Kemana Arah Pembangunan Ekonomi Desa?
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Pertanyaan kemana arah pembangunan ekonomi desa bukan saja relevan, tetapi harus selalu dimunculkan dalam proses implementasi UU Desa sekarang ini. Sebab, jika merunut pada diskusi pembahasan UU tersebut, motif utama dari pengesahan UU Desa adalah untuk mendorong desa agar menjadi lebih berdaya secara ekonomi. Dalam pengertian bahwa produksi yang dilakukan oleh masyarakat desa bukan sekadar memenuhi kebutuhan subsistensi mereka, tetapi diarahkan untuk menciptakan surplus, sehingga dari surplus inilah mereka akan lebih mandiri, dan bila perlu dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan devisa negara.

Hingga saat ini, sependek pengetahuan saya, belum ada roadmap atau peta jalan tentang bagaimana pembangunan ekonomi desa yang semestinya dijalankan. Begitu pula, pemerintah sepertinya juga tidak memiliki agenda besar, selain hanya pernyataan-pernyataan sporadik, baik dari Presiden maupun Menteri Desa yang muncul melalui media. Dalam berbagai kesempatan, misalnya Menteri Desa pernah menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Berdasar pada kepentingan ini, maka Menteri Desa kemudian mendorong agar dana desa dipergunakan untuk pemberdayaan BUMDes. Namun di sisi lain tidak ada suatu rujukan yang jelas bagaimana BUMDes semestinya dijalankan, serta upaya-upaya bisnis apa yang diterapkan agar dapat meraih profit secara optimal. Pada praktiknya, masih sangat jarang desa yang mendirikan BUMDes, apalagi mengelolanya untuk mendapatkan keuntungan.

Belum jelas soal BUMDes, yang paling mutakhir Menteri Desa menyatakan bahwa dana desa harus dipergunakan sepenuhnya untuk pembangunan infrastruktur. Menurutnya, ini merupakan instruksi dari Presiden, meskipun tidak jelas Inpres nomor berapa yang dimaksud. Tak ayal, kebijakan yang disampaikan secara lisan ini membuat bingung desa, karena berdasarkan Peraturan yang dikeluarkan Menteri Desa sendiri, yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Desa No. 21/2015, prioritas pembangunan bukan hanya infrastuktur. Meski ada beberapa Pemerintah Desa yang menolak kebijakan tersebut, namun secara substantif hal ini mencerminkan tidak jelasnya agenda pembangunan ekonomi desa. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang relasi antara pembangunan infrastruktur dengan peningkatan ekonomi desa.

Pada masa lalu, di era Orde Baru, pembangunan ekonomi desa diidentikkan dengan pembangunan sektor pertanian melalui upaya untuk menciptakan swasembada pangan bahkan eskpor. Pada saat itu garis agenda pembangunan Orde Baru jelas, yakni mengikuti gerak langkah kemauan kebijakan developmentalisme Barat yang mendorong negara-negara Dunia Ketiga untuk mewujudkan industrialisasi. Kajian-kajian tentang developmentalisme menunjukkan bahwa industrialisasi pertanian diwujudkan dalam bentuk revolusi hijau. Revolusi hijau mensyaratkan petani untuk menggunakan bibit varietas unggul, penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara optimal, yang kesemuanya itu disediakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional Barat. Senyatanya, seiring dengan melemahnya kebijakan developmentalisme Barat dan menguatnya sistem ekonomi neoliberal, swasembada pangan di Indonesia mengalami pelemahan juga.

Sayangnya, para perumus UU Desa tampaknya tidak merunut dari proses sejarah pembangunan desa dari semenjak diberlakukannya politik developmentalisme Orde Baru hingga era neoliberal pasca reformasi, sehingga seakan kehilangan arah ketika menentukan jalan pembangunan pada fase berikutnya. Para perumus malah mengacu pada Cina, yang sama sekali memiliki proses kesejarahan yang berbeda dengan Indonesia. Tentu saja, Cina sebagai negara komunis tidak memiliki pengalaman bagaimana ia terpapar oleh kebijakan developmentalisme dunia Barat. Memang sih, panitia khusus UU Desa juga pernah melakukan juga studi banding ke Brasil. Namun meskipun sama-sama sebagai negara Dunia Ketiga, Brasil memiliki kesejarahan yang beda dengan Indonesia. Jadi, perumusan kebijakan pembangunan yang ahistoris ini sepertinya juga turut menjadi penyebab tidak jelasnya arah pembangunan desa pada saat ini.

Lalu jika kembali ditanya, kemana arah pembangunan ekonomi desa? Pertanyaan ini tampaknya sulit untuk dijawab, sebagaimana Pemerintah juga mengalami kesulitan untuk merumuskan peta jalannya. Namun sebagaimana kenyataannya bahwa kita telah memilih jalan neoliberal, dimana kekuatan sepenuhnya berpusat pada publik, maka ada saatnya masyarakat desa sendiri yang diberian kesempatan untuk menjawabnya, menurut versi mereka sendiri, berdasarkan pengalaman yang mereka rasakan sendiri. Oleh karena itu ruang-ruang demokrasi yang telah di-afirmasi oleh UU Desa hendaknya harus tetap dipertahankan dan bila perlu diperkuat. Pemerintah tidak semestinya membatasi ruang demokrasi tersebut dengan dalih apapun dan dalam bentuk apapun. Jalan neoliberal yang telah kita tempuh berkonsekuensi pada minimnya intervensi pemerintah. Jadi biarkan masyarakat desa sendiri yang menentukan arah pembangunan ekonomi, termasuk melakukan upaya-upaya untuk mewujudkan surplus ekonominya.


1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 1.50 out of 5)
Loading...

FavoriteLoadingFavorit

Tentang penulis

Bejo Untung

Blogger untuk isu-isu development and empowerment of rural and small-scale community. Belajar dan berbagi adalah passion-nya.