Tujuan Penataan Desa; 4) Ruang Lingkup Penataan Desa; 5) Prasyarat dalam Penataan Desa; dan 6) Mekanisme Penataan Desa. Pengaturan ini telah memperjelas desa sebagai subjek pembangunan, dimana desa pemerintahan terkecil dan dekat dengan masyarakat diharapkan banyak memberikan manfaat bagi masyarakatnya.

    Proses penataan desa harus berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah diatasnya, sebagaimana terdapat dalam rumusan pasal 7 ayat (1). Hasil evaluasi yang dilakukan sebagai landasan dalam melakukan penataan desa yang meliputi, : a) pembentukan desa; b) Pembentukan desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis; c) penghapusan desa; dan d) penggabungan desa; dan e) perubahan status. Penataan ini diharapkan dapat mempercepat proses terwujudnya desa yang sebagaimana diharapkan oleh pasa 7 ayat 3 yang menjelaskan tentang tujuan dari pengaturan desa.

    Beberapa rumusan pasal dalam klaster ini tidak banyak perdebatan saat pembahasan di DPR. Namun jika dilihat dari pasal-pasal yang ada, pemerintah perlu mempersiapkan mekanisme evaluasi untuk melakukan penataan desa, sehingga memudahkan bagi pelaksana UU ini dalam memacu kinerjanya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

    Catatan Kaki

    [1] Dapat dilihat pada “Laporan Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah, 2001-2007”, yang dilakukan oleh Bappenas bekerjasama dengan UNDP pada tahun 2008.

    [2] Pasal 8 (1) : Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada.

    [3] Pasal 5          : Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.

    Pasal 6            : (1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.

    (2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.

    Pasal 7            : (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

    dapat melakukan penataan Desa.

    (2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. mewujudkanefektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa; b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa; c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan; e. meningkatkan daya saing Desa.

    (4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pembentukan; b. penghapusan; c. penggabungan; d. perubahan status; dan e. penetapan Desa.

    [4] Penjelasan pasal 8 Ayat (1) :

    Pembentukan Desa dapat berupa: a. pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih; b. penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau c. penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.

    [5] Pasal 8 ayat (3) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

    1. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
    2. jumlah penduduk, yaitu: 1) wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga; 2) wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga; 3) wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga; 4) wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga; 5) wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga; 6) wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga; 7) wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga; 8) wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan 9) wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.
    3. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;
    4. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
    5. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
    6. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/ Walikota;
    7. sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan h. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

    [6] Ketentuan Umum Undang-Undang Desa :

    “Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis”.

    [7] http://old.setkab.go.id/berita-5485-hingga-oktober-2014-pemerintah-stop-pemekaran-desa-kelurahan-dan-kecamatan.html diakses pada 28 Maret 2015

    Update terbaru 14 June 2016.