Draft Policy Brief: Mempertangguh Badan Usaha Milik Desa dalam Menggerakkan Ekonomi Desa

    Sejak dulu, desa sudah diarahkan untuk mengelola usaha sendiri. Hal ini tercantum dalam  Penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979  tentang Pemerintahan Desa. Pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa desa dapat mendirikan badan usaha, yang kemudian dipertegas melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. No. 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Terbitnya Permendagri tersebut, disertai dukungan berbagai program pemerintah pusat dan daerah untuk menggerakkan ekonomi desa, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Tetapi, bila merujuk pada angka penduduk miskin di pedesaan dan tingkat urbanisasi yang setiap tahunnya selalu meningkat, harapan itu belum terwujud. Kehadiran Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan dapat memperkuat BUM Desa sesuai tujuan pendiriannya. Kendati demikian rekognisi yang diberikan masih memerlukan perhatian pemerintah supra desa dalam memperkuat BUM Desa menuju kemandirian dan ketangguhannya. Semangat pendirian BUM Desa harus dibarengi dengan perbaikan atau penguatan kebijakan dan pola pembinaan oleh pemerintah supra desa (pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota).

     

    LATAR BELAKANG

     

    Badan Usaha Milik Desa bukanlah barang baru bagi desa. Upaya pemerintah dalam menggerakkan ekonomi desa sudah dilakukan sejak dikeluarkan kebijakan sebagaimana disebutkan di atas. Upaya ini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Terutama jika melihat prosentase penduduk miskin yang relatif banyak terdapat di perdesaan. Prosentase penduduk miskin di daerah perdesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015[1]. Kondisi ini menggambarkan bahwa sumber-sumber daya yang ada di desa belum terkelola dengan baik, sehingga urbanisasi masih menjadi daya tarik bagi penduduk desa. Data Price Waterhouse Cooper pada 2014 menunjukan tingkat populasi urbanisasi Indonesia pada tahun 2014 sebesar 51,4 persen. Angka ini  tertinggi kedua di ASEAN setelah Malaysia. Sebagai contoh, Jakarta diperkirakan menampung pendatang pasca lebaran tahun 2016 sekitar 70 ribu orang.[2]

     

    Semangat baru pengaturan BUM Desa melalui UU Desa merupakan upaya strategis untuk mewujudkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi dan pembangunan yang berorientasi bagi masyarakat desa.  Salah satu perwujudannya adalah BUM Desa didirikan dengan semangat kekeluargaan dan semangat gotong royong yang bertujuan untuk menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar Desa.

     

    Saat ini telah terbentuk 12.115 BUM Desa. Jumlah ini telah melampaui target 5.000 BUM Desa yang ditetapkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) sampai 2019[3]. Jumlah ini tentu saja sangat fantastis, bagaimana upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam membentuk BUM Desa tersebut. Menurut Sutoro Eko (2013), pendirian BUMDes tidak cukup didekati dengan pendekatan teknokratis dan manajerial semata. BUMDes yang dibangun serentak oleh pemerintah dari atas juga tidak serta merta bisa bekerja dengan baik meskipun memiliki kapasitas manajerial yang baik[4].

     

    Pembentukan unit-unit ekonomi desa/BUM Desa dan sejenisnya pada masa lalu, belum membuahkan hasil yang memuaskan sebagaimana tujuan pendiriannya, jika dilihat dari data diatas. Karena itu, perlu upaya kuat agar BUM Desa mampu menjawab tantangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus melakukan evaluasi agar BUM Desa benar-benar menjadi pilar ekonomi desa yang tangguh dan kuat serta memberikan manfaat bagi masyarakat.

     

    Studi PATTIRO di 4 BUM Desa di 3 kabupaten yaitu Kebumen, Siak dan Bantul, memperlihatkan keberadaan BUM Desa yang menjadi wadah dalam menggerakkan ekonomi desa dan pelayanan desa, masih memerlukan perhatian serius pemerintah supra desa.

     

    Rendahnya inisiatif internal desa dalam menggerakkan ekonomi desa.

     

    Undang-Undang Desa mengkonstruksikan Desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Desa juga tidak identik dengan Pemerintah Desa dan kepala Desa, namun meliputi pemerintahan lokal dan sekaligus mengandung masyarakat, yang keseluruhannya membentuk kesatuan hukum.  Konstruksi ini juga membawa perbedaan antara aspek kajian BUM Desa dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang merupakan badan usaha yang berperan sebagai alat intervensi pemerintah pada tataran perekonomian nasional atau daerah.

     

    Inisiatif dalam membentuk usaha desa juga seharusnya hadir bersamaan di internal desa (pemerintah desa dan masyarakat) dalam musyawarah desa. sehingga kehadirannya bisa menggali potensi dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh desa. Dalam studi ditemukan insiatif pembentukan lebih banyak muncul dari pihak luar desa.  Walaupun ada juga inisiatif yang hadir dari internal desa (pemerintah desa dan masyarakat), seperti di Desa Panggungharjo, Yogyakarta dan Desa Tirtonirmolo Kabupaten Bantul. Inisiatif tersebut hadir karena dilatarbelakangi oleh kondisi dan permasalahan yang ada di desa. Menjadi penting dalam pembentukan BUM Desa harus memahami potensi dan kondisi desa yang kemudian atas inisiatif bersama (pemerintah desa dan masyarakat) membentuk BUM Desa sebagaimana telah dimandatkan dalam pasal 4-6 Permendesa No. 4/2015 tentang BUM Desa.

     

    Penyelenggaraan musyawarah desa dalam pembentukan BUM Desa tidak sebatas memenuhi administratif semata, namun perlu dilihat faktor-faktor produksi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi[5]. Terlampauinya target pembentukan BUM Desa harus dibarengi dengan kualitas serta optimalnya usaha yang dijalani. “pendekatan proyek” tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar membentuk BUM Desa.  Pembentukan harus mendasarkan pada kekuatan dan kebutuhan lokal. Dalam upaya mempersiapkan hal tersebut, diperlukan panduan untuk membentuk BUM Desa.

     

    Ketidakjelasan Posisi BUM Desa sebagai institusi sosial dan komersial

     

    Undang-Undang Desa memberikan keleluasaan jenis usaha yang akan dikelola. Dalam melaksanakan fungsinya, BUM Desa tidak hanya sebagai institusi komersial (bisnis) semata, tetapi juga sebagai institusi sosial yang tujuan akhirnya dapat berkontribusi dalam menyejahterakan masyarakat. Hanya saja kedua fungsi ini tidak banyak dibahas dalam Peraturan Pemerintah maupun Permendesa. Pemahaman terhadap BUM Desa yang harus menghasilkan profit akan mengarahkan pada pilihan jenis usaha yang dapat menghasilkan keuntungan semata. Hal ini akan menjadi trade off bagi keterlibatan dan partisipasi warga dalam pengelolaan dan manfaat dari usaha yang dipilih BUM Desa.

    Pemerintah penting memperjelas fungsi BUM Desa sebagai institusi sosial dan institusi komersial. Kejelasan aturan terkait dua fungsi tersebut akan menguatkan BUM Desa, terutama dalam melakukan kerjasama usaha dengan pihak lain (BUM Desa atau badan usaha lainnya). Selain itu, kejelasan akan menghilangkan kebingungan bagi pengelola BUM Desa. misalnya BUM Desa Panggung Lestari “pengelolaan sampah” yang selalu mendapatkan support anggaran dari APB Desa, hal ini cukup wajar dilakukan sebagai BUM Desa sebagai institusi sosial karena keberadaanya dirasakan sangat bermanfaat oleh masyarakat.

     

    Kebijakan yang belum mengarahkan profesionalisme BUM Desa

     

    Struktur pengelolaan BUM Desa belum seluruhnya menyesuaikan dengan Permendesa No.4/2014 tentang BUM Desa. Masih ada pengelola operasional BUM Desa yang dijabat oleh aparatur pemerintahan desa. Selain itu, tidak diperjelasnya unsur pengawas BUM Desa dalam Permendesa, terlebih dalam PP No. 43 Tahun 2015 Tentang Desa, sehingga ditemui bahwa ada anggota BPD yang menjadi pengawas BUM Desa. Kondisi ini akan membuat “semu[6]” proses pertanggungjawaban BUM Desa (kepala desa) kepada BPD. Pasal 31 Permendesa No. 04/2014  menyatakan bahwa salah satu tugas BPD adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja Pemerintah Desa dalam membina pengelolaan BUM Desa. Bila anggota BPD menjadi pengawas BUM Desa yang merupakan bagian/organ dari BUM Desa, maka dapat dikatakan anggota BPD itu melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri, meskipun proses pertanggungjawabannya melalui pemerintah desa. Juga ditemui BUM Desa yang tidak menyusun laporan pertanggungjawaban pengelolaannya, selain tidak optimalnya peran pengawas BUM Desa sendiri.

     

    Kejelasan pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi potensi moral hazard (penyelewengan/penyalahgunaan) oleh pelaksana BUM Desa. Kejelasan ini akan mewujudkan pengelolaan BUM Desa yang demokratis dan sesuai dengan prinsip kegotong-royongan, maka sepatutnya BUM Desa memperhatikan dan menerapkan standar manajemen yang profesional dan bertanggung jawab seperti menjungjung tinggi prinsip transparansi, akuntabilitas, kemandirian dan pertanggungjawaban.

     

    Masalah lainnya adalah peran penasihat (ex-officio) menjadi dilema bagi BUM Desa. Pasal 2 point c Permendesa No 04/2014 menyatakan bahwa penasihat berperan “mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUM Desa”. Apabila terjadi kerugian yang dialami oleh BUM Desa, maka hal ini akan menjadi tanggungjawab BUM Desa secara organisasi (pasal 27). Sementara dalam Pasal 139 PP No. 43/2014 menyatakan bahwa kerugian BUM Desa menjadi tanggungjawab pelaksana operasional. Padahal PP juga menjelaskan bahwa peran penasihat adalah melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada pelaksana operasional dalam menjalankan kegiatan pengurusan dan pengelolaan usaha Desa.

     

    Dari poin di atas, dipandang perlu adanya sinkronisasi kebijakan dalam pengaturan organ BUM Desa, sehingga akan memperkokoh pengelolaan BUM Desa. Pada gilirannya, hal ini akan berdampak pada profesionalisme kerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

     

    Lebih banyak intervensi daripada pembinaan kepada BUM Desa

     

    Pendirian BUM Desa tidaklah sebatas memenuhi target pembangunan semata. Kehadirannya harus dibarengi dengan pembinaan untuk mengembangkan  potensi yang dimilikinya. Studi PATTIRO memperlihatkan bahwa pembinaan yang dilakukan pemerintah supra desa (kabupaten/provinsi) tidak dilakukan secara bertahap dan teratur. Jikapun ada pembinaan hanya dalam rangka menjalankan kegiatan supra desa. Dapat dikatakan, BUM Desa berjalan sendiri dalam usahanya. Studi juga melihat bahwa akibat kurangnya pembinaan dan pengalaman yang dimilikinya, salah satu BUM Desa di Kabupaten Kebumen terpaksa tidak dapat melanjutkan kerjasama dengan mitranya, karena tidak dapat memenuhi target produksi yang sudah disepakati.

     

    Kehadiran UU Desa harus mampu mengubah pola pendekatan supra desa dari intervensi menjadi fasilitasi secara bertahap dan berkala. Pemerintah supra desa harus berbenah dan melakukan evaluasi atas apa yang sudah dilakukannya selama ini terhadap pengembangan ekonomi desa (BUM Desa), dan menyusun tahapan pengembangan untuk meningkatkan kemandirian BUM Desa.

     

    REKOMENDASI

     

    Dari kondisi diatas, yang mendesak dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah,  yaitu:

     

    Menjelaskan fungsi BUM Desa sebagai institusi sosial dan komersial. Sosial dalam arti memberikan manfaat (benefit) bagi masyarakat desa dan komersial dalam arti memperoleh keuntungan (profit) dalam menjalankan usahanya.  Adanya dua fungsi itu yang membedakan BUM Desa dengan badan usaha lainnya. Karena itu, kedua fungsi tersebut perlu diperjelas dalam peraturan menteri yang menjelaskan aspek usaha yang dijalankan BUM Desa. Selain itu, memperjelas aturan yang berkaitan dengan kerjasama antar BUM Desa dan pihak ketiga.

     

    Sinkronisasi dan penyelarasan aturan pengelolaan BUM Desa. Pengelola BUM Desa dituntut bersikap profesional seperti halnya pengelolaan badan usaha lainnya. Karena itu, Pemerintah perlu menyelaraskan pengaturan mengenai organ pengelola BUM Desa dan mempertegas peran dan tanggungjawab masing-masing organ. Kebijakan tentang BUM Desa juga sepatutnya dapat meminimalisir peluang risiko (legal hazard) dalam menjalankan usahanya maupun tendensi BUM Desa sebagai alat kepentingan politik lokal desa. Selain itu, pemerintah juga perlu mempercepat penerbitan peraturan mengenai pengelolaan keuangan BUM Desa dan mekanisme pelaporan serta serta pertanggungjawabannya[7].

     

    Mempertegas peran pembinaan Supra Desa. Pemberian rekognisi dan mendorong kemandirian desa tidak serta merta menghilangkan peran dan tanggungjawab supra desa dalam melakukan pembinaan terhadap desa, termasuk BUM Desa. Pembinaan selayaknya dilakukan melalui pendekatan fasilitasi bukan intervensi. Pemerintah supra desa harus mampu meningkatkan dan memperkuat koordinasi antar unit (SKPD provinsi/kab/kota) yang memiliki keterkaitan tugas dan fungsi dalam mengembangkan ekonomi masyarakat desa.

     

    Melakukan identifikasi awal faktor ekonomi desa. Pemerintah harus melakukan identifikasi awal terhadap embrio ekonomi (faktor-faktor produksi) desa secara jelas. Identifikasi ini sangat diperlukan untuk mencegah  jangan sampai BUM Desa didirikan, namun tidak melakukan kegiatan apapun, karena tidak memahami potensi usaha yang perlu dikembangkan.  Karena itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan tentang panduan identifikasi potensi desa dan tahapan dalam pengembangan BUM Desa. Selain itu, pemerintah supra desa juga perlu menerbitkan kebijakan yang terintegrasi dengan tugas pokok dan fungsi dari unit kerja terkait. Unit kerja di kabupaten/kota ini juga perlu menyusun kategori kemandirian BUM Desa dan melakukan pemutakhiran data mengenai kondisi dari setiap  BUM Desa di wilayah kerjanya.

     

    Memperkuat eksistensi BUM Desa yang hadir atas inisiatif sendiri. Pemerintah harus memberikan rekognisi terhadap usaha desa yang sudah ada dan berjalan selama ini, terlepas dari bentuk usaha yang dijalankannya. Menurut pakar desa, Sutoro Eko (2013), membangkitkan dan memfasilitasi tumbuhnya gerakan ekonomi lokal secara emansipatoris jauh lebih penting ketimbang institusionalisasi BUMDes secara serentak dari atas. Selain itu, pemerintah juga harus memperjelas model partisipasi yang ditawarkan dalam pengelolaan BUM Desa[8].

     

     

    REFERENSI

     

    1. Hasil riset PATTIRO “Identifikasi praktek berdesa (utamanya praktek baik di desa/good practices) paska implementasi UU Desa, 2016
    2. http://bps.go.id/brs/view/1158/diakses pada tanggal 21 Juli 2016
    3. https://m.tempo.co/read/news/2016/07/12/090787118/pendatang-baru-di-jakarta-diprediksi-capai-70-ribu-orang diakses tanggal 21 Juli 2016
    4. http://kemendesa.go.id/view/detil/1663/bumdes-akan-topang-lumbung-ekonomi-desa, diakses pada tanggal 19 Juli 2016.
    5. Sutoro Eko bersama Tim FPPD, 2013 Policy Paper “ Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan berkelanjutan”.
    6. Erani Yustika, Prof, Dr. SE. M.Sc, Ekonomi Kelembagaan, bayu Media Publishing. 2006, hlm 254
    7. Hasil dari Expert Meeting tentang BUM Desa yang diselenggarakan PATTIRO di Hotel Sofyan Inn, Tebet, Jakarta, 3 Agustus 2016.

     

    [1]http://bps.go.id/brs/view/1158/ diakses pada tanggal 21 Juli 2016

    [2]https://m.tempo.co/read/news/2016/07/12/090787118/pendatang-baru-di-jakarta-diprediksi-capai-70-ribu-orang diakses tanggal 21 Juli 2016

    [3] http://kemendesa.go.id/view/detil/1663/bumdes-akan-topang-lumbung-ekonomi-desa, diakses pada tanggal 19 Juli 2016.

    [4] Sutoro Eko bersama Tim FPPD, 2013 Policy Paper “ Membangun BUMDes yang Mandiri,  Kokoh dan berkelanjutan”.

    [5] Erani Yustika, Prof, Dr. SE. M.Sc, Ekonomi Kelembagaan, bayu Media Publishing. 2006, hlm 254

    [6] Semu dalam arti, proses pertanggungjawaban pengelola BUM Desa (anggota BPD yang menjadi pengelola) kepada kepala desa, dan kemudian kepala desa mempertanggungjawabkan pembinaan BUM Desa kepada BPD.(lihat Permedesa 04/2014 pasal 31, ayat 3)

    [7]Hasil dari Expert Meeting tentang BUM Desa yang diselenggarakan PATTIRO di Hotel Sofyan Inn, Tebet, Jakarta, 3 Agustus 2016.

    [8]ibid

    Daftar Isi :

    Update terbaru 26 August 2016.